CERITA PENDEK ON-LINE KARYA SISWA-SISWI KELAS XII IPA 1 TAHUN 2013/2014


Komentar

  1. Nama : Jennifer Dumasari Pakpahan
    Kelas : XII IPA 1
    Nomor absen: 20
    Dia atau Kamu

    BalasHapus
  2. Judul : Akhir Dari Persahabatan

    Nama :Robin Christopher (35)

    BalasHapus
  3. Aditia kencana tanuwijaya /xii ipa 1 / 01

    Sahabat atau pacar ?

    BalasHapus
  4. Al Raihan Armansyah
    XII IPA 1/02

    "Sahabat atau ..."

    BalasHapus
  5. Judul : "Salahkah cinta ini?"

    Fidyah Pratiwi / XII IPA 1 / 17

    BalasHapus
  6. Judul : Sahabat Abadi
    Kelvin/XII IPA1/21

    BalasHapus
  7. Judul : Lihat lebih dekat...
    Syarifa/ 38

    BalasHapus
  8. Di antara 23 alternatif judul yang ditawarkan pengirim ini rasanya belum ditemukan judul yang 1) imajinatif; 2) memancing pembaca ingin tahu; 3) membuat pembaca penasaran tentang apa yang diceritakan; 4) kaya akan makna; 5) terbuka, tidak membatasi gagasan cerita yang menyudutkan ke suatu akhir tertentu; 6) sopan dan etis; 7) memiliki nilai edukatif; 8) berguna bagi siapa pun.

    Silakan kalian kirim alternatif judul hingga batas waktu saya tentukan yang terbaik. Teruslah kirim!

    BalasHapus
  9. evelin surya / xii ipa 1 / 15
    judul: kita bertemu untuk suatu alasan

    BalasHapus
  10. Fedora jolie xii ipa 1
    judul: kini berlalu

    BalasHapus
  11. Judul : " Sahabat di Labirin Cinta"

    (XII IPA 1/17)

    BalasHapus
  12. Disa Agatha Willim
    XII IPA 1 / 11
    Judul: Kembali...

    BalasHapus
  13. judul : Di Bawah Payung Hitam
    judul : Mawar Tak Berduri

    BalasHapus
  14. Judul : Cinta Tak Terduga

    (XII IPA 1 /17)

    BalasHapus
  15. Judul : Perjalanan Hati
    Judul : Hati Yang Bertuan

    BalasHapus
  16. HIngga pukul 16.00 ini belum ada judul yang memancing imajinasi kreatif. Saya tunggu hingga pukul 19.00. Oke?

    BalasHapus
  17. Judul : Origami

    (Franko / XII IPA 1 / 18)

    BalasHapus
  18. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  19. Judul : Di Balik Bayangan

    (Franko / XII IPA 1 / 18)

    BalasHapus
  20. Judul : Kotak Masuk
    (Franko / XII IPA 1 / 18)

    BalasHapus
  21. Judul : Teori Kebahagiaan

    (Franko / XII IPA 1 / 18)

    BalasHapus
  22. Judul : Dua Sisi Koin

    (Franko / XII IPA 1 / 18)

    BalasHapus
  23. Judul : Matahari Tersembunyi

    (Franko / XII IPA 1 / 18)

    BalasHapus
  24. Judul: Kertas Contekan
    Pukul Tujuh Malam
    Reuni Sekawan

    BalasHapus
  25. Judul :
    1. Sahabat Bertopeng
    2. Komet dan Matahari
    3. Pangeran Ampera

    BalasHapus
  26. Judul : Bimbang Menimbang

    (Franko / XII IPA 1 / 18)

    BalasHapus
  27. Matahari dan bulan di satu titik

    Azhar ismail/xiip1/05

    BalasHapus
  28. Judul: Wow!!!
    (Jennifer Dumasari Pakpahan / XII IPA 1 / 20)

    BalasHapus
  29. Judul: Rahasia Terpendam
    (Jennifer Dumasari Pakpahan/XII IPA 1/20

    BalasHapus
  30. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  31. Judul: Menantimu
    (Jennifer Dumasari Pakpahan/XII IPA 1/20)

    BalasHapus
  32. Judul : Judul Sebuah Kisah

    (Franko / XII IPA 1 / 18)

    BalasHapus
  33. Disa Agatha Willim
    XII IPA 1 / 11
    Judul : Teruntuk yang Ternyatakan

    BalasHapus
  34. Judul : Demi Apa?

    (Franko / XII IPA 1 / 18)

    BalasHapus
  35. Malaikat Kecil

    (Eriska / XII IPA 1 / 13)

    BalasHapus
  36. Judul : Asam Asin Manis

    (Franko / XII IPA 1 / 18)

    BalasHapus
  37. Judul : Pajak Jadian

    (Franko / XII IPA 1 / 18)

    BalasHapus
  38. Sudah banyak alternatif judl yang kalian kirim. Kita tentukan saja satu di antaranya yang memberikan banyak imajinasi dan multimakna seperti halnya hidup dan kehdiupan ini: Dua Sisi Koin. Silakan mengakses. Tema dan amanatnya sebagaimana kita bahas di kelas. Oke. Selamata berkarya.

    BalasHapus
  39. “Levi, cepat bangun! Nanti kau telat sekolah.” kudengar suara samar dari luar kamarku. Aku duduk tersentak mendengar itu. Kulihat jam dinding kamarku, 06.30. “Sial,” gerutuku. Dengan berlari aku masuk ke kamar mandi secepatnya agar tak terlabat.
    Aku berlari menuruni tangga dan langsung menuju pintu keluar.
    “Levi! Kau harus sarapan,” teriak ibuku dari ruang tamu.
    “Aku telat. Aku pergi dulu,” aku teriakan padanya sambil berlari keluar rumah.
    Aku berlari menyusuri jalan setapak. Mobil dan motor berlalu lalang.Tak seorangpun menoleh ke arahku, sepertinya pemandangan siswa yang terlambat merupakan hal biasa bagi mereka. “Coba aku punya kendaraan,” pikirku sembari berlari.
    Tak pernah kukira akan selega ini saat kulihat sekolah di kejauhan, namun semua berubah saat kuliat pak satpam menutup gerbang.
    “Tunggu!” aku teriakan dan berlari sekuat tenaga memasuki sekolah. Namun, yah, memang nasibku sial ia menutupnya.
    “Pak tolonglah aku biarkan saya masuk,” ucapku padanya dengan nada memelas.
    “Tidak bisa, toh, nak. Kamu telat. Sudah aturan gerbang tutup jam 07.00. Selain itu ini sudah sekian kalinya kau telat.”
    Aku tetap memohon-mohon padanya. Ia akhirnya membiarkan aku lewat setelah sepuluh menit memohon-mohon padanya. Mungkin ia kasihan melihatku menunggu di depan gerbang. Aku terus berlari sampai ke kelas. Koridor sekolah sudah kosong, karena jam pelajaran telah dimulai. “Tolong jangan ada guru. Tolong jangan ada guru,” ucapku berkali-kali dalam hati sambil berlari. Kumasuki ruang kelas dan berteriak gembira saat aku sampai dan menyadari tak ada guru di dalamnya.
    Dengan napas terengah-engah aku duduk di bangkuku mengabaikan tatapan aneh dari teman-temanku, setelah mendengarku berteriak. Aku bersandar sambil mengatur napasku agar kembali tenang. Jantungku masih berdebar-debar dari berlari dari rumah ke sekolah.
    “Kau terlambat lagi. Setidaknya hari ini belum ada guru,” ucap Anna. Ia tersenyum melihatku yang masih terengah-engah. Anna adalah salah satu temanku dari kecil, karena orang tua kami teman baik. Kami sering menghabiskan waktu bersama. Kuingat jelas ibuku dan almarhum ibunya berharap kami menjadi pasangan suatu hari. Tentu saja ide itu kami tertawakan. Tidak mungkin kami seperti itu. Anna lebih mirip adikku sendiri, ketimbang sahabat.
    “Salahkan alarm dikamarku yang tidak cukup bekerja keras membangunkanku.”
    “Bukankah itu karena kau tidur seperti mayat?”
    “Mayat itu mati bukan tidur.”
    “Aku tidak bilang mereka tidur. Aku bilang kau tidur seperti mereka.”
    “Seperti mati maksudmu?”
    “Kau itu bisa tidur melalui topan dan badai.”
    “Tidak, kau berlebihan,” kukatakan pada Ann sampai menggeleng kepala.
    “Terserah,” ucapnya dengan nada tak peduli. “Kau memang begitu, kok,” ucapnya sebelum mengalihkan perhatiannya ke depan ketika guru masuk. Mengabaikannya guru itu, kubuka bukuku dan mulai mencoret-coret buku itu.


    BalasHapus
    Balasan
    1. “Selamat pagi anak-anak”
      “Pagi, Pak”, jawab semua murid kecuali diriku. Rasanya sangat malas untuk menjawabnya. Aku terus saja mencoret-coret buku itu sampai tinta penaku habis. Aku pun akhirnya mengalihkan perhatianku ke arah depan, tempat guru menjelaskan. Rupanya pelajaran sejarah. Salah satu pelajaran yang tidak kusukai. Aku selalu berpikir kenapa kita harus belajar sejarah. Yang lalu biarlah berlalu.
      Tiba-tiba Pak Tono, nama guru Sejarah itu menghampiriku dan berkata, “Levy, sepertinya kau sudah menguasai pelajaran yang sedang saya jelaskan. Tolong ke depan kelas dan lanjutkan penjelasan saya tadi.”.
      Aku hanya bisa diam. Mendengarkan saja tidak, bagaimana bisa menjelaskan. Aku hanya duduk terdiam di bangkuku. Kesabaran Pak Tono sepertinya tak tertahankan lagi, karena aku lihat ia sudah mulai mengetuk-ngetuk papan tulis tanda bahwa ia telah menunggu cukup lama.
      “Levi!! Apa kau mendengarkannya?? Jika tidak kau sekarang pergi ke luar kelas dan berdiri disana sampai pelajaran selesai.”
      Aku segera pergi ke luar dengan senang hati. Memang hari ini aku tidak ada niat untuk belajar. Malas sekali rasanya untuk belajar. Tiba-tiba ada seseorang yang menepuk bahuku dari belakang.
      “Lev, kau kenapa sih?”. Aku terkejut. Rupanya Anna. Kenapa dia ada disini?
      “Aku ke sini untuk melihatmu. Sepertinya kau butuh bantuan.”, ucapnya, seolah-olah dia tahu apa yang sedang kupikirkan.
      “Ah tidak, aku hanya malas saja. Karena sudah terlambat tadi aku jadi malas untuk mengikuti pelajaran tadi.”
      “Ooo. Begitu.”, ucapnya santai sambilk terus berdiri di sebelahku.
      “Kau tidak masuk ke kelas?”
      “Aku kan sedang menemanimu.”
      “Hah? Tidak mungkin. Kau kan anak yang rajin. Mana mungkin kau melamun sepertiku.”
      “Hehehehe. Aku sengaja agar bisa bersamamu. Kita kan seperti sepaket. Kau ada maka aku ada disebelahmu.”
      “Ck. Kau ini”.
      Yah, seperti itulah kami berdua. Selalu bersama. Sejak kami kecil sampai sekarang. Tak lama kemudian bel tanda pelajaran usai pun berbunyi. Pak Tono hanya menegur kami berdua saja. Mungkin karena dia telah lelah dengan tingkahku ini. Aku pun masuk ke kelas dan kembali mencoret-coret buku.

      Hapus
  40. (Jennifer Dumasari Pakpahan/20/XII IPA 1)
    Dua Sisi Koin
    Ada seseorang yang selalu mengisi pikiranku. Dia sangat ceria, semangat, dan selalu optimis dalam menghadapi semua tantangan. Dia selalu beranggapan bahwa orang-orang disekitarnya selalu memiliki dua sisi yang berbeda, sama seperti koin. “Seseorang selalu memiliki sisi baik dan buruk, sisi terluar dan sisi terdalam, sisi gelap dan sisi terang”, begitulah katanya. Dia telah mengisi hari-hariku yang sepi dan sendiri. Bisa dibilang ia adalah segalanya bagiku. Nama orang yang telah mengalihkan duniaku adalah Laras.
    Tetapi siang itu aku melihatnya termenung. Terduduk lemas di atas bangku taman, menangis sendirian. Tawa dan ramai anak-anak yang bermain di taman itu tak dihiraukannya. Kedatanganku pun sampai tak terdengar olehnya. Kuamati dirinya selama beberapa lama tetapi dia tetap tidak mengacuhkan yang lainnya. Akhirnya kuhampiri dirinya sambil berharap tidak terjadi sesuatu yang buruk dengannya.
    “Kau kenapa?” tanyaku. Ia hanya menjawab dengan senyuman yang lemah dan menghapus air matanya. Setelah beberapa saat ia bercerita akhirnya aku tahu bahwa ia sedang memiliki masalah. Saat kutanyakan ia menjawab dengan ragu-ragu, tetapi akhirnya ia pun mengaku. Ia telah megutarakan perasaannya kepada seseorang. Aku yang mendengarnya hanya terdiam membisu. Lidahku kelu tak tahu harus menjawab apa. Dia berkata bahwa tidak ada seorang pun yang menyayanginya di dunia ini, tidak ada seorang pun yang menginginkan dirinya.
    Setelah beberapa saat akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya kepadanya. Apakah arti diriku ini baginya? Apakah aku hanya seseorang yang tidak berarti baginya? Ia seperti tersentak dan tersadar. Ia menatapku dan mengatakan suatu gumaman yang tidak jelas dan akhirnya terdiam. Aku pun menemani dirinya di taman tersebut sambil duduk diam membisu. Keheningan pun pecah saat aku tak sengaja mengucapkan kata-kata yang selama ini terpendam dan selalu kusimpan dalam lubuk hati yang paling dalam. “Aku menyukaimu Laras” kataku.
    Ia menoleh kepadaku dengan pandangan terkejut. Aku pun terkejut mendengar perkataanku sendiri. Saat tersadar aku berusaha menjelaskan kepadanya. Aku menjelaskan bahwa selama ini aku selalu menganggapnya lebih dari seorang sahabat. Aku selalu memikirkan, mengingat, dan membayangkan dirinya. Setelah selesai berbicara aku menunggu jawaban darinya. Wajahnya yang awalnya sendu perlahan-lahan berubah menjadi tersenyum. Ia pun mengatakan hal yang sama kepadaku.
    Ia berkata bahwa selama ini dia selalu menganggapku lebih dari seorang sahabat. Ia selalu mengamati apakah aku memiliki perasaan yang sama kepadanya. Aku menjadi berseri mendengarnya. Saat itu menjadi hal yang terindah dalam hidupku. Kami pun menyadari bahwa selama ini kami selalu menampakkan sisi terluar kami dan selalu menutup sisi terdalam kami. Kami pun berjanji akan selalu menampakkan segala sisi kehidupan kami, baik sisi buruk atau sisi baik, sisi terdalam atau sisi terluar, maupun sisi gelap dan sisi terang, sama seperti dua sisi koin.

    BalasHapus
  41. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  42. Belum lama aku memegang pensil, Pak Jupri berteriak memanggil namaku. Aku kaget, tidak tahu apa-apa, sementara pandangan seluruh teman kelasku tertuju ke arahku.

    "Ssstt, halaman 37, paragraf ketiga cerpen "Ibu". Giliranmu untuk membaca," bisik Ann kepadaku.

    Aku pun bergegas membuka buku paket bahasa indonesia yang masih tertutup, dan membaca penggalan cerpen tersebut.
    Dua jam pelajaran bahasa indonesia pun berakhir, dengan pemberitahuan tugas menulis cerpen oleh Pak Jupri. Selanjutnya adalah pelajaran fisika, dan kami pun bergegas pergi ke laboratorium fisika untuk materi praktikum.

    Di sela-sela perjalanan menuju laboratorium, aku pun berterima kasih kepada Anna atas bantuannya tadi.

    "Ann, makasih ya sudah memberitahuku tentang giliran
    membaca cerpen tadi."
    "Haha, sama-sama. Kau juga sih yang salah, menggambar di buku seperti kerasukan, tidak sadar lagi terhadap keadaan di sekitar."
    "Yah, kau tahu itu hobiku. Mau bagaimana lagi?"
    "Hobi sih hobi, tapi jangan sampai lupa dengan pelajaran. Kau tahu sendiri, kita sudah mau ujian nasional."
    "Iya sih, tapi kan itu masih empat bulan lagi, masih ada waktu."
    "Kau itu, diberi tahu malah menganggap remeh. Jangan sampai kau tidak lulus saja dengan mulut besarmu itu," gerutu Anna sembari mempercepat langkah menuju laboratorium fisika. Aku pun hanya tertawa dan kemudian mengejarnya.

    Anna adalah anak yang pintar dan rajin, berbeda denganku yang bodoh dan malas. Tapi tetap saja kami bisa bersahabat. Jika diibaratkan sebagai koin, kami seperti mewakili sisi-sisi koin itu. Meskipun tidak memandang arah yang sama, tapi tetap saja merupakan satu kesatuan.

    BalasHapus
  43. Aku meletakkan pensilku di atas meja dan memandang puas hasil coret-coretanku. 'Sampah', begitu Anna selalu menyebutnya. Aku hanya menanggapinya dengan tertawa, aku tahu dia iri dengan bakat menggambarku, hahahaha.

