Novel Kemarau: Keberanian A.A. Navis Berjuang Mengubah Paradigma yang Membiasa dalam Masyarakat Minangkabau
- Deskripsi fisik buku
Judul : Kemarau
Pengarang : A.A. Navis
Kata Pengantar : Sapardi Djoko Damono
Penerbit, Kota : Grasindo, Jakarta
Tahun terbit : 2003
Cetakan ke- : 6 (enam)
Jumlah halaman : i-x; 117 halaman
Ukuran : 14 X 21 cm
- Sinopsis
Musim kemarau
yang melanda kali ini lebih panjang dari biasanya hingga merusak lahan pertanian dan tanamannya. Upaya dilakukan untuk
mengatasi hal itu, bahkan pergi ke dukun untuk mendatangkan hujan. Nmaun,
hasilnya tak berwujud. Penduduk daerah itu mulai putus asa dan mengisi waktunya
dengan kegiatan yang tak produktif, seperti main domino, kartu lainnya, bahkan
hanya ngobrol bersama.
Tatkala
orang-orang berpangku tangan berserah pada nasib, Sutan Duano mengangkut air
danau yang ada di daerah itu untuk menyiram sawahnya. Secara rutin kegiatan itu dilakukannya pada pagi
dan sore hari. Ia memang bukanlah penduduk asli daerah tersebut,
melainkan seorang pendatang baru, yang tak diketahui oleh orang-orang di daerah
itu asal muasalnya. Wali Nagari atau kepala desa telah mengizinkan Sutan Duano
menempati sebuah surau tua yang lapuk.
Saat
Belanda mencoba menduduki kembali Indonesia ,
surau tempat tinggal Sutan Duano kedatangan seorang Haji Tumbijo, teman baik
yang dikenalnya saat tinggal di kota .
Ketika Haji Tuimbijo hendak kembali ke kota ,
ia berkata kepada Wali Nagari, “Ia sudah berubah. Ia akan menjadi orang yang
berguna di sini” (Navis, 2003:4).
Situasi
politik yang berkembang saat itu membuat orang berubah pola pikirnya. Mereka
mulai berganti sudut pandang tentang hidup dan kesulitan kehidupan. Pola hidup
lama berubah ke dalam kegiatan mengikuti kursus baca tulis, kursus lain, bahkan
kursus politik. Di sisi lain seorang Sutan Duano juga memulai hidup barunya dengan
kegiatan mengolah lahan pertanian yang tak terawat, memelihara ternak, bahkan
membeli beruk untuk memanjat kelapa.
Akibatnya, ketika orang mulai bosan dengan kegiatan kursus dan
politiknya sementara kesulitan ekonomi terus menghadang, Sutan Duano telah
menjadi seorang yang cukup berada di kampung itu dan akhirnya disegani oleh
orang-orang sekitarnya.
Keseganan masyarakat sekitar bukan karena
kekayaan Sutan Duano, melainkan karena kebaikan hatinya. Secara bertahap Sutan
Duano bisa memimpin para petani untuk mengerjakan sawahnya, menghapus sistem
ijon dan tengkulak, serta mendirikan koperasi. Hal itu memperkokoh kepercayaan
masyarakat kepada Sutan Duano hingga akhirnya dia diberi kepercayaan untuk
menggantikan guru agama yang baru saja meninggal dunia. Maka, suraunya mulai
ramai dikunjungi orang untjuk mengikuti pengajiannya.
Langkah keberhasilan Sutan
Dunao tersebut sesungguhnnya bermula dari Sutan Caniago, seorang petani yang
hendak menjual padinya dengan sistem ijon karena butuh modal untuk berdagang di
rantau. Ia berharap bisa mengubah nasibnya. ”Jangan bermain judi dengan nasib,
Sutan,” kata Sutan Duano kepada lelaki itu. Sutan Duano juga menasihati lelaki
itu membatalkan niatnya merantau ke kota. Di kota banyak godaan dan
kemaksiatan. Kalau rajin, hidup di desa pun bisa membuat orang kaya dan
berhasil. Namun, nasihat itu ditanggapi oleh Sutan Caniago sebagai penolakan
permintaannya hingga membuatnya marah dan meningggalkan Sutan Duano.
Esok harinya Sutan Duano
mendatangi Sutan Caniago, lantaran ia ingat nasihat Haji Tumbijo serta niatnya
utnuk mengubah perilaku dan kebiasaan penduduk agar hidup mereka menjadi lebih
baik. Diberikannnya uang kepada Sutan Caniago sebagaimana diinginkan, namun ia
memberi syarat harus menyuratinya setiap bulan. Sutan Caniago mengikuti syarat
itu hingga akhirnya ia mengucapkan terima kasih atas nasihat Sutan Duano di
surau dulu. Pada surat keempat ditulisnya bahwa Sutan Duano hanya mengambil
hasil panen sebanyak uang yang diterimanya
dulu, tidak mengambil seluruh hasil panen sebagaimana pengijon lazimnya. Sikap
Sutan Duano ini menggemparkan isi kampung dan membuat keberadaannya semakin
berarti bagi masyarakat.
Sutan Duano juga mengajak penduduk bergotong
royong menyiram sawah mereka dengan air danau yang terletak di pinggir kampung.
Sutan Dunao mengajukan usul kepada Lembak Tuah, pemilik sawah terluas, serta
Rajo Bodi, orang yang disegani. Namun, usulan itu ditolak dengan berbagai alasan.
Mereka lebih senang pasrah kepada takdir yang diberikan Tuhan. Meskipun
memiliki waktu dan tenaga untuk mengubah nasibnya, penduduk kampung lebih
senang bermain kartu serta duduk-duduk ngobrol di lepau. Sutan Duano menyadari
bahwa untuk mengubah kebiasaan dan pola pikir masyarakat diperlukan waktu dan
proses yang panjang. Lantas Sutan Duano berniat memulai rencananya itu dari
diri sendiri mengangkut air danau dan menyiran sawah miliknya.
Acin, seorang anak janda
muda mendatangi Sutan Duano yang sedang beristirahat habis menyiram tanaman. Ditanyakan
oleh Acin mengapa Sutan Duano melakukan hal itu. Sutan Duano mengatakan bahwa
manusia harus bekerja keras untuk memperbaiki hidupnya. Anggapan masyarakat
terhadap apa yuang dilakukan oleh Sutan Duano merupakan kesalahan berpikir.
Maka, diajaklah Acin untuk melakukan hal yang sama.
