NILAI-NILAI FEMININ TOKOH LAILA DALAM NOVEL "SAMAN" KARYA AYU UTAMI


 1.      Latar Belakang Masalah

Karya sastra merupakan hasil kreativitas seorang sastrawan sebagai bentuk seni. Karya sastra bersumber dari kehidupan dipadukan dengan imajinasi pengarangnya. Hal ini wajar terjadi mengingat pengarang tidak lepas dari ikatan-ikatan status sosial tertentu dalam masyarakat, karya sastra merupakan salah satu hasil seni. Ada lagi yang menyebut sebagai suatu karya fiksi.

Menurut Nurgiantoro (2007: 3), fiksi sebagai karya imajiner, biasanya menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Pengarang menghayati berbagai permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan yang kemudian diungkapkan kembali setelah melalui sarana fiksi sesuai dengan pandangannya. Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dan interaksinya dengan lingkungan dan sesama. Fiksi merupakan hasil dialog kontempelasi dan reaksi pengarang dan lingkungan dan kehidupan, sehingga pengarang akan mengajak pembaca memasuki pengalaman imajinasinya melalui tokoh-tokoh dalam karya sastra.
Dalam perkembangan novel di Indonesia dari zaman dahulu sampai sekarang, banyak bermunculan novel yang bertemakan masalah-masalah yang berhubungan dengan perempuan. Permasalahan itu terjadi karena perempuan cenderung dianggap lemah oleh laki-laki. Hal ini terjadi dari zaman ke zaman. Banyaknya permasalahan yang dihadapi perempuan sekarang ini maka muncul gerakan jender yang bertujuan memperjuangkan hak perempuan agar sejajar dengan laki-laki. Dengan adanya kesejajaran tersebut maka perempuan tidak akan lagi dipandang lemah oleh laki-laki.

Menurut Sugihastuti (2003: 31), analisis jender harus melibatkan kedua jenis manusia dalam mengungkapkan kehidupan tokoh perempuan. Dengan melibatkan dua jenis seks manusia dapat dilakukan perbandingan peran,status, dan posisi seseorang dalam suatu masyarakat tertentu. Hal ini dibantu dengan jalan mengajukan pertanyaan apa, siapa, dimana, kapan, bagaimana, dan mengapa. Sugihastuti (2000: 47) menambahkan bahwa penelitian tentang wanita dalam karya sastra merupakan penelitian tentang kehidupan wanita dan berbagai permasalahannya. Penelitian tentang wanita diantaranya yaitu bagaimana pandangan pria terhadap wanita dan sebaliknya. Penelitian tentang kreativitas yang terikat dengan potensi di tengah-tengah tradisi kekuatan pria. Dan penelitian yangberkaitan dengan penggunaan teori dalam penderitaan wanita.

Feminisme ini berhubungan dengan konsep sastra secara feminis, yaitu studi sastra yang mengarahkan focus analisis kepada wanita (Sugihastuti, 2000: 37). Selama ini dianggap dengan sendirinya bahwa yang mewakili pembaca dan penciptaan dalam sastra barat adalah laki-laki, kritik sastra feminis menunjukkan bahwa pembaca wanita membaca persepsi dan harapan ke dalam pengalaman sastranya. Arti kritik sastra feminis secara sederhana adalah sebuah kritik sastra yang memandang sastra dengan kesadaran khusus akan adanya jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra dan kehidupan manusia (Showalter dikutip Sugihastuti, 2002: 141).
Salah satu novel yang mengangkat dimensi jender dengan pembacaan sekilas terlihat dalam novel Saman karya Ayu Utami. Novel Saman menceritakan tokoh utama seorang laki-laki misionaris sebagai pastor atau romo yang berjuang menjalankan misi pelayanan kemanusiaan, baik secara agamis maupun kemanusiaan. Dari segi isi, novel Saman karya Ayu Utami mengangkattema kehidupan masyarakat, persoalan sosial, kemunafikan, serta cinta dan kasih sayang manusia terhadap sesamanya. Dalam novel ini banyak diceritakan kehidupan masyarakat yang masih lugu, apa adanya, bodoh, dan alami. Di tengah kehidupan yang terbelakang kehidupan masyarakat masih menjanjikan kedamaian yang tulus tanpa pamrih. Masalah lingkungan hidup yang jarang dijadikan latar oleh pengarang Indonesia merupakan daya pikat dan nilai tambah cerpen karya Ayu Utami di tengah-tengah kebudayaan popular yang berorientasi pada kemewahan.

Kekuatan lain dari karya Ayu Utami adalah gaya bahasanya yang lugas, jernih, dan sederhana. Bahasa yang digunakan komunikatif, karena kosakata yang dipakai sering digunakan komunikasi setiap hari, sehingga pembaca lebih mudah memahami cerita yang ada. Pencitraan yang diekspresikan dalam setiap karyanya terlihat jelas dalam setiap susunan kata dan kalimatnya. Pencitraan yang terdapat dalam novel Saman menimbulkan pertalian batin antara pembaca dan tokoh sehingga seolah-olah pembaca berada di antara mereka.
Sastra telah menjadi bagian dari pengalaman manusia, baik dari aspek manusia yang memanfaatkannya bagi pengalaman hidupnya, maupun dari aspek penciptanya, mengekspresikan pengalaman batinya ke dalam karya sastra. Ditinjau dari segi penciptanya (pengarang dalam sastra tulis dan pawang atau pelipur lara dalam sastra lisan), karya sastra merupakan pengalaman batin penciptanya mengenai kehidupan masyarakat dalam kurun waktu dan situasi budaya tertentu. Di dalam karya sastra dilukiskan keadaan dan kehidupan sosial suatu masyarakat, peristiwa-peristiwa, ide dan gagasan, serta nilai-nilai yang diamanatkan pencipta lewat tokoh-tokoh cerita. Sastra mempersoalkan manusia dalam berbagai kehidupannya. Karya sastra berguna untuk mengenal manusia, kebudayaan serta zamannya. Dikatakan oleh Abrams dikutip Pradopo (2007:11) bahwa karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya.
Novel Saman karya Ayu Utami merupakan penggambaran kehidupan masyarakat saat novel tersebut diciptakan. Novel Saman merupakan refleksi dari kehidupan masyarakat Indonesia yang berada di bawah kekuasaan rezim Orde Baru, yang terjadi pada tahun 1990-an (http://www.forum.webqaul.com). Pemerintahan pada waktu itu di bawah kekuasaan Soeharto. Pada masa Orde Baru muncul konflik baru yang memanifestasikan dalam bentuk demonstrasi mahasiswa yang memprotes
Beberapa kebijakan pemerintah Orde Baru, di antaranya kasus tanah, perburuhan, pendekatan keamanan, dan hak azasi manusia (http://www.geoticies.com). Novel Saman merupakan gambaran peristiwa sengketaan tanah dan kerusuhan yang terjadi di Prabumulih pada masa Orde Baru. Peristiwa itu membawakan persoalan peka bagi masyarakat, yaitu akan diubahnya kebun karet menjadi kebun kelapa sawit. Akan tetapi masyarakat merasa tidak setuju dengan adanya perubahan ini. Hal ini mengakibatkan oknum penguasa di Sei Kumbang melakukan tindakan sewenang-wenang yaitu memaksa penduduk untuk melepaskan tanahnya. Mereka menggunakan kekerasan untuk mempengaruhi pikiran petani, penduduk Sei Kumbang dengan cara meneror, menindas, memperkosa, bahkan membunuh.
Pada masa itu juga terjadi kerusuhan yang disebabkan unjuk rasa buruh yang memunculkan wajah rasis. Pemerintah dalam menanggapi protes dan perlawanan dari rakyat dengan menggunakan cara kekerasan yaitu adanya aksi-aksi aparat keamanan atau militer yang membela kepentingan Soeharto, yang semakin brutal dan tidak terkendalikan. Tuntutan itu dijawab dengan pentungan, gas air mata, aksi penangkapan ilegal, penculikan dan penyiksaan (http://.geoticies.com). Tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat keamanan atau militer telah membuka hati para aktivis untuk mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Dengan adanya LSM ini, bukannya membawa keadaan semakin membaik, tetapi LSM dianggap sebagai gerakan kiri atau gerakan yang melawan pemerintah. Pada masa rezim Soeharto, LSM selalu diidentikkan sebagai “agen dan antek asing”, “penjual”, dan “pengkhianat bangsa”. Peryataan ini dilakukan untuk mengurangi keberadaan LSM di mata rakyat, mengingat LSM saat itu adalah satu-satunya elemen masyarakat yang kritis terhadap pemerintah Soeharto. Posisi LSM dan rezim Soeharto selalu dalam posisi berlawanan. LSM telah dituduh berpolitik dan mengorganisasikan rakyat miskin. Maka, wajar bila pemerintah selalu mencurigai aktivis LSM. Pemerintah juga melakukan tindakan pengejaran dan penangkapan terhadap aktivis-aktivis LSM (http://www.kompas.com).
Selain itu novel Saman juga bercerita mengenai perjuangan seorang pemuda bernama Saman, yang dalam perjalanan karirnya sebagai seorang pastor harus menyaksikan penderitaan penduduk desa yang tertindas oleh negara melalui aparat militernya. Saman akhirnya menanggalkan jubah kepastorannya itu, dan menjadi aktivis buron. Sebagai seorang aktivis, Saman mengembangkan hubungan seksual dengan sejumlah perempuan. Keempat tokoh perempuan dalam novel Saman antara lain Shakuntala, Laila, Cok, dan Yasmin. Mereka muda, berpendidikan dan berkarir. Sebagai layaknya sahabat, mereka saling bertukar cerita mengenai pengalaman-pengalaman cinta, keresahan dan pertanyaan-pertanyaan mereka dalam mendefinisikan seksualitas perempuan (http://www.forum.webqaul.com).
Kemunculan novel Saman menjelang saat-saat jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998, sempat menghebohkan dunia sastra Indonesia karena isinya yang dianggap kontroversial, mendobrak berbagai tabu di Indonesia baik mengenai represi politik, intoleransi beragama, dan seksualitas perempuan. Ada pihak-pihak yang mengkritik novel tersebut karena dianggap terlalu berani dan panas dalam membicarakan persoalan seks. Banyak pula yang memujinya karena penggambaran novel tersebut apa adanya, polos, tanpa kepura-puraan.
Di tengah kontroversi itu, Saman berhasil mendapat penghargaan Dewan Kesenian Jakarta 1998. Ketika pertama kali terbit, Saman dibayangkan sebagai fragmen dari novel pertama Ayu Utami yang akan berjudul Laila Tak Mampir di New York. Pada tahun 2000, novel Saman mendapatkan penghargaan bergengsi dari negeri Belanda yaitu Penghargaan Prince Clause Award. Suatu penghargaan yang diberikan kepada orang-orang dari dunia ketiga yang berprestasi dalam bidang kebudayaan dan pembangunan. Novel tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dengan judul Samans Missie, yang diluncurkan di Amsterdam pada 9 April 2001 dan dihadiri sendiri oleh Ayu Utami.
Ayu Utami merupakan salah satu pengarang wanita yang dinobatkan sebagai pemenang pertama dalam Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta. Penobatan ini seperti telah menjadi perayaan terhadap “kebangkitan” pengarang wanita dalam khazanah sastra di Tanah Air. Kemenangan Ayu Utami tidak saja telah memberi kepercayaan diri kepada pengarang wanita lain untuk menerbitkan karya-karya mereka, tetapi secara substansif telah mendeskontruksi jarak yang tadinya terbentang antara pengarang dengan pembacanya.
Ayu Utami lahir di Bogor, 21 November 1968, besar di Jakarta dan menamatkan kuliah di Fakultas Sastra Jurusan Sastra Rusia Universitas Indonesia. Ia mengaku sejak kecil memang suka bahasa terutama bahasa yang aneh-aneh, eksotis. Bagi Ayu Utami dunia tulis menulis bukan hal yang baru. Sebelum menjadi penulis novel, ia pernah menjadi wartawan di majalah Matra, Forum Keadilan, dan D&R. Tak lama setelah Tempo, Editor, dan Detik di masa Orde Baru ia ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang memprotes pembredelan pers. Kini ia bekerja di jurnal kebudayaan Kalam dan ikut membangun Komunitas Utan Kayu, sebuah pusat kegiatan seni, pemikiran, dan kebebasan informasi. Baginya menulis novel merupakan cara untuk mengeksplorasikan bahasa Indonesia, bahasa yang masih muda, yang kurang mungkin dilakukannya sebagai wartawan.
Saman banyak mendapat perhatian dari ilmuwan terkemuka, diantaranya Sapardi Djoko Damono dan Faruk H. T. Sapardi menganggap komposisi Saman sepanjang pengetahuannya tidak ditemukan di negeri lain, padahal karya-karya Ondaatje, Salman Rushdie, Vikram Seth, Milan Kudera adalah contoh cara bercerita sealiran dengan Saman. Yang menyenangkan adalah bahwa teknik itu, aliran bertutur itu, kini hadir dalam sebuah novel Indonesia.  Menurut Faruk, apa yang dilakukan oleh Ayu adalah keberanian melakukan aksentuasi terhadap sesuatu yang tadinya bermakna tabu. “Ini juga patut dihargai, ia telah mengaksentuasikan sesuatu nilai yang tadinya sangat tabu dikatakan oleh kaum perempuan” (http://www.kompas.com).