    "Levi!"

    Aku tersentak kaget saat mendengar namaku dipanggil Pak Amir. Celaka, guru ini kan guru yang paling sensitif dengan anak laki-laki, tapi paling ramah dengan anak perempuan. Dia pasti melihat aku cengengesan dan tidak memperhatikan penjelasannya tadi. Aku benar-benar celaka.

    "Kamu ini... saya perhatikan dari tadi kamu cengar-cengir cengar-cengir.. memangnya penjelasan saya lucu ya? Coba kamu maju, kerjakan soal di depan!" bentaknya galak.

    Tuh kan. Apa kubilang, aku benar-benar celaka. Pelajaran Matematika sudah menjadi musuh bebuyutanku sejak aku mengenal apa itu matematika. Aku meringis menatap papan tulis, mendadak perutku sakit.

    "Nih," suara Anna yang terdengar seperti suara malaikat penyelamat dari surga. Kulirik dia yang tengah menyodorkan buku latihannya ke arahku dan kulemparkan senyumku yang paling memelas. "Hehehehe.. thanks Ann! I love you pokoknya," kataku asal yang langsung membuat raut wajahnya berubah sinis.

    "'I love you' gundulmu!" makinya tertahan, sebelah tangannya terangkat seolah ingin memukul kepalaku. Aku sudah siap menangkis 'serangan'nya kalau suara Pak Amir tidak menggelegar lagi, "LEVI NATHANIEL!!!!! Kamu tidak dengar ya saya suruh apa tadi?!!"

    "Denger, Pak. Denger.. kan saya belum budek," kataku ringan sambil melangkahkan kakiku ke depan kelas dengan membawa buku latihan Anna tentunya.

    "Pinjem buku siapa kamu?" tanya Pak Amir sinis. Matanya yang dibingkai kacamata kuno jaman penjajahan Belanda menyipit ke arah sampul buku yang kupegang, seolah ingin membaca nama siapa yang tertera disana. Aku mendengus. "Buku saya dong, Pak! Masa buku mama saya!" kataku kesal.

    "Mana coba sini saya lihat!" kata Pak Amir sambil menarik buku itu dari tanganku. Mati aku!

    "Annastasia Ciputra.. oh, jadi nama kamu sudah berubah jadi Annastasia Ciputra? Kok saya gak tahu? Sudah potong kambing buat syukuran ganti nama?" sindir Pak Amir terang-terangan sambil membaca nama Anna di sampul bukunya.

    Sial. Kalau sudah begini berbohong pun percuma. Tapi bukan Levi namanya kalau tidak bisa berkelit. "Heheheehe, tadi itu... salah ambil Pak! Iya, salah ambil. Saya gak sengaja ketarik bukunya Anna." kataku.

    'Plak'

    Aku meringis saat Pak Amir memukul pundakku dengan buku itu geram. "Kamu ini!" bentaknya sebal. "Sudah sana! Duduk kamu!" lanjutnya. Pria tua itu lalu berjalan ke meja Anna dan dengan tersenyum berkata dengan manis, catat ya, dengan manis!!

    "Anna, lain kali kalau anak nakal ini mau pinjam buku kamu, jangan dikasih! Kalau dia macam-macam, bilang saja sama saya, mengerti?"

    Kulihat Anna melirikku sekilas sebelum tersenyum tipis kepada Pak Amir. "Iya, makasih Pak," katanya pelan sambil menerima buku latihannya.

    "Dasar tua bangka!" makiku saat Pak Amir sudah jauh di meja guru. Anna menoleh menatapku. "Lagian kamu sih," katanya geli.

    "Aku?"

    Anna mengangguk. "Iyalah, siapa lagi? Udah, mau nyalin gak? Ntar kalo dipanggil lagi biar kamu bisa bawa buku punya Levi Nathaniel, bukan Annastasia Ciputra lagi," katanya sambil mendorong buku latihannya ke arahku. Tanpa berpikir dua kali langsung saja kusalin semua yang ada di lembar putih bergaris itu. Tidak perlu repot-repot menanyakan ini benar atau salah karena Anna pasti benar. Aku sudah mengetahui itu sejak kelas 1 SD karena Annastasia Ciputra selalu menjadi dewi penolong Levi Nathaniel.

    BalasHapus
  44. Anna masih berjalan di depanku. Aku melihat dia dipanggil oleh Sella, teman karibnya. Dari kejauhan, aku menatap Anna. Aku mengeluarkan sebuah koin dari kantongku. Ya, koin ini adalah lambang persahabatan kami, seperti yang telah aku katakan sebelumya, bahwa kami adalah sebuah kesatuan walaupun memandang arah yang berbeda. Melihat koin yang kugenggam erat dari tadi mengingatkan aku kejadian 8 tahun yang lalu, saat pertama kali aku dan Anna bertemu.
    8 tahun yang lalu, aku berpartisipasi dalam sebuah acara perkemahan di Palembang yang bertempat di Punti Kayu. Suatu siang, ketika aku sedang berkeliling di tengah Punti Kayu, aku mendengar sebuah suara.
    “Tolong.. Siapapun.. Tolong..”
    Aku segera berlari kearah rintihan tersebut. Ternyata suara itu berasal dari seorang anak perempuan.
    “Hai.. Namaku Levi, kau siapa? Apa yang terjadi?”
    “Namaku Anna, lututku tidak bisa bergerak, sakit sekali.. Tadi aku terjatuh saat dikejar oleh kera liar” ujar anak perempuan yang bernama Anna tersebut.
    “Oh.. Tenang saja, aku akan membantumu. Aku punya kain di sakuku, semoga kain ini membantu” kataku. Aku mengeluarkan sebuah kain dan mengikat lututnya dengan kain tersebut untuk menghentikan pendarahan. Aku lalu menjulurkan tanganku, “Ayo, pegang tanganku”.
    Anna meraih tanganku, dan aku membawa Anna ke pusat perkemahan. Sejak pertemuan itu, kami menjadi sahabat yang sangat akrab. Bahkan kami menerima piagam persahabatan dari ketua perkemahan. Di akhir acara perkemahan itu, Anna mendatangiku dan memberikan aku sebuah koin.
    “Anna, kau tidak perlu membayarku atas bantuan yang aku berikan waktu itu”
    Anna tersenyum, lalu berkata, “Bukan. Ini adalah sebuah jimat. Ibuku memberikannya padaku sebagai jimat keberuntungan. Tapi melihat apa yang terjadi padaku waktu itu, sepertinya jimat ini tidak berfungsi padaku. Mungkin jimat ini berfungsi lebih baik padamu, Levi. Ambillah, anggap aja ini ungkapan terimakasihku”
    “Baiklah, akan kusimpan koin ini dengan baik. Terima kasih ya”
    Aku pun menjadi sahabat yang akrab dengan Anna sampai sekarang. Aku selalu membawa koin jimat tersebut kemana-mana.
    Tiba-tiba ada yang menepuk pundakku. Ternyata Steven, “hei Levi! Apa yang kau pikirkan dari tadi? Nanti kita terlambat pergi ke laboratorium Fisika”
    “Ah! Maaf.. Kepalaku sedikit pusing.. Sebaiknya kita segera pergi.. Ayo..” Kataku sembari memasukkan koin tersebut ke kantongku. Aku berlari menyusul Anna yang mungkin sudah sampai di Laboratorium Fisika.
    (Kelvin/21)

    BalasHapus
  45. (Jennifer Dumasari Pakpahan/20/XII IPA 1)
    Selesai juga pelajaran Fisika hari ini. Walaupun Cuma praktik Fisika tetapi tetap saja menguras tenagaku. Entah tadi benar atau salah, aku telah menyelesaikan tugasku. Saat berjalan kurogoh kantongku untuk mencari koin keberuntunganku. Tetapi setelah beberapa menit, aku tetap tidak menemukannya. Dengan panik aku terus mencari dan mencari. Aku pun kembali menyusuri jalan yang telah kulalui sebelumnya.
    Sekeras apa pun usahaku aku tetap tidak dapat menemukannya. Aku pun terdiam dan tak tahu apa yang harus kuperbuat. Tanpa sadar aku terduduk di koridor depan kelas, tak berani masuk ke kelas karena ada Anna di dalam. Aku tidak berani menemuinya. Aku takut untuk mengakui bahwa aku kehilangan benda berharga dari lambing persahabatan kami. Akhirnya seseorang membuka pintu.
    “Levi? Sedang apa kau duduk disitu? Pelajaran selanjutnya akan dimulai. Ayo kita masuk ke dalam kelas”.
    Aku tidak berani menjawab perkataannya apalagi menatapnya. Aku masih tetap pada posisi yang sama. Tiba-tiba guru yang akan mengajar di kelas kami muncul dan memintaku untuk masuk ke dalam kelas. Aku pun menuruti perintahnya dan duduk di dalam kelas, tetapi aku masih tidak berani untuk menatap Anna yang duduk disebelahku.
    Bel pulang sekolah pun berbunyi. Anna yang sedari tadi tidak kuacuhkan tiba-tiba menarik tanganku dan berbicara kepadaku, “ Levi, kau kenapa sih? Apakah aku telah berbuat salah kepadamu? Jawab aku. Kumohon”. Dia mengucapakan kata-kata itu dengan muka yang sangat memelas sehingga akhirnya aku mengakui bahwa aku telah menghilangkan benda berharga baginya. Koin berharga itu.
    Aku telah bersiap-siap jika dia ingin memarahiku atau bersikap buruk kepadaku. Tetapi saat aku melihat ke arahnya dia hanya tersenyum kepadaku. Aku pun heran melihat sikapnya.
    “Jadi hanya karena koin itu hilang kau pikir persahabtan kita akan hilang?”, kata Anna. Aku pun hanya menganggukkan kepal untuk menjawabnya.
    “Levi, Levi. Kamu ini bagaimana, sih?? Kau tidak mengerti arti koin dariku itu ya? Maksudku itu adalah sebagai simbol persahabatan kita. Ingat, hanyalah simbol. Bukan berarti jika koin itu hilang maka persahabatan kita berakhir. Kau ini”
    Aku pun terperangah mendengar ucapannya itu. Benar juga. Aku begitu bodoh. Tidak berarti jika koin itu hilang maka persahabatan kami juga hilang. Anna mengartikan koin itu sebagai diriku dan dirinya. Dua kepribadian yang berbeda dengan sisi yang berbeda. Bila disatukan tidak akan bisa dipisahkan, sama seperti persahabatan kami. Aku pun tersenyum kepadanya dan berjanji tidak akan bersedih untuk hal-hal yang sepele seperti tadi. Akhirnya kami berdua pun berjalan bergandengan tangan menuju ke luar sekolah bagaikan dua sahabat yang tak terpisahkan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    2. Keesokan harinya aku dan Anna menjalani kehidupan sekolah dengan normal kembali. Kejadian kemarin seperti sudah hilang di benak kami.
      "Tring..ring...ring....Tring...ring...ring....It's time to go home, come back tommorow with new morning spirit". "Huh...akhirnya penderitaan berakhir". "Kau tak pernah berubah, Vi. Kau selalu seperti terlahir kembali kalau mendengar bel pulang.", kata Anna. "Kau tau aku paling tidak suka dengan pelajaran Fisika dan kawannya, Matematika.", jawab Levi. Anna mendengus, "Aku prihatin melihatmu, sudah mau tamat SMA kau tetap saja malas-malasan. Mau jadi apa kau besar nanti, Vi!". Anna kembali menyeramahiku untuk sekian kalinya. Sebenarnya aku ingin berubah menjadi lebih rajin dan lebih giat, tapi tetap saja kedua pelajaran itu bagaikan "horror" bagiku. Anna sudah beberapa kali mengingatkanku untuk mengurangi rasa tidak sukaku terhadap kedua pelajaran itu. Tapi tetap saja itu bukanlah hal yang mudah karena sepertinya telah menempel kuat di sel-sel otakku.
      Seperti biasa, teman-temanku selalu mengajakku bermain futsal tiap pulang sekolah. Itu adalah hal yang sulit kutolak. Bermain futsal adalah cara yang ampuh untuk menjernihkan pikiranku dari kejenuhan belajar seharian di sekolah. Walaupun aku tidak pandai dalam hal akademik, aku cukup berbakat di non-akademik seperti olahraga futsal. Aku selalu menjadi pemain andalan di timku. Anna pun sangat mengagumi bakatku itu. Wajahnya sangat berseri-seri melihatku menggiring bola, melewati musuh-musuhku, dan mencetak gol. Wajah yang sangat bertolak belakang ketika melihatku mengerjakan soal fisika.
      Pukul tiga lewat sepuluh aku selesai bermain. Anna sepertinya sudah pergi.tetap saja itu bukanlah hal yang mudah karena sepertinya telah menempel kuat di sel-sel otakku.
      Seperti biasa, teman-temanku selalu mengajakku bermain futsal tiap pulang sekolah. Itu adalah hal yang sulit kutolak. Bermain futsal adalah cara yang ampuh untuk menjernihkan pikiranku dari kejenuhan belajar seharian di sekolah. Walaupun aku tidak pandai dalam hal akademik, aku cukup berbakat di non-akademik seperti olahraga futsal. Aku selalu menjadi pemain andalan di timku. Anna pun sangat mengagumi bakatku itu. Wajahnya sangat berseri-seri melihatku menggiring bola, melewati musuh-musuhku, dan mencetak gol. Wajah yang sangat bertolak belakang ketika melihatku mengerjakan soal fisika.
      Pukul tiga lewat sepuluh aku selesai bermain. Anna sepertinya sudah pergi. Aku heran ia pergi begitu saja di sela-sela pertandinganku. Biasanya ia selalu menungguku selesai bermain dan pulang bersama. Aku jadi penasaran. Apa mungkin hal kemarin masih menyangkut di benaknya.

      Hapus
  46. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  47. Keesokan harinya, lonceng sekolah pun akhirnya berbunyi menandakan waktu belajar yang panjang di sekolah ini berakhir. Aku yang tadinya dengan sangat gembira membereskan buku-buku pelajaran dan memasukkan buku-buku kedalam tas terhenti karena melihat sesuatu yang aneh pada Anna. Anna yang seharusnya sudah siap menggendong tas dan pulang bersamaku malah berdiri terdiam dan fokus untuk membaca sesuatu di handphone kesayanganya sambil tertawa kecil. Aku yang penasaran melihat tingkahnya yang begitu aneh langsung menarik handphone tersebut dan membuat Anna terkejut dan berkata
    “Apaan sih Levi? Kembalikan handphoneku, sekarang!!!” Dengan nada membentak Anna menyerukan kalimat itu dan langsung menarik kembali handphone yang tadinya ada di genggamanku.
    Aku berpikir ada yang aneh dengan Anna.
    “Ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku, tapi apa itu?”
    Aku yang bertanya-tanya apa yang sebenarnya dia sembunyikan malah di tinggal pergi oleh Anna yang menghilang sekitar 30 detik yang lalu. Aku yang menyadari hal itu langsung berlari keluar kelas dan mencari dimana keberadaan Anna.
    “Benar-benar ada yang aneh, kenapa dia harus pergi meninggalkan kelas tanpa sepengetahuan diriku?”
    Aku yang sangat kesal karena tidak dapat mengetahui keberadaan Anna dimana, pada akhirnya harus merelakan pulang sendiri kerumah tanpa Anna. Rasa penasaranku sangat besar pada saat aku sampai di depan gerbang rumah Anna. Rumahku dan Anna memang tidak terlalu jauh hanya berbeda dua rumah karena itu kami selalu pulang bersama.
    Dengan keraguan aku menekan bel rumah Anna dan tidak sabar untuk bertemu dengan Anna. Tapi ada satu hal yang mengganjal diriku bagaimana jika Anna belum ada di rumah?
    Pikiran-pikiran aneh mulai mengitari kepalaku dan akhirnya pembantu Anna Bik Ina keluar untuk membukakan gerbang. Aku pun secepat kilat bertanya
    “Bik, apakah Anna sudah pulang?”
    Bik Ina menjawab “Belum mas Levi, Non Anna belum pulang dari tadi”
    Akhirnya pikiran-pikiran aneh yang dari tadi telah mengelilingi kepalaku pun makin bertebaran. “ Kenapa dia belum pulang” bisikku.
    Akhirnya aku pun berpamitan dengan Bik Ina dan langsung menuju rumahku. Sesampainya aku di kamar, aku langsung membuka sepatu dan seragamku. Tanpa embel-embel aku pun langsung mencari tempat tidur dan duduk untuk berpikir.
    “Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa aku begitu mencemaskan Anna?” Sambil terus berpikir aku pun bergumam “Apa ini yang dinamakan perasaan cemas?”
    “Tapi ini baru pertama kalinya aku terlalu mencemaskan Anna”
    “Kenapa pikiranku tak dapat lepas darinya? Bagaimana jika terjadi sesuatu padanya?”
    Sambil membenamkan kepalaku diantara kedua tanganku aku pun berteriak, “Bagaimana jika terjadi sesuatu yang buruk pada Anna? Aku kan adalah sahabatnya dari kecil, Apa yang bisa ku jawab pada papa dan mamanya Anna?
    Tiba-tiba telepon rumahku berbunyi dan mamaku memanggil aku untuk kebawah dan menjawab telepon. Aku yang masih terus berpikir tentang Anna menjawab telepon masuk itu dan ternyata yang menelepon itu adalah … Anna?
    (Bertha Ernestina/06)

    BalasHapus
    Balasan
    1. “Anna! Anna kau di mana?” ucapku dengan panik. Tanpa kusadari kakiku berlari keluar dari rumahya menuju jalanan bersiap untuk menjemputnya.