Omongan dan tafsiran orang
tentang apa yang dilakukan oleh Sutan Duano dan Acin beraneka ragam. Di lepau
berkembang isu bahwa Sutan Duano ada maksud tertentu mendekati Acin kepada
janda muda, ibunya, Gudam.. Gunjingan itu menghapus jejak langkah Sutan Duano
yang baik selama ini. Di pinggir sungai tempat para wanita mandi berkembang
gosip bahwa Sutan Duano memang mendekati Gudam, si janda muda itu, sebab ia
belum memiliki istri.
Dalam suatu pengajian
Sutan Duanio mengajak para ibu bergotong royong menyiram sawah mereka.
Mayoritas mereka menolak dengan berbagai alasan dalam kaitannya dengan gudam,
si janda muda. Si janda muda itu juga tidak datang dalam pengajian karena malu
dengan gosip dirinya dan Sutan Duano. Sutan Duano marah mendengar hal itu.
Namun, gosip itu berkembang menjadi fitnah. Gudam melarang Acin menyiran sawah
serta menemui Sutan Duano. Ketidakdatangan Acin membuat kegiatan menyiram sawah
Sutan Duano menjadi kacau. Sutan Duano sudah menganggap Acin sebagai pengganti
anaknya yang hilang dua puluh tahun lalu. Sutan Duano merasa kesepian, apalagi
ketika pengajian tidak satu ibu pun yang datang ke surau.
Acin pernah menanyakan isu
itu kepada ibunya, tapi dijawab bahwa hal itu hanyalah sebagai kata-kata jahat.
Namun, isu berkembang terus hingga si Acin pernah ditemui oleh Saniah, janda
yang menginginkan Sutan Duano. Acin menjawab benar isu tersebut. Hati kecilnya
menginginkan hal itu. Saniah menjadi cemburu hingga berpikir untuk membuat
fitnah. Diberitakannnya kepada Acin bahwa Gudam telah pernah tidur dengan Sutan
Duano yang masuk lewat jendela. Acin berubah pikiran hingga benci kepada Sutan
Duano.
Di surau, Kutar menemukan
dan membaca surat yang dikirim Masri berisi Sutan Duano agar ke Surabaya. Masri
merupakan anak Sutan Duano yang hilang dua puluh tahun yang lalu. Kutar
menceritakan hal itu kepada Acin hingga membuatnya cemas. Acin memberanikan
diri bertanya kepada Sutan Duano perihal itu dan dijawabnya akan pergi setelah
musim panen. Hal itu membuat Acin ingin agar ia diajak pergi, bukan Kutar.
Ditanyakan pula isu yang diucapkan Saniah tentang Sutan Duano dan ibunya. Sutan
Duano berhasil meyakinkan Acin bahwa hal itu tidak benar.
Berita rencana kepergian
Sutan Duano cepat menyebar. Kutar memberitahukannya kepada semua orang. Oleh
sebab itu, masyarakat menginginkan acara perpisahan sebagai tanda persahabatan
dengan orang yang banyak menolong namun belum sempat ada balas budinya.
Di surau, Sutan Duano
membaca kembali surat kiriman Masri itu. Hal itu membuatnya teringat masa lalu.
Memang ia ingat setelah kematian ibunya Masri, istrinya, berkali-kali ia
mencari penggantinya, namun berakhir dengan perceraian. Salah satunya, Iyah
namanya, diceraikan tatkala sedang hamil. Pengalaman kawin cerai itu membuatnya
mengambil pelampiasan kesepiannya berkencan dengan wanita malam. Masri yang
tumbuh remaja mengetahui hal itu sehingga ia marah. Hal itu membuat Sutan Duano
bingung. Ia mengadukan kesepian dengan perbuatannya.
Sutan Duano sempat
dipenjara karena keributannya dengan teman kencan. Hal ini membuat Masri kabur
tak tentu jejak langkahnya. Keluar dari penjara selama tiga tahun, Sutan Duano
menjadi kesepian. Anak satu-satunya pergi tanpa jejak hingga membuat Sutan
Duano semakin tak karuan arah hidupnya. Mabuk-mabukan merupakan pelariannya. Ia
terus berusaha mencari Masri, namun tak menemukan jejak kakinya.
Suatu hari datanglah Haji
Tumbijo, kakak iparnya, menasihatinya:
”Carilah ia dalam hatimu, seperti kau
mencari Tuhan, mencari kebenaran. Carilah dengan pahala-pahala dan kebaikan.
Kalau telah dapat itu, telah dapat pahala dan kebaikan, engkau sudah menemui
Tuhan. Sudah menemui kebenaran. Dan di situlah Masri berada,” katanya
(Navis, 1977:69).
Kata-kata Haji Tumbijo itu
menyentuh hati Sutan Duano. Maka, ia berusaha mengubah jalan hidupnya ke arah
kebenaran serta berusaha menolong orang
lain. Ia berharap bahwa pola itu dapat memupus kesalahan dan dosa masa lalunya.
Maka, kehadiran Acin dalam waktu hidupnya mengingatkannya pada Masri hingga
disayanginya. Terlintas dalam benaknya untuk menikah, tetapi kegagalan
perkawinan kembali menghatuinya.
Hal itu nampak tatkala
Acin dan Gudam datang ke surau. Gudam meminta Sutan Duano menjadi ayah bagi
anak-anaknya. Sutan mengatakan bahwa ia harus meninggalkan kampung tersbeut
sebab harus menemui Masri yang telah
lama tak bertemu. Sutan tak memberi batas waktu kapan akan kembali hingga
jawaban itu dianggap sebagai penolakan oleh Gudam.
Beberapa orang menemui
Sutan Duano di surau dan menanyakan langsung kepadanya perihal kabar rencana
kepergiannya ke Surabaya. Banyak di antaranya yang merasa berutang budi pada
Sutan Duano sebab upaya pengairan sawah oleh Sutan Duano banyak memberikan
manfaat bagi kaum petani kampung itu. Mereka juga masih memerlukan gagasan
Sutan Duano untuk kehidupan mereka dan meminta agar Sutan Duano tidak
meninggalkan kampung mereka.
Sutan Duano memenuhi permintaan mereka. Kepergian
Sutan Duano hanyalah menemui Masri, setelah itu kembali lagi ke kampung mereka.
Ada surat dari mertua Masri yang sampai kepadanya bahwa Sutan Duano tak perlu
ke Surabaya sebab kedatangannya justru akan merusak kebahagiaan keluarga Masri.