2.      Rumusan Masalah
Nilai-nilai feminin apakah yang diperjuangkan oleh tokoh-tokoh cerita?
Bagaimanakah perilaku seksual menyimpang dalam novel Saman karya Ayu Utami tinjauan psikologi sastra?.

3.      Tujuan
Meneliti karakter tokoh-tokoh cerita;
a. Mengetahui nilai-nilai feminin yang diperjuangkan tokoh-tokoh cerita.
b Menentukan bentuk perilaku seksual menyimpang dalam novel Saman karya Ayu Utami            tinjauan psikologi sastra.

4.     Manfaat
a. menambah pengetahuan tentang dimensi gender;
b. memahami hakikat nilai-nilai feminisme yang diperjuangan dalam kehidupan;
c. memahami bentuk perilaku seksual menyimpang dalam novel Saman karya Ayu Utami            tinjauan psikologi sastra;
d.memberikan sumbangan informasi dalam pengembangan dalam pembelajaran.

5.    Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka bertujuan untuk mengetahui keaslian sebuah karya ilmiah. Pada dasarnya suatu penelitian tidak beranjak dari awal, akan tetapi umumnya telah ada acuan yang mendasarinya. Hal ini bertujuan sebagai titik tolak untuk mengadakan suatu penelitian. Oleh karena itu, dirasakan perlu meninjau penelitian yang telah ada.  

Banyak tulisan yang membahas novel Saman karya Ayu Utami ini, baik dalam format akademis maupun artikel populer. Kesemuanya itu menunjukkan bahwa karya sastra tersebut penuh dengan estetika serta untuk membedakan bahasa sastra dengan bahasa sehari-hari. Unsur retorika berkenaan dengan penggunaan gaya bahasa. Ketepatan makna yang dimaksud pengarang disampaikan dengan gaya bahasa yang sesuai dengan maknanya.

Setiap fiksi memiliki tiga unsur pokok sekaligus terpenting, yaitu tokoh utama, konflik utama, dan tema utama. Ketiga unsur utama itu saling berkaitan erat membentuk satu kesatuan yang padu, kesatuan organisme cerita. Ketiga unsur inilah yang terutama membentuk dan menunjukkan sosok cerita dalam sebuah fiksi (Nurgiantoro, 2007: 25). Selain membutuhkan tokoh, cerita, dan plot, fiksi juga memerlukan latar untuk menjalankan cerita. Unsur yang membangun novel menunjukkan keterpaduan dan ketautan yang utuh. Unsur yang satu dengan yang lain saling terkait dan menjalin kesatuan yang padu. Hal ini dapat terlihat dari jalinan yang merupakan hasil perpaduan antara tema, alur, penokohan, dan latar. Hubungan fungsional antarunsur satu dengan yang lain saling mendukung. Antara penokohan dan latar memiliki hubungan yang erat dan timbal balik. Latar akan memengaruhi sifat tokoh. Dengan kata lain, sifat tokoh dibentuk oleh keadaan latarnya. Latar tempat tokoh utama yang tinggal di desa terpencil bernama Karangsoga membuat sifat tokoh utama sebagai seorang wanita lugu. Kehidupan tokoh utama sebagai seorang istri yang mengalami berbagai konflik dengan suami yang memengaruhi alur (flashback) dalam novel dan mendukung tema yang dipilih yaitu kemiskinan yang menjadi kendala dalam hidup.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, terdapat struktur utama fiksi yang meliputi empat unsur yaitu, tema, penokohan, alur, dan latar. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa keempat unsur tersebut merupakan unsur dominan pembangun novel Saman Karya Ayu Utami.

a.  Kritik Sastra Feminis
Feminis berasal dari kata femme (woman), artinya perempuan (tunggal) yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak perempuan (jamak) sebagai kelas sosial. Tujuan feminis adalah keseimbangan interelasi jender. Feminis dalam pengertian yang luas adalah gerakan kaum perempuan untuk menolak segala sesuatu yang dimarjinalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya (Ratna, 2004: 184). Feminisme secara umum berarti ideologi pembebasan perempuan karena ada keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan karena jenis kelamin (Humm dalam Imron 2002: 158).

Feminisme pada dasarnya mempunyai relasi erat dengan jender sebagai fenomena budaya. Gerakan feminisme menjadi gugatan terhadap konstruksi sosial dan budaya yang meminggirkan peran perempuan (Abdullah, 1997: 186-187). Gerakan feminis secara leksikal berarti gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria. Feminis adalah teori tentang persamaan antara laki-laki dan wanita di bidang politik, ekonomi, sosial atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan wanita. Teori feminis adalah alat kaum wanita untuk memperjuangkan haknya yang berkaitan dengan feminisme memiliki asumsi yang sejajar, mendekonstruksi sistem dominan ketidakadilan sebagai akibat masyarakat patriarki, menolak sejarah dan filsafat sebagai hetero-centric (untuk orang lain) (Ratna, 2004: 186).
Tujuan feminis adalah untuk meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sederajat dengan kedudukan serta derajat laki-laki. Cara mencapai tujuan feminis adalah memperoleh hak dan peluang yang sama dengan yang dimiliki laki-laki dan membebaskan perempuan dari ikatan lingkungan domestik atau lingkungan keluarga dan rumah tangga. Menurut para feminis, nilai tradisional inilah yang menjadi penyebab utama inferioritas atau kedudukan dan derajat rendah kaum wanita. Nilai-nilai ini menghambat perkembangan wanita untuk menjadi manusia seutuhnya.
Menurut Stimpson dikutib Adip Sofia (2003: 26), asal mula kritik feminis berakar dari protes-protes perempuan melawan diskriminasi yang mereka derita dalam masalah pendidikan dan sastra. Setelah tahun 1945, kritik feminis menjadi proses yang lebih sistematis, yang kemunculannya didorong oleh kekuatan modernisasi yang begitu kuat seperti masuknya perempuan dari semua kelas ke dalam kekuatan publik dan proses-proses politik. Kritik sastra feminis merupakan kesadaran membaca sebagai wanita sebagai dasar menyatukan pendirian bahwa perempuan dapat membaca dan menafsirkan sastra sebagai perempuan (Sugihastuti, 2002: 202).

Kritik sastra feminis adalah membaca sebagai perempuan, yakni kesadaran pembaca bahwa ada perbedaan penting dalam jenis kelamin pada makna dan perebutan makna karya sastra (Culler dikutip Sugihastuti, 2002: 7). Para pengkritik sastra feminis memiliki tujuan penting dari kritik sastra feminis, yaitu ingin membantu agar pembaca dapat memahami, mendeskripsikan, menafsirkan, serta menilai karyakarya yang ditulis oleh pengarang (Djajanegara, 2000: 27).