      “Levi, tenang aku tak apa-apa. Aku menelponmu karena aku ada di rumahmu. Bukannya hari ini kau, aku dan Steven janji buat tugas sama-sama? Tadi aku pergi dulu cari barang.”

      Perasaan tenang langsung menjalar ke seluruh tubuhku. Lega rasanya tahu dia aman, namun ada sesuatu yang ia sembunyikan. Aku yakin itu, karena sangat jelas dari suaranya. Tapi, kuabaikan hal itu kali ini.

      Aku pun sendiri lupa akan janji yang telah kubuat. Aku berjalan ke rumahku yang tak jauh darinya. Sambil berjalan aku menelpon Steven untuk datang dan rupanya ia sudah di bersama Anna di rumahku.

      Saat sampai ke rumah, aku langsung masuk dan melihat Steven dan Anna telah duduk mengerjakan tugas. Aku mendatangi mereka dan melemparkan tasku ke sofa, sebelum duduk di samping Anna.

      “Lain kali kalau kau mau pergi, beri tahu aku dulu. Aku sempat khawatir dan ke rumahmu tahu tidak?”

      Anna mentapku dengan heran, “Levi, kau bukan ayahku jadi kau tak bisa mengaturku. Selain itu, kau yang membuat janji bukan aku, ingat?”

      Aku memegang belakang leherku menatapnya dengan malu, “Yah, maaf, deh. Aku lupa. Tapi, kalau kau mau ke rumahku kenapa tak berangkat sama-sama? Kita bisa mampir dulu kau tahu?”

      Anna menggeleng tak setuju, “Aku cuma ada uransan sebentar.”

      “Tapi,” lanjutku namun Anna menatapku tajam dan membuatku mengurungkan niatku. Steven hanya melihat kami dengan heran sebelum embali mengerjakan tuganya. Aku mengeluarkan buku tugas dan mulai mengerjakan PR.

      Hapus
    2. “Jadi?” tanyaku sambil kutatap ia tepat di mata.

      “Jadi?” ulangnya dengan nada yang kugunakan. Kami hanya terdiam memandang satu sama lain. “15,” sebutnya dengan senyuman ia coret angka 15 di kertasnya.

      “18, BINGO! Aku menang. Rasakan itu Anna,” teriaku sambil berdiri merayakan kemenangkanku bermain Bingo melawannya. Ya, bingo. Anna dan aku sedang duduk di kelas bermain bingo bersama bertiga dengan Steven. Steven hanya memandangiku sambil mengangkat alisnya.

      “Ahh, kau curang,” tuduhnya sambil menyipitkan mata menatapku.

      “Bagaimana kau bisa bermain curang di Bingo, Anna?” tanyaku dengan nada kemenangan.

      “Akui saja kau memang tak bisa bermain.” Aku tertawa menatap muka masamnya. Steven tertawa bersamaku melihat tatapan dingin Anna ke kertasnya. Sudah dua jam kami mengerjakan tugas atau lebih tepatnya aku bermalas-malasan, mereka mengerjakan tugas. Aku? Aku tinggal menyalin.

      “Sudahlah Levi. Nanti kau tak diperbolehkannya menyalin PR, lho.” Steven berkata sambil dan tertawa melihat reaksiku yang langsung terdiam mendengar ucapannya. Anna menatapku dengan tatapan kemenangan dan dengan dramatis menutup bukunya untuk menyimpannya.

      “Maafkan aku, Anna. Kau yang terbaik,” ucapku dengan tersenyum polos menatapnya. “Ayolah, jangan begitu. Jangan dengarkan, Steven,” lanjutku saat ia memasukkan barangnya ke dalam tas dan menatap tajam Steven yang berusaha keras menahan tawa.

      “Anna kan cantik, baik, pintar, maafin aku ya,” rayuku agar ia meminjamkan bukunya. Aku kedipkan mataku berkali-kali dengan harapan ia mau menyerah.

      Anna menatapku dengan gelid an berkata, “Tidak.”

      “Tapi…”

      “Buat sendiri. Aku pulang dulu. Aku mau masak. Ayahku malam ini pulang dari dinas.” Anna bangkit berdiri dan mendukung tasnya.

      “Tapi, Anna. Kau tega kepadaku? Teman baikmu ini?”

      Aku menatapnya dengan penuh harap. Ia hanya menatapku tanpa ekspresi sebelum berkata, “Ya, sampai jumpa, Levi, Steven.” Anna berjalan kearah pintu keluar, menemui ibuku yang menyiram tanaman untuk berpamitan. Steven tertawa melihatku yang langsung kecewa mendengar ucapanya.

      Aku menatapnya dingin dan berkata, “Ini semua salahmu,” dengan nada menuduh. Ia mengangkat kedua tangannya seperti tanda menyerah.
      “Aku tak melakukan apapun. Salahmu sendiri tak mau langsung menyalin.”

      “Sekarang harus menyalin di sekolah karenamu,” gerutuku sambil melemparkan pensilku ke arahnya.

      “Aku ragu kau bisa bangun pagi untuk membuat PR di sekolah,” ucapnya sambil tersenyum. Aku mengerang mendengar itu. Pagi dan Levi bukan teman baik. Setiap pagi aku bertanya-tanya mengapa sekolah harus dimulai jam 07.00 dan bukan lewat pukul 09.00. Apa mereka tak pernah membaca bahwa seseorang membutuhkan waktu tidur delapan jam? Atau itu enam jam? Entalah, aku tak peduli yang penting aku benci pagi.

      “Jadi kau dan Anna?” Tanya Steven tiba-tiba.

      “Aku dan Anna?” tanyaku heran kepadanya.

      “Kalian pacaran?” tanyanya sambil tersenyum lebar sambil menyenggol bahuku berkali-kali. Oke, dia mulai menjadi menakutkan.

      “Pacaran? Nggak, kok. Aku itu milik semua wanita, “ ucapaku sambil mengibaskan rambutku menekankan maksudku, lalu melanjutkannya dengan berkata, “Lagipula, kami itu lebih seperti saudara.”

      “Levi, sahabatku,” Steven merangkul bahuku dan menggeleng-gelengkan kepalanya, “Kau lebih buta daripada orang buta.”

      Hapus
  48. Evelin Surya / xii ipa 1/ 15

    Tak seperti biasanya sikap Anna kepadaku. Ada rasa kecewa dan penasaran yang bergejolak dalam hatiku. Ku hubungi ia puluhan kali, namun, tetap tak ada kabar darinya. Aku angkat telpon itu yang berdering dibawah, ternyata benar kedua orang tua nya mencemaskan keberadaan Anna. Aku pun kembali ke sekolah, berkeliling dn berharap menemukan Anna. Aku pun bertemu dengan Sella, Sella adalah sahabat Anna sejak SD.

    “Sel, kamu lihat Anna?”. Aku bertanya pada Sella yang tak sengaja kutemukan di kantin sekolah.
    “Entah, tapi kurasa ia pulang bersama Steven”. Katanya sambil mengkerutkan keningnya.

    Aku terkejut, sejenak aku terdiam. Tak lupa aku ucapkan terima kasihku kepada Sella. Aku kirimkan beberapa pesan singkatku kepada Stevan. Namun, tak satupun yang mendapatkan balasan. Kali ini ada rasa kecewa dan sakit yang teramat dalam, aku tak tahu apa yang terjadi kepada Anna. kenapa ia mendadak berubah kepadaku. Bukankah kita sahabat, bahkan sahabat sejak kecil. Apakah arti diriku ini bagi Anna? Padahal aku berharap Anna bisa menganggapku lebih dari sahabat. Kemudian handphone ku berdering, sebuah pesan singkat masuk dan ternyata dari Anna. Anna mengajakku untuk menemuinya di kantin esok siang setelah pulang sekolah. Apakah arti dari semua ini? Rasa penasaran semakin menyelimuti pikiranku. Ingin rasanya ku ungkapkan perasaan ku ini. Tapi Steven juga sahabatku. Kini kebingungan dan kecewa semakin merasuk dalam benakku. Ah! Entahlah, yang kini kulakukan hanyalah berdoa dan berharap yang terbaik untuk esok hari.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Akhirnya, sepanjang malam itu aku hanya bisa menduga dan menerka apa yang direncanakan oleh Anna (dan Steven juga mungkin).

      Besok harinya, aku terbangun pukul 6 pagi. Setelah mandi dan sarapan, aku pun bergegas pergi ke sekolah, tidak sabar dengan hal apa yang ingin dia diskusikan. Setelah jam pertama dimulai, aku baru sadar kalau hari ini Anna absen dari sekolah. Hal itu menambah rasa curigaku atas "sesuatu" yang direncanakan Anna.

      Pada jam istirahat, kembali handphoneku berdering. Ternyata ada satu pesan singkat lagi dari Anna. Dia memastikan bahwa aku benar-benar akan bertemu dengannya. Pesan itu kubalas singkat dengan kata "iya".

      Detik-detik terakhir sebelum bel pulang sekolah terasa sangat membosankan. Ditambah lagi dengan monolog dari guru pelajaran yang bahkan kutak mengerti apa yang dijelaskannya. Kutatap terus jam dinding di atas papan tulis, menunggu waktu ini tiba.

      Akhirnya, bel pulang sekolah pun berbunyi juga. Aku langsung pergi ke kantin di bawah sekolah. Di bawah ternyata telah menunggu Anna dan Steven yang membawa satu kotak besar. Apakah gerangan isinya?

      Tiba-tiba Anna dan Steven berteriak bersama-sama, "Kejutan!", sambil membuka kotak tersebut. Ternyata itu adalah kue ulang tahunku.

      "Kami memang sengaja absen hari ini untuk mempersiapkan hal ini. Kue ini kami buat sendiri lo, khusus untuk kamu.", kata Anna. Steven menambahkan, "Apakah kamu lupa kalau hari ini hari ulang tahunmu?"

      "Iya nih, hehehe. Akhir-akhir ini aku sedang sibuk membuat tugas yang menumpuk sehingga ulang tahunku saja terlupakan.". Anna dan Steven kompak tertawa.

      Perayaan ulang tahun lalu dilanjutkan dengan prosesi meniup lilin dan memotong kue ulang tahun. Tak lupa kuucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada mereka. Di dalam hati, aku minta maaf pada mereka karena kemarin telah berprasangka buruk.

      Andre Aristyo/ XII IPA 1/ 04

      Hapus
  49. “Heii, aku uda pesenin bakso langganan kita nih, ahhaha. Ngomong-ngomong kamu mau ngapain ajak aku ketemuan di kantin? Tumben banget, ahhaha”
    “Aku mau cerita sama kamu Lev, hahaha” ucap Anna dengan nada yang sangat gembira. Senyum tak berhenti-berhentinya merekah di mukanya.
    “mau cerita apaa? Cerita aja, kayaknya kamu lagi happy banget hari ini? Cerita-cerita dongg.” Levi yang tidak tahu bahwa cerita tersebut akan sedikit mengejutkan dirinya dengan tidak sabar menunggu serangakian cerita yang akan meluncur dari bibir kecil sahabtnya itu.
    “Gini Lev, kemarin kan aku pulang bareng sama Steven. Nah, dia ngajakin aku makan bareng. Ternyata Steven itu so sweet banget loh Vi, hahahah. Nggak kayak kamu, ahhaha.”
    Mendengar ucapan Anna, Levi berpura-pura kesal dan mengacak rambutnya Anna yang terurai panjang dan lembut. Entah mengapa, mendengar ucapan Anna, Levi tidak senang sama sekali dan malah merasa sedikit kecewa.
    “jadi kamu seneng jalan bareng sama Steven?” balas Levi sambil memandang Anna dengan tatapan mengintrogasi.
    “Seneng dong, kayaknya aku tertarik deh sama dia. Ahhaha. Dia baik sih, ganteng, pinter lagi, ahhaha.” Jawab Anna dengan ekspresi yang berbunga-bunga.
    Mendengar jawaban Anna yang begitu polos dan begitu gembira, Levi hanya bisa diam dan menyantap makanannya. Anna terus menunggu tanggapan dari sahabat kecilnya itu. Ia mengira sahabat kecilnya ini juga akan ikut gembira dan alngsung menawarkan bantuan. Namun pada kenyataannya Levi hanya diam. Anna yang merasa geram karena merasa dicuekin mulai menegur Levi dan membangunkan Levi dari lamunan diamnya.
    “Heii, kamu cuekin aku yaa?”
    “Nggak kok, aku cuma lagi makan, hahaha, kamu nggak makan?”
    “Makan kok, tapi kamu kasih ke aku komentar kamu dulu dong. Jangan-jangan kamu cemburu ya sama Steven?” Anna memandang Levi dengan tatapan jahil yang membuat Levi tersedak kuah bakso yang sedang ia coba untuk telan. Anna dengan sigap langsung menyodorkan minuman Levi yang ada di depannya.
    “tadi kamu bilang apa? Cemburu? Kamu ngelawak ya? Hahahah. Nggak usah aneh-aneh deh, ahhaha. Cepet makan baksonya, bentar lagi bel loo. Dasar anak kecil.” Levi merasa aneh dengan perasaanny sendiri, jadi dia mengakhiri pembicaraan mereka berdua dengan makan bersama dan sekali-kali Levi akan mengacak poni Anna karena gurauan Anna membuat Levi gemas. Levi berhenti dan menatap Anna yang sedang menyantap baksonya dengan lahap.
    “Kenapa aku kayak gini yaa? Apa aku cemburu, seperti yang Anna bilang? Tapi aku dan Anna hanya seperti kakak dan adik. Ya kan? Iya betul, aku dan Anna hanya sekadar kakak beradik, tak ada yang lebih. Ingat itu Levi.” Gerutu Levi dalam hati. Dia pun memukul-mukul pelan kepalanya untuk menyadarkan dirinya. Tiba-tiba terngiang kata-kata Steven waktu itu. ‘Levi, kau lebih buta dari pada orang buta.’ Apa sebenarnya maksud dari kata-kata itu? Levi masih belum menyadarinya.

    BalasHapus
  50. 'Ah sudahlah untuk apa dipikirkan,bikin pusing saja' Seru Levi dalam hati
    Hari berganti,Anna dan Steven pun makin sering terlihat jalan berdua.Hal tersebut tentu membuat Levi gusar.Ada rasa cemburu dalam hatinya.Namun,apadaya Levi melihat semua itu,di satu sisi ia berpikir bahwa ia seharusnya bahagia melihat Anna tersenyum ceria bersama Steven.Tapi di satu sisi ia merasa ada sesuatu perasaan yang membuat hatinya perih,perih karena bukan dirinya yang ada di posisi Steven.Rasa itu terus menghantuinya siang dan malam.Levi pun sekarang sering melamun dan bertanya pada dirinya sendiri 'Mengapa hati ini perih ? Mengapa tiada pergi juga perihnya ?'
    'Mungkin aku harus bertanya pada Steven, kalau soal ginian kan,dia ahlinya' Levi pun memutuskan untuk berkonsultasi pada Steven,orang yang sangat ahli dalam soal hubungan psikologis hingga hingga banyak orang yang berkonsultasi padanya.
    "Steven, aku ingin tanya sesuatu padamu " Tanya Levi dengan nada penuh harap bahwa Steven akan memberikan solusi
    "Ya Levi,biar kutebak,kau ingin bertanya tentang perasaanmu terhadap Anna " jawab Steven dengan penuh percaya diri
    "Umm bagaimana kau tahu ?" jawab Levi dengan raut muka gugup kemerah-merahan
    "Semua itu terlihat dari raut wajahmu,akhir-akhir ini kau sering termenung,dan aku lihat,kau melihat Anna dengan pandangan yang berbeda"

    BalasHapus
  51. "Ya, Steven. Mungkin kau benar" ujarku dengan nada lesu. "Apakah kamu merasakan sesuatu yang tak biasa?" tanya Steven dengan tersenyum jahil. Aku memegang kepalaku dengan dua tangan, berharap kebingungan yang melanda akan hilang. "Levi!" teriak Steven menyadarkanku dari lamunan. "Eh? Kau bicara apa tadi?" tanya Levi keheranan. "Dasar, Levi! Kamu merasakan sesuatu yang aneh atau tak biasa? Berkaitan dengan Anna?" tanya Steven lagi. "Uhm...iya nih. Oh iya, kamu suka Anna ya? Sepertinya akhir-akhir ini kalian terlihat dekat." tanyaku tanpa berpikir panjang. Steven diam sesaat dan hanya tersenyum. Sungguh, aku tak mengerti maksudnya. "Kau masih lebih buta daripada orang buta." ujar Steven. "Maksudmu apaan sih? Aku benar-benar tak mengerti. Mengapa banyak hal yang tak dimengerti akhir-akhir ini?" tanya Levi kesal. "Levi,coba ceritakan mengenai perasaanmu ke Anna." jawab Steven tanpa menjawab pertanyaan-pertanyaan Levi sebelumnya.
    "Entahla, Steven. Aku rasa akhir-akhir ini aku merasakan cemburu. Ya, mungkin itu namanya cemburu. Saat aku melihat kamu dan Anna jalan berdua, hatiku seperti tersayat dan panas. Jujur, saat itu aku merasa cukup kesal." cerita Levi dengan nada pelan. "Jika engkau menyukainya, tentunya kau harus berusaha." ujar Steven dengan mimik wajah serius. "Apa maksudmu? Aku menyukai Anna? Mungkin itu hanya cemburu sebagai sahabat, bukan cemburu yang berbau hal lain." jawabku berusaha membela. "Levi, percaya atau tidak, aku rasa kau menyukai Anna." ujarnya dengan senyuman tipis. "Tapi..." Belom sempat aku menyelesaikan kata-kataku Steven malah pergi dan berteriak "Aku les dulu ya!". Dasar Steven! Aku sungguh belum puas bercerita dengannya. Aku menatap Steven yang terus menjauh sebelum akhirnya hilang tak terlihat lagi.
    Cuaca sekarang tampak tidak baik. Awan gelap seperti beramai-ramai datang ke tempatku berada. Aku putuskan untuk segera pulang ke rumah. Tangisan dari langit setetes demi setetes membasahi bumi. Sepertinya, langit juga sedang bersedih. Sama sepertiku.