Tatkala musim panen semakin mendekat, tiba-tiba
datanglah pianggang (hama walang sangit) menyerang. Hal ini membuat Sutan Duano merasa mendapat cobaan
baru. Maka disemprotlah sawahnya dengan antiserangga. Tetapi tiba-tiba kabar
tak mengenakkan datang lagi, Acin sakit. Luka karena menyepak tahi kuda tatkala
kesal dengan isu tingkah Sutan Duano tidur bersama ibunya membuatnya terkena
tetanus. Kesulitan keuangan Gudam, ibu Acin, yang tak dibantu keluarganya untuk
mengobatkan Acin ke Bukittingi akhirnya diatasi oleh Sutan Duano dengan janji
bahwa Acin adalah anaknya juga. Sutan Duano dan Gudam akhirnya tumbuh cinta.
Hal ini membuat Saniah cemburu dan memasang guna-guna di rumah Gudam yang
sempat terlihat oleh Sutan Duano.
Tatkala Gudam mengadakan
syukuran atas kesembuhan Acin di rumahnya, Sutan Duano tak bersedia datang
dengan alasan tak menyenangi pesta yang hanya untuk orang kaya. Gudam
mendatangi Sutan Duano ke suraunya, tapi tetap tidak mau datang. Gudam merasa
malu. Pulanglah dengan segera Gudam ke rumahnya. Di jalan gudam bertemu dengan
Saniah yang menantangnya diiringi fitnah bahwa Gudam telah membayar utang
kepada Sutan Duano dengan menjual dirinya. Maka, terjadilah perkelahian yang
melibatkan keluarga kedua pihak hingga harus diakhiri oleh Wali Nagari. Rapat
yang dipimpin oleh Wali Nagari itu sulit mncapai kata sepakat. Meski Wali
Nagari berusaha membela Sutan Duano, rapat akhirnya memutuskan mengusir Sutan
Duano dari kampung itu. Wali Nagari ditugasi oleh warga untuk menyampaikan
putusan rapat.
Akhirnya Wali Nagari
dibantu oleh tokoh masyarakat mendatangi Sutan Dunao. Putusan rapat
disampaikannya dengan berat hati. Sutan dengan keikhlasan menerima, dan
mengatakan bahwa semua harta yang diperoleh dari kampung itu ditinggalkan dan
piutangnya diserahkan kepada koperasi untuk menambah modal. Sutan Duano hanya
memohon untuk bertemu dengan Acin sebelum ia berangkat, tetapi Gudam tidak
mengizinkannya. Sutan Duano menyerahkan suat wasiatnya seluruh hartanya kepada
Acin.
Pergilah Sutan Duano meningalkan kampung itu
menuju Surabaya. Ia langsung menuju ke rumah Masri. Ia malah bertemu dengan
Iyah, istrinya dulu, yang ternyata adalah ibu Arni, istri Masri. Lebih tak
disangkanya, ternyata Arni adalah anak kandungnya juga. Maka, terbongkarlah
silsilah bahwa Masri dan Arni adalah kakak beradik, meski lain ibu. Hal itu
sengaja tak diberitahukan oleh Iyah.
Iyah tidak ingin merusak kebahagiaan mereka berdua. Tetapi, Sutan Duano
bersikeras memberitahukan hal terlarang itu kepada anaknya.
Kedua orang tua itu
bersitegang dengan pendapat masing-masing. Iyah yang merasa sakit hatinya
lantas memukul Sutan Duano dengan kayu hingga pingsan dan berdarah. Datanglah
Masri dan Asri yang kaget dengan peristiwa itu. Diceritakanlah oleh Iyah apa
yang terjadi hingga ia tak kuat menahan diri, lalu pingsan. Bertahun-tahun kemudian Iah meninggal di rumah sakit, tak
lama setelah mebuka rahasia perkawinan Masri dan Arni.
Masri dan Arni menyadari
perkawian mereka dilarang agama. Maka, mereka berpisah. Tak lama kemudian Arni
kemudian menikah dengan anak Haji Tumbijo, sedangkan Masri menikahi teman
sekerjanya. Sutan Dunao pun kembali ke desa tepi danau, hidup rukun dengan Gudam beserta anak-anaknya, Acin dan Amah.
Perjuangan Sutan Duano belum selesai sebab alam pikiran warga kampung telah
membeku. Hidup berjuang dengan keikhlasan adalah jalan untuk menemui Tuhan Yang
Maha Esa. Demikian A.A. Navis mengakhiri novelnya.
1. Latar
Belakang Masalah
Haji Ali Akbar Navis, lebih dikenal dengan nama AA Navis, yang di kalangan
sastrawan digelari sebagai kepala pencemooh. Ia salah seorang sastrawan dan
budayawan terkemuka di Indonesia. Gelar yang lebih menggambarkan kekuatan
satiris tidak mau dikalahkan sistem dari luar dirinya. Sosoknya menjadi simbol energi sastrawan yang
menjadikan menulis sebagai alat dalam kehidupannya.
Indonesia kehilangan sastrawan fenomenal. Sang Pencemooh kelahiran
Kampung Jawa, Padangpanjang, 17 November 1924, ini adalah salah seorang tokoh
yang ceplas-ceplos, apa adanya. Kritik-kritik sosialnya mengalir apa adanya
untuk membangunkan kesadaran setiap pribadi agar hidup lebih bermakna. Ia
selalu mengatakan yang hitam itu hitam dan yang putih itu putih. Ia amat
gelisah melihat negeri ini digerogoti para kopruptor. Maka pada suatu
kesempatan ia mengatakan kendati menulis adalah alat utamanya dalam kehidupan
tapi jika dikasih memilih ia akan pilih jadi penguasa untuk menangkapi para
koruptor. Walaupun ia tahu risikonya, mungkin dalam tiga bulan, ia justeru akan
duluan ditembak mati oleh para koruptor itu.
Nama pria Minang yang untuk terkenal tidak harus merantau secara fisik, ini
menjulang dalam sastra Indonesia sejak cerpennya yang fenomenal Robohnya Surau Kami terpilih menjadi
satu dari tiga cerpen terbaik majalah sastra Kisah tahun 1955. Sebuah cerpen
yang dinilai sangat berani. Kisah yang menjungkirbalikkan logika awam tentang
bagaimana seorang alim justru dimasukkan ke dalam neraka. Karena dengan
kealimannya, orang itu melalaikan pekerjaan dunia sehingga tetap menjadi
miskin.
