NILAI-NILAI FEMININ TOKOH LAILA DALAM NOVEL "SAMAN" KARYA AYU UTAMI
1.
Latar Belakang Masalah
Karya
sastra merupakan hasil kreativitas seorang sastrawan sebagai bentuk seni. Karya
sastra bersumber dari kehidupan dipadukan dengan imajinasi pengarangnya. Hal
ini wajar terjadi mengingat pengarang tidak lepas dari ikatan-ikatan status
sosial tertentu dalam masyarakat, karya sastra merupakan salah satu hasil seni.
Ada lagi yang menyebut
sebagai suatu karya fiksi.
Menurut Nurgiantoro (2007: 3), fiksi sebagai karya
imajiner, biasanya menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan,
hidup dan kehidupan. Pengarang menghayati berbagai permasalahan tersebut dengan
penuh kesungguhan yang kemudian diungkapkan kembali setelah melalui sarana
fiksi sesuai dengan pandangannya. Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan
manusia dan interaksinya dengan lingkungan dan sesama. Fiksi merupakan hasil dialog
kontempelasi dan reaksi pengarang dan lingkungan dan kehidupan, sehingga
pengarang akan mengajak pembaca memasuki pengalaman imajinasinya melalui
tokoh-tokoh dalam karya sastra.
Dalam perkembangan novel di Indonesia dari zaman
dahulu sampai sekarang, banyak bermunculan novel yang bertemakan
masalah-masalah yang berhubungan dengan perempuan. Permasalahan itu terjadi
karena perempuan cenderung dianggap lemah oleh laki-laki. Hal ini terjadi dari
zaman ke zaman. Banyaknya permasalahan yang dihadapi perempuan sekarang ini
maka muncul gerakan jender yang bertujuan memperjuangkan hak perempuan agar sejajar
dengan laki-laki. Dengan adanya kesejajaran tersebut maka perempuan tidak akan
lagi dipandang lemah oleh laki-laki.
Menurut Sugihastuti (2003: 31), analisis jender
harus melibatkan kedua jenis manusia dalam mengungkapkan kehidupan tokoh
perempuan. Dengan melibatkan dua jenis seks manusia dapat dilakukan
perbandingan peran,status, dan posisi seseorang dalam suatu masyarakat
tertentu. Hal ini dibantu dengan jalan mengajukan pertanyaan apa, siapa,
dimana, kapan, bagaimana, dan mengapa. Sugihastuti (2000: 47) menambahkan bahwa
penelitian tentang wanita dalam karya sastra merupakan penelitian tentang
kehidupan wanita dan berbagai permasalahannya. Penelitian tentang wanita
diantaranya yaitu bagaimana pandangan pria terhadap wanita dan sebaliknya.
Penelitian tentang kreativitas yang terikat dengan potensi di tengah-tengah
tradisi kekuatan pria. Dan
penelitian yangberkaitan
dengan penggunaan teori dalam penderitaan wanita.
Feminisme ini berhubungan dengan konsep sastra
secara feminis, yaitu studi sastra yang mengarahkan focus analisis kepada
wanita (Sugihastuti, 2000: 37). Selama ini dianggap dengan sendirinya bahwa
yang mewakili pembaca dan penciptaan dalam sastra barat adalah laki-laki,
kritik sastra feminis menunjukkan bahwa pembaca wanita membaca persepsi dan
harapan ke dalam pengalaman sastranya. Arti kritik sastra feminis secara
sederhana adalah sebuah kritik sastra yang memandang sastra dengan kesadaran
khusus akan adanya jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra
dan kehidupan manusia (Showalter dikutip Sugihastuti, 2002: 141).
Salah satu novel yang mengangkat dimensi jender
dengan pembacaan sekilas terlihat dalam novel Saman karya Ayu Utami.
Novel Saman menceritakan tokoh utama seorang laki-laki misionaris
sebagai pastor atau romo yang berjuang menjalankan misi pelayanan kemanusiaan,
baik secara agamis maupun kemanusiaan. Dari segi isi, novel Saman karya
Ayu Utami mengangkattema kehidupan masyarakat, persoalan sosial, kemunafikan,
serta cinta dan kasih sayang manusia terhadap sesamanya. Dalam novel ini banyak
diceritakan kehidupan masyarakat yang masih lugu, apa adanya, bodoh, dan alami.
Di tengah kehidupan yang terbelakang kehidupan masyarakat masih menjanjikan
kedamaian yang tulus tanpa pamrih. Masalah lingkungan hidup yang jarang
dijadikan latar oleh pengarang Indonesia merupakan daya pikat dan nilai tambah
cerpen karya Ayu Utami di tengah-tengah kebudayaan popular yang berorientasi
pada kemewahan.
Kekuatan lain dari karya Ayu Utami adalah gaya
bahasanya yang lugas, jernih, dan sederhana. Bahasa yang digunakan komunikatif,
karena kosakata yang dipakai sering digunakan komunikasi setiap hari, sehingga
pembaca lebih mudah memahami cerita yang ada. Pencitraan yang diekspresikan
dalam setiap karyanya terlihat jelas dalam setiap susunan kata dan kalimatnya.
Pencitraan yang terdapat dalam novel Saman menimbulkan pertalian batin
antara pembaca dan tokoh sehingga seolah-olah pembaca berada di antara mereka.
Sastra telah menjadi bagian
dari pengalaman manusia, baik dari aspek manusia yang memanfaatkannya bagi
pengalaman hidupnya, maupun dari aspek penciptanya, mengekspresikan pengalaman
batinya ke dalam karya sastra. Ditinjau dari segi
penciptanya (pengarang dalam sastra tulis dan pawang atau pelipur lara dalam
sastra lisan), karya sastra merupakan pengalaman batin penciptanya mengenai
kehidupan masyarakat dalam kurun waktu dan situasi budaya tertentu. Di dalam
karya sastra dilukiskan keadaan dan kehidupan sosial suatu masyarakat,
peristiwa-peristiwa, ide dan gagasan, serta nilai-nilai yang diamanatkan
pencipta lewat tokoh-tokoh cerita. Sastra mempersoalkan manusia dalam berbagai
kehidupannya. Karya sastra berguna untuk mengenal manusia, kebudayaan serta
zamannya. Dikatakan oleh Abrams dikutip Pradopo (2007:11) bahwa karya sastra
itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh
keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya.
Novel Saman karya
Ayu Utami merupakan penggambaran kehidupan masyarakat saat novel tersebut
diciptakan. Novel Saman merupakan refleksi dari kehidupan masyarakat Indonesia
yang berada di bawah kekuasaan rezim Orde Baru, yang terjadi pada tahun 1990-an
(http://www.forum.webqaul.com). Pemerintahan pada waktu itu di bawah kekuasaan
Soeharto. Pada masa Orde Baru muncul konflik baru yang memanifestasikan dalam
bentuk demonstrasi mahasiswa yang memprotes
Beberapa kebijakan pemerintah Orde Baru, di antaranya kasus tanah,
perburuhan, pendekatan keamanan, dan hak azasi manusia (http://www.geoticies.com). Novel Saman merupakan gambaran
peristiwa sengketaan tanah dan kerusuhan yang terjadi di Prabumulih pada masa
Orde Baru. Peristiwa itu membawakan persoalan peka bagi masyarakat, yaitu akan
diubahnya kebun karet menjadi kebun kelapa sawit. Akan tetapi masyarakat merasa
tidak setuju dengan adanya perubahan ini. Hal ini mengakibatkan oknum penguasa
di Sei Kumbang melakukan tindakan sewenang-wenang yaitu memaksa penduduk untuk
melepaskan tanahnya. Mereka menggunakan kekerasan untuk mempengaruhi pikiran
petani, penduduk Sei Kumbang dengan cara meneror, menindas, memperkosa, bahkan
membunuh.
Pada masa itu juga terjadi kerusuhan yang disebabkan unjuk rasa
buruh yang memunculkan wajah rasis. Pemerintah dalam menanggapi protes dan
perlawanan dari rakyat dengan menggunakan cara kekerasan yaitu adanya aksi-aksi
aparat keamanan atau militer yang membela kepentingan Soeharto, yang semakin
brutal dan tidak terkendalikan. Tuntutan itu dijawab dengan pentungan, gas air
mata, aksi penangkapan ilegal, penculikan dan penyiksaan
(http://.geoticies.com). Tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat
keamanan atau militer telah membuka hati para aktivis untuk mendirikan Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM). Dengan adanya LSM ini, bukannya membawa keadaan
semakin membaik, tetapi LSM dianggap sebagai gerakan kiri atau gerakan yang
melawan pemerintah. Pada masa rezim Soeharto, LSM selalu diidentikkan sebagai
“agen dan antek asing”, “penjual”, dan “pengkhianat bangsa”. Peryataan ini
dilakukan untuk mengurangi keberadaan LSM di mata rakyat, mengingat LSM saat itu
adalah satu-satunya elemen masyarakat yang kritis terhadap pemerintah Soeharto.
Posisi LSM dan rezim Soeharto selalu dalam posisi berlawanan. LSM telah dituduh
berpolitik dan mengorganisasikan rakyat miskin. Maka, wajar bila pemerintah
selalu mencurigai aktivis LSM. Pemerintah juga melakukan tindakan pengejaran
dan penangkapan terhadap aktivis-aktivis LSM (http://www.kompas.com).
Selain itu novel Saman juga
bercerita mengenai perjuangan seorang pemuda bernama Saman, yang dalam
perjalanan karirnya sebagai seorang pastor harus menyaksikan penderitaan
penduduk desa yang tertindas oleh negara melalui aparat militernya. Saman
akhirnya menanggalkan jubah kepastorannya itu, dan menjadi aktivis buron.
Sebagai seorang aktivis, Saman mengembangkan hubungan seksual dengan sejumlah
perempuan. Keempat tokoh perempuan dalam novel Saman antara lain Shakuntala,
Laila, Cok, dan Yasmin. Mereka muda, berpendidikan dan berkarir. Sebagai
layaknya sahabat, mereka saling bertukar cerita mengenai pengalaman-pengalaman
cinta, keresahan dan pertanyaan-pertanyaan mereka dalam mendefinisikan
seksualitas perempuan (http://www.forum.webqaul.com).
Kemunculan novel Saman menjelang
saat-saat jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998, sempat menghebohkan dunia
sastra Indonesia
karena isinya yang dianggap kontroversial, mendobrak berbagai tabu di Indonesia
baik mengenai represi politik, intoleransi beragama, dan seksualitas perempuan.