    BalasHapus
  52. Kulihat langit tak kunjung berhenti meneteskan air matanya, dari jendela kududuk termenung. Memikirkan apa yang kubicarakan dengan steven tadi. "Apa iya aku suka dengan anna?", "apa iya ya? Toh kami hanya sekedar sahabat?" Tak lebih dari itu pikirku, namun ak semakin ragu, apakah rasa panas dan cemburu yang kurasakan itu hanya sekedar rasa cemburu seseorang sahabat?. "Leviiiiiiiiii......!!!!!!!!" Teriak ibuku yang memecah keheninganku yang tengah bergulat keras. "Levi, kemari, ibu membutuhkan bantuanmu nak!". Mendengar hal itu, ak pun langsung beranjak dari jendela kamarku keluar dan menuju dapur dimana ibuku berada.

    "Levi, kamu tolong pergi ke minimarket di dekat rumah kita ya lalu tolong belikan kecap asin ya, ibu membutuhkannya untuk menyiapkan makan malam kita". "Hei nak, kamu dengar tidak?" Ucap ibuku sambil menyenggol halus perutku, eh iya iya ma segera kulakukan. Aku pun mulai beranjak ke mini market tersebut, ibu salah jika bilang tempat itu adalah tempat yang dekat, ak menghabiskan 15 menit untuk berjalan kaki kesana pikirku. Setelah sampai ke minimarket tersebut, ak segera beranjak menuju stand makanan dan mulai mencari kecap.

    Aku mulai berpikir, tadi mama menyuruhku membeli kecap apa ya? Manis atau asin ya? Ucapku dalam hati. Aku tidak terlalu memperhatikan perkataan ibuku tadi. Ya sudah, aku beli saja keduanya pikirku. Lalu aku juga mengambil beberapa snack kesukaanku namun seketika itu juga nampak sesosok yang kukenal berjalan melewati pintu depan minimarket. "Itu......... steven dan annaa bukan? Apa yang mereka lakukan berdua?" Ucapku dalam hati yang tak habis pikir akan hal tersebut, segera kubayar barang belanjaanku lalu pulang sesegera mungkin. "Ibu pasti sudah menatikanku, aku harus cepat segera pulang", aku terus memikirkan kata-kata steven, dan mengingat mereka berdua yang tengah berjalan tadi. Kembali kumerenung.

    "Kamu harus berusaha" ingatku akan ucapan steven tadi, maksudnya apa sih pikirku. Apaaa? Apa yang ia maksud berusaha mendapatkan hati anaa? Atau berusaha bersaing dengan steven? Banyak pertanyaan yang tak terjawabkan dan mulai muncul di benakku sekarang.

    BalasHapus
  53. "Maaa bukakan pintunya", ujarku sambil mengetuk pintu rumah.
    "Iya, Levi. Sebentar. Mama lagi di dapur"

    Beberapa menit kemudian, pintu rumah dibukakan.

    "Ini, Ma.", sambil menyodorkan kantong minimarket berisi kecap asin dan kecap manis. Aku juga mengambil beberapa makanan ringan yang masih tertinggal di dalamnya.
    "Levi, kok kamu beli kecap manis juga?"
    "Iya, Ma. Aku lupa mama menyuruhku membeli kecap yang mana.", ujarku sambil menaiki tangga.
    "Kamu ini seperti orang yang sedang jatuh cinta saja. Jadi lupa segalanya.", ujar mama sambil tersenyum.

    Kata-kata mama tadi mulai menjalari pikiranku. Benarkah aku jatuh cinta? Sejenak, aku terdiam membatu di tangga. Mama masih memandangiku dari dapur.

    "Kenapa belum naik, Nak?", ujar mama kebingungan.
    "Ehmm iya, Ma. Levi naik sekarang.", ujarku sambil memegangi kepala.

    Sesampainya di kamar, aku menatap Loki, anjing Pomeranian kesayanganku. Tatapanku kosong karena masih membayangkan wajah Anna. Tiba-tiba, lagu Right Here Waiting berdering di ponselku. Itu panggilan dari Anna. Apa maksudnya ini? Bukannya tadi dia sedang berkencan dengan Steven? Setidaknya, mereka berjalan berdua.

    "Halo?"
    "Ehmm halo, Lev. Kamu ada di mana?", ujar Anna dari sudut telepon. Suaranya terdengar gemetar.
    "Aku di rumah. Ada apa?", jawabku datar.
    "Aku ada di cafe depan rumahmu, Lev. Bisa tidak menemuiku?"
    "Ehm baiklah, Anna.", jawabku dan langsung mematikan panggilan.

    Sesampainya aku di cafe, aku melihat Anna duduk sendirian. Mengapa Steven menghilang? Apa Steven meninggalkannya dan dia merasa sedih jadi langsung menelponku? Aku rasa aku terlalu negative thinking.

    "Hai, Anna. Maaf lama menunggu."
    "Tidak apa-apa, Lev. Aku baru memesan minuman.", jawabnya sambil tersenyum.
    "Gadis apa yang Kau ciptakan hingga aku begitu terpesona melihat tawa manisnya, Tuhan", ucapku dalam hati.
    "Anna, mengapa kau memanggilku kemari?"
    "Aku hanya ingin memberimu ini.", jawab Anna sambil mengeluarkan sepucuk amplop dari dalam tas ungunya."
    "Amplop apa ini?", jawabku penuh tanya.
    "Buka saja sendiri hehehe.", jawabnya sambil tertawa kecil.

    Sesampainya di rumah, aku terduduk di sofa ruang tamu dan membuka pelan-pelan surat itu. Aku takut amplop merahnya terkoyak.

    Betapa terkejutnya aku melihat isi amplop itu.
    Mengapa banyak foto kami?

    "Oh! Ada surat di dalamnya!", kataku spontan.

    (Disa Agatha Willim XII IPA 1 /11)

    BalasHapus
  54. "Hai sahabatku Levii.. ingatkah foto foto itu.. itu adalah foto foto persahabatan kita sejak kecil , aku sangat merindukan momen momen itu Levi. Ku lihat kau akhir akhir ini kau agak menjauhi ku.. Maafkan aku Levi jika aku ada salah atau menyakiti hatimu.. dari sahabat tercintamu Anna"
    Air mata ku menetes sedikit. Aku langsung berdiri dan berkata "Aku harus menemui Anna"

    Langsung ku ambil ponsel ku dan bergegas menelepon Anna.. berkali kali aku menelpon tetapi tidak tersambung.. hanya ada suara "nit nat nut" yang kudengar. Jantungku semakin berdebar kencang.. setelah ku telpon beberapa kali akhir nya anna mengangkat telpon ku..
    Aku pun langsung berkata "hai Anna"
    ia menjawab "hai Levi.."
    "aku telah membaca suratmu Anna. Sebenar nya aku sedikit cemburu "
    "cemburu dengan siapa Levi"
    jawabku "aku cemburu melihat kau sangat dekat dengan Steven"
    Anna menjawab "asal kamu tahu Levi aku sangat menyayangimu ,aku dekat dengan Steven karena aku suka bercerita dengan nya tidak lebih"
    aku pun spontan bertanya "siapa yang kau ceritakan ?"
    Ia menjawab "kau Levi.."
    aku agak terkejut dengan jawaban nya, lalu ia melanjutkan pembicaraan nya "aku suka curhat dengan Steven tentang dirimu yang semakin lama semakin menjauhi aku Levi emangnya aku ada salah apa ?"
    kudengar suara tangisan nya yang menyentuh hatiku. Aku belum sempat membalas nya tetapi ia langsung menutup telpon nya.
    Aku pun bergegas pergi kerumah nya, aku melihat sebuah rumah makan. Langsung ku mampiri rumah makan itu dan ku beli makanan kesukaan Anna.
    "Mas, nasi dan chicken teriyakinya satu. Bungkus ya. Berapa, Mas ?"
    "Semuanya Rp.47.000,00 Mas"
    Setelah kubayar aku pun langsung naik ke mobil. Lalu aku mampir ke toko coklat dan ku beli sejumlah coklat vanilla kesukaan Anna. Aku melanjutkan perjalananku ke rumah Anna. Sesampai nya di sana hatiku agak terguncang dicampur kecemasan dan keringat dingin. Aku mengetuk pintu rumah nya dam Anna pun keluar aku mengatakan "hai" kulihat matanya agak merah
    "Ayo masuk Lev.."
    "Hmmm aku mau meminta maaf selama ini sikap ku agak berbeda"
    "Ia gak apa apa udah aku maafin kok"
    "Ini aku bawa makanan kesukaan kamu"
    "Wah beneran nih ? Maaf ya ngerepotin"
    "Ia gak apa An" dengan tersenyum
    "Ini aku juga membawa beberpa tugas untuk kita kerjakan"
    "Yuk, kita kerjakan"
    kami pun mengerjakan tugas itu , di tengah tengah pengerjaan tiba tiba Anna memolet muka ku dengan coklat yang tadi ku beli. Aku pun membalas nya dan kami tertawa bahagia.
    Tak terasa haru sudah larut aku pun pamit untuk pulang "hmm kayak nya langit udah gelap aku pamit pulang dulu yaa"
    "Ia Lev selamat malam"
    Sesampai di rumah aku senyum senyum sendiri , ibu bertanya "hei Levi kenapa kamu ini senyum senyum sendiri kayak orang lagi jatuh cinta ajah "
    Aku tidak menghiraukan Ibu dan masih tersenyum saja.

    Aditia kencana T / xii ipa 1 / 01

    BalasHapus
    Balasan
    1. Keesokan hari, sesampainya di sekolah aku langsung menuju ruang kelas. Rasanya aku benar-benar tidak ingin bersekolah hari ini, tapi mama memaksa agar aku tidak meninggalkan satu pun pelajaran sekolah. Aku menempati kursiku dan hanya berdiam diri di sana. Suasana langit yang mendung seolah menggambarkan perasaanku saat ini. Aku tak habis pikir sampai sekarang, aku juga tak mengerti perasaan apa yang ada dalam hatiku terhadap Ana. Semua yang telah terjadi antara kami membuat semuanya berubah, akhir-akhir ini aku tak pernah sanggup untuk menatap dan berbicara langsung kepadanya. Ntah apa yang sudah terjadi padaku, yang pasti aku tak merasakan rasa persahabatan yang hangat seperti dulu.
      "Kriiiiinnnggggg.." bel masuk pun berbunyi
      Semua teman-temanku berlarian masuk ke dalam kelas dan menduduki tempat masing-masing. Tapi sampai bel berbunyi aku tak melihat ada sosok seorang sahabat kecil di sampingku. Perasaan malas untuk sekolah bertambah ketika aku tidak bisa melihat Ana. Beberapa menit setelah ibu guru masuk dan pelajaran pertama dimulai, tiba-tiba ada seseorang yang mengetuk pintu kelas.

      "Tok.. tok..tok" terdengar suara ketukan pintu
      "Ya silahkan masuk" kata bu guru
      "Maaf bu saya terlambat" jawab Ana sambil terengah-engah
      "Ya sudah, silahkan duduk, An."

      Melihat Ana masuk sekolah, semangatku kembali normal. Aku merasa sangat senang walaupun hanya sekedar melihat wajahnya. Ana yang duduk di sampingku pun langsung duduk dan mempersiapkan buku pelajaran "Kenapa kamu terlambat, An?"
      "Aku kesiangan" jawab Ana dengan singkat dan sedikit cuek
      "Kamu kenapa sih, An? Kamu marah sama aku? Apa kamu udah nggak mau menjadi sahabatku lagi?"
      "Jawab An, jawab!"
      Sedikit pun Ana tak menjawab pertanyaanku itu, mungkin dia marah dan tidak ingin diganggu. Aku pun mencoba untuk memahami kondisi ini, aku tidak mau persahabatan yang sudah terjalin sejak kami kecil hancur begitu saja.

      Hapus
    2. Aku lalu masuk ke dalam kamar, meninggalkan ibu dengan wajah berseri-seri. Hari ini adalah hari paling indah yang dapat aku rasakan bersama Anna..Hari ini juga, aku mengetahui bahwa Anna memiliki perasaan yang sama dengan apa yang aku rasakan. Perasaan itu....perasaan yang selama ini aku pendam...akhirnya terjawab sudah.

      Lamunanku membayangkan saat-saat bersama Anna tiba-tiba terhenti oleh suara dering ponsel yang mengejutkan. Kulihat ada nama Anna di layar ponselku. Aku senang bukan kepalang mengetahui Anna mengirimkan sebuah pesan singkat.
      Aku langsung membuka pesan itu dengan tidak sabar.
      "Levi, kamu sudah sampai di rumah?
      "Sudah :)", balasku singkat.
      Pesan itu lalu berlanjut...
      "Levi, terimakasih ya sudah meluangkan waktu untuk datang ke rumahku :)", balas Anna.
      "Sama-sama, Anna. Aku juga berterimakasih karena ternyata kamu mau mengisi waktu bersamaku hari ini :)"
      "Aku sama sekali tidak keberatan, karena....aku sangat bahagia bisa mengisi waktu bersamamu."
      "Aku juga...sekarang sudah pukul 11 malam. Sebaiknya kamu beristirahat, Anna. Selamat malam dan selamat beristirahat :)"
      "Selamat malam juga, Levi. Sampai jumpa besok :)", balasnya mengakhiri pesan.

      Aku pun tidur dengan hati berbunga-bunga membayangkan wajah Anna.

      Hapus
    3. Aku bingung dengan kelakuan Anna. Perasaan kemarin dia baik-baik saja. Kemarin kami baru saja bertemu. Entah mengapa belakangan ini hubungan kami menjadi rumit. Sebelumnya kami bisa saja bercanda, tertawa, curhat bersama. Namun sekarang? Untuk sekedar berbicara menatapnya secara langsung, aku pun tak berani. Entah sejak kapan perasaan ini mulai berubah. Perasaan ini membuatku sangat pusing tujuh keliling. Lebih memusingkan dibandingkan soal trigonometri..

      Hapus
    4. Selang beberapa hari kemudian setelah pulang sekolah, hubungan Aku dan Ana pun sudah kembali lagi seperti semula.
      Kemudian, Aku pun pulang kerumah dengan wajah yang berseri-seri karena Aku baru saja berbaikan dengan Ana. Hatiku terasa senang sekali karena Aku bisa baikan lagi dengan orang yang kusayangi.
      Sesampainya dirumah Aku pun langsung mencari mama, namun Aku tak menemukannya. Lalu Aku berinisiatif untuk mencari mama kedalam kamarnya, namun apa yang kulihat?
      Aaaaa.... ternyata mama sudah tergeletak dilantai dengan sekujur tubuh yang pucat pasi.
      Aku pun segera berteriak meminta pertolongan pada kakakku,lalu Ia pun segera datang sambil berkata "Ada apa Levi? Kenapa Kamu menangis sambil berteriak seperti itu/
      Lihat mama, kak. apa yang terjadi pada mama?
      Selagi kakakku menolong mamaku, aku pun berlari ke kamrku sambil menangis sesegukan.

      Hapus
  55. lalu aku kembali ke kamar mengunci pintuku, aku teringat saat bercertita dengan Anna tadi. Sangat senang memikirkannya. Tapi dibalik kesengan itu hari juga merupakan hari tersedih bagiku. Karena padi hari ini mamaku yang paling aku sayangi telah meninggal dunia. Akhirnya mayat mamaku dibawa ke Rumah Sakit Charitas. Setelah diperiksa ternyata jantung mamaku lemah. Tapi kenapa mama tidak pernah cerita kepadaku dari dulu. Aku sangat bingung kali ini, tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ayahku segera pulang dari Kalimantan. Begitu juga kakakku, Ryan, yang kuliah di kota Bandung. Saat kami berkumpul di rumah duka, deru air mata tak sanggup kubendung lagi. Aku menangis di hadapan ayah dan kakakku. Begitu pula mereka, yang meski berlinangan air mata, tetap berusaha menenangkanku. Kami memandang jenazah ibuku dan berdoa bersama, berharap agar ibu pergi dengan tenang, dan hidup bahagia di surga.