Ia seorang seniman yang perspektif pemikirannya jauh ke depan. Karyanya Robohnya Surau Kami, juga mencerminkan
perspektif pemikiran ini. Yang roboh itu bukan dalam pengertian fisik, tapi
tata nilai. Hal yang terjadi saat ini di negeri ini. Ia memang sosok budayawan
besar, kreatif, produktif, konsisten dan jujur pada dirinya sendiri.
Sepanjang hidupnya, ia telah melahirkan sejumlah karya monumental dalam
lingkup kebudayaan dan kesenian. Ia bahkan telah menjadi guru bagi bamyak
sastrawan. Ia seorang sastrawan intelektual yang telah banyak menyampaikan
pemikiran-pemikiran di pentas nasional dan internasional. Ia banyak menulis
berbagai hal. Walaupun karya sastralah yang paling banyak digelutinya. Karyanya
sudah ratusan, mulai dari cerpen, novel, puisi, cerita anak-anak, sandiwara
radio, esai mengenai masalah sosial budaya, hingga penulisan otobiografi dan
biografi.
Ia yang mengaku mulai menulis sejak tahun 1950, namun hasil karyanya baru
mendapat perhatian dari pimpinan media cetak sekitar 1955, itu telah
menghasilkan sebanyak 65 karya sastra dalam berbagai bentuk. Ia telah menulis
22 buku, ditambah lima antologi bersama sastrawan lainnya dan delapan antologi
luar negeri serta 106 makalah yang ditulisnya untuk berbagai kegiatan akademis
di dalam maupun di luar negeri dan dihimpun dalam buku ‘Yang Berjalan Sepanjang
Jalan’. Novel terbarunya, Saraswati, diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama
pada 2002.
Beberapa karyanya yang amat terkenal, selain Robohnya Surau Kami (1955) Bianglala
(1963), Hujan Panas (1964); Kemarau
(1967), Saraswati, si Gadis dalam Sunyi, (1970),
Dermaga dengan Empat Sekoci, (1975), Di Lintasan Mendung (1983), Dialektika Minangkabau (editor 1983), Alam Terkembang Jadi Guru (1984), Hujan Panas dan Kabut Musim (1990), Cerita Rakyat Sumbar (1994), dan Jodoh (1998).
Ia seorang penulis yang tak pernah merasa tua. Pada usia gaek ia masih saja menulis. Buku
terakhirnya, berjudul Jodoh, diterbitkan oleh Grasindo, Jakarta atas kerjasama
Yayasan Adikarya Ikapi dan The Ford Foundation, sebagai kado ulang tahun pada
saat usianya genap 75 tahun. Cerpenis gaek dari Padang, A.A. Navis pada 17
November lalu genap berusia 75 tahun. Jodoh berisi sepuluh buah cerpen yang
ditulisnya sendiri, yakni Jodoh (cerpen pemenang pertama sayembara Kincir Emas
Radio Nederland Wereldemroep 1975), Cerita
3 Malam, Kisah Seorang Hero, Cina Buta, Perebutan, Kawin (cerpen pemenang
majalah Femina 1979), Kisah Seorang Pengantin, Maria, Nora dan
Ibu. Ada yang ditulis tahun 1990-an ada yang ditulis tahun 1950-an.
Menulis bukanlah pekerjaan mudah, namun memerlukan energi pemikiran serius
dan santai. ”Tidak semua gagasan dan ide dapat diimplementasikan dalam sebuah
tulisan, dan bahkan terkadang memerlukan waktu 20 tahun untuk melahirkan sebuah
tulisan. Kendati
demikian, ada juga tulisan yang dapat diselesaikan dalam waktu sehari saja. Namun, semua itu harus dilaksanakan dengan
tekun tanpa harus putus asa. Saya merasa tidak pernah tua dalam menulis segala
sesuatu termasuk cerpen," katanya dalam suatu diskusi di Jakarta, dua tahun
lalu.
Kiat menulis itu, menurutnya, adalah aktivitas menulis itu terus dilakukan,
karena menulis itu sendiri harus dijadikan kebiasaan dan kebutuhan dalam
kehidupan. Ia sendiri memang
terus menulis, sepanjang hidup, sampai tua. Mengapa? ”Soalnya, senjata saya
hanya menulis,” katanya. Baginya menulis adalah salah satu alat dalam
kehidupannya. ”Menulis itu alat, bukan pula alat pokok untuk mencetuskan
ideologi saya. Jadi waktu ada mood menulis novel, menulis novel. Ada mood menulis
cerpen, ya menulis cerpen,” katanya seperti dikutip Kompas. Minggu, 7 Desember 1997.
Dalam setiap tulisan, menurutnya, permasalahan yang dijadikan topik
pembahasan harus diketengahkan dengan bahasa menarik dan pemilihan kata
selektif, sehingga pembaca tertarik untuk membacanya. Selain itu, persoalan
yang tidak kalah pentingnya bagi seorang penulis adalah bahwa penulis dan
pembaca memiliki pengetahuan yang tidak berbeda. Jadi pembaca atau calon
pembaca yang menjadi sasaran penulis, bukan kelompok orang yang bodoh.
Ia juga menyinggung tentang karya sastra yang baik. Yang terpenting bagi
seorang sastrawan, menurutnya, karyanya awet atau tidak? Ada karya yang bagus,
tapi seperti kereta api; lewat saja. Itu banyak dan di mana-mana terjadi. Ia
sendiri mengaku menulis dengan satu visi. Ia bukan mencari ketenaran.
Dalam konteks ini, ia amat merisaukan pendidikan nasional saat ini. Dari SD
sampai perguruan tinggi orang hanya boleh menerima, tidak diajarkan orang
mengemukakan pikiran. Anak-anak tidak diajarkan pandai menulis oleh karena
menulis itu membuka pikiran. Anak-anak tidak diajarkan membaca karena membaca
itu memberikan anak-anak perbandingan-perbandingan. Di perguruan tinggi orang
tidak pandai membaca, orang tidak pandai menulis, jadi terjadi pembodohan terhadap
generasi-generasi akibat dari kekuasaan.
Jadi, menurutnya, model pendidikan sastra atau mengarang di Indonesia
sekarang merupakan strategi atau pembodohan, agar orang tidak kritis. Maka, ia
berharap, strategi pembodohan ini harus dilawan, harus diperbaiki. “Tapi saya
pikir itu kebodohan. Orang Indonesia tidak punya strategi. Strategi ekonomi Indonesia itu apa?