Ada pihak-pihak
yang mengkritik novel tersebut karena dianggap terlalu berani dan panas dalam
membicarakan persoalan seks. Banyak pula yang memujinya karena penggambaran
novel tersebut apa adanya, polos, tanpa kepura-puraan.
Di tengah kontroversi itu,
Saman berhasil mendapat penghargaan Dewan Kesenian Jakarta 1998. Ketika
pertama kali terbit, Saman dibayangkan sebagai fragmen dari novel
pertama Ayu Utami yang akan berjudul Laila Tak Mampir di New York . Pada tahun 2000, novel Saman
mendapatkan penghargaan bergengsi dari negeri Belanda yaitu Penghargaan Prince
Clause Award. Suatu penghargaan yang diberikan kepada orang-orang dari
dunia ketiga yang berprestasi dalam bidang kebudayaan dan pembangunan. Novel
tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dengan judul Samans Missie,
yang diluncurkan di Amsterdam
pada 9 April 2001 dan dihadiri sendiri oleh Ayu Utami.
Ayu Utami merupakan salah satu pengarang wanita yang
dinobatkan sebagai pemenang pertama dalam Sayembara Mengarang Roman Dewan
Kesenian Jakarta. Penobatan ini seperti telah menjadi perayaan terhadap
“kebangkitan” pengarang wanita dalam khazanah sastra di Tanah Air. Kemenangan
Ayu Utami tidak saja telah memberi kepercayaan diri kepada pengarang wanita
lain untuk menerbitkan karya-karya mereka, tetapi secara substansif telah
mendeskontruksi jarak yang tadinya terbentang antara pengarang dengan
pembacanya.
Ayu Utami lahir di Bogor , 21 November 1968, besar di Jakarta
dan menamatkan kuliah di Fakultas Sastra Jurusan Sastra Rusia Universitas Indonesia .
Ia mengaku sejak kecil memang suka bahasa terutama bahasa yang aneh-aneh,
eksotis. Bagi Ayu Utami dunia tulis menulis bukan hal yang baru. Sebelum
menjadi penulis novel, ia pernah menjadi wartawan di majalah Matra, Forum
Keadilan, dan D&R. Tak lama setelah Tempo, Editor,
dan Detik di masa Orde Baru ia ikut mendirikan Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) yang memprotes pembredelan pers. Kini ia bekerja di jurnal
kebudayaan Kalam dan ikut membangun Komunitas Utan Kayu, sebuah pusat
kegiatan seni, pemikiran, dan kebebasan informasi. Baginya menulis novel
merupakan cara untuk mengeksplorasikan bahasa Indonesia, bahasa yang masih
muda, yang kurang mungkin dilakukannya sebagai wartawan.
Saman banyak mendapat perhatian dari ilmuwan terkemuka,
diantaranya Sapardi Djoko Damono dan Faruk H. T. Sapardi menganggap komposisi Saman
sepanjang pengetahuannya tidak ditemukan di negeri lain, padahal
karya-karya Ondaatje, Salman Rushdie, Vikram Seth, Milan Kudera adalah contoh
cara bercerita sealiran dengan Saman. Yang menyenangkan adalah bahwa
teknik itu, aliran bertutur itu, kini hadir dalam sebuah novel Indonesia. Menurut Faruk, apa yang dilakukan oleh Ayu
adalah keberanian melakukan aksentuasi terhadap sesuatu yang tadinya bermakna
tabu. “Ini juga patut dihargai, ia telah mengaksentuasikan sesuatu nilai yang
tadinya sangat tabu dikatakan oleh kaum perempuan” (http://www.kompas.com).
2.
Rumusan Masalah
Nilai-nilai feminin apakah yang
diperjuangkan oleh tokoh-tokoh cerita?
Bagaimanakah perilaku seksual
menyimpang dalam novel Saman karya Ayu Utami tinjauan psikologi sastra?.
3.
Tujuan
Meneliti
karakter tokoh-tokoh cerita;
a. Mengetahui
nilai-nilai feminin yang diperjuangkan tokoh-tokoh cerita.
b Menentukan
bentuk perilaku seksual menyimpang dalam novel Saman karya Ayu Utami tinjauan
psikologi sastra.
4. Manfaat
a. menambah pengetahuan tentang dimensi
gender;
b. memahami hakikat nilai-nilai
feminisme yang diperjuangan dalam kehidupan;
c. memahami bentuk perilaku seksual
menyimpang dalam novel Saman karya Ayu Utami tinjauan psikologi sastra;
d.memberikan sumbangan informasi dalam
pengembangan dalam pembelajaran.
5. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka bertujuan untuk mengetahui
keaslian sebuah karya ilmiah. Pada dasarnya suatu penelitian tidak beranjak
dari awal, akan tetapi umumnya telah ada acuan yang mendasarinya. Hal ini bertujuan sebagai titik tolak
untuk mengadakan suatu penelitian. Oleh karena itu, dirasakan perlu meninjau penelitian yang telah ada.
Banyak tulisan yang membahas novel Saman karya Ayu Utami ini, baik dalam
format akademis maupun artikel populer. Kesemuanya itu menunjukkan bahwa karya
sastra tersebut penuh dengan estetika serta untuk membedakan bahasa sastra dengan
bahasa sehari-hari. Unsur retorika berkenaan dengan penggunaan gaya bahasa.
Ketepatan makna yang dimaksud pengarang disampaikan dengan gaya bahasa yang
sesuai dengan maknanya.
Setiap fiksi memiliki tiga unsur pokok sekaligus
terpenting, yaitu tokoh utama, konflik utama, dan tema utama. Ketiga unsur utama itu saling berkaitan erat
membentuk satu kesatuan yang padu, kesatuan organisme cerita. Ketiga unsur
inilah yang terutama membentuk dan menunjukkan sosok cerita dalam sebuah fiksi
(Nurgiantoro, 2007: 25). Selain membutuhkan tokoh, cerita, dan plot, fiksi juga
memerlukan latar untuk menjalankan cerita. Unsur yang membangun novel
menunjukkan keterpaduan dan ketautan yang utuh. Unsur yang satu dengan yang
lain saling terkait dan menjalin kesatuan yang padu. Hal ini dapat terlihat dari jalinan yang merupakan
hasil perpaduan antara tema, alur, penokohan, dan latar. Hubungan fungsional
antarunsur satu dengan yang lain saling mendukung. Antara penokohan dan latar memiliki
hubungan yang erat dan timbal balik. Latar akan memengaruhi sifat tokoh. Dengan kata lain, sifat tokoh dibentuk oleh keadaan latarnya. Latar tempat
tokoh utama yang tinggal di desa terpencil bernama Karangsoga membuat sifat
tokoh utama sebagai seorang wanita lugu. Kehidupan tokoh utama sebagai seorang
istri yang mengalami berbagai konflik dengan suami yang memengaruhi alur (flashback)
dalam novel dan mendukung tema yang dipilih yaitu kemiskinan yang menjadi
kendala dalam hidup.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, terdapat struktur
utama fiksi yang meliputi empat unsur yaitu, tema, penokohan, alur, dan latar.
Hal ini didasarkan pada alasan bahwa keempat unsur tersebut merupakan unsur
dominan pembangun novel Saman Karya Ayu Utami.
a. Kritik Sastra Feminis
Feminis berasal dari kata femme (woman),
artinya perempuan (tunggal) yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak
perempuan (jamak) sebagai kelas sosial. Tujuan feminis adalah keseimbangan
interelasi jender. Feminis dalam pengertian
yang luas adalah gerakan kaum perempuan untuk menolak segala sesuatu yang
dimarjinalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan,
baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya
(Ratna, 2004: 184). Feminisme secara umum berarti ideologi pembebasan perempuan
karena ada keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan karena jenis
kelamin (Humm dalam Imron 2002: 158).
Feminisme pada dasarnya mempunyai relasi erat
dengan jender sebagai fenomena budaya. Gerakan feminisme menjadi gugatan terhadap konstruksi sosial dan budaya
yang meminggirkan peran perempuan (Abdullah, 1997: 186-187). Gerakan feminis
secara leksikal berarti gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya
antara kaum wanita dan pria. Feminis adalah teori tentang persamaan antara
laki-laki dan wanita di bidang politik, ekonomi, sosial atau kegiatan
terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan wanita. Teori
feminis adalah alat kaum wanita untuk memperjuangkan haknya yang berkaitan
dengan feminisme memiliki asumsi yang sejajar, mendekonstruksi sistem dominan
ketidakadilan sebagai akibat masyarakat patriarki, menolak sejarah dan filsafat
sebagai hetero-centric (untuk orang lain) (Ratna, 2004: 186).
Tujuan feminis adalah untuk meningkatkan kedudukan
dan derajat perempuan agar sama atau sederajat dengan kedudukan serta derajat
laki-laki. Cara mencapai tujuan feminis adalah memperoleh hak dan peluang yang
sama dengan yang dimiliki laki-laki dan membebaskan perempuan dari ikatan lingkungan
domestik atau lingkungan keluarga dan rumah tangga. Menurut para feminis, nilai
tradisional inilah yang menjadi penyebab utama inferioritas atau kedudukan dan
derajat rendah kaum wanita. Nilai-nilai ini menghambat perkembangan wanita
untuk menjadi manusia seutuhnya.
Menurut Stimpson dikutib Adip Sofia (2003: 26),
asal mula kritik feminis berakar dari protes-protes perempuan melawan
diskriminasi yang mereka derita dalam masalah pendidikan dan sastra. Setelah
tahun 1945, kritik feminis menjadi proses yang lebih sistematis, yang
kemunculannya didorong oleh kekuatan modernisasi yang begitu kuat seperti
masuknya perempuan dari semua kelas ke dalam kekuatan publik dan proses-proses
politik. Kritik sastra feminis merupakan kesadaran membaca sebagai wanita sebagai
dasar menyatukan pendirian bahwa perempuan dapat membaca dan menafsirkan sastra
sebagai perempuan (Sugihastuti, 2002: 202).
Kritik sastra feminis adalah membaca sebagai
perempuan, yakni kesadaran pembaca bahwa ada perbedaan penting dalam jenis
kelamin pada makna dan perebutan makna karya sastra (Culler dikutip
Sugihastuti, 2002: 7). Para pengkritik sastra feminis memiliki tujuan penting
dari kritik sastra feminis, yaitu ingin membantu agar pembaca dapat memahami,
mendeskripsikan, menafsirkan, serta menilai karyakarya yang ditulis oleh
pengarang (Djajanegara, 2000: 27).