      Hari berganti, menjadi hari pemakaman ibuku. Ayahku terlihat letih setelah semalaman menemani jenazah ibuku di rumah duka. Kakakku mulai terlihat bisa menerima kenyataan yang pahit ini, dengan mulai mengajakku mengobrol tentang sekolah. Padahal, kemarin ia terdiam membisu, masih kaget atas peristiwa yang terjadi tiba-tiba ini.

      Aku termenung. Sudah lama aku tidak berkumpul dengan ayah dan kakakku, meski pada akhirnya peristiwa ini kembali mempertemukan kami. Aku pun menyadari sesuatu, bahwa tidak lama lagi, kehidupanku akan berubah.

      Hapus
    2. Pikiranku mulai kosong dan tak tahu harus berbuat apa lagi. Di pikiranku hanya ada sosok seorang anna yang sangat aku sayang. Putus asa, sedih, kesal, benci dan semua yang gelap terlintas di pikiranku sambil kutatap proses pemakaman ibuku...

      Sesudah proses pemakaman ibu, ayah dan aku pulang menuju ke rumahku di Palembang. Tak pernah kuduga akan datangnya hari ini. Dengan muka lesu, sedih, dan murung. Kami bergegas untuk beristirahat sebentar sebelum waktu makan siang tiba.

      Aku menuju ke kamarku dan langsung terbaring lemah tak berdaya di ranjangku.
      "Akhiri semua ini.. Akhiri semua ini.."
      "Hari ini juga.. Sekarang juga.. Lekaslah.. Segera.." Itulah yang terus terlintas di pikiranku yang sudah amat gelap.

      Tok..tok..tok.. Terdengar ketukan di pintu kamarku. Aku segera membuka pintu dan menyapa ayahku.
      "Ada apa yah? Tanyaku"
      "Ayo nak sudahila kesedihanmu itu.. Ayo kita makan siang dulu untuk mengisi energi tubuh kita ini. Ujar ayahku"
      Kami pun bergegas pergi ke luar untuk makan siang.

      Sepulang dari makan siang, jam di kamarku menunjukkan pukul 18.00 WIB. Saat itu juga adzan maghrib berkumandang. Tiba-tiba pikiran gelap tadi terlintas lagi dan terasa sangat kuat hingga kepalaku sangat terasa sakit, tak dapat kulawan lagi. Semakin kulawan, semakin terasa sangat sakit hingga tak dapat kukendalikan tubuhku.

      "Akhiri!!! Akhiri!!! Inilah waktunya yang telah tiba!!!" Pikiranku menggerakan tubuhku.
      Terlihat ada baygon di bawah meja belajarku yang biasa kugunakan untuk mengusir dan membunuh nyamuk. Ntah kenapa, aku buka tutupnya dan langsung saja kulalap habis hingga semuanya terasa sangat gelap.. gelap.. gelap.. makin gelap.. dan sangat gelap..........

      Hapus
    3. Rasa pusing memenui kepalaku, seperti mau pecah rasanya. Mulutku terasa pahit dan badanku terasa berat. Akut mendengar suara samar-samar, namun tak mampu kubuka mataku. Jadi aku hanya terdiam terbaring di situ. Dari baunya, aku yakin aku berada di rumah sakit. Bau alcohol steril memnuhi ruangan ini dan aku benci baunya. Aku ingin menangis mengingat fakta ibuku telah meninggal.

      “Jadi bagaimana keadaannya?” Kudengan suara cemas Anna.

      “Dokter bilang ia akan baik-baik saja. Mereka telah mengeluarkan seluruh racun dari tubuhnya,” jawab suara ayahku yang terdengan letih. Lalu, semua suara terdengar samar lagi. Aku menunggu beberapa saat, siap untuk kembali ke bawah alam sadar.

      “Aku turut berduka atas kehilanganmu, Levi. Tapi, tolonglah jangan berbuat begini. Jangan tinggalkan aku,” kudengar jelas suara Anna. Ia menggenggam tanganku dengan tangan kecilnya. Hangat rasanya. Aku telah melupakan ini. Melupakan kehangatan kecil ini. Bagaimana bisa aku menyia-nyiakan hidupku hanya karena musibah ini. Ibu pasti tidak senang dengan tindakanku ini.Aku mengeluarkan seluruh usahaku dan menggenggam tangannya.

      Hapus
    4. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    5. “LEVI!” teriak riang Anna, “Ayo buka matamu. Aku tahu kau di sini.”

      “An—na…” ucapku lemas setelah membuka mata. Ia berdiri di sana tetap cantik walaupun ada bekas air mata di pipinya dan kantung mata hitam dibawah kedua mata hitamnya yang tak pernah gagal membuatku terpukau. Apakah aku penyebabnya? Anna meneteskan air matanya melihatku, ingin sekali kuhapus itu dengan tanganku, tapi aku terlalu lemah untuk bergerak. Tanganku serasa kaku.

      “Levi, jangan sekali-kali kau lakukan ini lagi. Kau bisa menelponku, kau tahu!” Ia memegangi tanganku dengan kedua tangannya dengan erat dan berkata, “Terima kasih, Tuhan, Kau mengembalikan Levi padaku.”

      Hapus
  56. Suasana masih berkabung. Aku, Ryan dan Ayah menunggu di pemakaman Ibu. Ayah telah lama bercerai dengan ibu karena pekerjaannya di Kalimantan. Kini aku harus tinggal bersama ayah di Kalimantan, tidak ada jalan lainnya.
    Tiba- tiba aku teringat Anna. Bagaimana dengan Anna?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Anna.. Wajahnya bermain-main di pikiranku. Aku tak akan sanggup mengatakan kata perpisahan padanya. Pelan-pelan setetes air mata keluar dari kelopak mataku. Hatiku terasa sesak. Pikiranku kacau untuk saat ini. Bagaimana ini?

      Kemudian aku melihat foto Anna di ponsel hapeku. Ku hapus air mataku. Ku coba meneguhkan hatiku. Aku yakin aku bisa mengatasi semua ini. Tetapi entah mengapa hatiku masih saja sesak. Mengapa semua ini terjadi padaku....

      Kemudian aku melihat foto ayah yang telah lama tidak aku lihat. Sosok laki-laki yang pernah mengajarkanku arti keteguhan.

      Hapus
  57. aku sangat rindu dengan Ayah, aku senang sekaligus sedih bisa tinggal dengan Ayah. Satu minggu telah berlalu dari saat Ibu meninggal, aku sudah sedikit melupakan kesedihanku, dan mencoba mengikhlaskan kepergian Ibuku. Ayahku akan segera kembali ke Kalimantan untuk melanjutkan pekerjaannya, jadi aku mengajak anna jalan-jalan untuk terakhir kalinya, dan sekaligus untuk berpamitan dengannya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku belum memberitahu Anna tentang kepergianku dengan ayahku ke Kalimantan. Aku tidak ingin membuat Anna menjadi sedih dengan kepergianku. Keesokan harinya aku mengajak Anna pergi ke bioskop. Kepergianku dengan Anna ini mungkin akan menjadi yang terkahir kali sebelum ayahku kembali ke Kalimantan lima hari lagi.
      “Kau sangat aneh Levi, biasanya kau tidak suka dengan film romantis ini.”
      “Anggap saja ini film romantis yang pertama dan terakhir kali ku tonton.”
      Film yang kami tonton ini memiliki ending yang cukup sedih karena kedua kekasih harus terpisah jauh. Sang cowok harus pindah sekolah karena keluarganya pindah ke luar negeri. Anna seperti biasanya selalu terharu setiap menonton film semacam ini. Bahkan aku sangat bingung untuk menghadapi perpisahan ini. Aku mengajak Anna menonton film ini untuk membuat Anna secara tidak langsung menyadari perpisahan kami.

      Aku jadi teringat masa-masaku bersama Anna selama delapan tahun ini. Anna selalu membantuku selama pelajaran yang paling tidak kusukai di kelas. Anna sering membantuku di saat-saat sulit, saat aku kesulitan mengerjakan tugas-tugas di sekolah. Anna selalu menyemangatiku di berbagai situasi yang menyulitkan

      Hapus
  58. Aku bingung harus perbuat apa. Esok paginya aku memutuskan pergi ke rumah Anna.
    "Hai Anna" jawab Levi
    "Ada ap lev?" Kata Anna
    "Aku mau bilang bahwa hari ini aku dan kakaku akan tinggal bersama ayahku" kata Levi
    Perasaan Anna pun kecewa dan sedih.
    Annna bingung melakukan apa?
    hari-harinya kosong tanpa warna.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Anna pun terus memikirkan tentang kepergian levi tersebut. Ia membayangkan apa jadinya hidupnya tanpa kehadiran levi. Selama ini ana selalu melangkah berdampingan dengan levi, teman, sahabat, kakak, bahkan sesosok saudara bagi anaa ada di diri levi. Ia terus memikirkan apa yang harus ia lakukan.

      Hari hari ia lewati dengan hampa, dan tak terasa sebentar lagi adalah hari dimana levi dan ayahnya akan berangkat ke kalimantan. Ak terus berpikir "Bagaimana bisa aku hidup tanpa berkomunikasi langsung dengannya? Ah, tentu aku tetap bisa berkomunikasi dengannya lewat sms, skype dan sebagainya, tapi, apa itu semua cukup bagi kami?" Anna tetap bergulat dengan batinnya sampai akhirnya tibalah hari dimana levi akan berangkat.

      "Ini harinya? Oh tidak! Kenapa waktu cepat sekali berlalu sih? Aku butuh waktu untuk berpikir tau!" Ana akhirnya berkata " tidak! Aku sudah tidak punya waktu berpikir lagi, aku harus segera bertindak!" Ana bergegas mengambil tasnya lalu pergi keluar rumah disaat levi tengah menyiapkan dirinya serta ayahnya untuk berangkat.

      Hapus
    2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    3. Lalu,pikiranku membawaku ke masa lalu,ke masa,ketika aku pertama kali bertemu Anna.Aku teringat ketika itu aku melihat kakinya yang terluka.Aku masih ingat ketika Anna memberikan koin keberuntungannya kepadaku.Aku teringat ketika Anna meminjamkan bukunya untuk kusalin,Aku teringat segala suka dan duka yang telah kami lalui bersama

      Hapus
    4. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
  59. Tiba-tiba aku teringat impian kedua ibu kami, mereka menginginkan kami untuk menjadi pasangan suami istri, namun nasi sudah menjadi bubur, aku harus pergi ke Kalimantan.

    Ayahku memanggil, "Levvvvv!!! Cepat! Kalau tidak kita akan terlambat" tiba-tiba ponselku berdering, ternyata itu dari Anna, "Hai lev, apa kau sudah memikirkan matang-matang kepergianmu ke Kalimantan?", akupun terhenyak,"Hmmm, aku tak bisa berbuat apa-apa, maafkan aku ann aku harus pergi." Percakapan pun terputus. Di perjalanan ke bandara, aku terus memikirkan Anna, aku tak bisa membayangkan hidupku tanpa bayang-bayang dirinya. Kami pun sudah harus naik ke pesawat. Saat akan menuju ruang tunggu, terlihat di sudut mataku seorang perempuan yang ku kenal. Itu Anna .

    BalasHapus
    Balasan
    1. ertama aku berpikir kalau itu hanya orang yg mirip dengan anna, setelah aku melihat kembali wanita itu melambaikan tangan kepadaku, ternyata itu benar-benar anna!
      Aku pun terkejut, kudatabgi dia di ruang tunggu itu
      "sedang apa kau disini?"tanya levi
      "aku hanya ingin memberikan gelang ini sebagai tanda persahabatan kita lev" kata anna
      "terima kasih an, maaf kau harus pindah dengan mendadak seperti ini, tapi kita akan selalu menjadi sahabat kok" hibur levi
      Mata levi pun mulai berkaca-kaca, dia tidak bisa berkata-kata lagi melihat sahabatnya akan pergi
      Levi pun memegang tangan anna dan berkata, "jangan menangis ann, kita kan msih bersahabat, kita masih bisa berkomunikasi kok" hibur levi ke anna
      Di dalam hati levi pun sebenarnya ia sangat sedih harus meninggalkan anna tapi ia harus terlihat tegar.
      Trdengar suara panggilan penumpang pesawat tujuan kalimantan untuk segera memasuki pesawat
      Levi pun mmngucapkan kata-kata perpisahan terakhir pada anna

      Hapus
    2. "Ayah, bolehkah aku menemui Anna? Sebentar saja" tanyaku sambil memohon kepada ayah
      "Ya sudah, tapi jangan lama nak, sebentar lagi pesawat kita akan berangkat"
      "Iya ayah, terima kasih"

      Segera aku bergegas menemui Anna.
      "Anna, ngapain kamu disini?"
      "Levi, maafin aku, maaf karena aku tidak bisa berbuat apa-apa dengan keputusan ayahmu, orang tuaku pun tak bisa menahan kepergiaan ayahmu dan membatalkan keputusan ayahmu untuk membawamu pergi" sambil menangis Anna mengucapkannya
      "Sudahlah An, kepergianku bukan akhir dari segalanya, kita masih bisa menjadi sahabat seperti dulu, karena posisi kau sebagai sahabat dihatiku tak akan terganti" ucap Levi sambil menghapuskan air mata Anna

      "Sejujurnya, aku sangat mencintaimu Anna. Tanpa kau sadari perasaan ini telah ada sejak kita kecil, tapi mungkin nyaliku terlalu kecil sebagai lelaki" kataku dalam hati
      Kemudian aku memecahkan suasana haru dan berkata, "Anna, tolong jangan tangisi kepergianku, aku tau ini sulit untukmu, tapi percayalah walau kita berada di dua dunia yang berbeda, arah yang tak sama tapi kita adalah satu."

      Hapus
    3. Pikirku aku harus segera melupakan Anna toh percuma saja kalo aku masih mengingatnya di Kalimantan. Jarak kami sangat jauh. Sesampainya di Kalimantan, lebih tepatnya di kota Balikpapan, Aku dan Ryan tinggal di rumah kecil milik Ayahku. Keesokan harinya aku langsung masuk sekolah karena Ayahku sudah mendaftarkanku di salah satu sekolah swasta di Balikpapan. 2 bulan lagi aku akan menghadapi Ujian Nasional. Itulah alasanku untuk segera melupakan Anna.

      Pada hari pertama masuk sekolah, aku melihat seorang perempuan cantik bernama stefani, aku mulai berkenalan dengannya dan bercerita tentang pengalamanku di Sumatera. Stefani orangnya baik dan mudah diajak berbicara. Lalu aku meminta nomor ponselnya.Kami pun sering berbalas pesan, dan aku menjadi sangat akrab dengannya.

      Tetapi tiba - tiba pada hari kelima Anna meneleponku. Aku berusaha untuk melupakannya, tetapi perasaan ini tetap ada. Apakah harus menerima telpon dari Anna?

      Hapus
    4. "Lev mengapa kamu pergi mendadak seperti ini? Kamu harusnya bilang sama aku kalau kamu ingin pergi dalam waktu dekat ini.""Maaf An, aku tidak sempat memberitahumu.""Seandainya aku tahu kamu akan pergi, setidaknya kan kita bisa menghabiskan waktu bersama lebih lama lagi. Lev, maukah kamu berjanji sesuatu padaku?"Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba Anna terjatuh ke lantai. Anna pun pingsan."Anna! Bangun An!" Aku pun berteriak histeris. Hening. Tidak ada jawaban keluar dari mulut mungil Anna

      Hapus
  60. Ketika Levi melihat Anna dia langsung menemuinya.
    "Anna kenapa kamu di sini?" Tanya Levi
    "Aku tidak ingin berpisah dengan mu lev!"
    Levi pun terkujut atas perkataan Anna.
    Levi pun bingung untuk pergi meninggalkan cintanya atau pergi dan tinggal bersama ayahnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yelina Kitty / XII IPA 1 / 39

      Seminggu sudah aku melalui hari-hari di Kalimantan, rasanya sangat berbeda. Semuanya berlalu begitu saja tanpa arti.
      "Menyedihkan sekali berada disini!" keluh Levi
      "Levi, apa kamu hanya akan menghabiskan hari-hari dengan melamun saja? Cobalah berbaur dengan anak-anak-anak yang sebaya."Kata Rian
      "Disini sangat berbeda." Jawab Levi
      "Tak akan menjadi nyaman kalau kau tak mencoba menikmatinya." Balas Rian
      Aku hanya bisa bergumam dan mengiyakan saja apa kata kakak dan ayahku disini.
      "Apa ini karena Anna jauh dariku?" Tanya Levi dalam hati
      Ku ambil pena dan kertas, mulai ak mencoret-coret isi hatiku didalam sana. Jika saja aku bisa kembali dekat dengan Anna. Gadis itu! Entah kenapa segala tingkah lakunya bisa mewarnai hari dan semua coret-coretanku.
      Bersekolah disini tak membuatku bersemangat. Lonceng berbunyi, masuk kelas, belajar dan pulang dan selalu begitu setiap hari. Rasanya tak ada hari tanpa memikirkan Anna. Semakin lama aku semakin ingin menemui Anna.
      Sepertinya segala dosaku terbalas saat ini. Semuanya berubah menjadi sangat buruk.