Strategi politik orang Indonesia itu apa? Strategi pendidikan orang Indonesia
itu apa? Strategi kebudayaan orang Indonesia itu apa? Mau dijadikan apa bangsa
kita? Kita tidak punya strategi. Oleh karena itu kita ajak mereka supaya tidak
bodoh lagi,” katanya.
Maka, andai ia berkesempatan jadi menteri, ia akan memfungsikan sastra.
”Sekarang sastra itu fungsinya apa?” tanyanya lirih. Pelajaran sastra adalah pelajaran orang berpikir
kritis. Orang berpikir kritis dan orang memahami konsep-konsep hidup. Kita
baca, karya mana saja yang baik, itu berarti menyuruh orang berpikir berbuat
betul. Lalu karya-karya itu konsepnya yang jahat lawan yang buruk. Dalam karya
sastra bisa terjadi yang jahat itu yang dimenangkan, tapi bukan artinya sastra
memuja yang jahat. Banyak
karya-karya sastra di Indonesia menceritakan hal-hal orang-orang munafik.
Diajarkan itu ke anak-anak tentang orang munafik di tengah masyarakat kita yang
banyak munafik. Anak-anak kan jadi tajam. Oleh karena itu pemerintah tampaknya
tidak mengajarkan sastra supaya orang tidak melihat orang-orang yang munafik,
umpamanya.
Ia juga melihat perkembangan sastra di Indonesia lagi macet. Dulu si pengarang
itu, ketika duduk di SMP dan SMA sudah menjadi pengarang. ”Saya kira tak ada
karya pengarang sekarang yang monumental, yang aneh memang banyak,” ujarnya.
Perihal orang Minang, dirinya sendiri, ia mengatakan keterlaluan kalau ada
yang mengatakan orang Minang itu pelit. Yang benar, penuh perhitungan. Ia
mengatakan sangat tak tepat mengatakan orang Minang itu licik. Yang benar galia
(galir), ibarat pepatah tahimpik nak di
ateh, takuruang nak di lua (terhimpit maunya di atas, terkurung maunya di
luar). Itulah AA Navis Sang Kepala
Pencemooh.[1]
Istilah sastra dapat ditemukan dalam
berbagai konteks pernyataan yang berbeda satu sama lain. Maksudnya, sastra
bukanlah sekadar istilah guna mengemukakan feomena yang sederhana atau gamblang,
melainkan sastra memiliki arti luas dalam rangkaian yang berbeda.
Secara
signifikan, untuk memahami karya sastra secara lebih mendalam diperlukan
tiga dorongan yang mendasari kehidupan manusia yang menjadi pusat perhatian
kegiatan penulisan sastra sejak awal zaman hingga sekarang, yaitu dorongan
religius, sosial, dan personal. [2] Religiusitas sastra nampak dalam
kehidupan kebaktian beragama berdasarkan isnpirasi ajaran agama yang
mencerminkan persepsi manusia sebagai `ciptaan`, keterlibatannya, serta sikap
dan pandangan terhadap ciptaan itu. Dorongan sosial berhubungan erat dengn
tingkah laku dan hubungan antarindividu dalam komunitasnya. Di dalamnya,
dorongan sosial tersebut menghasilkan karya-karya sastra yang bernuansa
nilai-nilai hakikat hidup dan khidupan serta problema manusia di dalamnya.
Dorongan personal mengarah pada penjelajahan pribadi hingga muncullah biografi
atau otobiografi, bahkan penulis berusaha menjelajahi sisi pribadi dan kadang
ingin mengubah alam kesadaran manusia. Karya sastra seringkali mengngkapkan
keprihatinan penulis terhadap hakikat nilai-nilai dalam kaitannya dengan
eksistensi manusia.
Novel Kemarau
merupakan karya sastra yang secara historis muncul dalam bentuk cerita
bersambung yang dimuat dalam Harian Res
Publica, Padang, tahun 1964. [3]
Oleh Penerbit Nusantara, Bukittinggi, karya tersebut diterbitkan dalam bentuk
novel, yang kemudian diolah lagi oleh Penerbit Dunia Pustaka Jaya, Jakarta,
tahun 1997, dan mulai tahun 1992 diolah oleh Penerbit Grasindo, Jakarta.
Novel Kemarau
banyak dibicarakan oleh para kritikus dari berbagai sudut pandang. Masalah yang
diungkapkan dalam novel ini selalu menarik dan layak bahas hingga kini. Gaya penyampaian
pengarang memberikan kesan tersendiri, ada yang menganggapnya satiris
berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan manusia dan lingkungannya. Tokoh cerita digunakan oleh
pengarang untuk mengungkapkan sikap dan perjuangan yang perlu dilakukan untuk
mengubah paradigma yang mengikat dan telah membiasa dalam pikiran, perkataan,
dan perilaku perbuatan.
4. 2. Tinjauan
pustaka
Sastra merupakan pencerminan masyarakat. Melalui
karya sastra, seorang pengarang mengungkapkan problema kehidupan yang pengarang
sendiri ikut berada di dalamnya. Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat
dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat. Bahkan seringkali
masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra yang hidup di suatu zaman,
sementara sastrawan sendiri adalah anggota masyarakat yang terikat status
sosial tertentu dan tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya
dari lingkungan yang membesarkan sekaligus membentuknya. Rene Wellek dan Austin Warren membahas hubungan
sastra dan masyarakat sebagai berikut:
Literature is a social institution, using as its medium language, a social creation. They are conventions and norm which could have arisen only in society. But, furthermore, literature ‘represent’ ‘life’; and ‘life’ is, in large measure, a social reality, eventhough the natural world and the inner or subjective world of the individual have also been objects of literary ‘imitation’. The poet himself is a member of society, possesed of a specific social status; he recieves some degree of social recognition and reward; he addresses an audience, however hypothetical. (1956:94)[4]
Senada dengan pernyataan di atas, Damono dikutip
Wahyudi Siswanto (2008) dalam Pengantar Teori Sastra mengungkapkan bahwa
sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu
kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat,
antarmasyarakat dengan orang-seorang, antarmanusia, dan antarperistiwa yang
terjadi dalam batin seseorang Bagaimanapun, peristiwa-peristiwa yang terjadi
dalam batin seseorang yang sering menjadi bahan sastra adalah pantulan hubungan
seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat dan menumbuhkan sikap sosial
tertentu atau bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu.[5]
Pendekatan
terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan itu disebut
sosiologi sastra dengan menggunakan analisis teks untuk mengetahiu strukturnya,
untuk kemudian dipergunakan memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang di
luar sastra.