Langkah-langkah untuk mengkaji sebuah karya sastra dengan menggunakan pendekatan feminis antara lain:
1.      mengidentifikasikan satu atau beberapa tokoh wanita, dan mencari kedudukan tokoh-tokoh itu dalam masyarakat;
2.      meneliti tokoh lain, terutama tokoh laki-laki yang memiliki keterkaitan dengan tokoh perempuan yang sedang diamati;
3.      mengamati sikap penulis karya yang sedang dikaji (Djajanegara, 2000: 53-54).
Macam kritik sastra feminis menurut Djajanegara (2000: 28-39) adalah
a.       Kritik sastra feminis ideologis, yaitu kritik sastra feminis yang melibatkan wanita, khususnya kaum feminis sebagai pembaca. Adapun yang menjadi pusat perhatian pembaca wanita dalam penelitiannya adalah citra serta stereotype wanita dalam karya sastra. Selain itu meneliti kesalahpahaman tentang wanita dan sebab mengapa wanita sering ditiadakan, bahkan nyaris diabaikan dalam kritik sastra.
b.      Kritik sastra feminis-gynocritic atau ginokritik, yaitu kritik sastra feminis yang mengkaji penulis-penulis wanita. Kajian dalam kritik ini adalah masalah perbedaan antara tulisan pria dan wanita.
c.       Kritik sastra feminis-sosialis atau kritik sastra marxis adalah kritik sastra feminis yang meneliti tokoh-tokoh wanita dari sudut pandang sosialis, yaitu kelas-kelas masyarakat tokoh wanita dalam karya sastra lama adalah wanita yang tertindas yang tenaganya dimanfaatkan untuk keperluan kaum laki-laki yang menerima bayaran.
d.      Kritik sastra feminis-psikoanalitik adalah kritik sastra feminis yang diterapkan pada tulisan-tulisan wanita, karena para feminis percaya bahwa pembaca wanita biasanya mengidentifikasikan dirinya atau menempatkan dirinya pada si tokoh wanita, sedang tokoh wanita tersebut pada umumnya merupakan cermin penciptanya.
e.       Kritik sastra feminis-ras atau kritik sastra feminis-etnik yaitu kritik sastra feminis yang mengkaji tentang adanya diskriminasi seksual dari kaum laki-laki kulit putih atau hitam dan diskriminasi rasial dari golongan mayoritas kulit putih, baik laki-laki maupun perempuan. Kritik sastra feminis lesbian, yakni kritik sastra feminis yang yang hanya meneliti penulis atau tokoh wanita saja. Dalam kritik sastra feminis ini, para pengkritik sastra lesbian lebih keras untuk memasukkan kritik sastra feminis lesbian ke dalam kritik sastra feminis serta memasukkan teks-teks lesbian ke dalam kanon tradisional maupun kanon feminis.

Katya tulis ini menggunakan kritik sastra feminis psikoanalitik dalam relevansinya dengan kritik sastra feminis yang melibatkan wanita. Tulisan ini menggunakan kritik sastra feminis psikoanalisis untuk membahas dimensi jender pada tokoh wanita dari sudut pandang psikologis. Cara ini bukan saja memperkaya wawasan para pembaca wanita, tetapi juga membebaskan cara berfikir mereka (Djajanegara, 2000: 28).

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa kritik sastra feminis merupakan kritik sastra dengan kesadaran khusus akan adanya jenis kelamin yang berhubungan dengan budaya, sastra dan kehidupan manusia.

Dalam pengertian yang paling luas, feminisme adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalkan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial lainnya. Senada dengan definisi tersebut, The New Encyclopedia of Britannica memaknai feminisme sebagai  ‘the belief, largely originating in the West, in the social, economic, and political equality of the sexes, represented worldwide by various institutions committed to activity on behalf of women’s rights and interests. Jadi, ‘Feminism’ adalah keyakinan yang berasal dari Barat, berkaitan dengan kesetaraan sosial, ekonomi dan politik antara laki-laki dan perempuan, yang tersebar ke seluruh dunia lewat berbagai lembaga yang bergerak atas nama hak-hak dan kepentingan perempuan.

Di sini juga dijelaskan bahwa akan bisa diketahui bahwa term ‘feminism’ berkaitan erat dengan women’s movement dan gender identity. Dalam pengertian yang lebih sempit, dalam sastra, feminisme dikaitkan dengan cara-cara memahami karya sastra baik dalam kaitannya dengan proses produksi maupun resepsi. Emansipasi wanita dengan demikian merupakan salah satu aspek dalam kaitannya dengan persamaan hak. Dalam ilmu sosial kontemporer lebih dikenal sebagai gerakan kesetaraan gender.

6.      6. Analisis

Pembicaraan mengenai pokok-pokok pikiran feminisme dalam novel Saman pada dasarnya merupakan eksploitasi terhadap pikiran, sikap, dan tindakan tokoh cerita dalam hubungannya dengan eksistensi perempuan. Dalam dunia karya sastra, pikiran, sikap, dan tindakan tokoh cerita tersebut berhubungan dengan pengambaran fisik dan watak tokoh oleh narator, lingkungan yang melatarinya, serta masalah dan tema (Sugihastuti dan Suharto, 2002: 287).
Ayu Utami memandang persoalan-persoalan gender dalam kacamata kaumnya (perempuan) melalui tokoh- tokoh perempuan yang menyetujui gerakan feminisme, dan melakukan perlawanan terhadap nilai-nilai tertentu yang menyosialisasikan perbedaan gender seperti adat dan tafsir agama. Namun perlawanan terhadap nilai-nilai itu bukan tanpa konflik. Konflik utama adalah masalah penilaian masyarakat terhadap perempuan.
Penilaian tentang harga perempuan tidak akan lepas dari norma dan nilai dalam menentukan tinggi rendahnya “harkat dan martabat” perempuan. Kata nilai identik dengan “harkat dan martabat”, nama baik atau citra”. Istilah “perempuan” mengandung arti “wanita” lawan dari laki-laki, bisa jadi yang sudah berstatus sebagai istri atau tidak. Kata “perempuan” bisa diartikan dengan per-empu-an, dari kata dasar “empu” mendapatkan konfiks “per – an”. Kata “empu” dalam bahasa Jawa kuno berarti “tuan” atau “yang mendapat kehormatan”. Pengertian norma tidak akan lepas dari pengertian nilai. Penilaian itu sendiri adalah suatu abstraksi tentang pandangan dan keyakinan seseorang maupun masyarakat tentang apa-apa yang harus dilakukan dan harus dihindari.
Kecenderungan tersebut dapat digambarkan dengan kecenderungan terhadap apa-apa yang disukai dan tidak disukai (Alvin L Bertrand dikutip Sulaiman, 1995: 115). Pengertian nilai, dapat diklasifikasikan dalam tiga hal, yaitu: perasaan (sentimen) yang abstrak, norma-norma, dan keakuan (kedirian). Perasaan dipakai sebagai suatu landasan bagi individu untuk membuat suatu keputusan dan standar tingkah laku yang bersifat pribadi. Demikian pula norma-norma yang merupakan standar tingkah laku yang berfungsi sebagai kerangka pedoman dalam berinteraksi. Adapun keakuan (kedirian) berperan dalam membentuk kepribadian melalui proses pengalaman sosial (Alvin L Bertrand dikutip Sulaiman, 1995: 115).
Tokoh yang hidup adalah tokoh yang berpribadi, berwatak, dan memiliki sifat-sifat tertentu. Tokoh tampil dalam cerita layaknya manusia hidup dengan berbagai dimensi dan permasalahan-permasalahannya. Oemarjati menyatakan yang dimaksud dengan tokoh hidup dalam cerita atau lakon ialah yang mempunyai tiga dimensi yakni dimensi fisiologis, sosiologis, dan psikologis.
Novel Saman menampilkan tokoh-tokoh dengan klasifikasi jenis meliputi, tokoh utama dan tokoh bawahan. Klasifikasi ini didasarkan pada pembagian fungsi dan peran tokoh dalam membangun cerita Saman. Berdasarkan segi peranan dan tingkat pentingnya tokoh, novel Saman memiliki tiga tokoh utama yaitu Saman, Layla,  dan Yasmin serta beberapa tokoh tambahan, yaitu Cok, Shakuntala, Rosano, Sihar, Upi, Anson, dan Mak Argani, ditambah tokoh lain yaitu ayah, ibu,  dan nenek, Rogam, Pater Westenberg, Romo Daru, Suster Marietta, dan sedertan pelengkap penderita lainnya.
Tokoh-tokoh tersebut  dimunculkan sesuai dengan perkembangan alur cerita yang terdiri atas alur mayor dan alur minor. Saman memiliki dua alur cerita, yaitu saat memperjuangkan misi hingga ke perubahan nama Wisanggeni menjadi Saman dan percintaan Laila, kisah seksualitas pribadi Shakuntala, Yasmin, dan Cok.
Saman memiliki tokoh utama Saman, yang kemunculannya banyak dipengaruhi oleh sejumlah tokoh perempuan, yaitu Laila, Shakuntala, Yasmin, Cok, serta sederetan tokoh laki-laki lain. Hal itu dikarenakan tokoh Saman (Wisanggeni) merupakan pusat cerita yang keberadaannya sangat memmengaruhi perkembangan alur cerita. Saman dimunculkan dalam peristiwa-peristiwa fungsional. Adapun fungsi keberadaan tokoh Laila dan Yasmin adalah sebagai perantara munculnya tokoh utama (Saman). Tokoh ini disebut sebagai tokoh tambahan.
Penggambaran tokoh dalam kedua novel tersebut banyak menggunakan metode dramatik. Pengarang lebih banyak membiarkan tokohnya saling menilai dan menggambarkan diri serta berkonflik dibanding menilai dan memberi komentar langsung tentang sosok tokoh pada pembaca. Selanjutnnya pembahasan fokus pada tokoh perempuan Laila dan disinggung beberapa tokoh tambahan lain yang ikut membentuk sifat dan karakteristik tokoh Laila seperti Shakuntala, Yasmin, dan Cok, dengan mendeskripsian secara umum dalam tiga dimensi yaitu, fisiologis, sosiologis, dan psikologis.

6.1 Figur tokoh  Laila

Laila memiliki berbagai kemungkinan sisi kehidupan, kepribadian dan jati diri. Dalam Saman dan   semua sisi tersebut disampaikan dengan jelas, karena pengarang menginginkan bangunan cerita Saman dan   sebagai perjalanan hidup Laila dari berbagai sisi.