      Hapus
    2. Anna menelponku?!
      "Halo, Levi bagaimana tentang persahabatan Kita" gerutu Anna
      Aku terdiam, membulatkan Ana berkata kata diseberang sana.
      Aku pun berpikir untuk keputusan terpenting dalam hidupku. Aku akan meninggalkan keluarganya atau tetap bertahan bersama balik sisi koinku ? Dan beberapa detik kemudian Aku membulatkan tekatku.
      Aku membalasnnya" Anna berjanjilah padaku " Levi meneteskan air mata " tunggulah aku , setelah studi ku selesai di Kalimantan , aku Akan menemuimu kembali." Aku langsung menutup telpon tersebut dan mematikan handphonenya

      Hapus
    3. Levi lalu berkata "Aku tidak punya pilihan Ann, aku harus pergi dan tinggal bersama ayahku, maafkan aku." sahutnya lirih
      "Tapi aku belum sanggup untuk kehilanganmu Lev." kata Anna di sela tangisnya
      "Aku tau ini berat untukmu, karena aku juga merasakan hal yang sama sepertimu, dan berhentilah menangis seperti anak kecil." ujar Levi
      "Akankah kau kembali?" ujar Anna setelah berhenti menangis.
      "Ya, aku berjanji akan kembali suatu saat nanti" kata Levi sambil tersenyum lembut
      Dengan hati yang terluka, Anna hanya tersenyum pasrah dan merelakan Levi pergi

      Hapus
  61. Setelah semua hal gila yg terjadi pada diriku yang membuat ak syok setengah mati, ak mencoba untuk memulai hidup baruku yang mungkin membuatku dapat melupakan tentang anna dan semua sahabat sahabatku.
    Cukup berat bagiku untuk melalui semua ini, semua kenangan dan memori yang ada selama ini. Apalagi anna..

    Ketibaanku di kalimantan sudah membuatku sedikit melupakan hal hal yang dapat membuatku sedih. Bermacam macam hal yang kualami seakan tergantikan dengan pemandangan pemandangan yang kulihat dari kaca mobil selama perjalanan menuju ke rumah ayahku.

    Tak sadar beberapa menit kemudian ak sudah tertidur lelap karena lelahny hari ini. Kembali, aku memikirkan tentang anna yang mencoba meneleponku terus menerus. Seakan menjadi kenyataan, teleponku berdering keras...
    Anna?...

    BalasHapus
    Balasan
    1. "Lev" suara Anna pelan dari telfon,
      "Kenapa Anna? Aku sudah disini, kumohon untuk kebaikan kita kamu lupakan aku, cukup kau tahu bahwa aku aman disini dan cukup aku tahu bahwa kau tidak ada apa-apa" kataku pelan
      Tuttt , telfon dimatikan dari Anna. Akupun terdiam di mobil, mataku berkaca-kaca. Apakah aku melakukan kesalahan pikirku.
      Sekitar lima belas menit dari itu aku sampai di rumah papa, suasana baru yang tak pernah kurasakan, tapi mama? Aku terus menerus teringat akan kedua wanita yang telah meninggalkanku maupun yang telah kutinggalkan.

      Hapus
    2. Ayahku membuka pintu rumah dan mempersilahkan aku masuk terlebih dahulu. Keadaan ini menjadi asing bagiku untuk melanjutkan kehidupanku di provinsi yang berbeda dengan Anna . Pikiran ku terbayang sosok Anna . Padahal belum sehari aku tidak bertemu dengannya . Aku menaiki anak tangga rumah di samping pintu masuk tersebut. Lalu aku menemukan sebuat kamar yang hanya berisi sebuat lemari dan ranjang . Dengan mengeluarkan nafas yang panjang . Aku segera membanting tas bawaan ku di samping ranjang. Aku berbaring di ranjang dan memikirkan apa yang baru saja yang terlintas di hidipku. Dan secara tidak sadar aku telah memasuki alam tidurku yang dalam

      Hapus
    3. Didalam mimpiku ,aku bertemu dengan seseorang gadis,gadis yang sangat kukenal ,Anna,tapi entah mengapa semakin kukejar dia ,semakin tak bisa kucapai.Pada akhirnya aku terjatuh ,rasa sakit terasa .Aku pun terus mencari Anna ,"Anna ,ayo jangan main petak umpet denganku dong,ayo keluar ...." .Kemudian keluarlah Anna dengan senyuman yang sangat manis ,wajahnya sungguh mengalihkan duniaku .Aku benar-benar seperti berada di surga .Namun tiba-tiba ada suara "glegarrrr" aku segera terbangun dari mimpi karena bunyi halilintar yang sungguh mngejutkanku .Didalam hati ku berpikir "ternyata ....ini semua hanya mimpi.... " .Akhirnya kusadari bahwa Anna telah tak bersamaku lagi pada saat ini.

      Hapus
  62. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  63. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  64. Peristiwa itu bagai sebuah bom waktu dalam hidupku.
    Aku tak tahu harus berbuat apa. Rasanya baru saja aku merasakan kebahagiaan bersama Anna, tetapi kini aku harus meninggalkannya. Aku sangat sedih. Kenapa Tuhan seolah memberikanku hukuman yang sangat berat? Kenapa langit dan seisinya seolah tidak mengizinkan aku untuk merasakan kebahagiaan lebih lama?
    Aku kecewa....aku marah pada keadaan.
    Bagaimana bisa aku menjalani hari-hari tanpa kedua orang yang aku cintai? Ibuku dan Anna....
    Apakah sebaiknya aku menyusul mama?
    Aku tidak tahu apa yang merasuki ku. Rasa sakit ini...membuat aku sempat berpikir untuk bunuh diri.

    BalasHapus
  65. Tapi aku tersadar, "betapa bodohnya diriku, berpikir untuk bunuh diri segala, apa iya aku bisa lebih bahagia apabila mati? Apa iya aku bisa lebih bahagia?" Kembali kubergulat dengan diriku ujar ana, ak sempat menyesal tidak menggunakan waktu bersama levy sebaik mungkin, namun sekarang itu tinggalah penyesalan belaka.

    Aku pun tetap menjalani kehidupanku yang kian terasa semakin hampa setelah kehilangan levi. "Apakah levi akan kembali?, kembali padaku?" Ujarku dalam hati. Perasaan ini menggangguku dalam berkonsentrasi. "Anaaaa, apa yang kamu lamunkan?" Tegur bu tini, "tolong kerjakan soal hal 146 ana, jangan melamun di dalam pelajaran ibu!. Aku pun mengerjakan tugas yang diberikan bu tini. Aku khuwatir kalau nilaiku akan turun karena masalah ini, namun semua itu serasa tidak berarti dan tidak penting lagi bagi diriku.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kemudian setiap hari selalu kucoba untuk menghubungi levy ,namun aku merasa sangat bersalah atas semua yang terjadi .Aku pun merasa sangat membutuhkan orang yang bisa memberikanku bantuan atas segala yang terjadi padaku . Aku pun memanggil Lia "Lia , aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu ,bisakah?
      "Tentu saja Ann ,ada apa?" Jawab Lia .
      "Aku baru saja kehilangan seseorang yang sangat kusayangi ...."
      "Aku ingin menghubunginya ,namun aku ragu ,karena hal ini dapat menimbulkan luka baru jika aku menyampaikan perasaanku "
      "Bagaimana menurutmu ,lia...?"
      "Hmm ,sebagai teman ,yang dapat kusampaikan padamu hanyalah ,ungkapkan segala rasa yang kau rasakan ,hal itu akan membuatmu lepas dari segala derita akan sesal di hati "Balas Lia
      Anna termenung untuk beberapa saat , memikirkan apa yang harus ia lakukan.

      Hapus
  66. "Jangan bersedih lagi, Nak. Ikhlaskan kepergian Ibumu.", ucap ayah sambil memegangi bahuku dan memastikan bahwa aku tidak menangis.
    "Iya. Aku tidak menangis, Ayah.", jawabku sambil tersenyum.
    "Ayah masuk ke kamar dulu. Kalau ada apa-apa panggil saja. Hiburlah Ryan, adikmu, supaya tidak menangisi kepergian Ibumu.", jawab ayah sembari berjalan menuju kamarnya.

    Rumah kami di Kalimantan telah berdebu karena sudah terlalu lama ditinggal sejak kami pindah ke Jakarta. Debu tebal di atas lemari dan meja kaca sungguh menyesakkan. Aku tiupi permukaan meja itu hingga berterbangan debunya. Di bawah permukaan kaca masih lekat foto keluarga kami. Ibuku terlihat begitu cantik. Ibu mengingatkanku pada Anna.

    "Di mana Anna sekarang?", ucapku tanpa sadar. "Aku akan menelponnya."

    Nada panggilan berdering dua kali sebelum Anna menjawab panggilanku.

    "Halo, Levi?"
    "Hai, Anna."
    "Bagaimana keadaanmu, Lev?"
    "Aku baik-baik saja. Barusan aku melihat foto keluarga kami yang tertinggal di sini. Ibu terlihat sangat cantik.", jawabku sambil menghela napas.
    Aku melanjutkan ucapanku sebelum dia menyela, "Aku teringat padamu, Anna. Ini terjadi secara tiba-tiba setelah memandangi foto Ibu."

    Aku bisa mendengar tawa kecilnya dari ujung telpon. Aku juga bisa membayangkan wajahnya saat ini. Dia begitu mempesona.

    "Lev? Kau baik-baik saja ?", tanya Anna dengan suara gelisah.
    "Ehm, iya. Tenang saja, Anna. Mendengar suaramu saja sudah membuatku terhibur."

    Ada apa dengan jantungku? Kini berdetak lebih kencang. Aku begitu bersemangat menelponnya.

    "Gombal, Lev!", jawab Anna sambil tertawa.
    "Aku serius, Anna.", ucapku dengan berani.
    "Iya iya. Mengapa kau menelponku?"
    "Aku juga tidak tahu mengapa. Tapi, suara hatiku mengatakan kalau aku harus menelpon sahabat terbaikku."

    Lima menit kemudian aku menutup telepon karena dia harus membantu Ibunya memasak. Sepuluh menit menelpon dengannya sungguh berarti bagiku. Aku dapat melepas rindu dengan gadis yang aku sayangi. Tunggu. Aku menyayanginya?

    Aku berusaha membuang pikiran aneh itu dan menjatuhkan tubuhku di atas tempat tidur. Kulepasi satu per satu tali yang mengikat kardus bawaanku. Mataku tertuju tepat pada kotak berkilau berwarna ungu. Barang-barangku dibereskan oleh ayah hingga aku tak tahu apa saja isinya. Kotak apa itu? Sepertinya aku mengenalnya. Aku menarik kotak itu yang tampaknya sudah berdebu. Perlahan kotak yang terbuat dari logam itu aku buka. Tanganku berdebu memegangnya. Sepertinya kotak ini telah lama aku singkirkan selama tinggal di Jakarta.

    "Ini kotak dari ibu."

    Aku kembali membuka beberapa lembar coretan yang dulu aku simpan rapat-rapat. Ini adalah lembaran coretan milik aku dan ibu saat aku masih berusia tiga tahun. Ibu mengajari aku menulis dan menggambar.

    "A-N-N-A"

    Huruf inikah yang dituliskan oleh ibu saat mengajariku menulis? Aku tak menyangka Ibu telah mengenalkan Anna padaku lebih cepat dari yang aku duga. Dia benar-benar menginginkan agar kelak aku dapat menikah dengannya. Ibu mengenalkan Anna padaku sebagai sosok seorang gadis yang lembut dan berani sepertinya. Aku suka pada Anna. Tapi apakah ini cinta yang sesungguhnya? Ataukah hanya rasa sayang sebagai seorang sahabat yang telah berteman selama kurang lebih tiga belas tahun?
    Perasaan ini semakin membingungkanku. Pemikiran-pemikiran aneh yang merasuki benakku membuat aku lelah. Aku membaringkan kepala dan terlelap seketika.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sisi Anna

      Kumatikan telpon setelah menelpon Levi. Sahabat terbaik ucapnya. Aku cuma sahabat baginya tak lebih daripada itu. Dadaku terasa sesak saat menyadari bahwa ia tak berada di dekatku. Aku tak bisa menemuinya lagi. Ia pindah meninggalkanku. Tanpa kuketahui air mata telah mengalir di pipiku.
      Ku hapus air mata itu dan mencoba bangkit berdiri tapi kakiku lemas. Tak peduli sebagai apa, aku akan selalu ada untukny, tekadku. Mengingat kejadian Levi yang mencoba bunuh diri saat ibunya meninggal hampir ikut membunuhku juga. Dunia serasa gelap dan aku baru sadar saat itulah aku peduli kepadanya. Peduli sampai aku membutuhkannya untuk hidup.
      Mungkin ini yang terbaik bag dia. Ia harus memulai hidup baru di tempat baru. Aku tak dapat menahan tangisku. Aku menangis lagi sambil terduduk di lantai kamarku. Sepi, itu yang kurasakan dan itu yang meresap ke hatiku. Aku memandang sekeliling kamarku. Foto-fotoku dengannya memenuhi tempat ini. Hatiku hancur.
      Aku ingin dia kembali.
      Aku ingin Levi memegangiku.
      Aku ingin ia membalas apa yang kurasakan ini.
      Aku ingin Levi bersamaku.

      Hapus
  67. Lima tahun kemudian.

    LEVI.

    Palembang, 27 Juni 2019
    Bandara Sultan Mahmud Baharuddin II.


    Hari ini hari sabtu, hari pemuda itu pulang. Untuk yang pertama kali dalam lima tahun terakhir ia menginjakkan kaki di kota kelahirannya. Turun dari pesawat, ia langsung menggunakan kacamata ‘Guess’ hitam kesayangannya. Siang itu memang cukup panas hingga ia langsung melepaskan jaket kulit berwarna coklat yang sedari di pesawat membalut tubuhnya. Setiap orang yang melihatnya pasti langsung tahu bahwa ia adalah pemain gitar-- Jelas saja, ia menenteng ‘guitar case’ berisikan gitar klasik. Di permukaan ‘guitar case’ itu terpampang jelas nama si pemilik yang ditulis dengan stiker: Levi Nathaniel Joesman. Dalam hati ia bergumam, “I’m coming back, Palembang!”.

    Bagian luar bandara tempat menunggu kedatangan penumpang pesawat sudah ada kerumunan orang menunggu, para supir-supir taksi pun. Salah satunya berusaha mendekati Levi sambil berujar dalam bahasa Palembang,
    “Taksi, Dek? Nak naek taksi dak, dek? Payo dek, samo Mamang bae...”
    “Idak Mang, aku dijemput kawan. Maaf, yo, Mang.” Jawab Levi sambil tersenyum. Nyatanya ia masih fasih berbicara dengan bahasa dan logat ‘wong Palembang’. Lima tahun berkelana dari Kalimantan dan Jogja tidak membuatnya lupa dengan segala yang berhubungan dengan Palembang, termasuk gaya berbicara, bahasa, dan logat orang Palembang pun. Segera setelah itu, ia langsung mengeluarkan smartphonenya dan melakukan dial call yang tertuju ke kontak bernama Rangga, tetangga lama yang dekat dengannya semenjak dibangku SMP.
    “Ngga, dimana kamu? Aku udah nyampe di bandara, di bagian luarnya” tanyanya.
    “Ini aku udah deket, Vi... Aku bisa lihat kamu kok. Cielah..., gitaris wong kito lah nyampe di Palembang! Hahaha!” jawab si penerima telfon yang ternyata sudah sampai di Bandara.
    Levi tersenyum lebar melihat mobil Rubicon berwarna putih yang berjalan mendekatinya. Dari kaca mobil yang trasnparan dapat dilihatnya Rangga sedang menyetir. Setelah mantap memakirkan mobil, si pengemudi segera turun dan menyapa Levi.
    “Wih... Keren banget gaya kamu, Vi! Beda banget sama kamu yang terakhir aku lihat. Lama banget kita nggak ketemu, ya?” sapa Rangga.
    “Hahaha... Bisa aja kamu, Ngga. Kamu juga beda banget sama yang dulu. Lebih tinggi, nih, kayaknya. Hehe.”
    “Iya, Vi. Sejak lulus SMA aku rutin minum suplemen penambah tinggi badan. Eh, udah makan siang, belum? Kalau belum, kita pergi makan, yuk!”
    “Boleh, tuh, Ngga! Kita makan pindang patin! Sumpah, udah kangen banget dengan masakan Palembang.”
    “Sip, deh, gampang. Ayo deh, masukin koper sama guitar case kamu, abis itu kita langsung pergi.”

    Dan begitulah awal kedatangannya dimulai: Berbagi cerita dengan si tetangga sekaligus teman lama. Sampai saat ini belum terpikir olehnya untuk mencari gadis itu. “Santai-santai dulu, lah...” pikirnya. Selain itu, entah si gadis masih menetap di Palembang atau tidak dia pun tak tahu. Tapi tetap saja, salah satu ingin hatinya datang kembali ke Palembang : mencari, menemukan, dan (kalau bisa) memiliki hati gadis itu.