Sastra juga
berurusan dengan manusia dalam masyarakat sebagai usaha manusia untuk
menyesuakan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Dengan demikian,
novel dapat dianggap sebagai usaha untuk menciptakan kembali dunia sosial yaitu
hubungan manusia dengan keluarga, lingkungan, politik, negara, ekonomi, dan
sebagainya. Dapat disimpulkan bahwa sosiologi dapat memberi penjelasan yang
bermanfaat tentang sastra, dan bahkan dapat dikatakan bahwa tanpa sosiologi,
pemahaman kita tentang sastra belum lengkap. Tujuan studi sosiologis dalam kesusastraan adalah untuk mendapatkan
gambaran utuh mengenai hubungan antara pengarang, karya sastra, dan masyarakat.
Pendekatan
sosiologi sastra yang paling banyak dilakukan saat ini menaruh perhatian yang
besar terhadap aspek dokumenter sastra dan landasannya adalah gagasan bahwa
sastra merupakan cermin zamannya. Pandangan tersebut beranggapan bahwa sastra
merupakan cermin langsung dari berbagai segi struktur sosial hubungan
kekeluargaan, pertentangan kelas, dan lain-lain. Dalam hal itu tugas sosiologi
sastra adalah mengubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayal dan situasi ciptaan
pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan asal usulnya. Tema dan gaya yang ada dalam karya
sastra yang bersifat pribadi itu harus diubah menjadi hal-hal yang bersifat
sosial.
Di sisi lain, sastra
sebagai suatu alat dapat memberikan perjuangan pada kepentingan tertentu,
misalnya untuk mendidik dan mengubah masyarakat pembacanya. Di samping juga
mencerminkan kenyataan, sastra mampu `mengubah kenyataan` -meski tidak
langsung- sehingga dapat membuka mata masyarakat terhadap ketidakberesan apa
pun, kebobrokan moral, bahkan kebejatan mentalitas yang terjadi dalam
masyarakat.
5. 3. Penerapan
Novel Kemarau
dikemas dalam 20 bab oleh pengarangnya, diakhiri dengan bagian penutup.
Sayangnya tidak ada bagian pendahuluan secara eksplisit, meskipun hal yang
dimaksud sama dengan Bab 1 dalam novel itu.
Kondisi masyarakat yang masih tradisonal dan
memegang keyakinan di luar ajaran agama terlihat dalam Bab 1 tatkala pengarang
membuat deskripsi latar cerita awal.
”Dan setelah tanah sawah mulai merekah, mulailah mereka
berpikir. Ada beberapa orang pergi ke dukun, dukun yang terkenal bisa menangkis
dan menurunkan hujan, Tapi dukun itu tak juga bisa berbuat apa-apa setelah
setumpuk sabut kelapa dipanggangnya bersama sekepal kemenyan. Hanya asap tebal
yang mengepul di sekitar rumah dukun itu terbang ke sawang bersama manteranya.
... Mereka pergilah setiap malam ke mesjid mengadakan ratib, mengadakan
sembahyang kaul meminta hujan. Tapi hujan tak kunjung turun juga.”
(Navis,
2003: 1).
Sutan Duano dikisahkan sebagai tokoh yang
mempunyai niat dan semangat untuk mengubah kerangka berpikir warga kampung
sekitar tempat tinggalnya. Ia berjuang di tengah masyarakatnya untuk megubah
watak masyarakat yang terbiasa menyerah pada takdir daripada bekerja keras
`melawan nasib` guna memperbaiki kehidupannya.
”Hanya seorang petani saja berbuat lain. Ia seorang
laki-laki sekitar 50 tahun. Badannya kekar dan tampang orangnya bersegi empat bagai kotak dengan kulitnya
yang hitam oleh bakaran matahari. Pada ketika bendar-bendar tak mengalir lagi,
sawah-sawah mulai kering matahari masih bersinar maraknya tanpa gangguan awan
sebondong pun, diambilnya sekerat bambu. Lalu disandangnya di kedua ujung bambu
itu. Dan dua belek minyak tanah dan digantungkannya di kedua ujung bambu itu.
Diambilnya air ke danau dan ditumpahkannya ke sawahnya. Ia mulai dari subuh dan
berhenti pada jam sembilan pagi. Lalu dimulainya lagi sesudah asar, dan
berhenti waktu magrib hapmpir tiba. Dan beberapa kali mengangkut tak
dilupakannya mengisi kedua kolam ikannya. Untungnya sawahnya yang luas itu
tidak begitu jauh dari tepi danau. Laki-laki itu bernama Sutan Duano.”
(Navis, 2003:1-2).
Pengarang menggunakan Sutan Duano sebagai profil
ideal gambaran pribadi yang mempunyai niat dan semangat mengubah hidupnya di
tengah lingkungan dan zaman yang tak bersahabat. Kerajinannya bekerja secara
rutin dan teratur dengan memiliki agenda kegiatan dan jadwal yang tersusun
dalam pikiran dan pola kebiasaan hidupnya terungkap dalam diri tokoh Sutan
Duano meski hal itu sering tidak sejalan dengan keadaan lingkungan sosialnya.
Misalnya ketika dia mempunyai idealisme mendidik hidup sehat.
”Kolam ikan yang kecil diperbaikinya. Disemainya anak
ikan di dalamnya, lalu dibuatnya pula sebuah kakus umum di teopib kolan itu
agar orang berak di sana dan ikannya mendapat makan. Dan sebidang tanah yang
berbatu-batu di kaki bukit, di mana sebelumnya tak seorang pun berselera
mengolahnya meski musim lapar itu, dimintanya untu dikerjakan.”
(Navis, 2003: 3)
Sikap dan perjuangan Sutan Duano sebenarnya
merupakan cara pengarang mendidik masyarakat agar mengubah budaya perilaku yang
tidak produktif sesuai dengan tuntutan zaman. Birokrasi yang membudaya dalam
adat Wali nagari yang egois untuk kepentingan nafsu diri harus diatasi oleh
Sutan Duano.
”Di waktu itulah
Sutan Dunao memulai suatu kehidupan baru. Beberapa bidang sawah yang
terlantar diminta izin pada yang punya untuk dikerjakan. Sapi-sapi yang tak
terrgembalakan lagi ditampungnya dengan perjanjian sedua.”