Dalam menggambarkan tokoh Laila, maka perlu dibahas masalah citra fisis tokoh dengan menguraikan bagaimana keadaan fisik dari Laila, dari jenis kelamin, usia, dilihat dari tanda-tanda jasmaninya, misalnya dialaminya haid sebagai tanda-tanda kedewasaan seks sekunder.

Dalam penggambaran tokoh atau penokohan tokoh perempuan ada kesejajaran antara citra fisis wanita yang diwakili oleh aku-lirik dengan penyairnya yang wanita dewasa pula. Konteks citra wanita dengan penyairnya tidak dapat dilepaskan dari gynocritics, yaitu kajian tentang gambaran sastra mengenai perbedaan dalam hasil penulisan wanita dengan pria (Selden, 1989: 139). Gynocritics mempertimbangkan konstruksi bingkai kerja yang menganalisa perempuan dalam karya sastra  berdasarkan pengalaman perempuan dan mengadaptasi model serta teori laki-laki.
Ketika seorang anak dilahirkan pada saat itu langsung dapat dikenali laki-laki atau perempuan berdasarkan jenis kelamin yang dimilikinya.“Perempuan itu dipanggil Laila” (Utami, 2001: 8).

Aksesoris biologis yang membedakan antara bayi laki-laki dan bayi perempuan disebut atribut gender. Jika atribut gender sudah jelas, maka dilekatkan kekhususan-kekhususan kepada diri anak itu disebut identitas gender (gender identity). Begitu seorang anak dilahirkan bukan saja dijemput dan dipersiapkan dengan identitas budaya, tetapi juga sudah dijemput oleh seperangkat nilai budaya. Jika ia seorang perempuan maka masyarakat mempersepsikannya sebagai perempuan dan selanjutnya ditunggu untuk memerankan peran budaya perempuan.

Laila adalah perempuan dengan gambaran dimensi fisiologis perempuan dewasa. Dimensi fisiologis Laila adalah perempuan dewasa bila dilihat tingkat kedewasaannya dari usia. Pada sebagian besar kebudayaan kuno, status ini tercapai bila pertumbuhan pubertas telah selesai atau hampir selesai dan apabila organ kelamin anak itu telah berkembang dan mampu berproduksi jadi ukuran kedewasaan hanya berdasarkan pada kematangan fisik belaka. Laila berusia tiga puluh tahun, sudah pantas disebut sebagai perempuan dewasa.“Aku juga percaya pada usia tiga puluh…” (Utami, 2001: 117).

Pembagian masa dewasa dini dimulai pada usia delapan belas tahun sampai kira-kira usia empat puluh tahun, saat perubahan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif. Laila sedang mengalami masa dewasa dini, terjadi perubahan-perubahan dalam penampilan, minat, sikap dan perilaku karena tekanan-tekanan lingkungan tertentu dalam kehidupannya yang menimbulkan masalah-masalah penyesuaian diri yang harus dihadapi.

Citra fisis perempuan yang tergambar adalah citra fisis perempuan dewasa, meskipun secara sosial Laila belum cukup disebut dewasa karena belum menikah. Hal ini tergambar lewat pengenalan tokoh Laila oleh narator dan melalui fokalisasi Laila sendiri.“Saya menjawab, saya tak punya pacar, tapi punya orang tua.” (Utami, 2001: 4). Sebenarnya Laila juga ingin menikah dan melepaskan keperawanannya, namun ia masih berpegang pada norma dan nilai yang melingkupinya. Dia tetap menjaga keperawanannya dan melepaskannya pada saat menikah nanti.

Dari ciri-ciri tubuh dan wajahnya dapat diterangkan dengan kutipan berikut “Potongannya bob, tapi perias di salon membujuk agar dia juga memberi high light warna chestnut” (Saman, h. 7). Dari penampilan Laila serta dari kutipan di atas, dapat kita ketahui  Laila adalah perempuan yang tidak terlalu konsumtif dan sederhana.

Laila memiliki wajah yang sederhana dan tubuh yang mulai cenderung gemuk. Penampilan seorang tokoh dari fisik dan penampilannya berhubungan dengan faktor psikisnya, pembahasannya akan lebih mendalam pada dimensi psikis Laila.

Temanku itu harus berdiet. Ia mulai gemuk. Lehernya mulai berlipat. Ia tak boleh minum susu fullcream. (Saman, h. 117)

Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa Laila kurang memperhatikan penampilannya, dan cenderung apa adanya. Laila berdandan bukan berorientasi ke luar untuk menarik perhatian lawan jenisnya, tetapi untuk dirinya sendiri. Tuntutan agar wanita tampil cantik, juga menuntut sebagian besar waktu dan dana untuk menjaga penampilannya sedangkan Laila tidak begitu memperdulikannya.

6.2  Dimensi Psikologis Tokoh Laila
Sastra berbicara tentang manusia lewat penokohan yang ditampilkan oleh pengarang, sedangkan manusia itu sendiri tidak lepas dari kondisi psikis dan fisisnya. Perempuan sebagai makhluk individu, selain terbentuk dari aspek fisis, juga terbangun oleh aspek psikisnya. Perempuan juga manusia, maka untuk memahami perempuan secara utuh harus dipahami aspek fisis sampai mentalnya.

Freud menyatakan bahwa kepribadian berkembang sebagai respon terhadap empat sumber tegangan pokok yaitu: (a) Proses-proses pertumbuhan fisiologis, (b) Frustrasi-frustrasi, (c) Konflik-konflik, dan (d) Ancaman-ancaman. Dari pernyataan Freud itu dapat disimpulkan bahwa wanita sebagai makhluk psikologis, mempunyai aspek fisis dan psikis yang saling mempengaruhi dan menentukan citra perilakunya.

Dalam pembicaraan aspek psikis ini, diawali dengan membicarakan perbedaan fisis atau biopsikologi laki-laki dengan perempuan. Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa perempuan dan laki-laki secara biologis memberikan sekresi hormon yang bercampur dengan kuantitas dan kualitas yang berbeda-beda. Efek perbedaan biologis terhadap perilaku manusia, khususnya dalam perbedaan relasi gender, menimbulkan banyak masalah. Perbedaan anatomi biologis dan komposisi kimia dalam tubuh dianggap berpengaruh pada perkembangan emosional dan kapasitas intelektual antara keduanya.

Laki-laki diasumsikan mempunyai fisik lebih kuat dari pada perempuan. Di samping itu, perempuan mempunyai fungsi reproduksi, seperti rahim yang dapat mengandung bayi, sewaktu-waktu mengalami menstruasi, dan dapat menyususi bayi. Perempuan menjadi sering lemah karena mengalami fungsi reproduksi yang tidak dialami oleh laki-laki. Bertolak dari perbedaan biologis tersebut di kalangan para ahli ada yang melihatnya mempunyai keterkaitan dengan pola tingkah laku manusia berdasarkan jenis kelamin. Para feminis dan ilmuwan Marxis menolak anggapan di atas dan menyebutnya hanya sebagai bentuk stereotip gender seperti laki-laki memahami seluk beluk dunia, sedangkan wanita kurang berperan dalam perkembangan dunia. Perempuan identik dengan urusan domestik, tanpa tahu bahwa di luar sedang dibuat sejarah.

Aspek psikis wanita tidak dapat dipisahkan dari apa yang disebut sebagai feminitas. Prinsip feminitas ini dijelaskan oleh Yung sebagai sesuatu yang merupakan kecenderungan yang ada dalam diri wanita; prinsip-prinsip itu antara lain menyangkut ciri relatedness, receptivity, cinta kasih, mengasuh berbagai potensi hidup, orientasinya komunal, dan memelihara hubungan interpersonal (Sugihastuti, 2000: 95). Untuk mencapai satu perkembangan kepribadian yang harmonis, seyogyanya wanita memiliki empat elemen yang seimbang beratnya, yaitu masokhisme, narsisme, erotik, dan relasi keibuan (Kartono, 1989:  235).

Gambaran ruang terbuka yang juga mempengaruhi gambaran tokoh Laila adalah Taman Central Park New York. Detil suasana yang digambarkan pengarang
Unggas kecil mencari matahari dari celah-celah daun, membiarkan garis-garis cahaya memanasi birahi hingga tanak seperti nasi. Beberapa, yang terdengar bernyanyian, akan pacaran dan kawin di musim ini.
(Utami, 2001: 5)
Wacana seekor unggas yang memanasi birahi, pacaran dan kawin mewakili perasaan Laila yang menunggu Sihar untuk pacaran atau memanasi birahi. Detil-detil suasana itu, semuanya memberi rasa tenteram pada diri Laila. Hal itu dapat ditafsirkan bahwa Laila memiliki sifat romantis dan sentimentil.
Perempuan diidentifikasikan bertingkah laku tidak terlalu agresif dan lebih emosional. Identifikasi itu tidak tampak dalam tingkah laku Laila, Laila sebenarnya agresif dan ia mampu menyembunyikan emosinya. Di sini juga terlihat bahwa perempuan seperti Laila juga dapat mencintai secara aktif seperti laki-laki dan tidak melulu pasif serta menunggu, perempuan juga dapat menikmati tubuh laki-laki. Perlawanan Laila terhadap stereotipe perempuan sebagai objek laki-laki dengan kesadaran bahwa ia juga dapat menikmati laki-laki dan memiliki sifat maskulin. 
Ketika kami meninggalkan tempat itu, saya melihat si lelaki berkacamata mencopot singletnya, dan memakainya untuk melap keringat. Mula-mula di leher, lalu di ketiak, dan di dadanya yang telanjang.”
                                                                             (Utami, 2001: 11)

Laila menikmati tubuh laki-laki seperti laki-laki menikmati tubuh perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa Laila tak berbeda dengan laki-laki, Laila juga memiliki naluri kemanusiaan seperti laki-laki. Hal bukan merupakan sifat umum dari perempuan pada umumnya yang bersifat pasif.