Langkah-langkah untuk mengkaji sebuah karya sastra
dengan menggunakan pendekatan feminis antara lain:
1.
mengidentifikasikan
satu atau beberapa tokoh wanita, dan mencari kedudukan tokoh-tokoh itu dalam
masyarakat;
2.
meneliti
tokoh lain, terutama tokoh laki-laki yang memiliki keterkaitan dengan tokoh
perempuan yang sedang diamati;
3.
mengamati
sikap penulis karya yang sedang dikaji (Djajanegara, 2000: 53-54).
Macam
kritik sastra feminis menurut Djajanegara (2000: 28-39) adalah
a.
Kritik
sastra feminis ideologis, yaitu kritik sastra feminis yang melibatkan wanita,
khususnya kaum feminis sebagai pembaca. Adapun yang menjadi pusat perhatian
pembaca wanita dalam penelitiannya adalah citra serta stereotype wanita
dalam karya sastra. Selain itu meneliti kesalahpahaman tentang wanita dan sebab
mengapa wanita sering ditiadakan, bahkan nyaris diabaikan dalam kritik sastra.
b.
Kritik
sastra feminis-gynocritic atau ginokritik, yaitu kritik sastra feminis yang
mengkaji penulis-penulis wanita. Kajian dalam kritik ini adalah masalah
perbedaan antara tulisan pria dan wanita.
c.
Kritik
sastra feminis-sosialis atau kritik sastra marxis adalah kritik sastra feminis
yang meneliti tokoh-tokoh wanita dari sudut pandang sosialis, yaitu kelas-kelas
masyarakat tokoh wanita dalam karya sastra lama adalah wanita yang tertindas
yang tenaganya dimanfaatkan untuk keperluan kaum laki-laki yang menerima
bayaran.
d.
Kritik
sastra feminis-psikoanalitik adalah kritik sastra feminis yang diterapkan pada
tulisan-tulisan wanita, karena para feminis percaya bahwa pembaca wanita
biasanya mengidentifikasikan dirinya atau menempatkan dirinya pada si tokoh
wanita, sedang tokoh wanita tersebut pada umumnya merupakan cermin penciptanya.
e.
Kritik
sastra feminis-ras atau kritik sastra feminis-etnik yaitu kritik sastra feminis
yang mengkaji tentang adanya diskriminasi seksual dari kaum laki-laki kulit
putih atau hitam dan diskriminasi rasial dari golongan mayoritas kulit putih,
baik laki-laki maupun perempuan. Kritik sastra feminis lesbian, yakni kritik
sastra feminis yang yang hanya meneliti penulis atau tokoh wanita saja. Dalam
kritik sastra feminis ini, para pengkritik sastra lesbian lebih keras untuk
memasukkan kritik sastra feminis lesbian ke dalam kritik sastra feminis serta
memasukkan teks-teks lesbian ke dalam kanon tradisional maupun kanon feminis.
Katya tulis ini menggunakan kritik sastra feminis
psikoanalitik dalam relevansinya dengan kritik sastra feminis yang melibatkan
wanita. Tulisan ini menggunakan kritik sastra feminis psikoanalisis untuk
membahas dimensi jender pada tokoh wanita dari sudut pandang psikologis. Cara
ini bukan saja memperkaya wawasan para pembaca wanita, tetapi juga membebaskan
cara berfikir mereka (Djajanegara, 2000: 28).
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui
bahwa kritik sastra feminis merupakan kritik sastra dengan kesadaran khusus
akan adanya jenis kelamin yang berhubungan dengan budaya, sastra dan kehidupan
manusia.
Dalam pengertian yang paling luas, feminisme
adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalkan,
disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang
politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial lainnya. Senada
dengan definisi tersebut, The New Encyclopedia of Britannica memaknai
feminisme sebagai ‘the belief, largely originating in the West, in
the social, economic, and political equality of the sexes, represented
worldwide by various institutions committed to activity on behalf of women’s
rights and interests. Jadi, ‘Feminism’ adalah keyakinan yang
berasal dari Barat, berkaitan dengan kesetaraan sosial, ekonomi dan politik
antara laki-laki dan perempuan, yang tersebar ke seluruh dunia lewat berbagai
lembaga yang bergerak atas nama hak-hak dan kepentingan perempuan.
Di sini
juga dijelaskan bahwa akan bisa diketahui bahwa term ‘feminism’ berkaitan
erat dengan women’s movement dan gender identity. Dalam pengertian yang lebih sempit, dalam sastra,
feminisme dikaitkan dengan cara-cara memahami karya sastra baik dalam kaitannya
dengan proses produksi maupun resepsi. Emansipasi wanita dengan demikian merupakan
salah satu aspek dalam kaitannya dengan persamaan hak. Dalam ilmu sosial
kontemporer lebih dikenal sebagai gerakan kesetaraan gender.
6. 6. Analisis
Pembicaraan mengenai pokok-pokok
pikiran feminisme dalam novel Saman pada dasarnya merupakan
eksploitasi terhadap pikiran, sikap, dan tindakan tokoh cerita dalam
hubungannya dengan eksistensi perempuan. Dalam dunia karya sastra, pikiran,
sikap, dan tindakan tokoh cerita tersebut berhubungan dengan pengambaran fisik
dan watak tokoh oleh narator, lingkungan yang melatarinya, serta masalah dan
tema (Sugihastuti dan Suharto, 2002: 287).
Ayu Utami memandang
persoalan-persoalan gender dalam kacamata kaumnya (perempuan) melalui tokoh-
tokoh perempuan yang menyetujui gerakan feminisme, dan melakukan perlawanan
terhadap nilai-nilai tertentu yang menyosialisasikan perbedaan gender seperti
adat dan tafsir agama. Namun perlawanan terhadap nilai-nilai itu bukan tanpa
konflik. Konflik utama adalah masalah penilaian masyarakat terhadap perempuan.
Penilaian tentang harga perempuan
tidak akan lepas dari norma dan nilai dalam menentukan tinggi rendahnya “harkat
dan martabat” perempuan. Kata nilai identik dengan “harkat dan martabat”, nama
baik atau citra”. Istilah “perempuan” mengandung arti “wanita” lawan dari
laki-laki, bisa jadi yang sudah berstatus sebagai istri atau tidak. Kata
“perempuan” bisa diartikan dengan per-empu-an, dari kata dasar “empu”
mendapatkan konfiks “per – an”. Kata “empu” dalam bahasa Jawa kuno berarti
“tuan” atau “yang mendapat kehormatan”. Pengertian norma tidak akan lepas dari
pengertian nilai. Penilaian itu sendiri adalah suatu abstraksi tentang
pandangan dan keyakinan seseorang maupun masyarakat tentang apa-apa yang harus
dilakukan dan harus dihindari.
Kecenderungan tersebut dapat
digambarkan dengan kecenderungan terhadap apa-apa yang disukai dan tidak
disukai (Alvin L Bertrand dikutip Sulaiman, 1995: 115). Pengertian nilai, dapat
diklasifikasikan dalam tiga hal, yaitu: perasaan (sentimen) yang abstrak,
norma-norma, dan keakuan (kedirian). Perasaan dipakai sebagai suatu landasan
bagi individu untuk membuat suatu keputusan dan standar tingkah laku yang
bersifat pribadi. Demikian pula norma-norma yang merupakan standar tingkah laku
yang berfungsi sebagai kerangka pedoman dalam berinteraksi. Adapun keakuan
(kedirian) berperan dalam membentuk kepribadian melalui proses pengalaman
sosial (Alvin L Bertrand dikutip Sulaiman, 1995: 115).
Tokoh yang hidup adalah tokoh yang
berpribadi, berwatak, dan memiliki sifat-sifat tertentu. Tokoh tampil dalam
cerita layaknya manusia hidup dengan berbagai dimensi dan
permasalahan-permasalahannya. Oemarjati menyatakan yang dimaksud dengan tokoh
hidup dalam cerita atau lakon ialah yang mempunyai tiga dimensi yakni dimensi
fisiologis, sosiologis, dan psikologis.
Novel Saman menampilkan tokoh-tokoh dengan klasifikasi jenis meliputi,
tokoh utama dan tokoh bawahan. Klasifikasi ini didasarkan pada pembagian fungsi
dan peran tokoh dalam membangun cerita Saman.
Berdasarkan segi peranan dan tingkat pentingnya tokoh, novel Saman memiliki tiga tokoh utama yaitu
Saman, Layla, dan Yasmin serta beberapa
tokoh tambahan, yaitu Cok, Shakuntala, Rosano, Sihar, Upi, Anson, dan Mak
Argani, ditambah tokoh lain yaitu ayah, ibu,
dan nenek, Rogam, Pater Westenberg, Romo Daru, Suster Marietta, dan
sedertan pelengkap penderita lainnya.
Tokoh-tokoh tersebut dimunculkan sesuai dengan perkembangan alur
cerita yang terdiri atas alur mayor dan alur minor. Saman memiliki dua alur cerita, yaitu saat memperjuangkan misi
hingga ke perubahan nama Wisanggeni menjadi Saman dan percintaan Laila, kisah
seksualitas pribadi Shakuntala, Yasmin, dan Cok.
Saman memiliki tokoh utama
Saman, yang kemunculannya banyak dipengaruhi oleh sejumlah tokoh perempuan,
yaitu Laila, Shakuntala, Yasmin, Cok, serta sederetan tokoh laki-laki lain. Hal
itu dikarenakan tokoh Saman (Wisanggeni) merupakan pusat cerita yang
keberadaannya sangat memmengaruhi perkembangan alur cerita. Saman dimunculkan
dalam peristiwa-peristiwa fungsional. Adapun fungsi keberadaan tokoh Laila dan Yasmin
adalah sebagai perantara munculnya tokoh utama (Saman). Tokoh ini disebut
sebagai tokoh tambahan.
Penggambaran tokoh dalam kedua novel
tersebut banyak menggunakan metode dramatik. Pengarang lebih banyak membiarkan
tokohnya saling menilai dan menggambarkan diri serta berkonflik dibanding
menilai dan memberi komentar langsung tentang sosok tokoh pada pembaca.
Selanjutnnya pembahasan fokus pada tokoh perempuan Laila dan disinggung
beberapa tokoh tambahan lain yang ikut membentuk sifat dan karakteristik tokoh
Laila seperti Shakuntala, Yasmin, dan Cok, dengan mendeskripsian secara umum
dalam tiga dimensi yaitu, fisiologis, sosiologis, dan psikologis.