(Navis, 2003: 5)
Sikap dan
perbuatan yang semula mendapat cacian dan hinaan akhirnya membawa hasil yang
positif sehingga masyarakat pelan-pelan mengakuinya. Sutan Duano juga digunakan
oleh pengarang untuk mengubah sistem pinjam-meminjam uang serta budaya yang tak
baik.
”Tapi Sutan Duano sudah termasuk jadi orang yang berada
di kalangan rakyat di kampung itu. ... Karenanya ia sudah menjadi orang yang
berarti dan disegani oleh semua orang. Tapi bukan karena kayanya. Melainkan
karena kebaikan hatinya, dipercaya, dan suka menolong setiap orang yang
kesulitan. Lambat-lambat ia jadi pemimopin di kalangan petani untuk mengerjakan
sawah. ... Sistem ijon diusahakannya melenyapkannya dengan meminjamkan
uangnya sendiri tanpa bunga.”
(Navis, 2003: 6)
Sutan Duano juga digunakan oleh A.A. navis untuk
mendidik masyarakjat agar jangan suka mengadu nasib ke daerah lain-kota dengan
budayanta meminjam untuk modal usahanya.
”Sebulan setelah lamanya laki-laki itu di rantau, datangklah suratnya
yang mengatakan ia telah memulai kelilingh, berdagang baju konveksi. ...
Akhirnya, pada surat yang keempat, dikatakannya bahwa ia mertasa sangat terharu
karena Sutan Duano telah mengembalikan hasil padinya yang dijualnya dengan
hanya memotong seharga uang yang diberikannya dulu.”
(Navis, 2003: 12)
Niat Sutan Duano begitu besar untuk mengubah plola
hidup masyarakat memang banyak mengalami hambatan, baik dari Wali Negeri, tokoh
masyarakat, orang terrkaya, tokoh petani. Tetapi niat besar tersebut tidak
menyusut.
”Yang dimauinya ialah hendak mengubah cara hidup orang di
kampung itu. Mereka terlalu banyak membuang waktu. Lalai bila mereka menganggap
pekerjaan telah habis. Sedang sebenarnya meereka itu adalah bangsa yang ulet
dan rajin. Ia selalu melihat betapa rajinmnya mereka bila musim ke sawah tiba.
...Tetapi... tak tentu lagi apa yang mereka perbuat. Mereka akan mengabiskan
waktunya di kedai kopi, nongkrong atau main domino. Menurut pendapat Sutan Duano, bagi mereka itu harus
dicarikan pekerjaan. Asal ada pekerjaan yang tersedia, tentulah mereka akan mau
mengerjakannya. Mengubah pekerjaan bukanlah kebiasaan mereka. ... Mereka tidak
bercita-cita mengubah hidup ke arah yang lebih tinggi... satu-satunya jalan
bagi Sutan Duano ialah memberi contoh
bagaimana mernjadi petani yang baik.”
(Navis, 2003: 17)
Kesabaran dan ketabahan
hati Sutan Duano amat teruji dan terukur dengan berbagai peristiwa yang
dialaminya, baik pergunjingan, reaksi orang lain atas kebijakannya, maupun aksi
sebagian orang. Kebimbangan kadang muncul dalam benaknya.
”`Bagaimana lagi cara aku mengubah jalan pkikiran orang di
sini? Berapa lama aku dapat mengubahnya?
Namun, niatnya demikian kuat dengan langkah-langkah yang mapan,`
katanya. ... `Agaknya ambisiku terlalu besar. Hatiku jadi sakit kalau gagal.
Tetapi apakah ancaman kemarau ini tidak mamou membukakan mata mereka itu?`”
(Navis,
2003: 35)
”Tapi mengapa begitu? pikirnya kemudian. Apakah ini bukan
suatu isyarat dari Tuhan bagiku? Tapi buat apa? Apakah
hidupku di sini tak diridai-Nya? Tentu ada apa-apanya. Kalau tidak, tidak akan
begini jadinya. Mungjkin juga aku disuruh pergi dari kamopung ini. Oleh penduduk di sini? Oh, tidak
mungkin. Jadi, olerh siapa?”
(Navis, 2003: 45)
Cobaan dan hinaan yang
kadang terencana oleh pihak tertentu sering membuat Sutan Duano juga berlatih
kesabaran lebih jauh serta ketabahan dan kedewasaan bertindak.
“`Bapak
naik jendela Mak malam-malam. Etek Saniah bilang,` kata Acin menantang.
Terengah Sutan Duano mendengar kata
anak itu. Ia tidak marah. Tidak pula mencoba meyakinkan Acin. Ia hanya terpulun
oleh pikirannya sendiri. Dari mana anak itu bisa berpikir seburuk itu. Dan
mengapa Saniah sampai berani berkata yang tidak-tidak. Apa maksud perempuan itu
sebenarnya? Ia tak dapat memahami fitnah yang dilontarkan perempuan itu.
Akirnya dilemparkannya pikirannya dari perempuan itu.”
(Navis,
2003: 55)
Sikap dan ketulusan
hatinya menolong sering membuat orang semakin simpati, namun hal itu tidak
memperkuat hatinya tatkala problema psikologis muncul berkaitan dengan masa
lalu. Memang, masa lalu sering menjerat orang dan menjebaknya dalam kerangkeng
pikiran sempit yang merugikan untuk langkah berikutnya.
”`Kita aklan kehilanghan, kalau jadi ia pergi,` kata Uwo
Bile.
`Orang kampung kita sudah terlalu banyak memakan
budinya,1 ulas Datuk Sanga sambil memilin-milin kumisnya. `Tapi di saat terakhir ini, kita tekah
mengkhianatinya. Kita seolah sepakat saja menghindarkan diri dari padanya. Aku
pun orang celaka, ikut-ikutaan pula menghindari diri.`”
(Navis,
2003: 59)
”Dan pintu
itu terbuka, ia tertegun. Di lantai dilihatnya
sepucuk surat. Surat yang berperangko. Selama ia menetap di kampung itu, itulah
buat pertama kalinya ia menerima surat. Darahnya tersirap juga melihat surat
yang tergeletak di lantai itu. ... Dibacanya alamat si pengirim. Tangannya jadi
gemetar. Tercenung dan tak tahu ia apa yang hendak dilakukannya terlebih dulu.
Surat itu ternyata dari anaknya di Surabaya.”