Kalimat “agak tersipu” dan “di luar akal sadarnya” memberikan pengertian bahwa ketertarikannya itu tidak terjadi terus menerus, dan tentunya bersifat alami di luar kehendaknya. Kepasifan wanita dianggap sebagai inti dari kewanitaannya. Sehubungan dengan ini maka ada dugaan, bahwa aktivitas senantiasa berkaitan dengan kejantanan (sifat-sifat jantan), sedang kepasifan berkaitan dengan kewanitaan; kedua konsep tersebut melekat pada kesadaran manusia.
Aku selalu bertanya apa yang dia lakukan. Aku dicium, jawabnya suatu pagi. Tak boleh lagi kamu dicium, kataku, besok-besok kamu harus berciuman. Suatu siang ia laporan: semalam aku ciuman.
(Utami, 2011: 128)

Pemahaman perempuan dalam hubungannya dengan laki-laki, fungsi perempuan dalam kapasitasnya sebagai orang yang diminta, bukan yang meminta, orang yang dinikmati bukan yang menikmati. Dalam diri Laila terjadi perubahan dalam menyikapi perlakuan laki-laki kepadanya, dengan membebaskan diri dari stereotipe wanita adalah objek bagi laki-laki.

Relasi individu dengan lingkungan kulturalnya itu sedikit banyak merupakan ulangan dari relasi dirinya dengan keluarga dan milieunya pada usia kanak-kanak (Kartono, 1989: 278). Hal ini dapat dihubungkan dengan kisah Laila yang mengingkari buah dadanya dan menstruasinya. Laila mengalami “gangguan identitas jenis tidak khas”, yaitu tidak sepenuhnya menunjukkan tanda-tanda transseksualisme, akan tetapi ada perasaan-perasaan tertentu yang menolak struktur anatomi dirinya. Gangguan pada kepribadian Laila ini disebabkan oleh pengalaman masa kecilnya sebagai bentuk ketakutan. Laila menghadapi masa pubertas dengan penolakan dan pengingkaran haidnya dan penderitaan yang menyertainya.

Ingatan Laila pada masa lalunya itu sangat membekas di hati Laila, bahkan ia tidak dapat menceritakannya pada siapapun termasuk kepada Wisanggeni (Saman) yang saat itu masih menjadi Frater di sekolahnya. Laila hanya menyimpan dalam hati peristiwa itu dan baru muncul menjadi ketakutan pada bawah sadarnya yang menekan batinnya. Tekanan-tekanan tersebut akhirnya muncul dalam bentuk sikapnya dalam hubungannya dengan laki-laki. Laila menyadari bahwa karena atribut biologis yang berbeda dari laki-laki, maka ia merasa bahwa perempuan diciptakan sebagai objek seksual laki-laki. Dari perlakuan laki-laki disekitarnya Laila mengamati bahwa laki-laki menilainya sebagai perempuan hanya dari segi fisiknya saja. 