    BalasHapus
  68. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  69. Selesai makan siang, aku pun diantar pulang oleh Rangga. Rangga sebenarnya mengajakku berkeliling kota Palembang, namun aku menolaknya lantaran badanku yang tidak bisa diajak berkompromi ini. Rasanya lelah sekali dan aku ingin segera pulang.
    Sesampainya di depan pintu pagar rumah, aku berhenti melangkah sejenak. Kuamati setiap seluk-beluk rumah itu. Suasananya pun sama, meskipun aku tidak melihatnya lima tahun belakangan ini. Hanya saja halamannya penuh dengan daun gugur dan ranting pohon yang berserakan serta cat dinding rumah itu sedikit memudar warnanya. Aku pun menatap kembali rumah itu. Sekelebat pikiran muncul dengan sendirinya di benakku. Rumah itu menjadi saksi sejuta kenangan yang kulalui dengan keluargaku tercinta. Serta kenangan bersama gadis itu, iya gadis yang sangat spesial bagiku. Yang pernah membuat hatiku berdebar. Yang pernah membuat hariku menjadi lebih berwarna. Yang pernah juga membuatku merasakan pahitnya kehidupan.
    Aku pun tersadar dari lamunanku. Lalu aku bergegas masuk ke dalam rumah. Debu pun menempel dimana-mana. Rumah ini pun telah menjadi tempat tinggal laba-laba. Karena tak tahan melihat semua itu,setelah menaruh koper dan guitar case, aku pun langsung membersihkan rumah.
    Saat membersihkan rak, aku dengan tidak sengaja menjatuhkan kepingan CD.
    “Apa itu?” tanyaku penasaran.
    Aku pun lalu mengambil kepingan itu dari lantai, lalu melihatnya.
    Judul : Memories
    Dibuat : 17/12/2003
    Aku pun tertegun sejenak. CD apakah ini? Penasaran, aku pun memutarnya di DVD.
    Ternyata itu adalah kumpulan kenanganku bersama Anna saat aku berumur tujuh tahun. Film ini sengaja direkam dan diedit oleh Mama untuk koleksi CD Mama. Mama sepertinya ingin sekali suatu saat aku bisa hidup berpasangan dengan Anna. Di film itu banyak sekali kejadian yang ku lalui bersama Anna yang bahkan sekarang pun aku sudah tidak ingat lagi. Mulai dari kami berenang bersama, bermain rumah-rumahan bersama, tertidur di sela-sela waktu bermain dan bahkan ada adegan saat aku sedang menghibur Anna yang sedang berduka cita ditinggal Mamanya. Air mata tak terasa menetes dari mataku. Sedih rasanya mengenang semua kejadian itu. Yang tidak akan pernah bisa terulang lagi. Aku kangen dengan Mama. Aku kangen dengan Anna. Tapi aku tidak mau membiarkan diri ini terbawa suasana. Iya, aku harus tegar. Aku bukan seorang cowok lagi. Aku adalah seorang laki-laki sekarang.
    Setelah menenangkan diri beberapa saat, aku pun bangkit dari tempat dudukku dan memutuskan keluar rumah untuk mencari udara segar. Saat aku membuka pintu pagar, aku pun melihat sesosok wanita yang sangat aku kenal sedang menyiram tanama. Aku pun dengan cepat menutup pintu pagar dan berlari ke arah sana.
    “Hai, Anna, bagaimana kabarmu?” kataku antusias.
    Wanita itu pun berbalik dan melihatku kebingungan. “Siapa kamu?” tanyanya.
    “Anna, apa kau tak ingat padaku? Aku adalah sahabat kecilmu. Apa kau tak ingat padaku?”
    “Maaf, rasanya aku tidak ingat siapa kamu.” katanya kebingungan.
    “ Aku Levi, Anna. Aku Levi. Sahabat karibmu. Masa kau tidak ingat padaku? Kita dulu kecil seringkali bermain bersama. Yang mengenal dirimu lebih dari siapapun.”
    Mata sayunya pun tiba-tiba membelalak. Namun wajahnya datar. Tanpa ekspresi. Dia pun tiba-tiba langsung meletakkan penyiram tanaman dan meninggalkan aku tanpa kata.
    Heran, mengapa Anna seperti tidak mengenalku, batinku. Atau jangan-jangan….

    BalasHapus
    Balasan
    1. Levi yang cemas dengan tingkah laku Anna langsung menelepon orangtua Anna. Untungnya, Levi berhasil menghubungi Mama Anna. Tanpa basa-basi yang terlalu panjang, Levi langsung bertanya pada Mamanya Anna.

      “Tante, selama aku nggak ada di Palembang, Anna baik-baik aja kan tante?”

      “Antara iya dan tidak Levi.”

      “Kok gitu, Tante?” Tanya Levi dengan cemas.”

      “Iya Levi, gini ceritanya…

      Hapus
    2. "Sewaktu kamu telah pergi ke Kalimantan ,Anna mengalami masa-masa sulit." Kata ibu Anna.
      "Apa yang terjadi? Tanya Levi.
      "Ia seperti orang yang tidak punya harapan,sering bengong sendiri,kadang -kadang juga menangis tersedu-sedu dikamarnya bahkan nilai-nilainya pun merosot tajam "balas ibu Anna.
      "Anna sampai seperti itu karenaku.... "
      Rasa sedih pun segera merasuki hatiku,air mataku pun hampir tidak terbendung jika memikirkan dia menjadi seperti itu pada saat aku meninggalkanya.

      Hapus
  70. Lima tahun yang lalu…
    Anna yang semakin lama semakin kurus mulai jatuh sakit. Ia sangat terpukul dengan kepergian Levi. Ia tidak mau makan, tidak mau tidur, hanya termenung saja mengenang Levi.
    “Lev, kamu dimana? Kenapa kamu meninggalkanku disini? Apa persahabatan kita berakhir sampai di sini? Apa aku sudah tidak berarti lagi bagimu?”
    Semakin hari keadaan Anna semakin memburuk. Orang tuanya pun menjadi khawatir dan membawa Anna ke dokter. Dokter tersebut mengajukan saran agar Anna dibawa ke psikiater karena menurut dokter itu pikiran Annalah yang membuatnya sakit. Bukan karena penyakit.
    “Dok. Bagaimana keadaan anak saya?”, ujar ibu Anna cemas.
    “Menurut saya, sama seperti kasus-kasus sebelumnya, ada seseorang yang sangat dirindukan oleh anak ibu. Dia sangat menyayangi orang itu. Tetapi oleh karena sesuatu hal, mereka berpisah, atau mungkin lebih tepatnya anak ibu yang ditinggalkan. Begitulah yang saya dengar dari anak ibu.”.
    “Jadi apakah anak saya bisa sembuh, dok?”
    “Coba saja untuk mengajak anak ibu sesering mungkin berinteraksi dengan dunia luar. Berusahalah untuk mencegahnya berpikir terlalu keras. Ajaklah ia untuk memulai suatu kegiatan yang baru atau yang dia senangi. Sepertinya anak ibu sangat menyukai bunga. Saran saya, sebaiknya ajaklah Anna untuk berkebun.”.
    “Baik, dok”
    Sejak saat itu kedua orang tua Anna selalu mengajak Anna untuk berinteraksi dengan dunia luar. Perlahan-lahan Anna pun mulai kembali seperti dulu. Tetapi ada satu hal yang telah dilupakannya. Levi.

    BalasHapus
  71. Sudah hampir seminggu sejak pertemuan Anna dan Levi yang membuat Levi sedikit shock. Levi tidak tau apa yang harus dilakukannya agar gadis kecil impianny itu kembali mengingat dirinya.

    Hmm… apa aku ke rumah dia sekarang ya? Tapi nanti kalau sudah ketemu dia aku mau bilang apa? Aku harus memulai ceritaku darimana? Ahh… aku bingung…

    Wherever you go
    Whatever you do
    I will be right here waiting for you
    Whatever it takes
    Or how my heart breaks
    I will be right here waiting for you

    I took for granted, all the times
    That I thought would last somehow
    I hear the laughter, I taste the tears
    But I can't get near you now

    Oh, can't you see it baby
    You've got me going crazy

    Dering lagu Right Here Waiting yang menjadi penanda telepon masuk berbunyi dan membuayarkan lamunan Levi. Tertera nama Rangga di layar ponsel smartphonenya. Levi menerima telepon itu.

    “Ada apa, Ngga?”

    “Kamu nganggur kan hari ini Lev? Kita nongkrong yuk sama yang lain. Hahaha, kan uda lama kita nggak ngumpul bareng.”

    Hmm… daripada aku nganggur dan pusing mikirin gadis itu, lebih baik aku pergi hang out. Pikir Levi dalam hati.
    “Oke”

    Sesampainya di kafe tempat nongkrong mereka yang didesain dengan suasana menyerupai Eropa. Mereka semua telah berkumpul dan membicarakan banyak hal. Levi yang sedang tidak ingin banyak bicara dengan teman-temannya hanya mendengarkan sambil mengamati sekelili g kafe yang dimasukinya itu.

    Hmm… Anna pasti menyukai tempat ini. Ucap Levi dalam hati. Suara si gadis manis itu mulai memasuki benak Levi.

    “Levi, kamu nanti mau jadi apa?”

    “Aku mau jadi guitaris terkenal, kamu kan tahu aku hobi banget main gitar. Ahhah. Kalau kamu?”

    “Aku mau mendesain-desain café. Aku mau buat café ala Eropa. Kan keren tuhh. Nanti kalau aku berhasil membangun café kayak gitu, kamu boleh makan gratis deh disana. Hahaha.
    Mendengar celotehan Anna, dengan gemas Levi mengacak-acak poni Anna. Mereka pun tertawa bersama
    Ingatan itu bagaikan video yang diputar dibenak Levi. Levi masih mengingat dengan persis kejadian itu, ketika mereka duduk di atas atap sekolah yang terbuka, ditemani oleh suasana mendung yang sangat sejuk. Tentu saja, saat hubungan mereka masih sangat dekat.

    Tiba-tiba Levi berdiri dari tempat ia duduk. Senyum merakah di wajah kerennya itu. Didalam hati ia berkata dengan sangat optimis.

    “ Sepertinya aku tahu apa yang harus aku lakukan!”

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tanpa berbasa basi, Levi pergi ke rumah Anna untuk menemui gadis itu. Namun ternyata Anna tidak ada di rumah. Sebelum pergi, Anna hanya mengatakan akan pergi sebentar dan tidak mengatakan akan pergi kemana.
      "Kemana aku harus mencari Anna?" bisik Levi dalam hati.
      Levi terus menyusuri jalan di sekitar rumah Anna dan tibalah ia di sebuah taman.
      Gadis itu sedang duduk termenung sambil melihat bunga yang sedang bermekaran indah di hadapan nya.
      "Anna?" tanya Levi lembut.
      Anna hanya menoleh dengan tatapan kosong.
      "Masih ingatkah kau kepadaku?" ujar Levi.
      Anna pun hanya menggeleng.
      "Ini aku Leviii...teman terbaikmu...sahabat kecilmu" ujar Levi dengan sangat lembut.
      Anna tetap tidak menjawab. Ia hanya meneteskan air mata.
      Hal itu sangat membuat hati Levi sakit. Ia tidak akan pernah bisa melihat Anna menangis karena dirinya.
      Tanpa banyak berkata lagi, Levi segera memeluk Anna ke dalam dekapanya. Hal itu membuat Anna sedikit terkejut. Namun Ia membiarkan dirinya jatuh dalam pelukan Levi.
      "Kau jahat Levii...sungguh jahat!" ujar Anna di sela tangisnya.
      "Maafkan aku Anna, aku tidak bermaksud membuatmu seperti ini" kata Levi dengan nada menyesal.
      "Apa kau tahu seberapa sulitnya aku disini?Aku hampir gila karena kehilangan dirimu!Hidupku sungguh seperti tidak ada artinya." ujar Anna dengan tangis yang semakin deras.
      "Maafkan aku Anna, sekali lagi aku minta maaf, aku sungguh menyesalinya." kata Levi yang ikut menangis bersama Anna.


      Hapus
  72. Aku kembali menelepon ibunya Anna kembali.
    “Halo Tante. Anna ada dirumah sekarang?”
    “Ya, ada. Ada apa Levi?”
    “Tante, aku boleh nggak ngajak Anna keluar sebentar? Sambil menghirup udara bebas Tante.”
    “Tentu saja. Kamu ini seperti orang lain saja. Datang saja ke rumah. Nanti Tante suruh Anna siap-siap”
    Aku segera menuju ke rumah Anna berharap gadis itu masih ada di rumah. Karena menurut ibunya Anna menjadi terlalu sering keluar rumah. Bisa-bisa saat aku tiba di rumahnya, dia malah tidak ada di rumahnya. Tak lama kemudian aku sampai di rumahnya.
    Tingnong…Tingnong..
    Aku memencet bel rumah Anna. Tak lama kemudian ibu Anna dating untuk membuka pintu.
    “Oh, Levi. Masuk saja Lev. Anna sudah siap tuh.”
    “Terima kasih, Tante.”
    Aku segera menuju ke dalam dengan senyuman berseri-seri. Saat berhadapan dengan Anna,
    “Hei, kamu kan yang tadi. Ibu, kenapa orang ini ada disini?”
    “Nak, dia itu Levi. Sahabat masa kecilmu.”, jawab ibu Anna.
    “Tapi bu, seingatku, yang ada di buku harianku sahabatku telah pergi meninggalkanku. Dia sudah tak membutuhkanku lagi.”
    Aku terperangah mendengar jawaban Anna. Aku memang telah mendengar cerita dari ibu Anna tetapi aku tetap saja terkejut mendengarnya. Seolah-olah aku ini telah sengaja menelantarkannya, membuangnya, meninggalkannya sendirian. Rencana yang kuatur pun buyar. Apa lagi yang harus ku lakukan?
    Aha. Aku tiba-tiba mendapat akal. Rencana kedua dimulai.

    BalasHapus
  73. Aku ingin Anna melihatku bermain gitar. Aku ingin mengingatkannya tentang impian masa lalu kita berdua. Bergegas aku kembali ke rumah untuk mengambil gitarku lalu kembali lagi.
    Aku kembali melihat dia menyirami tanaman, seperti benar- benar menjadi hobinya. Aku berdiri didekatnya dan dia mulai menyadari kehadiranku. Tanpa berkata apa- apa aku memainkan gitarku dan menyanyikan salah satu lagu The Beatles. Setelah aku bernyanyi aku tidak banyak menangkap ekspresinya. Mungkin ia menganggap aku ini sahabat lamanya yang menjadi pengamen. Namun aku tak kehabisan akal.
    "Sekarang giliranmu Anna, mana impianmu?"
    "impianku?"
    "ya. Aku sudah menjadi gitaris sekarang. Jangan katakan impianmu belum terwujud."
    Suasanan terdiam sejenak.
    "Bukankah kau ingin mendesain cafe eropa, Anna? Kau pernah mengatakannya."
    Ia menaikkan alisnya, seakan ia ingat sesuatu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku rasa Anna pasti mengingat sesuatu ,karena impiannya itu tidak pernah ia katakan pada orang lain.Ia merasa impiannya itu agak muluk apalagi pada saat itu kami masihlah anak sd .Tapi waktu itu aku selalu berusaha meyakinnya bahwa Anna pasti bisa mencapai cita-citanya itu.Pada saat ini yang kuinginkan adalah Anna... Bisa ingat tentang kenangan kebersamaanku dengannya .Didalam hatiku terus berharap "ayolah Anna ingat aku ,aku Levi,ayolah Anna kumohon"

      Hapus
  74. Aku melihat Anna yang masih terdiam. Dia masih saja tidak bersuara, walaupun aku rasa ia ingat akan sesuatu. Aku menjadi bingung karena keadaan yang sunyi seperti ini. "Anna?" tanyaku memastikan ia baik-baik saja. "Ya. Kenapa?" balasnya. "Jadi, kau masih ingat tentang cita-citamu yang ingin mendesai cafe eropa?"tanyaku memastikan. "Iya, aku ingat."jawabnya singkat. "Kau ingin mewujudnkannya?" tanyaku dengan senyum lebar. "Iya. Tapi bagaimana caranya? Apakah bisa?" tanya Anna seolah tidak ada harapan. Aku hanya tersenyum sambil memandang wajahnya yang keheranan. Aku pun menarik tangannya untuk memasuki mobil.

    Aku akan mengajaknya pergi ke cafe yang didesain dengan suasana Eropa itu. Sepanjang perjalanan Anna hanya diam dan memandangi kendaraan dari balik kaca mobil. Aku pun memutar lagu The Beatles yang sempat aku nyanyikan tadi. Aku mendengar Anna yang sedikit bersenandung. Senyum manisnya membuat aku terpanah untuk sementara waktu. Jujur, Anna begitu cantik saat ia tersenyum seperti itu...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Akhirnya rencanaku yang ingin mengajaknya pergi bisa mulai dilaksanakan. Di mobil lagu The Beatles tetap mengalun merdu, tetapi kali ini dengan judul
      yang berbeda. 'Don't Let Me Down' itulah judulnya.
      I'm in love for the first time
      Don't you know it's gonna last
      It's a love that lasts forever
      It's a love that had no past..
      Sepenggal lirik lagu itu aku nyanyikan. Aku melihat mata Anna, ia sedang memandangiku dan kemudian tersenyum. Aku membalas senyumnya. Untuk sekian kalinya aku kembali terpanah...
      Beberapa menit kemudian kami telah sampai di parkiran cafe tersebut. "Kita dimana?"tanya Anna. "Nanti kamu akan tahu. Kita masuk dulu ke dalam" jawabku. Aku turun duluan dari mobil. Lalu aku membukan pintu mobil untuk Anna layaknya seorang pangeran dan tuan putri.
      Kami pun memasuki cafe bernuansa Eropa tersebut. Mata Anna terlihat takjub. Bibirnya sedikit terbuka. Aku rasa ia akan senang dengan tempat ini. Sebelum duduk di salah satu meja, aku menemani Anna yang berkeliling melihat cafe. Matanya melihat ornamen cafe bernuansa Eropa itu dengan detail. Senyumnya yang indah melayang-layang di benakku.