(Navis,
2003: 63)
Masa lalu akhirnya
disadari sebagai dosa yang harus ditebus dengan berbuat baik bagi orang lain
agar memperoleh pahala. Hal ini
merupakan prinsip dasar yang memperkokoh perjuangan Sutan Duano dalam
memperjuangkan niatnya mengubah rakyat sekitar tempat tinggalnya ke arah hidup
yang lebih baik. Nasihat haji Tumbijo merasuk dalam hatinya.
“Tapi haji Tum bijo telah mengatakan padaku,`Kalau Masri,
anakmu telah menemui kesengsaraan dan melakukan dosa-dosanya tersebab kau tak
mampu mendidiknya selama ini, hapuslah dosanya itu dengan melakukan kebaikan
bagi setiap kesengsaraan orang lain. Hadiahkan pahalamu itu semua buat
keselamatannya. Mudah-mudahan Tuhan menerimanya. Kalau Masri masih hiduop,
dengan perbuatan baikmu yang kauitikadfkan untuk Masri tiu, terlindunglah Masri
dati kesengsaraan dan kerhancuran.`”
(Navis, 2003:68)
6. 4. Kelebihan
dan Kekurangan Novel Kemarau
4.1 Kelebihan Kemarau
Novel Kemarau mengemukakan sikap dan niat perjuangan seorang guru agama dalam mengubah fokus pikiran dan kerangka
berpikir masyarakat yang masih diliputi penalaran tradisional penuh dengan
kekuatan takhayul dengan memegang tradisi nenek moyang tanpa diikuti nalar
sehat atau sikap kritis. Bahkan hal ini sering tak sejalan atau berbenturan
dengan ajaran agama yang mereka ikuti. Berdasarkan hal tersebut novel ini
mempunyai peranan penting dalam khazanah sastra Indonesia dalam nuansa Islami.
Kemarau menampilkan
problematika manusia dalam memahami dan menjalankan ajaran agama dalam konteks
budaya dan tradisi yang berlaku dalam komunitas tertentu sebagai latar cerita.
Ajaran agama dikemas oleh pengarang melalui nuansa motivasi tokoh dalam upaya
memahami dan menjalankan ajaran agama di tengah masyarakatnya. Oleh karena itu,
Kemarau tidak bersifat dogmatis, melainkan kisah perjuangan tokoh cerita dalam
memahami dan menjalankan ajaran agama.
Oleh A.A. Navis tema di atas
dikemas melalui pengunaan bahasa yang lugas, dialogis, dan berisi. Hal ini
memperkuat bahwa amanat sampai kepada
pembaca dengan baik, meski pengarang dikenal sebagai penulis bergaya satiris,
sinis, dan jago mencemooh. [6]
Tokoh cerita dikemas sebagai pibadi yang mampu mengundang simpati masyarakat
sekitar sehingga secara bertahap pola berpikir dan cara hidupnya mampu mengubah
pola dan cara hidup masyarakat.
Melalui novel Kemarau A.A. Navis berani menunjukkan
dirinya sebagai penganut agama Islam yang baik, bukan sebagaimana ditudingkan
oleh teman-teman sebelumnya bahwa ia penganut komunis akibat kesalahpahaman
yang tk disengaja. A.A. Naavis diundang
dalam Konferensi Pengarang Asia-Afrika di Denpasar Bali, Agustus 1963, yang tak
diketahuinya kegiatan itu disponsori oleh PKI. Akibatnya, dia dikucilkan oleh
teman-teman pengarang lainnya di berbagai kota. Ketika menggubah Robohnya Surau Kami menjadi drama yang
ditampilkan di Universitas Gadjah Mada, Bastari Asnin mengemukakan
kekecewaannya atas kehadiran A.A. Navis dalam acara di Bali itu. Berdasarkan
hal inilah Navis mempunyai greget menulis novel yang menunjukkan bahwa dirinya
bukan komunis.
4,2 Kekurangan Kemarau
Novel Kemarau
memang karya sastra yang Amat penting dalam sastra Indonesia dengan
karakteristik bercerita pengarangnya yang khas menggelitik pikiran pembaca.
Hanya saja novel ini diakhiri dengan pola pengahiran seperti cerita pendek
dalam kemasan singkat.
Pengarang mengakhiri cerita secara eksplisit jelas
dan transparan, Namun, dikemas dalam rangkaian kata yang singkat dan deskriptif
langsung sehingga tak memberikan peluang kepada pembaca untuk mengembangkan
imajinasinya. Apalagi bila hal itu dilihat pada bagian ujung cerita tentang
nasib tokoh-tokoh ceritanya.
Referensi:
A.A.
Navis: Karya dan Dunianya karangan Ivan Adilla, Penerbit Grasindo, Jakarta, halaman 167.
Ali
Akbar Navis (In Memoriam), Sastrawan, Sang Kepala Pencemoh dalam TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia), diakses 31 Maret 2011, pukul 20.30 WIB
Rahmanto, B.. Metode Pengajaran Sastra, saduran bebas dari The Teaching of Literature karangan H.L.B. Moody. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Navis, A.A., 2003. Kemarau. Jakarta:
Gramedia Widiasarana Indonesia.
Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo.
TokohIndonesia
DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia), diakses 31 Maret 2011, pukul 20.30 WIB
TokohIndonesiaDotCom
(Ensiklopedi Tokoh Indonesia), diakses 29 Maret 2011, pukul 23.15 WIB. Teori Satra, dalam http://istayn.staff.uns.ac.id/files/2010/10/teori-sastra-2.pdf,
diakses 20 Maret 2011,
pukul 22.25 WIB
[2] B.
Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra,
saduran bebas dari The Teaching of
Literature karangan H.L.B. Moody, Penerbit Kanisius, halaman 13.
[3] A.A. Navis: Karya dan Dunianya karangan
Ivan Adilla, Penerbit Grasindo, Jakarta ,
halaman 167.
[4] Dikutip
dalam Teori Satra, dalam http://istayn.staff.uns.ac.id/files/2010/10/teori-sastra-2.pdf,
diakses 20 Maret 2011,
pukul 22.25 WIB
[6] Ali Akbar Navis (In Memoriam), Sastrawan, Sang Kepala Pencemoh dalam TokohIndonesia DotCom
(Ensiklopedi Tokoh Indonesia),
diakses 31 Maret 2011, pukul 20.30 WIB
Komentar
Posting Komentar
Gunakan nama dan email masing-masing! Harap ditulis nama, kelas, dan nomor absen.