Aspek fisis perempuan di sini berhubungan erat dengan aspek psikisnya, bahwa perempuan itu lebih banyak mengarah ke luar, kepada subjek lain. Pada setiap kecenderungan keperempuanannya, misalnya saja pada caranya berhias, secara primer wanita menunjukkan aktifitasnya ke luar, untuk menarik perhatian pihak lain, terutama seks lain (Kartono, 1981, h. 182). Laila sadar bahwa ia berhias untuk dirinya sendiri karena ia menghargai dirinya dalam cara pandangnya sendiri sebagai perempuan, bahwa ia bukanlah objek dari laki-laki. Ini sangat berpengaruh pada kadar narcissismenya karena dapat memberikan penguatan tentang keperempuanannya. Hal ini disebabkan adanya tuntutan masyarakat tentang penentuan sesuatu yang pantas bagi perempuan. Perempuan dituntut untuk menjadi “cantik”, tuntutan itu berkembang dari perkembangan industri yang membawa perempuan menjadi eksploitasi industri terutama melalui kosmetik.
Citra perempuan bahkan dibentuk oleh media massa, yang dijadikan objek untuk produk kapitalis. Media massa menampilkan perempuan yang dianggap cantik dengan ciri-ciri fisiologis tertentu seperti tinggi, langsing, seksi dan sebagainya. Citra perempuan seperti itu tidak kita dapatkan pada Laila. Laila bertubuh cenderung gemuk yang dapat kita tangkap dari penilaian tokoh Shakuntala dan monolog tokoh Laila sendiri.
Temanku itu harus berdiet. Ia mulai gemuk. Lehernya mulai berlipat. Ia tak boleh minum susu fullcream. (Utami, 2001: 117)
Laila digambarkan sebagai tokoh yang tidak terlalu memenuhi tuntutan masyarakat tentang nilai perempuan dari segi fisiknya yaitu “cantik”, namun Laila tampak terpengaruh dengan konsep cantik itu dengan munculnya perasaan selalu dihantui rasa cemas atas penampilannya. Sifat narcisisme adalah penegas sifat keperempuanannya.
  Di dalam struktur masyarakat manusia yang sudah dibangun sejak berabad-abad lamanya, keluarga merupakan milieau pertama bagi manusia, di mana ia menjalani proses sosialisasi atau proses pemanusiaan. Latar kehidupan atau budaya yang melatari cerita ini adalah budaya di Indonesia, budaya yang masih menilai kedewasaan dari segi sosiologis. Kebudayaan yang menilai seorang anak telah mencapai taraf dewasa bila ia telah menikah, masih mengharuskan atau menganggap pantas seorang anak terutama anak perempuan tetap tinggal dengan kedua orangtuanya. Laila yang telah dewasa secara fisiologisnya, dan telah menemukan norma-normanya sendiri, namun Laila masih tinggal dengan kedua orangtuanya. Meskipun Laila sudah tumbuh optimal bail secara fisik maupun mental, namun belum dewasa secara penuh. Laila masih tinggal dalam keluarganya dan masih dikontrol tingkah lakunya, sedangkan dalam diri Laila telah ada kesadaran bahwa dalam melakukan tingkah laku moralnya dikemudikan oleh tanggung jawab batinnya sendiri, yang kemudian mempengaruhi sikap dan keputusan Laila. Dalam menentukan pengambilan perannya sebagai perempuan baik peran menjadi istri atau menjadi ibu, dan dalam menentukan hal-hal kecil seperti jam pulang masih diberlakukan kepada Laila.
“Saya masih tinggal bersama orangtua. Mereka akan bertanya-tanya jika saya tidak pulang.”
“Meskipun kamu sudah dewasa dan sering bepergian?” ujarnya. Saya mengiya. (Saman, h. 5)
Bahkan di dalam keluarga pun Laila merasakan adanya dominasi laki-laki dan peraturan sistem patriarki yang mengekang perempuan. Lingkungan dikendalikan oleh kekuasaan-kekuasaan mutlak dan kesewenang-wenangan laki-laki, dengan pernyataan Laila sebagaimana ktuipan berikut, “Saya sendiri sudah lelah untuk takut pada ayah” (Utami, 2001: 29).
Dalam aspek psikisnya, kejiwaan perempuan dewasa ditandai antara lain oleh sikap pertanggungjawaban penuh terhadap diri sendiri, bertanggung jawab atas nasib sendiri, dan atas pembentukan diri sendiri (Kartono, 1981: 175). Pada usianya yang tiga puluh itu, Laila mengalami ketegangan emosi, dalam bentuk keresahan mengenai masa depannya yang berkaitan dengan pilihan perannya nanti yaitu perkawinan. Walaupun sebatas imajinasi atau khayalan, Laila menunjukkan visinya mengenai masalah kebebasannya atau kemandiriannya memutuskan tubuhnya sebagai bentuk pemberontakan atas ketersudutan perempuan yang diatur dalam ketabuan-ketabuan bagi perempuan, bahkan dalam pikirannya pun perempuan merasa diatur oleh ketabuan-ketabuan. Sebagai perempuan Asia, Laila tidak dapat lepas dari peraturan yang membatasinya itu meski ia telah berada di tempat lain yang dianggapnya tidak terdapat peraturan yang bias gender.“Tapi saya sudah di sini, di New York. Barangkali di sini tak ada lagi lelaki yang harus bertanggungjawab atas keperawanan siapapun.” (Larung, h. 101).
Konsep keperawanan menurut Laila adalah sesuatu yang justru malah membuat  perempuan semakin tersudut dan menjadi objek bagi laki-laki yang ingin memanfaatkan perempuan.    
”Dan saya telah memilihnya sebagai lelaki yang pertama.”
(Utami, 2001: 29).
Setelah itu sayang kita tertidur. Dan ketika terbangun, kita begitu bahagia. Sebab ternyata kita tidak berdosa. Meskipun saya tak lagi perawan.
(Utami, 2001: 30)
Perempuan berhak memilih dan memutuskan dengan siapa dia akan melepaskan keperawanannya sebagai bentuk otonomi atas tubuhnya, tanpa ada perasaan berdosa. Seks bagi Laila adalah sebuah perbuatan yang identik dengan dosa karena peraturan-peraturan yang mempengaruhi pemahamannya mengenai konsep keperawanan. Pengaruh lingkungan dan teman-temannya mempengaruhi keputusannya dalam memutuskan otonomi terhadap tubuhnya
Sifat komunal adalah salah satu sifat keperempuanan. Faktor “persahabatan” di antara para perempuan seringkali berperan penting dalam perkembangan seksual dan psikologi mereka, karena seringkali informasi-informasi tentang hubungan seksual yang ada dalam otak mereka berkaitan dengan perasaan takut, cemas, dan jijik. Dalam persahabatan itu Laila berbagi pengalaman di antara mereka tentang seks, dan melalui interaksi-interaksi dengan lingkungannya.
Interaksi dapat terwujud pada sesama perempuan, pada interaksi dengan lelaki sebagai lawan jenisnya, atau interaksi dalam keluarga dan masyarakat luas. Interaksi perempuan dengan lingkungan sosialnya akan mempengaruhi citra dirinya sebagai perempuan. Interaksinya dengan perempuan adalah hubungan yang tidak memperhitungkan untung rugi seperti interaksi dengan laki-laki. Interaksi itu mempengaruhi perempuan dalam bersikap dan mempengaruhi pula cara wanita menghadapi berbagai alternatif yang terbuka baginya.
Konflik batin terjadi pada diri Laila yang tetap memegang norma-norma tradisi yang telah tertanam dalam dirinya, meskipun ia ada di suatu tempat dimana kebebasan pribadi sangat dihargai dan dijunjung tinggi , ia masih merasa berdosa bila melanggar nilai dan norma itu. Laila yang merasakan budaya yang bertentangan antara budaya tradisional dan budaya modern, mengalami kebingungan dalam memilih dan menentukan nasib dirinya.
Kami berada di sebuah kamar hotel. Saya hampir-hampir gemetaran karena malu dan berdebar. Saya belum pernah sekamar dengan seorang lelaki sebelumnya.
                                                                                                            (Utami, 2001: 3)
Dia katakan bibir saya indah. Ciumlah-cium di sini. Saya menjawab tanpa kata-kata. Tapi saya telah berdosa. Meskipun masih perawan.
                                                                                                           (Utami, 2001: 4)
Dari segi moralitas Laila masih mempertimbangkan faktor norma dan nilai tradisional yang masih hidup dilingkungannya. Namun dalam diri Laila juga timbul pertentangan. Bagi laki-laki yang berselingkuh atau mencari objek lain untuk dicintai, masyarakat tidak terlalu mengambil pusing dengan hukuman bagi mereka. Hal ini tentunya disebabkan karena adanya anggapan bahwa laki-laki cenderung berpoligami, sedangkan bagi perempuan yang berselingkuh akan dihukum oleh masyarakat secara bertubi-tubi.
Dia diam tidak bercerita apakah dia pernah membawa perempuan seperti ini. Tetapi dia adalah seorang lelaki yang bekerja di kilang minyak, yang menghabiskan beberapa bulan di tengah hutan dan lautan, dari sana kehidupan terdekat hanyalah warung-warung kecil dengan pelacur di biliknya yang muram dan berlumut pada dinding, atau perkampungan yang banyak gadis-gadis ranumnya senang dikawini oleh para buruh perminyakan.
(Utami, 2001:  4)   
Adanya anggapan bahwa laki-laki adalah tempat bagi perempuan untuk  mendapatkan eksistensi serta tempat bagi wanita menggantungkan hidupnya, telah membuat perempuan menjadi objek bagi suaminya.
Dia bukan orang yang secara seksual setia pada istri, seperti enam puluh persen lelaki di sini. Tetapi ia tidak pernah menyia-nyiakan keluarga. Istri dan, anak-anaknya, ayah ibu dan mertua.
                                                                                                              (Utami, 2001: 20)
Hal ini tentunya mempengaruhi Laila dalam pemikirannya dan keputusannya, dalam menentukan nasib sendiri atas pembentukan diri sendiri. Laila yang tidak mau kehilangan keperawanannya, sesuatu yang dituntut oleh lingkungan pada seorang perempuan yang belum menikah. Meskipun Laila masih perawan dia tetap merasa berdosa karena merasa telah melanggar semua nilai dan norma masyarakat. Dalam diri Laila kemudian muncul pemikiran yang salah karena merasa norma dan nilai yang melingkupinya adalah peraturan yang dibuat oleh laki-laki demi kepentingan laki-laki. Ketersudutan Laila atas norma dan nilai yang melingkupinya serta pengalaman masa kecilnya yang traumatis  membuat Laila berpikir bahwa semua adalah kesalahan laki-laki dan laki-laki adalah musuh bagi perempuan.
“Apa salah laki-laki?”
Jawab Laila: “Sebab mereka mengkhianati wanita. Mereka cuma menginginkan keperawanan, dan akan pergi setelah si wanita menyerahkan kesuciannya. Seperti dalam nyanyian.”
 (Utami, 2001: 148-149)  
Laila menganggap bahwa konsep tentang kesucian atau keperawanan hanyalah sebagai suatu bentuk penindasan laki-laki terhadap perempuan. Hal ini berhubungan dengan konsep patriarki, konsep budaya yang banyak mewarnai lingkungan masyarakatnya. Bahkan agama pun membolehkan laki-laki berpoligami. Hal ini karena Tuhan menciptakan perempuan dengan selaput dara maka perempuan memang ditakdirkan untuk hanya menikah dengan seorang lelaki (monogami) yang harus bertanggung jawab atas keperawanannya, seakan-akan menyiratkan bahwa peraturan itu dibuat oleh laki-laki dan Tuhan adalah laki-laki. Kelemahan perempuan ini sering dimanfaatkan oleh laki-laki. Perasaan Laila tentang konsep patriarki tersebut digambarkan lewat kutipan
“Urusan laki-laki,” kata Saman. Itu membuat saya tersinggung, tetapi juga heran. Dulu Saman tidak begitu. Malah, cenderung ada kesadaran dalam dirinya untuk menghapuskan kelas-kelas urusan lelaki dan perempuan.”
(Utami, 2001: 33).
Temperamen, sikap dan perilaku Laila tersebut juga dipengaruhi oleh keinginan dan perasaan pribadinya dalam masalah patriarki yang dianggapnya membatasi  dan menyudutkan perempuan dalam menentukan pilihan-pilihannya dan membatasi perempuan dalam permasalahan domestik saja dan tidak dapat masuk dalam permasalahan publik yang hanya milik laki-laki.  
Dari gambaran situasi di atas, dapat ditangkap bahwa perasaan Laila yang merasa terasingkan dan tidak dapat masuk ke dalam dunia publik. Sementara Saman mampu masuk ke dalam dunia domestik. Ia terasingkan dan merasa tersisih dari Saman dan Sihar. Perasaannya itu mempengaruhi rasa percaya dirinya. Rasa tidak percaya diri Laila itu disebabkan karena merasa sebagai perempuan yang berada di bawah laki-laki dan tidak mempunyai kemampuan seperti laki-laki dan menjadi objek bagi laki-laki.
Tapi terdengar orang-orang bersiul ketika mereka sudah lewat. Laila mulai merasa asing sebagai satu-satunya perempuan di tempat ajaib ini. Tempat ini ajaib sebab cuma ada satu perempuan. Saya.
 (Utami, 2001: 8)
Orang-orang yang kami hampiri segera menatap saya dengan mempertontonkan semangat. Sebab saya satu-satunya perempuan.
(Utami, 2001: 11)
Perempuan yang memiliki sifat-sifat keperempuanan sejati itu pada umumnya bersifat monogam (mono=satu; gamos=perkawinan; kawin dengan seorang saja). Hal ini dianggap esensial untuk menjaga kemurnian keturunan.
Barangkali saya terobsesi pada dia, yang bayangannya selalu datang dan jarang pergi.           
(Utami, 2001: 28)
Ada perasaan geli namun rindu mengingat bahwa saya pernah begitu menyukai dia. Tapi itu sudah lalu. Dan hati saya kini terarah kepada Sihar.
(Utami, 2001: 24)
Laila menginginkan seorang suami, yang tentunya juga ia cintai. Ketertarikannya pada Sihar ingin dilanjutkannya ke jenjang pernikahan. Laila ingin menyerahkan keperawanannya kepada Sihar.“Hubungan kami tentu bukan hal yang indah bagi orang-orang terdekat kami. Istri dan anaknya. Orang tua saya.” (Utami, 2001: 25-26). Hubungan Laila dengan Sihar adalah hubungan di luar nikah yang menurut norma kesusilaan dalam masyarakat sangat ditabukan. Laila menyadari hal ini. Pertentangan psikologis terjadi  pada diri Laila, karena konsep pemahamannya mengenai cinta hanya pada tataran fisik sebatas pada pemahaman secara manusiawi.
Lalu cinta menjadi sesuatu yang salah. Karena hubungan ini tidak tercakup dalam konsep yang dinamakan perkawinan.
“Kamu ternyata lelaki Batak yang takut istri.” Sihar apakah kamu tidak memikirkan bahwa aku juga punya rasa bersalah pada orangtua? Tapi aku tak pernah membatalkan janji karenanya.
(Utami, 2001: 26-27)
 Perkawinan berfungsi sebagai media normatif bagi individu ketika ingin menjalin hubungan dengan lawan jenisnya. Hal ini disebabkan karena lembaga perkawinan akan melegitimasi hubungan lelaki dan perempuan agar hubungan tersebut diakui eksistensinya oleh masyarakat. Masyarakat akan menghukum dengan mengasingkan individu-individu yang melakukan hubungan yang tidak berada dalam lembaga perkawinan tersebut. Akibatnya, Laila mengalami kecemasan dan depresi psikis, yang disertai dengan penyesalan diri secara mendalam karena merasa dirinya tercemar.
Dan di kamar itu, dia nampak sedikit gugup, saya kira, tetapi jauh dari kalut seperti yang saya rasakan sehingga saya bersembunyi di kamar mandi ketika pelayan masuk membawa pesanan. Sebab saya ini orang yang berdosa.
(Utami, 2001: 4) 
Laila mengalami proses penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Orang dewasa dini diharapkan memainkan peranan baru, seperti peran suami/istri, orangtua, dan pencari nafkah serta mengembangkan sikap-sikap baru, keinginan-keinginan dan nilai-nilai baru sesuai dengan tugas-tugas baru itu. Penyesuaian ini menjadikan periode ini suatu periode khusus dan sulit dari rentang hidup seseorang. Perkawinan menurut tokoh Laila adalah sesuatu hal yang mestinya dilakukan oleh kedua individu yang telah dipertemukan oleh Tuhan. Faktor cinta dan pengertian di antara kedua individu menurut agama bukanlah faktor utama untuk melaksanakan perkawinan.
“Apakah Tuhan memerintahkan lelaki dan perempuan untuk mencintai ketika mereka kawin? Rasanya tidak.”
(Utami, 2001: 30).
Konflik-konflik psikis bisa diperkuat oleh tuntutan-tuntutan orangtua atau tuntutan sosial lainnya. Laila mengalami konflik batin dalam menghadapi lingkungan yang selalu berat dan banyak menuntut dan menekan. Hal ini tampak dari keinginan Laila untuk bertemu dengan Sihar
Sebab saya sedang menunggu Sihar di tempat ini. Di tempat yang tak seorangpun tahu, kecuali gembel itu. Tak ada orang tua, tak ada istri. Tak ada hakim susila atau polisi.
 (Utami, 2001: 3)
Dalam aspek psikis perempuan, digambarkan ketersudutan perempuan karena norma-norma sosial yang ada di lingkungannya.
Barangkali saya letih dengan segala yang menghalangi hubungan kami di Indonesia. Capek dengan nilai-nilai yang kadang seperti teror. Saya  ingin pergi dari itu semua , dan membiarkan hal-hal yang kami inginkan terjadi. Mendobrak yang selama ini menyekat hubungan saya dengan Sihar…
(Utami, 2001: 28 dan 30).
Perkawinan menurut agama yang dianut Laila adalah sebuah ibadah. Perkawinan dilakukan karena ingin membahagiakan orangtua dan ingin mengabdi pada kemanusiaan yaitu untuk meneruskan keturunan.
Laila sedang dalam perjalanan mencari seorang lelaki yang pantas untuk membangun keluarga dan membahagiakan orang tua. Keduanya adalah ibadah yang mendatangkan pahala.
 (Utami, 2001: 127)