6.1 Figur tokoh Laila
Laila memiliki berbagai kemungkinan
sisi kehidupan, kepribadian dan jati diri. Dalam Saman dan semua sisi tersebut disampaikan dengan
jelas, karena pengarang menginginkan bangunan cerita Saman dan sebagai perjalanan hidup Laila dari berbagai
sisi.
Dalam menggambarkan tokoh Laila, maka perlu dibahas masalah citra fisis
tokoh dengan menguraikan bagaimana keadaan fisik dari Laila, dari jenis kelamin,
usia, dilihat dari tanda-tanda jasmaninya, misalnya dialaminya haid sebagai
tanda-tanda kedewasaan seks sekunder.
Dalam penggambaran tokoh atau penokohan tokoh perempuan ada kesejajaran
antara citra fisis wanita yang diwakili oleh aku-lirik dengan penyairnya yang
wanita dewasa pula. Konteks citra wanita dengan penyairnya tidak dapat
dilepaskan dari gynocritics, yaitu
kajian tentang gambaran sastra mengenai perbedaan dalam hasil penulisan wanita
dengan pria (Selden, 1989: 139). Gynocritics
mempertimbangkan konstruksi bingkai kerja yang menganalisa perempuan dalam
karya sastra berdasarkan pengalaman
perempuan dan mengadaptasi model serta teori laki-laki.
Ketika seorang anak dilahirkan pada saat itu langsung dapat dikenali
laki-laki atau perempuan berdasarkan jenis kelamin yang dimilikinya.“Perempuan
itu dipanggil Laila” (Utami, 2001: 8).
Aksesoris biologis yang membedakan antara bayi laki-laki dan bayi perempuan
disebut atribut gender. Jika atribut gender sudah jelas, maka dilekatkan
kekhususan-kekhususan kepada diri anak itu disebut identitas gender (gender identity). Begitu seorang anak
dilahirkan bukan saja dijemput dan dipersiapkan dengan identitas budaya, tetapi
juga sudah dijemput oleh seperangkat nilai budaya. Jika ia seorang perempuan
maka masyarakat mempersepsikannya sebagai perempuan dan selanjutnya ditunggu
untuk memerankan peran budaya perempuan.
Laila adalah perempuan dengan gambaran dimensi fisiologis perempuan dewasa.
Dimensi fisiologis Laila adalah perempuan dewasa bila dilihat tingkat kedewasaannya
dari usia. Pada sebagian besar kebudayaan kuno, status ini tercapai bila
pertumbuhan pubertas telah selesai atau hampir selesai dan apabila organ
kelamin anak itu telah berkembang dan mampu berproduksi jadi ukuran kedewasaan
hanya berdasarkan pada kematangan fisik belaka. Laila berusia tiga puluh tahun,
sudah pantas disebut sebagai perempuan dewasa.“Aku juga percaya pada usia tiga
puluh…” (Utami, 2001: 117).
Pembagian masa dewasa dini dimulai pada usia delapan belas tahun sampai
kira-kira usia empat puluh tahun, saat perubahan fisik dan psikologis yang
menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif. Laila sedang mengalami masa
dewasa dini, terjadi perubahan-perubahan dalam penampilan, minat, sikap dan
perilaku karena tekanan-tekanan lingkungan tertentu dalam kehidupannya yang
menimbulkan masalah-masalah penyesuaian diri yang harus dihadapi.
Citra fisis perempuan yang tergambar adalah citra fisis perempuan dewasa,
meskipun secara sosial Laila belum cukup disebut dewasa karena belum menikah.
Hal ini tergambar lewat pengenalan tokoh Laila oleh narator dan melalui
fokalisasi Laila sendiri.“Saya menjawab, saya tak punya pacar, tapi punya orang
tua.” (Utami, 2001: 4). Sebenarnya Laila juga ingin menikah dan melepaskan
keperawanannya, namun ia masih berpegang pada norma dan nilai yang
melingkupinya. Dia tetap menjaga keperawanannya dan melepaskannya pada saat
menikah nanti.
Dari ciri-ciri tubuh dan wajahnya dapat diterangkan dengan kutipan berikut
“Potongannya bob, tapi perias di salon membujuk agar dia juga memberi high light warna chestnut” (Saman, h. 7).
Dari penampilan Laila serta dari kutipan di atas, dapat kita ketahui Laila adalah perempuan yang tidak terlalu
konsumtif dan sederhana.
Laila memiliki wajah yang sederhana dan tubuh yang mulai cenderung gemuk.
Penampilan seorang tokoh dari fisik dan penampilannya berhubungan dengan faktor
psikisnya, pembahasannya akan lebih mendalam pada dimensi psikis Laila.
Temanku itu harus berdiet. Ia mulai gemuk. Lehernya mulai berlipat. Ia tak
boleh minum susu fullcream. (Saman,
h. 117)
Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa Laila kurang memperhatikan
penampilannya, dan cenderung apa adanya. Laila berdandan bukan berorientasi ke
luar untuk menarik perhatian lawan jenisnya, tetapi untuk dirinya sendiri.
Tuntutan agar wanita tampil cantik, juga menuntut sebagian besar waktu dan dana
untuk menjaga penampilannya sedangkan Laila tidak begitu memperdulikannya.
6.2 Dimensi
Psikologis Tokoh Laila
Sastra berbicara tentang manusia lewat penokohan yang ditampilkan oleh
pengarang, sedangkan manusia itu sendiri tidak lepas dari kondisi psikis dan
fisisnya. Perempuan sebagai makhluk individu, selain terbentuk dari aspek
fisis, juga terbangun oleh aspek psikisnya. Perempuan juga manusia, maka untuk
memahami perempuan secara utuh harus dipahami aspek fisis sampai mentalnya.
Freud menyatakan bahwa kepribadian berkembang sebagai respon terhadap empat
sumber tegangan pokok yaitu: (a) Proses-proses pertumbuhan fisiologis, (b)
Frustrasi-frustrasi, (c) Konflik-konflik, dan (d) Ancaman-ancaman. Dari
pernyataan Freud itu dapat disimpulkan bahwa wanita sebagai makhluk psikologis,
mempunyai aspek fisis dan psikis yang saling mempengaruhi dan menentukan citra
perilakunya.
Dalam pembicaraan aspek psikis ini, diawali dengan membicarakan perbedaan
fisis atau biopsikologi laki-laki dengan perempuan. Sudah menjadi pengetahuan
umum, bahwa perempuan dan laki-laki secara biologis memberikan sekresi hormon
yang bercampur dengan kuantitas dan kualitas yang berbeda-beda. Efek perbedaan
biologis terhadap perilaku manusia, khususnya dalam perbedaan relasi gender,
menimbulkan banyak masalah. Perbedaan anatomi biologis dan komposisi kimia
dalam tubuh dianggap berpengaruh pada perkembangan emosional dan kapasitas
intelektual antara keduanya.
Laki-laki diasumsikan mempunyai fisik lebih kuat dari pada perempuan. Di
samping itu, perempuan mempunyai fungsi reproduksi, seperti rahim yang dapat
mengandung bayi, sewaktu-waktu mengalami menstruasi, dan dapat menyususi bayi.
Perempuan menjadi sering lemah karena mengalami fungsi reproduksi yang tidak
dialami oleh laki-laki. Bertolak dari perbedaan biologis tersebut di kalangan
para ahli ada yang melihatnya mempunyai keterkaitan dengan pola tingkah laku
manusia berdasarkan jenis kelamin. Para feminis dan ilmuwan Marxis menolak
anggapan di atas dan menyebutnya hanya sebagai bentuk stereotip gender seperti
laki-laki memahami seluk beluk dunia, sedangkan wanita kurang berperan dalam
perkembangan dunia. Perempuan identik dengan urusan domestik, tanpa tahu bahwa
di luar sedang dibuat sejarah.
Aspek
psikis wanita tidak dapat dipisahkan dari apa yang disebut sebagai feminitas.
Prinsip feminitas ini dijelaskan oleh Yung sebagai sesuatu yang merupakan
kecenderungan yang ada dalam diri wanita; prinsip-prinsip itu antara lain
menyangkut ciri relatedness, receptivity,
cinta kasih, mengasuh berbagai potensi hidup, orientasinya komunal, dan memelihara
hubungan interpersonal (Sugihastuti, 2000: 95). Untuk mencapai satu
perkembangan kepribadian yang harmonis, seyogyanya wanita memiliki empat elemen
yang seimbang beratnya, yaitu masokhisme, narsisme, erotik, dan relasi keibuan
(Kartono, 1989: 235).
Gambaran ruang terbuka yang juga mempengaruhi
gambaran tokoh Laila adalah Taman Central Park New York. Detil suasana yang
digambarkan pengarang
Unggas
kecil mencari matahari dari celah-celah daun, membiarkan garis-garis cahaya
memanasi birahi hingga tanak seperti nasi. Beberapa, yang terdengar
bernyanyian, akan pacaran dan kawin di musim ini.
(Utami, 2001: 5)
Wacana seekor unggas yang memanasi birahi, pacaran
dan kawin mewakili perasaan Laila yang menunggu Sihar untuk pacaran atau
memanasi birahi. Detil-detil suasana itu, semuanya memberi rasa tenteram pada
diri Laila. Hal itu dapat ditafsirkan bahwa Laila memiliki sifat romantis dan
sentimentil.
Perempuan diidentifikasikan bertingkah laku tidak
terlalu agresif dan lebih emosional. Identifikasi itu tidak tampak dalam
tingkah laku Laila, Laila sebenarnya agresif dan ia mampu menyembunyikan
emosinya. Di sini juga terlihat bahwa perempuan seperti Laila juga dapat
mencintai secara aktif seperti laki-laki dan tidak melulu pasif serta menunggu,
perempuan juga dapat menikmati tubuh laki-laki. Perlawanan Laila terhadap
stereotipe perempuan sebagai objek laki-laki dengan kesadaran bahwa ia juga
dapat menikmati laki-laki dan memiliki sifat maskulin.
Ketika
kami meninggalkan tempat itu, saya melihat si lelaki berkacamata mencopot
singletnya, dan memakainya untuk melap keringat. Mula-mula di leher, lalu di
ketiak, dan di dadanya yang telanjang.”
(Utami, 2001: 11)
Laila menikmati tubuh laki-laki seperti laki-laki
menikmati tubuh perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa Laila tak berbeda dengan
laki-laki, Laila juga memiliki naluri kemanusiaan seperti laki-laki. Hal bukan
merupakan sifat umum dari perempuan pada umumnya yang bersifat pasif.