Laila adalah perempuan lajang, sebuah hubungan yang diperbolehkan oleh hukum meski Sihar adalah laki-laki beristri, namun masih mungkin bila dilihat dari sisi agama, apabila Sihar mendapat ijin dari istrinya untuk menikah lagi karena tidak dapat memberikan keturunan. Namun itu tidak dimungkinkan oleh pengarang, karena Laila tidak mau menyakiti hati istri Sihar dan orangtuanya.
“Jadi apa sebetulnya yang kamu cari? Perkawinan bukan, seks bukan.”
“Aku cuma pengin sama-sama dia.”
“Laila, kalau kamu kencan dengan dia di sini, kamu pasti akan begituan lho? Kamu sudah siap?”
“Enggak-enggak tahu …”
“Dia pasti minta kamu bagaimana?”
“Aku cuma pengin sama-sama dia. Aku capek menahan diri.”
(Saman, h.145)
Meskipun Laila memahami betul aturan agama dan masyarakat, rasa cinta Laila kepada Sihar membuatnya tetap ingin bertemu dengan Sihar meskipun itu berarti mereka berselingkuh. Perselingkuhan adalah sebuah budaya yang mulai banyak menggejala pada masyarakat perkotaan. Budaya perselingkuhan dalam rumah tangga (marital love) didukung oleh pemberontakan sebagian kaum perempuan yang menganut faham feminisme yang sebenarnya ingin menunjukkan bahwa tidak hanya lelaki yang bisa mencintai secara aktif dan memiliki objek lain untuk dicintai (poligami) namun perempuan juga memiliki hak dan kemampuan yang sama untuk berbuat demikian. Perlawanan Laila itu digambarkan dengan pergi ke New York, serta harapan bahwa di sana hubungannya dengan Sihar bisa terbebas dari semua yang menghalangi hubungan mereka. Laila hanya mencintai Sihar tanpa memiliki keinginan untuk memiliki atau dimiliki, Laila hanya ingin bertemu Sihar.
Laila adalah perempuan yang secara psikis sangat menonjol sifat sosialnya, hal ini sangat berpengaruh pada relasi keibuannya. Sebagai perempuan tokoh Laila digambarkan sebagai tokoh yang menonjol sifat kesosialannya. Hal ini digambarkan lewat kecemasan Laila ketika menunggu Sihar.
Saya tiba-tiba khawatir. Saya mulai cemas, yang membuat lutut terasa kosong yang ditinggalkan setelah daging siputnya melisut terkena racun yang mengeringkan lendir. Apakah pesawatnya tiba dengan selamat?…Sihar saya cemas! Cemas sekali. Masih hidupkah kamu?
(Utami, 2011: 38)
Sikap ini memperlihatkan bahwa Laila sebagai insan sosial selalu memperhatikan objek di luar dirinya. Hal inilah yang membedakan psikis perempuan dengan laki-laki. Laila memiliki naluri untuk merawat, memiliki kepekaan dan kehalusan sebagai ungkapan perasaan kasih sayang.
Tapi kini di depannya adalah tangan Sihar yang luka, yang membukakan afeksi di antara mereka berdua.
(Utami, 2001: 18)       
Saya ikut bersedih walaupun tidak sempat kenal dia.” Kasihan keluarganya apakah dia suami setia?
( Utami, 2001: 18)
Tapi begitulah Laila, pada siapapun dia memberi. Dia sahabat terbaik yang pernah kudapat. Karena itu aku takut dia disakiti. Barangkali aku terlalu protektif?
(Utami, 2001: 131)
Dorongan seks itu adalah alami, persis seperti rasa lapar dan dahaga yang membutuhkan pemuasan. Oleh karena itu bentuk pemuasannya juga harus bersifat alami (natural). Jadi sama pula pemenuhannya seperti pemuasan bagi bermacam-macam dorongan dan kebutuhan dasar manusia lainnya. Manusia juga sama seperti burung atau binatang lain yang memiliki naluri untuk kawin. Seks bagi manusia tidak pernah “bebas nilai” maka nilai-nilai seks itu sendiri menjadi kabur atau tertutupi oleh nilai-nilai yang menungganginya. Memang betul, bahwa tabu-tabu seks itu artifisial sifatnya; sama halnya dengan semua hukum yang juga artifisial sifatnya. Dengan alasan demi menjamin keamanan dan kesejahteraan sosial, tabu-tabu seks itu lebih banyak dibuat untuk perempuan dan menyudutkan perempuan.
Salah satu sebab yang jelas adalah karena peraturan-peraturan itu dibuat oleh laki-laki.“Di taman ini saya adalah seekor burung.” (Utami, 2001: 1). Seks pada diri Laila kemudian hanya dipahami sebagai aktivitas biologis yang berhubungan dengan alat reproduksi belaka, padahal makna seks sebagai jenis kelamin sekalipun sebenarnya meliputi keseluruhan kompleksitas emosi, perasaan, kepribadian, dan sikap seseorang yang berkaitan dengan perilaku serta orientasi seksualnya. Dorongan seks pada saat ini lebih banyak bersifat artifisial dari pada alami, disebabkan semakin banyaknya stimuli seks dalam masyarakat modern berupa: blue film, gambar foto majalah porno, pertunjukkan seks secara live, eksploitasi tubuh wanita di televisi, dan lain-lain. Pengeksploitasian seks secara berlebihan ini justru semakin membuat perempuan menjadi objek bagi laki-laki. Tidak seperti burung yang melakukan seks (kawin) karena memang sudah benar-benar merasa perlu bagi jantan dan bagi betinanya sehingga tidak terjadi perkosaan.
…Unggas kecil mencari matahari dari celah-celah daun, membiarkan garis-garis cahaya memanasi birahi hingga tanak seperti nasi. Beberapa yang terdengar bernyanyian, akan pacaran dan kawin di musim ini…Kitapun tidak tahu namanya. Kita cuma tahu mereka bahagia. Adakah keindahan perlu dinamai?
 (Utami, 2001: 2)   
Dalam hati Laila menginginkan kebebasan dari semua nilai-nilai yang mengekangnya. Laila ingin seperti unggas  yang memiliki ritme aktifitas seksual yang dapat ia tentukan sendiri bila ia telah siap. Seperti unggas betina yang kawin bila sel-sel telurnya telah matang.
Orang-orang, apalagi turis, boleh menjadi seperti unggas: Kawin begitu mengenal birahi. Setelah itu tak ada yang perlu ditangisi. Tak ada dosa.
(Utami, 2001: 3)
Manusia berbeda dari burung atau unggas yang ritme aktifitas seksualnya ditentukan oleh alam, yang ditandai dengan kematangan sel-sel telur pada binatang betina. Sedang produksi hormonal pada binatang jantan juga meningkat pada saat itu. Pada manusia, sampai batas tertentu ritme ini pun masih juga berlaku. Namun dengan perkembangan evolusi, aktifitas seksual wanita tidak lagi mengikuti irama dan tuntutan fungsi reproduksinya. Hal ini disebabkan wanita pada zaman sekarang terpaksa tunduk menyerah pada kemauan dan penguasaan kaum laki-laki. Sedang pada saat yang sama, seksualitas pria mengalami evolusi perkembangan pula, dan tidak tergantung pada ritme kematangan sel telur perempuan lagi, karena pria banyak dirangsang oleh stimuli artifisial atau buatan dari luar.
6.2  Dimensi Sosiologis Tokoh Laila
Pekerjaan Laila adalah fotografer, sebuah pekerjaan yang cenderung bersifat maskulin karena kebanyakan berhubungan dengan pekerjaan lapangan.“Laila fotografer. Toni, penulis.” (Saman, h. 11). Pekerjaan Laila adalah fotografer, karena dia perempuan maka pekerjaannya lebih banyak di dalam ruangan.
Dalam dunia kerjanya Laila merasakan adanya dominasi laki-laki. Ruang terbuka yang digunakan sebagai latar dalam novel Saman adalah kota Jakarta, New York dan kilang minyak di lepas pantai Laut Cina Selatan. Apabila dikaitkan dengan gambaran tentang tokoh Laila, ada beberapa hal yang dapat ditafsirkan dari tempat-tempat itu. Kilang minyak di lepas pantai Laut Cina Selatan yang dikunjungi Laila dengan frekuensi hanya sekali saja, namun sangat berperan dalam pembentukkan tokoh Laila. Latar Rig atau pertambangan minyak menggambarkan usaha Laila untuk masuk ke dunia publik. Rig (pertambangan minyak) yang pekerjanya didominasi oleh laki-laki, hanya ada satu perempuan saat itu yaitu Laila. Suasana ini tentunya membuat Laila merasa asing.“Laila mulai merasa asing sebagai satu-satunya perempuan di tempat ajaib ini. Tempat ini ajaib sebab cuma ada satu perempuan. Saya.” (Utami, 2001: 8). Dalam dunia yang didominasi laki-laki tersebut Laila merasa terkucilkan dan sekaligus merasa menjadi objek bagi laki-laki di sana. Laki-laki melihatnya seperti lebah melihat madu.
Frekuensi tertinggi kemunculan tokoh Laila di luar ruang adalah di Taman Central Park New York. Kota Jakarta secara umum tidak berperan mendukung pembentukan watak tokoh, hanya menegaskan bahwa Laila adalah seorang pekerja keras yang berperan sebagai perempuan karir. Tidak ada gambaran yang jelas tentang lokasi-lokasi yang pasti di mana rumah Laila di Jakarta serta lokasi kantornya.
Dalam sehari-harinya Laila digambarkan lebih sering berada di luar rumah, Laila berada di tempat-tempat itu untuk bertemu teman, klien atau relasi. Hal itu dapat ditafsirkan bahwa Laila adalah seorang perempuan yang bertipe pekerja keras yang suka bersosialisasi. Dari gambaran itu dapat diinterpretasikan bahwa Laila lebih cenderung berada di luar rumah (wilayah publik) dari pada di dalam rumah melakukan pekerjaan rumah di wilayah domestik.
Kebangsaan atau suku keturunan Laila adalah campuran darah antara darah Sunda dan Minang.
Barangkali juga karena ia tumbuh dari ayah ibu yang tak pernah betul-betul menyukai orang Jawa yang dirasa dominan. Laila Gagarina, dari nama panjangnya orang Indonesia bisa menduga bahwa ia lahir dari orangtua Minang setelah tahun enam puluhan. Ayahnya pasti mengagumi Yuri Gagarin. Ibunya wanita Sunda yang selalu merasa sepertiga dibanding dua pertiga terhadap Jawa.
Sesuatu yang sangat ironis ditampilkan di sini, Sunda adalah daerah bagian pulau Jawa yang notabene kebudayaannya bersifat patrilinier, dimana garis keturunan ayah yang mendominasi. Namun ayah Laila berdarah Minang yang berlatar kebudayaan matrilinier, dimana garis keturunan ibu yang mendominasi. Hal ini tidak merubah dan mempengaruhi hubungan dalam keluarga Laila, dimana ayah tetap memiliki kekuasaan penuh sebagai kepala keluarga. Dalam kebudayaan universal, dimana pun dan kapan pun ayah  tetap berkuasa, meskipun Laila telah lari ke New York sekalipun. Anak adalah tanggung jawab berdua (suami dan istri), tetapi kebanyakan perempuanlah (ibu atau istri) yang menanggungnya, padahal ketika anak sudah dewasa, ia lebih dikenal sebagai anak ayahnya dari pada ibunya.
Pandangan hidup Laila juga dipengaruhi oleh agama dan lingkungan budayanya, hal ini sangat berpengaruh dalam menentukan jalan hidupnya. Dalam pendidikan keluarga Laila ditanamkan dalam dirinya bahwa perempuan pada akhirnya harus menikah, karena menikah bagi perempuan adalah ibadah dan perempuan akan mendapatkan nilainya sebagai perempuan ketika telah menikah.
Laila bukanlah aku atau Cok, orang-orang dari jenis yang tak peduli betul pada pernikahan atau neraka,…Laila sedang dalam perjalanan mencari seorang lelaki yang pantas untuk membangun keluarga dan membahagiakan orangtua. Keduanya adalah ibadah yang mendatangkan pahala.
(Utami, 2001: 127)
Laila melihat bahwa pada akhirnya nanti, Laila akan menjadi istri dan menggantungkan diri pada laki-laki yang akan menjadi suaminya. Perempuan sejak dilahirkan dipersiapkan untuk menjalankan peran budayanya sebagai perempuan yaitu menikah.
Pandangan hidup Laila itu juga sangat dipengaruhi oleh agama dan kepercayaan atau ideologi Laila.
“Ketika kecil sampai remaja ia biasa sembahyang dan pembagian lima waktu menetap dalam kesadarannya seperti jam matahari.”
(Utami, 2001: 13)
Laila adalah penganut Islam atau muslim yang sangat taat beribadah. Hingga bawah sadarnya Laila berpegang pada agama dan hal ini berpengaruh pada setiap keputusan yang diambilnya. Kebimbangan Laila ketika menentukan perannya dalam masyarakat untuk menikah atau tidak menikah digambarkan lewat kutipan berikut
Bukankah kita saling mencintai? Atau pernah saling mencintai? Apakah Tuhan memerintahkan lelaki dan perempuan untuk mencintai ketika mereka kawin? Rasanya tidak.
(Utami, 2011: 30)
Pada akhirnya karena banyak mengalami kekecewaan-kekecewaan sebagai perempuan dalam hubungannya dengan lawan jenisnya, Laila memutuskan untuk tidak menikah meskipun hidup berumah tangga juga dapat memberikan kesempurnaan hidup juga.
  Sebagai muslim yang taat, Laila disekolahkan di sekolah yang berlatar belakang agami Nasrani.
Kelegaan itu dirayakan dengan makan bakmi sorong yang mangkal di samping SMA kami berempat dulu, Tarakanita Puloraya,…
(Utami, 2001: 130-131)
Dalam agama lain pun ia merasakan juga adanya norma dan nilai agama yang menyudutkan perempuan. Dari pendidikan di sekolahnya Laila mengenal agama Nasrani dan mempelajari ajaran-ajarannya yang cenderung tidak adil.
Pendidikan terakhir Laila adalah perguruan tinggi. Laila kuliah di jurusan komputer Gunadarma, namun dijelaskan juga bagaimana Laila bisa bekerja sebagai fotografer sebuah hobbi yang dikembangkannya menjadi keahlian khususnya.“Laila kuliah di jurusan komputer Gunadharma, tetapi ia juga senang memotret.” (Utami, 2001: 153). Sebagai perempuan, Laila menyadari bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabatnya maka ia berusaha untuk meningkatkan keahliannya sebagai perempuan dan bekerja di luar rumah. Laila juga menyadari bahwa pendidikan juga berperan dalam meningkatkan harkat dan martabatnya.
Dilihat dari kemampuan finansial Laila, untuk pergi ke New York Laila dibantu teman-temannya yaitu Yasmin dan Cok untuk membayar visa, fiskal dan lain-lain. Laila termasuk dari tingkat ekonomi menengah. Status sosial Laila tampak dari kutipan berikut, status sosial Laila juga digambarkan lewat penggambaran rumah Laila yang kecil
Tingkat ekonomi dan status sosial bagi masyarakat, juga berperan dalam menentukan harkat dan martabatnya. Semakin tinggi tingkat ekonomi dan status sosial perempuan, maka semakin tinggi pula harkat dan martabat yang diberikan masyarakat kepadanya. 
Secara sosial Laila disebut sebagai “perawan tua”, predikat ini masih dianggap hal yang hina di sebagian besar masyarakat. Sebab pernikahan bagi sebagian besar orang merupakan satu-satunya cara wanita untuk meraih eksistensinya. Sebaliknya bagi para pemuda, perkawinan yang dilakukan pada usia muda justru tidak baik, dengan alasan karena dapat merusak badan juga menghalangi cita-cita. Status sosial tokoh Laila adalah perempuan lajang yang masih tinggal dengan kedua orangtuanya, ia bekerja sebagai fotografer di sebuah CV sebuah rumah produksi.
Laila bersahabat sejak SD dengan ketiga temannya yaitu Cok, Yasmin, dan Shakuntala. Mereka berbagi dalam segala hal termasuk dalam permasalahan kehidupan pribadi mereka. Sebagai perempuan, salah satu sifat yang menunjukkan kewanitaan seorang perempuan adalah sifat komunalnya, yaitu sifat untuk membentuk suatu komunitas interen yang anggotanya adalah perempuan.     