Kalimat “agak tersipu” dan “di luar akal sadarnya” memberikan pengertian
bahwa ketertarikannya itu tidak terjadi terus menerus, dan tentunya bersifat
alami di luar kehendaknya. Kepasifan wanita dianggap sebagai inti dari kewanitaannya. Sehubungan
dengan ini maka ada dugaan, bahwa aktivitas senantiasa berkaitan dengan
kejantanan (sifat-sifat jantan), sedang kepasifan berkaitan dengan kewanitaan;
kedua konsep tersebut melekat pada kesadaran manusia.
Aku selalu bertanya apa yang dia lakukan. Aku
dicium, jawabnya suatu pagi. Tak boleh lagi kamu dicium, kataku, besok-besok
kamu harus berciuman. Suatu siang ia laporan: semalam aku ciuman.
(Utami, 2011: 128)
Pemahaman perempuan dalam hubungannya dengan laki-laki, fungsi perempuan
dalam kapasitasnya sebagai orang yang diminta, bukan yang meminta, orang yang
dinikmati bukan yang menikmati. Dalam diri Laila terjadi perubahan dalam
menyikapi perlakuan laki-laki kepadanya, dengan membebaskan diri dari
stereotipe wanita adalah objek bagi laki-laki.
Relasi individu dengan lingkungan kulturalnya itu sedikit banyak merupakan
ulangan dari relasi dirinya dengan keluarga dan milieunya pada usia kanak-kanak
(Kartono, 1989: 278). Hal ini dapat dihubungkan dengan kisah Laila yang
mengingkari buah dadanya dan menstruasinya. Laila mengalami “gangguan identitas
jenis tidak khas”, yaitu tidak sepenuhnya menunjukkan tanda-tanda
transseksualisme, akan tetapi ada perasaan-perasaan tertentu yang menolak
struktur anatomi dirinya. Gangguan pada kepribadian Laila ini disebabkan oleh
pengalaman masa kecilnya sebagai bentuk ketakutan. Laila menghadapi masa
pubertas dengan penolakan dan pengingkaran haidnya dan penderitaan yang
menyertainya.
Ingatan Laila pada masa lalunya itu sangat membekas di hati Laila, bahkan
ia tidak dapat menceritakannya pada siapapun termasuk kepada Wisanggeni (Saman)
yang saat itu masih menjadi Frater di sekolahnya. Laila hanya menyimpan dalam
hati peristiwa itu dan baru muncul menjadi ketakutan pada bawah sadarnya yang
menekan batinnya. Tekanan-tekanan tersebut akhirnya muncul dalam bentuk
sikapnya dalam hubungannya dengan laki-laki. Laila menyadari bahwa karena
atribut biologis yang berbeda dari laki-laki, maka ia merasa bahwa perempuan
diciptakan sebagai objek seksual laki-laki. Dari perlakuan laki-laki
disekitarnya Laila mengamati bahwa laki-laki menilainya sebagai perempuan hanya
dari segi fisiknya saja.
Aspek fisis perempuan di sini berhubungan erat dengan aspek psikisnya,
bahwa perempuan itu lebih banyak mengarah ke luar, kepada subjek lain. Pada
setiap kecenderungan keperempuanannya, misalnya saja pada caranya berhias,
secara primer wanita menunjukkan aktifitasnya ke luar, untuk menarik perhatian
pihak lain, terutama seks lain (Kartono, 1981, h. 182). Laila sadar bahwa ia
berhias untuk dirinya sendiri karena ia menghargai dirinya dalam cara
pandangnya sendiri sebagai perempuan, bahwa ia bukanlah objek dari laki-laki.
Ini sangat berpengaruh pada kadar narcissismenya karena dapat memberikan
penguatan tentang keperempuanannya. Hal ini disebabkan adanya tuntutan
masyarakat tentang penentuan sesuatu yang pantas bagi perempuan. Perempuan
dituntut untuk menjadi “cantik”, tuntutan itu berkembang dari perkembangan
industri yang membawa perempuan menjadi eksploitasi industri terutama melalui
kosmetik.
Citra perempuan bahkan dibentuk oleh media massa,
yang dijadikan objek untuk produk kapitalis. Media massa menampilkan perempuan
yang dianggap cantik dengan ciri-ciri fisiologis tertentu seperti tinggi,
langsing, seksi dan sebagainya. Citra perempuan seperti itu tidak kita dapatkan
pada Laila. Laila bertubuh cenderung gemuk yang dapat kita tangkap dari penilaian
tokoh Shakuntala dan monolog tokoh Laila sendiri.
Temanku itu harus berdiet. Ia mulai gemuk.
Lehernya mulai berlipat. Ia tak boleh minum susu fullcream. (Utami, 2001: 117)
Laila digambarkan sebagai tokoh yang tidak terlalu memenuhi tuntutan
masyarakat tentang nilai perempuan dari segi fisiknya yaitu “cantik”, namun
Laila tampak terpengaruh dengan konsep cantik itu dengan munculnya perasaan
selalu dihantui rasa cemas atas penampilannya. Sifat narcisisme adalah penegas
sifat keperempuanannya.
Di
dalam struktur masyarakat manusia yang sudah dibangun sejak berabad-abad
lamanya, keluarga merupakan milieau pertama bagi manusia, di mana ia menjalani
proses sosialisasi atau proses pemanusiaan. Latar kehidupan atau budaya yang
melatari cerita ini adalah budaya di Indonesia, budaya yang masih menilai
kedewasaan dari segi sosiologis. Kebudayaan yang menilai seorang anak telah
mencapai taraf dewasa bila ia telah menikah, masih mengharuskan atau menganggap
pantas seorang anak terutama anak perempuan tetap tinggal dengan kedua
orangtuanya. Laila yang telah dewasa secara fisiologisnya, dan telah menemukan
norma-normanya sendiri, namun Laila masih tinggal dengan kedua orangtuanya.
Meskipun Laila sudah tumbuh optimal bail secara fisik maupun mental, namun
belum dewasa secara penuh. Laila masih tinggal dalam keluarganya dan masih
dikontrol tingkah lakunya, sedangkan dalam diri Laila telah ada kesadaran bahwa
dalam melakukan tingkah laku moralnya dikemudikan oleh tanggung jawab batinnya
sendiri, yang kemudian mempengaruhi sikap dan keputusan Laila. Dalam menentukan
pengambilan perannya sebagai perempuan baik peran menjadi istri atau menjadi
ibu, dan dalam menentukan hal-hal kecil seperti jam pulang masih diberlakukan
kepada Laila.
“Saya masih tinggal bersama orangtua. Mereka akan bertanya-tanya jika saya
tidak pulang.”
“Meskipun kamu sudah dewasa dan sering bepergian?” ujarnya. Saya mengiya. (Saman, h. 5)
Bahkan di dalam keluarga pun Laila merasakan adanya dominasi laki-laki dan
peraturan sistem patriarki yang mengekang perempuan. Lingkungan dikendalikan
oleh kekuasaan-kekuasaan mutlak dan kesewenang-wenangan laki-laki, dengan
pernyataan Laila sebagaimana ktuipan berikut, “Saya sendiri sudah lelah untuk
takut pada ayah” (Utami, 2001: 29).
Dalam aspek psikisnya, kejiwaan perempuan dewasa ditandai antara lain oleh
sikap pertanggungjawaban penuh terhadap diri sendiri, bertanggung jawab atas
nasib sendiri, dan atas pembentukan diri sendiri (Kartono, 1981: 175). Pada
usianya yang tiga puluh itu, Laila mengalami ketegangan emosi, dalam bentuk
keresahan mengenai masa depannya yang berkaitan dengan pilihan perannya nanti
yaitu perkawinan. Walaupun sebatas imajinasi atau khayalan, Laila menunjukkan
visinya mengenai masalah kebebasannya atau kemandiriannya memutuskan tubuhnya
sebagai bentuk pemberontakan atas ketersudutan perempuan yang diatur dalam
ketabuan-ketabuan bagi perempuan, bahkan dalam pikirannya pun perempuan merasa
diatur oleh ketabuan-ketabuan. Sebagai perempuan Asia, Laila tidak dapat lepas
dari peraturan yang membatasinya itu meski ia telah berada di tempat lain yang
dianggapnya tidak terdapat peraturan yang bias gender.“Tapi saya sudah di sini,
di New York. Barangkali di sini tak ada lagi lelaki yang harus bertanggungjawab
atas keperawanan siapapun.” (Larung,
h. 101).
Konsep keperawanan menurut Laila adalah sesuatu yang justru malah
membuat perempuan semakin tersudut dan
menjadi objek bagi laki-laki yang ingin memanfaatkan perempuan.
”Dan saya telah memilihnya sebagai lelaki yang
pertama.”
(Utami, 2001: 29).
Setelah itu sayang kita tertidur.
Dan ketika terbangun, kita begitu bahagia. Sebab ternyata kita tidak berdosa.
Meskipun saya tak lagi perawan.
(Utami, 2001: 30)
Perempuan berhak memilih dan memutuskan dengan siapa dia akan melepaskan
keperawanannya sebagai bentuk otonomi atas tubuhnya, tanpa ada perasaan
berdosa. Seks bagi Laila adalah sebuah perbuatan yang identik dengan dosa
karena peraturan-peraturan yang mempengaruhi pemahamannya mengenai konsep
keperawanan. Pengaruh lingkungan dan teman-temannya mempengaruhi keputusannya
dalam memutuskan otonomi terhadap tubuhnya
Sifat komunal adalah salah satu sifat keperempuanan. Faktor “persahabatan”
di antara para perempuan seringkali berperan penting dalam perkembangan seksual
dan psikologi mereka, karena seringkali informasi-informasi tentang hubungan
seksual yang ada dalam otak mereka berkaitan dengan perasaan takut, cemas, dan
jijik. Dalam persahabatan itu Laila berbagi pengalaman di antara mereka tentang
seks, dan melalui interaksi-interaksi dengan lingkungannya.
Interaksi dapat terwujud pada sesama perempuan, pada interaksi dengan
lelaki sebagai lawan jenisnya, atau interaksi dalam keluarga dan masyarakat
luas. Interaksi perempuan dengan lingkungan sosialnya akan mempengaruhi citra
dirinya sebagai perempuan. Interaksinya dengan perempuan adalah hubungan yang
tidak memperhitungkan untung rugi seperti interaksi dengan laki-laki. Interaksi
itu mempengaruhi perempuan dalam bersikap dan mempengaruhi pula cara wanita
menghadapi berbagai alternatif yang terbuka baginya.
Konflik batin terjadi pada diri Laila yang tetap memegang norma-norma
tradisi yang telah tertanam dalam dirinya, meskipun ia ada di suatu tempat
dimana kebebasan pribadi sangat dihargai dan dijunjung tinggi , ia masih merasa
berdosa bila melanggar nilai dan norma itu. Laila yang merasakan budaya yang
bertentangan antara budaya tradisional dan budaya modern, mengalami kebingungan
dalam memilih dan menentukan nasib dirinya.
Kami berada di sebuah kamar hotel.
Saya hampir-hampir gemetaran karena malu dan berdebar. Saya belum pernah
sekamar dengan seorang lelaki sebelumnya.
(Utami, 2001: 3)
Dia katakan bibir saya indah.
Ciumlah-cium di sini. Saya menjawab tanpa kata-kata. Tapi saya telah berdosa.
Meskipun masih perawan.
(Utami, 2001: 4)
Dari segi moralitas Laila masih mempertimbangkan faktor norma dan nilai
tradisional yang masih hidup dilingkungannya. Namun dalam diri Laila juga
timbul pertentangan. Bagi laki-laki yang berselingkuh atau mencari objek lain
untuk dicintai, masyarakat tidak terlalu mengambil pusing dengan hukuman bagi
mereka. Hal ini tentunya disebabkan karena adanya anggapan bahwa laki-laki
cenderung berpoligami, sedangkan bagi perempuan yang berselingkuh akan dihukum
oleh masyarakat secara bertubi-tubi.
Dia diam tidak bercerita apakah dia
pernah membawa perempuan seperti ini. Tetapi dia adalah seorang lelaki yang
bekerja di kilang minyak, yang menghabiskan beberapa bulan di tengah hutan dan
lautan, dari sana kehidupan terdekat hanyalah warung-warung kecil dengan
pelacur di biliknya yang muram dan berlumut pada dinding, atau perkampungan
yang banyak gadis-gadis ranumnya senang dikawini oleh para buruh perminyakan.
(Utami, 2001: 4)
Adanya anggapan bahwa laki-laki adalah tempat bagi perempuan untuk mendapatkan eksistensi serta tempat bagi
wanita menggantungkan hidupnya, telah membuat perempuan menjadi objek bagi
suaminya.
Dia bukan orang yang secara seksual
setia pada istri, seperti enam puluh persen lelaki di sini. Tetapi ia tidak
pernah menyia-nyiakan keluarga. Istri dan, anak-anaknya, ayah ibu dan mertua.
(Utami,
2001: 20)
Hal ini tentunya mempengaruhi Laila dalam pemikirannya dan keputusannya,
dalam menentukan nasib sendiri atas pembentukan diri sendiri. Laila yang tidak
mau kehilangan keperawanannya, sesuatu yang dituntut oleh lingkungan pada
seorang perempuan yang belum menikah. Meskipun Laila masih perawan dia tetap
merasa berdosa karena merasa telah melanggar semua nilai dan norma masyarakat.
Dalam diri Laila kemudian muncul pemikiran yang salah karena merasa norma dan
nilai yang melingkupinya adalah peraturan yang dibuat oleh laki-laki demi
kepentingan laki-laki. Ketersudutan Laila atas norma dan nilai yang
melingkupinya serta pengalaman masa kecilnya yang traumatis membuat Laila berpikir bahwa semua adalah
kesalahan laki-laki dan laki-laki adalah musuh bagi perempuan.
“Apa salah laki-laki?”
Jawab Laila: “Sebab mereka
mengkhianati wanita. Mereka cuma menginginkan keperawanan, dan akan pergi
setelah si wanita menyerahkan kesuciannya. Seperti dalam nyanyian.”
(Utami,
2001: 148-149)
Laila menganggap bahwa konsep tentang kesucian atau keperawanan hanyalah
sebagai suatu bentuk penindasan laki-laki terhadap perempuan. Hal ini
berhubungan dengan konsep patriarki, konsep budaya yang banyak mewarnai
lingkungan masyarakatnya. Bahkan agama pun membolehkan laki-laki berpoligami.
Hal ini karena Tuhan menciptakan perempuan dengan selaput dara maka perempuan
memang ditakdirkan untuk hanya menikah dengan seorang lelaki (monogami) yang
harus bertanggung jawab atas keperawanannya, seakan-akan menyiratkan bahwa
peraturan itu dibuat oleh laki-laki dan Tuhan adalah laki-laki. Kelemahan
perempuan ini sering dimanfaatkan oleh laki-laki. Perasaan Laila tentang konsep
patriarki tersebut digambarkan lewat kutipan
“Urusan laki-laki,” kata Saman. Itu
membuat saya tersinggung, tetapi juga heran. Dulu Saman tidak begitu. Malah,
cenderung ada kesadaran dalam dirinya untuk menghapuskan kelas-kelas urusan
lelaki dan perempuan.”
(Utami, 2001: 33).
Temperamen, sikap dan perilaku Laila tersebut juga dipengaruhi oleh
keinginan dan perasaan pribadinya dalam masalah patriarki yang dianggapnya
membatasi dan menyudutkan perempuan
dalam menentukan pilihan-pilihannya dan membatasi perempuan dalam permasalahan
domestik saja dan tidak dapat masuk dalam permasalahan publik yang hanya milik
laki-laki.
Dari gambaran situasi di atas, dapat ditangkap bahwa perasaan Laila yang
merasa terasingkan dan tidak dapat masuk ke dalam dunia publik. Sementara Saman
mampu masuk ke dalam dunia domestik. Ia terasingkan dan merasa tersisih dari
Saman dan Sihar. Perasaannya itu mempengaruhi rasa percaya dirinya. Rasa tidak
percaya diri Laila itu disebabkan karena merasa sebagai perempuan yang berada
di bawah laki-laki dan tidak mempunyai kemampuan seperti laki-laki dan menjadi
objek bagi laki-laki.
Tapi terdengar orang-orang bersiul ketika mereka
sudah lewat. Laila mulai merasa asing sebagai satu-satunya perempuan di tempat
ajaib ini. Tempat ini ajaib sebab cuma ada satu perempuan. Saya.
(Utami, 2001: 8)
Orang-orang
yang kami hampiri segera menatap saya dengan mempertontonkan semangat. Sebab
saya satu-satunya perempuan.
(Utami, 2001: 11)
Perempuan yang memiliki sifat-sifat keperempuanan sejati itu pada umumnya
bersifat monogam (mono=satu; gamos=perkawinan; kawin dengan seorang saja). Hal
ini dianggap esensial untuk menjaga kemurnian keturunan.
Barangkali
saya terobsesi pada dia, yang bayangannya selalu datang dan jarang pergi.
(Utami,
2001: 28)
Ada perasaan geli namun rindu mengingat bahwa saya
pernah begitu menyukai dia. Tapi itu sudah lalu. Dan hati saya kini terarah
kepada Sihar.
(Utami, 2001: 24)
Laila menginginkan seorang suami, yang tentunya juga ia cintai.
Ketertarikannya pada Sihar ingin dilanjutkannya ke jenjang pernikahan. Laila
ingin menyerahkan keperawanannya kepada Sihar.“Hubungan kami tentu bukan hal yang indah bagi orang-orang terdekat
kami. Istri dan anaknya. Orang tua saya.” (Utami, 2001: 25-26). Hubungan
Laila dengan Sihar adalah hubungan di luar nikah yang menurut norma kesusilaan
dalam masyarakat sangat ditabukan. Laila menyadari hal ini. Pertentangan
psikologis terjadi pada diri Laila,
karena konsep pemahamannya mengenai cinta hanya pada tataran fisik sebatas pada
pemahaman secara manusiawi.
Lalu
cinta menjadi sesuatu yang salah. Karena hubungan ini tidak tercakup dalam
konsep yang dinamakan perkawinan.
“Kamu ternyata lelaki Batak yang
takut istri.” Sihar apakah kamu tidak memikirkan bahwa aku juga punya rasa
bersalah pada orangtua? Tapi aku tak pernah membatalkan janji karenanya.
(Utami,
2001: 26-27)
Perkawinan berfungsi sebagai media
normatif bagi individu ketika ingin menjalin hubungan dengan lawan jenisnya.
Hal ini disebabkan karena lembaga perkawinan akan melegitimasi hubungan lelaki
dan perempuan agar hubungan tersebut diakui eksistensinya oleh masyarakat.
Masyarakat akan menghukum dengan mengasingkan individu-individu yang melakukan
hubungan yang tidak berada dalam lembaga perkawinan tersebut. Akibatnya, Laila
mengalami kecemasan dan depresi psikis, yang disertai dengan penyesalan diri
secara mendalam karena merasa dirinya tercemar.
Dan di kamar itu, dia nampak sedikit
gugup, saya kira, tetapi jauh dari kalut seperti yang saya rasakan sehingga
saya bersembunyi di kamar mandi ketika pelayan masuk membawa pesanan. Sebab saya
ini orang yang berdosa.
(Utami, 2001: 4)
Laila mengalami proses penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru
dan harapan-harapan sosial baru. Orang dewasa dini diharapkan memainkan peranan
baru, seperti peran suami/istri, orangtua, dan pencari nafkah serta
mengembangkan sikap-sikap baru, keinginan-keinginan dan nilai-nilai baru sesuai
dengan tugas-tugas baru itu. Penyesuaian ini menjadikan periode ini suatu
periode khusus dan sulit dari rentang hidup seseorang. Perkawinan menurut tokoh
Laila adalah sesuatu hal yang mestinya dilakukan oleh kedua individu yang telah
dipertemukan oleh Tuhan. Faktor cinta dan pengertian di antara kedua individu
menurut agama bukanlah faktor utama untuk melaksanakan perkawinan.
“Apakah Tuhan memerintahkan lelaki
dan perempuan untuk mencintai ketika mereka kawin? Rasanya tidak.”
(Utami, 2001: 30).
Konflik-konflik psikis bisa diperkuat oleh tuntutan-tuntutan orangtua atau
tuntutan sosial lainnya. Laila mengalami konflik batin dalam menghadapi
lingkungan yang selalu berat dan banyak menuntut dan menekan. Hal ini tampak
dari keinginan Laila untuk bertemu dengan Sihar
Sebab saya sedang menunggu Sihar di
tempat ini. Di tempat yang tak seorangpun tahu, kecuali gembel itu. Tak ada
orang tua, tak ada istri. Tak ada hakim susila atau polisi.
(Utami,
2001: 3)
Dalam aspek psikis perempuan, digambarkan ketersudutan perempuan karena
norma-norma sosial yang ada di lingkungannya.