7. Penutup

Berdasarkan analisis struktur dapat disimpulkan bahwa novel Saman memiliki struktur yang saling mendukung, terjalin erat dan mencapai totalitas makna. Adapun unsur-unsur struktural novel tersebut berupa tema, fakta cerita (alur, penokohan, dan latar), dan sarana cerita yang menunjukkan keterjalinan unsur antara yang satu dengan yang lain sehingga menjadi unsur yang padu.
Hasil analisis menunjukkan bahwa perilaku seksual dalam novel Saman terbagi menjadi enam perilaku, di antaranya yaitu; a) perilaku seksual immoralitas/ promiscuity tokoh Cok, Shakuntala, dan Yasmin karena kesenangan mereka akan seks bebas, berpindah dari satu lelaki ke lelaki yang lain dengan intensitas yang sangat sering, b) perilaku seksual biseksual tokoh Shakuntala yang bersetubuh tidak hanya dengan laki-laki tetapi juga dengan perempuan, c) perilaku seksual Masturbasi tokoh Upi karena cara pemuasan seksual yang dilakukannya yaitu dengan cara menggosok-gosokkan selakangannya pada tiang listrik, d) perilaku seksual perkosaan yang dialami tokoh Upi yang diperkosa oleh dua orang laki-laki, e) perilaku seksual perzinaan yang dialami tokoh Laila dan Yasmin, Laila berselingkuh dengan tokoh Sihar sedangkan Yasmin berselingkuh dengan tokoh Saman, f) perilaku seksual Zoofilia yang dialami tokoh Upi yaitu bersetubuh dengan memperkosa binatang.

Daftar Pustaka

Aliran Feminisme dalam Sastra karya Bambang Dwi Sasongko dalam http://bambangdssmagasolo.blogspot.com/2010/05/aliran-feminisme-dalam-sastra.html. Diakses 25 Maret 2011, pukul 10.04 WIB

Djajanegara, Soenarjati. (2000). Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
http://en.wikipedia.org/wiki/Feminist_literary_criticism. Diakses 24 Maret 2011, pukul 21.03 WIB.
http://nizamzakaria.diaryland.com/030723_7.html. Diakses 27 April 2011, pukul 13.08 WIB.


Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra-Dari Strukturalisme Hingga Postrukturalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sofia, Adib. Aplikasi Kritik Sastra Feminis, Perempuan dalam Karya-karya Kuntowojoyo. Yogyakarta: Citra Pustaka.
Tema Seks dalam Lima Novel yang Ditulis oleh Novelis Perempuan Indonesia karya Nandang R. Pamungkas  http://metasastra.wordpress.com/2009/11/15/tema-seks-dalam-lima-novel-yang-ditulis-oleh-novelis-perempuan-indonesia/, diakses 25 Maret 2011, pukul 10.08 WIB


Komentar

Postingan populer dari blog ini

CERITA PENDEK ON-LINE KARYA SISWA-SISWI KELAS XII IPA 1 TAHUN 2014/2015

CERITA PENDEK ON-LINE KARYA SISWA-SISWI KELAS XII IPA 3 TAHUN 2014/2015