Barangkali saya letih dengan segala
yang menghalangi hubungan kami di Indonesia. Capek dengan nilai-nilai yang
kadang seperti teror. Saya ingin pergi
dari itu semua , dan membiarkan hal-hal yang kami inginkan terjadi. Mendobrak
yang selama ini menyekat hubungan saya dengan Sihar…
(Utami, 2001: 28 dan 30).
Perkawinan menurut agama yang dianut Laila adalah sebuah ibadah. Perkawinan
dilakukan karena ingin membahagiakan orangtua dan ingin mengabdi pada
kemanusiaan yaitu untuk meneruskan keturunan.
Laila sedang dalam perjalanan
mencari seorang lelaki yang pantas untuk membangun keluarga dan membahagiakan
orang tua. Keduanya adalah ibadah yang mendatangkan pahala.
(Utami, 2001: 127)
Laila adalah perempuan lajang, sebuah hubungan yang diperbolehkan oleh
hukum meski Sihar adalah laki-laki beristri, namun masih mungkin bila dilihat
dari sisi agama, apabila Sihar mendapat ijin dari istrinya untuk menikah lagi
karena tidak dapat memberikan keturunan. Namun itu tidak dimungkinkan oleh
pengarang, karena Laila tidak mau menyakiti hati istri Sihar dan orangtuanya.
“Jadi
apa sebetulnya yang kamu cari? Perkawinan bukan, seks bukan.”
“Aku
cuma pengin sama-sama dia.”
“Laila,
kalau kamu kencan dengan dia di sini, kamu pasti akan begituan lho? Kamu sudah
siap?”
“Enggak-enggak tahu …”
“Dia
pasti minta kamu bagaimana?”
“Aku
cuma pengin sama-sama dia. Aku capek menahan diri.”
(Saman, h.145)
Meskipun Laila memahami betul aturan agama dan masyarakat, rasa cinta Laila
kepada Sihar membuatnya tetap ingin bertemu dengan Sihar meskipun itu berarti
mereka berselingkuh. Perselingkuhan adalah sebuah budaya yang mulai banyak
menggejala pada masyarakat perkotaan. Budaya perselingkuhan dalam rumah tangga
(marital love) didukung oleh
pemberontakan sebagian kaum perempuan yang menganut faham feminisme yang
sebenarnya ingin menunjukkan bahwa tidak hanya lelaki yang bisa mencintai
secara aktif dan memiliki objek lain untuk dicintai (poligami) namun perempuan
juga memiliki hak dan kemampuan yang sama untuk berbuat demikian. Perlawanan
Laila itu digambarkan dengan pergi ke New York, serta harapan bahwa di sana
hubungannya dengan Sihar bisa terbebas dari semua yang menghalangi hubungan
mereka. Laila hanya mencintai Sihar tanpa memiliki keinginan untuk memiliki
atau dimiliki, Laila hanya ingin bertemu Sihar.
Laila adalah perempuan yang secara psikis sangat menonjol sifat sosialnya,
hal ini sangat berpengaruh pada relasi keibuannya. Sebagai perempuan tokoh
Laila digambarkan sebagai tokoh yang menonjol sifat kesosialannya. Hal ini
digambarkan lewat kecemasan Laila ketika menunggu Sihar.
Saya tiba-tiba khawatir. Saya mulai
cemas, yang membuat lutut terasa kosong yang ditinggalkan setelah daging
siputnya melisut terkena racun yang mengeringkan lendir. Apakah pesawatnya tiba
dengan selamat?…Sihar saya cemas! Cemas sekali. Masih hidupkah kamu?
(Utami, 2011: 38)
Sikap ini memperlihatkan bahwa Laila sebagai insan sosial selalu
memperhatikan objek di luar dirinya. Hal inilah yang membedakan psikis
perempuan dengan laki-laki. Laila memiliki naluri untuk merawat, memiliki
kepekaan dan kehalusan sebagai ungkapan perasaan kasih sayang.
Tapi kini di depannya adalah tangan
Sihar yang luka, yang membukakan afeksi di antara mereka berdua.
(Utami, 2001: 18)
Saya ikut bersedih walaupun tidak
sempat kenal dia.” Kasihan keluarganya apakah dia suami setia?
( Utami, 2001: 18)
Tapi begitulah Laila, pada siapapun
dia memberi. Dia sahabat terbaik yang pernah kudapat. Karena itu aku takut dia
disakiti. Barangkali aku terlalu protektif?
(Utami, 2001: 131)
Dorongan seks itu adalah alami, persis seperti
rasa lapar dan dahaga yang membutuhkan pemuasan. Oleh karena itu bentuk
pemuasannya juga harus bersifat alami (natural). Jadi sama pula pemenuhannya
seperti pemuasan bagi bermacam-macam dorongan dan kebutuhan dasar manusia
lainnya. Manusia juga sama seperti
burung atau binatang lain yang memiliki naluri untuk kawin. Seks bagi manusia
tidak pernah “bebas nilai” maka nilai-nilai seks itu sendiri menjadi kabur atau
tertutupi oleh nilai-nilai yang menungganginya. Memang betul, bahwa tabu-tabu
seks itu artifisial sifatnya; sama halnya dengan semua hukum yang juga
artifisial sifatnya. Dengan alasan demi menjamin keamanan dan kesejahteraan
sosial, tabu-tabu seks itu lebih banyak dibuat untuk perempuan dan menyudutkan
perempuan.
Salah satu sebab yang jelas adalah karena peraturan-peraturan itu dibuat
oleh laki-laki.“Di taman ini saya adalah seekor burung.” (Utami, 2001: 1). Seks
pada diri Laila kemudian hanya dipahami sebagai aktivitas biologis yang
berhubungan dengan alat reproduksi belaka, padahal makna seks sebagai jenis
kelamin sekalipun sebenarnya meliputi keseluruhan kompleksitas emosi, perasaan,
kepribadian, dan sikap seseorang yang berkaitan dengan perilaku serta orientasi
seksualnya. Dorongan seks pada saat ini lebih banyak bersifat artifisial dari
pada alami, disebabkan semakin banyaknya stimuli seks dalam masyarakat modern
berupa: blue film, gambar foto majalah porno, pertunjukkan seks secara live, eksploitasi tubuh wanita di
televisi, dan lain-lain. Pengeksploitasian seks secara berlebihan ini justru
semakin membuat perempuan menjadi objek bagi laki-laki. Tidak seperti burung
yang melakukan seks (kawin) karena memang sudah benar-benar merasa perlu bagi
jantan dan bagi betinanya sehingga tidak terjadi perkosaan.
…Unggas kecil mencari matahari dari
celah-celah daun, membiarkan garis-garis cahaya memanasi birahi hingga tanak
seperti nasi. Beberapa yang terdengar bernyanyian, akan pacaran dan kawin di
musim ini…Kitapun tidak tahu namanya. Kita cuma tahu mereka bahagia. Adakah
keindahan perlu dinamai?
(Utami, 2001: 2)
Dalam hati Laila menginginkan kebebasan dari semua nilai-nilai yang mengekangnya.
Laila ingin seperti unggas yang memiliki
ritme aktifitas seksual yang dapat ia tentukan sendiri bila ia telah siap.
Seperti unggas betina yang kawin bila sel-sel telurnya telah matang.
Orang-orang, apalagi turis, boleh menjadi seperti
unggas: Kawin begitu mengenal birahi. Setelah itu tak ada yang perlu ditangisi.
Tak ada dosa.
(Utami, 2001: 3)
Manusia berbeda dari burung atau unggas yang ritme aktifitas seksualnya
ditentukan oleh alam, yang ditandai dengan kematangan sel-sel telur pada
binatang betina. Sedang produksi hormonal pada binatang jantan juga meningkat
pada saat itu. Pada manusia, sampai batas tertentu ritme ini pun masih juga
berlaku. Namun dengan perkembangan evolusi, aktifitas seksual wanita tidak lagi
mengikuti irama dan tuntutan fungsi reproduksinya. Hal ini disebabkan wanita
pada zaman sekarang terpaksa tunduk menyerah pada kemauan dan penguasaan kaum
laki-laki. Sedang pada saat yang sama, seksualitas pria mengalami evolusi
perkembangan pula, dan tidak tergantung pada ritme kematangan sel telur
perempuan lagi, karena pria banyak dirangsang oleh stimuli artifisial atau
buatan dari luar.
6.2 Dimensi Sosiologis Tokoh Laila
Pekerjaan Laila adalah fotografer, sebuah pekerjaan yang cenderung bersifat
maskulin karena kebanyakan berhubungan dengan pekerjaan lapangan.“Laila
fotografer. Toni, penulis.” (Saman, h. 11). Pekerjaan Laila
adalah fotografer, karena dia perempuan maka pekerjaannya lebih banyak di dalam
ruangan.
Dalam dunia kerjanya Laila merasakan adanya dominasi laki-laki. Ruang terbuka
yang digunakan sebagai latar dalam novel Saman
adalah kota Jakarta, New York dan kilang minyak di lepas pantai Laut Cina
Selatan. Apabila dikaitkan dengan gambaran tentang tokoh Laila, ada beberapa
hal yang dapat ditafsirkan dari tempat-tempat itu. Kilang minyak di lepas
pantai Laut Cina Selatan yang dikunjungi Laila dengan frekuensi hanya sekali
saja, namun sangat berperan dalam pembentukkan tokoh Laila. Latar Rig atau
pertambangan minyak menggambarkan usaha Laila untuk masuk ke dunia publik. Rig
(pertambangan minyak) yang pekerjanya didominasi oleh laki-laki, hanya ada satu
perempuan saat itu yaitu Laila. Suasana ini tentunya membuat Laila merasa
asing.“Laila mulai merasa asing sebagai satu-satunya perempuan di tempat ajaib
ini. Tempat ini ajaib sebab cuma
ada satu perempuan. Saya.” (Utami, 2001: 8). Dalam dunia yang didominasi
laki-laki tersebut Laila merasa terkucilkan dan sekaligus merasa menjadi objek
bagi laki-laki di sana. Laki-laki melihatnya seperti lebah melihat madu.
Frekuensi tertinggi kemunculan tokoh Laila
di luar ruang adalah di Taman Central Park New York. Kota Jakarta secara umum
tidak berperan mendukung pembentukan watak tokoh, hanya menegaskan bahwa Laila
adalah seorang pekerja keras yang berperan sebagai perempuan karir. Tidak ada
gambaran yang jelas tentang lokasi-lokasi yang pasti di mana rumah Laila di
Jakarta serta lokasi kantornya.
Dalam sehari-harinya Laila digambarkan
lebih sering berada di luar rumah, Laila berada di tempat-tempat itu untuk
bertemu teman, klien atau relasi. Hal itu dapat ditafsirkan bahwa Laila adalah
seorang perempuan yang bertipe pekerja keras yang suka bersosialisasi. Dari
gambaran itu dapat diinterpretasikan bahwa Laila lebih cenderung berada di luar
rumah (wilayah publik) dari pada di dalam rumah melakukan pekerjaan rumah di
wilayah domestik.
Kebangsaan atau suku keturunan Laila adalah campuran darah antara darah
Sunda dan Minang.
Barangkali juga karena ia tumbuh dari ayah ibu yang tak pernah betul-betul
menyukai orang Jawa yang dirasa dominan. Laila Gagarina, dari nama panjangnya
orang Indonesia bisa menduga bahwa ia lahir dari orangtua Minang setelah tahun
enam puluhan. Ayahnya pasti mengagumi Yuri Gagarin. Ibunya wanita Sunda yang
selalu merasa sepertiga dibanding dua pertiga terhadap Jawa.
Sesuatu yang sangat ironis ditampilkan di sini, Sunda adalah daerah bagian
pulau Jawa yang notabene kebudayaannya bersifat patrilinier, dimana garis
keturunan ayah yang mendominasi. Namun ayah Laila berdarah Minang yang berlatar
kebudayaan matrilinier, dimana garis keturunan ibu yang mendominasi. Hal ini
tidak merubah dan mempengaruhi hubungan dalam keluarga Laila, dimana ayah tetap
memiliki kekuasaan penuh sebagai kepala keluarga. Dalam kebudayaan universal,
dimana pun dan kapan pun ayah tetap
berkuasa, meskipun Laila telah lari ke New York sekalipun. Anak adalah tanggung
jawab berdua (suami dan istri), tetapi kebanyakan perempuanlah (ibu atau istri)
yang menanggungnya, padahal ketika anak sudah dewasa, ia lebih dikenal sebagai
anak ayahnya dari pada ibunya.
Pandangan hidup Laila juga dipengaruhi oleh agama dan lingkungan budayanya,
hal ini sangat berpengaruh dalam menentukan jalan hidupnya. Dalam pendidikan
keluarga Laila ditanamkan dalam dirinya bahwa perempuan pada akhirnya harus
menikah, karena menikah bagi perempuan adalah ibadah dan perempuan akan
mendapatkan nilainya sebagai perempuan ketika telah menikah.
Laila bukanlah aku atau Cok,
orang-orang dari jenis yang tak peduli betul pada pernikahan atau neraka,…Laila
sedang dalam perjalanan mencari seorang lelaki yang pantas untuk membangun
keluarga dan membahagiakan orangtua. Keduanya adalah ibadah yang mendatangkan
pahala.
(Utami, 2001: 127)
Laila melihat bahwa pada akhirnya nanti, Laila akan menjadi istri dan
menggantungkan diri pada laki-laki yang akan menjadi suaminya. Perempuan sejak
dilahirkan dipersiapkan untuk menjalankan peran budayanya sebagai perempuan
yaitu menikah.
Pandangan hidup Laila itu juga sangat dipengaruhi oleh agama dan
kepercayaan atau ideologi Laila.
“Ketika kecil sampai remaja ia biasa sembahyang
dan pembagian lima waktu menetap dalam kesadarannya seperti jam matahari.”
(Utami, 2001: 13)
Laila adalah penganut Islam atau muslim yang sangat taat beribadah. Hingga
bawah sadarnya Laila berpegang pada agama dan hal ini berpengaruh pada setiap
keputusan yang diambilnya. Kebimbangan
Laila ketika menentukan perannya dalam masyarakat untuk menikah atau tidak
menikah digambarkan lewat kutipan berikut
Bukankah kita saling mencintai? Atau
pernah saling mencintai? Apakah Tuhan memerintahkan lelaki dan perempuan untuk
mencintai ketika mereka kawin? Rasanya tidak.
(Utami, 2011: 30)
Pada akhirnya karena banyak mengalami kekecewaan-kekecewaan sebagai
perempuan dalam hubungannya dengan lawan jenisnya, Laila memutuskan untuk tidak
menikah meskipun hidup berumah tangga juga dapat memberikan kesempurnaan hidup
juga.
Sebagai muslim yang taat, Laila
disekolahkan di sekolah yang berlatar belakang agami Nasrani.
Kelegaan itu dirayakan dengan makan bakmi sorong
yang mangkal di samping SMA kami berempat dulu, Tarakanita Puloraya,…
(Utami, 2001: 130-131)
Dalam agama lain pun ia merasakan juga adanya norma dan nilai agama yang
menyudutkan perempuan. Dari pendidikan di sekolahnya Laila mengenal agama
Nasrani dan mempelajari ajaran-ajarannya yang cenderung tidak adil.
Pendidikan terakhir Laila adalah perguruan tinggi.
Laila kuliah di jurusan komputer Gunadarma, namun dijelaskan juga bagaimana
Laila bisa bekerja sebagai fotografer sebuah hobbi yang dikembangkannya menjadi
keahlian khususnya.“Laila kuliah di jurusan komputer Gunadharma, tetapi ia juga
senang memotret.” (Utami, 2001: 153). Sebagai perempuan, Laila menyadari bahwa
untuk meningkatkan harkat dan martabatnya maka ia berusaha untuk meningkatkan
keahliannya sebagai perempuan dan bekerja di luar rumah. Laila juga menyadari
bahwa pendidikan juga berperan dalam meningkatkan harkat dan martabatnya.
Dilihat dari kemampuan finansial Laila, untuk pergi ke New York Laila
dibantu teman-temannya yaitu Yasmin dan Cok untuk membayar visa, fiskal dan
lain-lain. Laila termasuk dari tingkat ekonomi menengah. Status sosial Laila
tampak dari kutipan berikut, status sosial Laila juga digambarkan lewat
penggambaran rumah Laila yang kecil
Tingkat ekonomi dan status sosial bagi masyarakat, juga berperan dalam
menentukan harkat dan martabatnya. Semakin tinggi tingkat ekonomi dan status
sosial perempuan, maka semakin tinggi pula harkat dan martabat yang diberikan
masyarakat kepadanya.
Secara sosial Laila disebut sebagai “perawan tua”, predikat ini masih
dianggap hal yang hina di sebagian besar masyarakat. Sebab pernikahan bagi
sebagian besar orang merupakan satu-satunya cara wanita untuk meraih
eksistensinya. Sebaliknya bagi para pemuda, perkawinan yang dilakukan pada usia
muda justru tidak baik, dengan alasan karena dapat merusak badan juga menghalangi
cita-cita. Status sosial tokoh Laila adalah perempuan lajang yang masih tinggal
dengan kedua orangtuanya, ia bekerja sebagai fotografer di sebuah CV sebuah
rumah produksi.
Laila bersahabat sejak SD dengan ketiga temannya yaitu Cok, Yasmin, dan
Shakuntala. Mereka berbagi dalam segala hal termasuk dalam permasalahan
kehidupan pribadi mereka. Sebagai perempuan, salah satu sifat yang menunjukkan
kewanitaan seorang perempuan adalah sifat komunalnya, yaitu sifat untuk
membentuk suatu komunitas interen yang anggotanya adalah perempuan.
7. Penutup
Berdasarkan analisis struktur dapat disimpulkan bahwa
novel Saman memiliki struktur yang
saling mendukung, terjalin erat dan mencapai totalitas makna. Adapun
unsur-unsur struktural novel tersebut berupa tema, fakta cerita (alur,
penokohan, dan latar), dan sarana cerita yang menunjukkan keterjalinan unsur
antara yang satu dengan yang lain sehingga menjadi unsur yang padu.
Hasil analisis menunjukkan bahwa perilaku seksual dalam
novel Saman terbagi menjadi enam perilaku,
di antaranya yaitu; a) perilaku seksual immoralitas/ promiscuity tokoh Cok,
Shakuntala, dan Yasmin karena kesenangan mereka akan seks bebas, berpindah dari
satu lelaki ke lelaki yang lain dengan intensitas yang sangat sering, b)
perilaku seksual biseksual tokoh Shakuntala yang bersetubuh tidak hanya dengan
laki-laki tetapi juga dengan perempuan, c) perilaku seksual Masturbasi tokoh
Upi karena cara pemuasan seksual yang dilakukannya yaitu dengan cara
menggosok-gosokkan selakangannya pada tiang listrik, d) perilaku seksual
perkosaan yang dialami tokoh Upi yang diperkosa oleh dua orang laki-laki, e)
perilaku seksual perzinaan yang dialami tokoh Laila dan Yasmin, Laila
berselingkuh dengan tokoh Sihar sedangkan Yasmin berselingkuh dengan tokoh
Saman, f) perilaku seksual Zoofilia yang dialami tokoh Upi yaitu bersetubuh
dengan memperkosa binatang.
Daftar Pustaka
Aliran Feminisme dalam Sastra karya Bambang Dwi Sasongko dalam http://bambangdssmagasolo.blogspot.com/2010/05/aliran-feminisme-dalam-sastra.html. Diakses 25 Maret 2011, pukul 10.04 WIB
Djajanegara, Soenarjati. (2000). Kritik Sastra Feminis: Sebuah
Pengantar. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
http://nizamzakaria.diaryland.com/030723_7.html.
Diakses 27 April 2011,
pukul 13.08 WIB.
Membaca
Ayu Utami: Perempuan yang Mempersetankan Perkawinan karya Dadan Suhendra dalam http://wwwaku-dan-karya.blogspot.com/2010/03/membaca-ayu-utami-perempuan-yang.html,
diakses 27 April 2011 pukul 13.01 WIB.
Ratna, Nyoman
Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra-Dari Strukturalisme
Hingga Postrukturalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sofia,
Adib. Aplikasi Kritik Sastra Feminis, Perempuan dalam Karya-karya Kuntowojoyo. Yogyakarta : Citra Pustaka.
Tema Seks dalam
Lima Novel yang Ditulis oleh Novelis Perempuan Indonesia karya Nandang R. Pamungkas http://metasastra.wordpress.com/2009/11/15/tema-seks-dalam-lima-novel-yang-ditulis-oleh-novelis-perempuan-indonesia/, diakses 25 Maret 2011, pukul 10.08 WIB
Komentar
Posting Komentar
Gunakan nama dan email masing-masing! Harap ditulis nama, kelas, dan nomor absen.