      Hapus
    2. Aku yakin ia tidak membenciku, tapi aku tidak yakin jika ia benar- benar menganggap aku sahabatnya. Aku merasa sedikit asing didekatnya.
      "Kamu bisa mendesain yang lebih bagus." ujarku
      "Aku tidak bisa."
      "Omong kosong. Dulu kamu yang paling sering kucontek. Apa salahnya sekarang kau mencontekku."
      "Aku tidak terlalu ingat"
      Aku tertegun sejenak.
      "Aku hanya ingin mengatakan bahwa sahabatmu tidak pernah meninggalkanmu. Kau percaya?"
      Ia hanya diam, namun aku sudah mulai bisa menangkap responnya. Aku yakin ia akan mengingat semua lagi.

      Hapus
    3. "Bagaimana Anna ? Cafe seperti ini pasti merupakan cafe favoritmu bukan?"tanya Levi
      "Tentu saja Lev ,aku sudah mengidolakan bisa merancang kafe yang bernuansa eropa ini sejak kecil,nuansa eropa yang klasik ini sangat menarik bagiku" jawab Anna.
      Wajah Anna yang sungguh semeringah sangat membuatku terpesona,ia masih seperti dulu,sangat manis.
      Kemudian segera kuajak ia duduk ,ketika menu diberikan oleh pelayan aku segera memesan "tolong kopi susunya satu gulanya banyakin sama roti croissantnya satu ya.". Apa yang kupesan ini adalah kesukaan dari Anna ketika aku berjalan -jalan dengannya dulu,ia selalu memesan seperti ini.Anna sangat menyukai yang manis-manis bahkan kopi susu pun ia tambahkan gula yang banyak,namun apakah ia masih sama dengan dulu? Aku pun tetap masih harap-harap cemas melihat reaksinya.

      Hapus
  75. Rencana-rencanaku sepertinya sudah membuahkan sedikit respon pada ingatan Anna. Namun aku tidak akan berhenti sampai disitu. Aku sudah siapkan langkah selanjutnya.
    “Karton, pensil, krayon, penghapus…Sepertinya ini sudah cukup.”Aku mulai menggambar di setiap kertas masa-masa indahku bersama Anna. Aku tuangkan semua kenangan itu dalam beberapa kertas karton. Walaupun kemampuan gambarku tidak sebaik Anna, tapi aku yakin gambarku akan menarik ingatannya.
    Aku habiskan waktu dua hari untuk menyelesaikan semua gambar itu. Pagi-pagi sekali aku tempelkan gambar-gambar itu di dinding-dinding sepanjang jalan dekat rumahnya. Anna biasanya akan berkebun setiap pagi hari. Pukul tujuh pagi, kulihat Anna sudah keluar dari rumahnya membawa perlengkapan kebun. Sedangkan aku bersembunyi di sudut persimpangan jalan.
    Kulihat Anna sempat terhenti melihat gambar-gambar itu, sepertinya ia tertarik dengan gambar-gambar yang kupasang itu. Anna yang belum lupa ingatan sangat tahu benar dengan gambar-gambarku. Dia berhenti di setiap gambar. Pertama kali dia mengamati gambar dua sahabat duduk di atas atap. Laki-laki di gambar itu sedang bermain gitar dan bernyanyi untuk perempuan di sebelahnya. Gambar demi gambar ia lewati. Ekspresi wajahnya seperti menunjukkan sebuah arti.
    Tiba-tiba ...“Bruk..Teng..teng..teng….” Sial aku ditabrak seorang bapak-bapak yang sedang minum kopi kaleng. Kaleng kopinya jatuh menimbulkan bunyi yang nyaring di pagi hari yang sepi
    “Oh..maafkan saya, Dik.”
    “Saya tidak begitu memperhatikan jalan karena rasa kantuk ini…Huaaammm.”, kata laki-laki yang menabrakku sambil menguap.
    “Levi ?”, teriak Anna. Oh celaka, aku telah kepergok.

    Jefry Kristian (19)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Melihat wajah gadis cantik itu di depan mata Levi membuat malunya menjadi dua kali lipat. Levi yang salah tingkah mulai menengok ke kanan dan ke kiri untuk mencari alasan.

      “Kamu ngapain disini Lev?”

      “Haa??” jawab Levi yang sedikit terkejut karena belum menemukan satu alasan yang bisa ia gunakan.

      “Aku tanya kamu ngapain disini?” tanya Anna sekali lagi dengan nada suara yang lembut dan senyum yang begitu manis. Anna memang mulai mengenal Levi. Terutama dihari ketika Levi memainkan gitarnya dengan lincah, keren, dan music yang begitu indah. Berkat petikan gitar Levi itulah Anna mulai mendapatkan kepingan-kepingan kenangannya bersama dengan Levi.

      “Hmm… aku… ehh… ah.” Kata-kata Levi terbata-bata karena kebingungan. Tiba-tiba Levi menunduk dan melihat sepatu olahraga yang ia gunakan. “ Gini, aku mau ajak kamu jogging, hehehhe. Kan disini udaranya seger banget kalo pagi-pagi. Kamu mau jogging bareng?”

      “Boleh, tapi tunggu ya, aku ganti baju olahraga dulu”

      Levi menaggapinya dengan memberikan Anna senyuman andalannya yang biasa ia gunakan dulu saat berbuat kesalahan terhadap Anna. Anna pun berbalik menuju kedalam rumah dan meninggalkan Levi.

      Anna merasa degup jantungnya sedikit berdetak lebih kencang dari biasanya. Dia mengenggam kedua tangannya dan meletakkanya di tempat jantungnya berdetak.

      “Kok aku sedikit dag dig dug sih? Hmm.. mungkin karena aku terlalu cepat berjalan.” Kata Anna sambil melanjutkan jalan menuju kekamarnya tanpa memikirkan degup jantungnya itu lebih jauh.

      Hapus
  76. LEVI.


    Gadis itu hanya diam mendengarnya bermain gitar sambil bernyanyi lagu “I Wanna Hold Your Hand” dari The Beatles. Levi tahu bahwa gadis itu pun tahu lagu itu adalah lagu favorit yang selalu mereka mainkan setiap kali main musik di kafe semasa SMA dahulu. Dengan lagu itu ia ungkapkan seluruh keinginannya. Lirik lagu itu adalah gambaran keinginannya saat ini: Ia ingin menggenggam tangan gadis itu. Sekali lagi ia lirik wajah gadis itu, tapi tetap saja rautnya tak berubah, tetap dingin. Levi tahu gadis itu tak akan bicara untuk saat ini. Jadi ia berhenti. Ia pikir si gadis merasa risih . Ia pikir berhenti memainkan lagu kesukaan mereka dapat membuat si gadis merasa lebih baik. “Oh, Anna, sang terang dalam setiap angan gelapku…”, bisiknya pada angin.


    ANNA.

    Levi mendekati pekarangan rumah Anna. Ia membawa gitar klasik kesayangannya, lalu menyapa Anna, dan langsung memetik dawai gitar tanpa bertanya pada si empunya rumah bolehkah ia bermain gitar disitu. Anna membiarkan laki-laki itu; ia sendiri masih sibuk menyirami tanaman. Anna berhenti tiba-tiba ketika mendengar alunan gitar dan suara laki-laki itu mengalunkan lagu “I wanna Hold Your Hand”. Anna tahu laki-laki itu sengaja memainkan lagu itu. Ya, lagu itu lagu kenangan. Pikirannya mengajaknya bermain dengan memori masa lalu, saat ia sering memainkan lagu itu dengan Levi. Tanpa ia sadari ia menikmati alunan lagu itu, namun tiba-tiba Levi dan gitarnya berhenti. Anna menatapnya sambil dalam hati berkata, “Kenapa? Kenapa kau berhenti? Itu lagu kita, aku mau kau terus menyanyikannya. Aku rindu lagu itu.”

    Dan sang gitaris pun terdiam, Anna pun sedari tadi. Levi membalikkan badan, mengatakan sesuatu dengan sangat lirih lalu beranjak pergi. Anna masih disitu, terdiam makin kaku. Ia pikir Levi menganggap hal itu bodoh: bernyanyi untuk teman lama itu tak ada gunanya. Mengadu pada angin ia berkata, “Ah, Levi. Semua angan di setiap nyata hidupku…”.

    BalasHapus
  77. Ketika kami tiba di sebuah cafe eropa yang berjarak cukup jauh dari rumah ana tersebut, hujan segera mrmbasahi kota pada saat itu, sesegera mungkin kulepaskan jaketku, dan meletakannya di bahu ana untuk melindunginya dari hujan, "te.. terrima.. kasih..." ujar ana dengan suaranya yang lembut. Kami pun segera masuk ke dalam cafe tersebut agar tidak kehujanan. Sesampainya di cafe tersebut, ana terhenti di depan pintu masuk. Ia terpesona dengan keindahan dan keunikan design high class yang di tampilkan sebuah cafe eropa tersebut, hal itu mengingatkannya akan impinannya dahulu, mengingatkannya pada impiannya yang ingin menciptakan desain desain high class di sebuah cafe eropa, impian yang sudah hampir ia lupakan. Namun kedatangan levi kembali mengingatkannya akan hal tersebut. "Hei......, apa yang sedang kamu pikirkan? Tegur levi dengan halus.

    "Eh, anu.......aku berpikir untuk segera duduk, ayo kita duduk di kursi bagian sana, pasti pemandangan indah cafe ini akan dapat kulihat dari sana.", "dengan senang hati ana" jawabku sambil tersenyum, kuraih tangan kecil ana dan kuajak ke tempat yang ia inginkan, kami pun duduk di kursi kayu dengan gaya yang classic tersebut, dan pelayan cafe pun datang menawarkan menu, anna dan aku memesan cappucino choco yang merupakan minuman kesukaan kami dahulu, minuman itu juga memiliki kenangan tersendiri tentang kami.

    "Ana......, apa kabarmu?", ana terdiam dan bingung ingin menjawab apa, akhirnya ia menjawab " kabarku yah, seperti yang kau lihat sekarang, tentu kau bisa mengetahuinya" jawab ana dengan tenang, jawaban itu membuatku tersentak sesaat, betapa tidak bergunanya aku selama ini? Bodoh! Ujarku dalam hati, bagaimana bisa aku masih menanyakan kabarnya setelah aku sendiri melihat keadaannya yang seperti ini. "Ana.........., aku minta maaf telah meninggalkanmu selama ini, aku......" seketika itu juga terdengar suara " dua cappucino choco, selamat menikmati!!!!!" Suara tersebut memecah keheningan sesaat. Anaa pun tidak membalas kata-kataku, entah apa yang ia maksudkan?. Kamipun menikmati cappucino hangat ditengah suara gemuruh hujan dan kesunyian batin kami berdua, dan ana meletakan gelasnya dan hendak mulai bicara.

    BalasHapus
    Balasan
    1. "Lev...Jujur, aku sebenarnya senang saat melihatmu. Namun, di sebuah ruang dalam hatiku, aku merasa sakit. Dulu, hampir tiap hari kita lalui bersama. Aku tidak bisa tenang dengan kepergianmu."

      Aku terdiam. Aku tidak tahu harus berkata apa. Hatiku sangatlah sedih saat mendengarnya.

      "Lev. Jika bisa, aku ingin kita kembali seperti dulu. Bersahabat dekat, saling bercanda tawa, dan melewati hari bersama."

      "Ann, maafkan aku. Maaf telah membuat hatimu perih. Ya, aku juga ingin kembali seperti dulu. Melewati hari-hari denganmu. Sungguh, gak mungkin aku bisa tega meninggalkan wanita manis seperti dirimu."

      Seketika suasana menjadi kaku. Kalimat terakhir yang kuucapkan sebenarnya tak sengaja terucap. Kulihat wajah Anna yang memerah, kaget mendengar hal itu. Kesunyian pun menghampiri kami di meja itu.

      Hapus
  78. Kebetulan, tempat duduk kami di kafe itu dekat dengan panggung musik. Alunan nada gitar klasik dan piano dari grup musik kafe pun sangatlah khas dengan nuansa eropa abad ke-19. Sesaat setelah mereka berhenti bermain untuk beristirahat, terbersit sebuah ide dalam diriku.

    "Ann, tunggu sebentar yah, aku mau ke toilet."
    "Oh, oke. Jangan lama-lama ya."
    "Gak lama kok, nikmatin aja dulu suasananya."

    Aku berbohong kepada Anna, langkahku mempertemukanku dengan manager kafe itu. Aku pun berdiskusi dengannya, tentang ide milikku. Sungguh baik orang itu. Dia menyetujuinya dengan senyum dan mulai menginformasikan karyawannya, dan juga band cafe itu.

    "Hmm. Levi lama sekali," gumam Anna.

    Tiba-tiba sang manager muncul dan memberi pengumuman dari atas panggung.

    "Selamat malam, para pengunjung. Hari ini kita kedatangan tamu yang spesial. Dia akan menghibur kita dengan sebuah lagu, yang sesungguhnya dia tujukan pada seseorang yang sangat spesial baginya. Langsung saja, saudara Levi Nathaniel!"

    Dengan gemuruh tepuk tangan pengunjung cafe, aku melangkah keluar dari backstage. Kulihat wajah Anna yang terkejut melihatku di atas panggung. Aku mengambil gitar klasik dan menghampiri mic yang tersedia.

    "Selamat malam semuanya. Terima kasih atas sambutannya. Malam ini aku datang bersama seseorang yang spesial bagiku. Ia adalah sahabatku dari kecil, namun terpisah beberapa tahun. Hari ini kami bertemu kembali, dan aku akan menyanyikan sebuah lagu untuknya."

    Dengan mengambil nafas panjang, aku pun mulai bernyanyi...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Love, love me do..
      You know I love you..
      I'll always be true,
      So please love me do
      Whoa, love me do..
      Akhirnya aku melantunkan nada-nada itu. Mataku terus memandang ekspresi Anna. Aku harap ia akan senang mendengarkan lagu ini. Lagu ini khusus untuknya. Khusus untuk orang yang kucintai. Khusus untuk orang yang telah lama bersedih. Khusus untuk orang yang pernah dengan terpaksa aku tinggalkan.
      Aku harap ia tahu lagu ini. Dulu aku pernah menyanyikan lagu ini untuknya. Hanya untuk dia. Ini masih lagu The Beatles. Lagu yang sama-sama pernah membuat kita bersenandung. Masih ingatkah kau judul lagu ini Anna? Judulnya 'Love Me Do', Anna! Aku harap kau ingat dan akan senang mendengarkanya. Seperti dulu.

      Hapus
    2. Anna hanya melihatku dengan matanya yang indah dengan penuh harap. KUtarik napas dalam-dalam sebelum berkata, “Selamat malam, hari ini saya akan membawakan sebuah lagu untuk orang special yang telah mengisi hatiku beberapa tahun terakhir. Anna, lagu ini hanya untukmu.”

      Kupetik gitarku dengan alunan pelan dan mulai menyanyikan isi hatiku. Rasa kehilangan saat aku harus meninggalkannya, sepi saat aku tak bisa menghubunginya, dan bahagia yang tak terkira saat aku menemuinya. Kuceritakan semua itu lewat lagu yang kunyanyikan.

      Aku nyanyikan lagu yang kutulis baginya dengan memejamkan mata. Lagu-lagu yang berasal dari hatiku. Kami berbeda tapi kami satu. Itulah yang kuingin sampaikan kepadanya. Kutuangkan seluruh perasaanku dengan harapan ia mengingatku dan menyadari seberapa besar cintaku padanya.

      Setelah lagu itu selesai, kubuka mataku dan memandang ke arahnya. Matanya berkaca-kaca menatapaku. Bukan ini yang kuharapkan. Aku tak mau membuatnya menangis lagi. Aku turun dari panggung di saat bersamaan Anna berlari keluar kafe. Hatiku hancur saat tahu aku membuatnya menangis.

      Aku raih tangannya untuk menghentikannya. Ia berputar menghadapku dengan air mata masih membasahi pipinya.

      “Anna, maafkan aku. Aku tak ingin membuatmu menangis,” ucapku. Aku ingin sekali memeluknya dan menenangkannya. Tapi aku tak bisa, aku telah melukai hatinya. Rupanya dorongan dalam diriku lebih besar. Kupeluk dirinya erat dan tak kulepaskan ia walaupun ia memukul-mukul dadaku dengan kedua tangan mungilnya.

      “Kau curang, Levi. Kau tinggalkan aku di sini menantimu,” ucapnya frustasi dengan kenyataan itu. Hal itu juga menyayat hatiku. “Lalu, kau kembali seenaknya ke kehidupanku. Apa maumu Levi?” Ia berhenti memukulku dan menangis di dadaku.

      “Aku mencintaimu Anna. Aku membutuhkanmu sampai rasanya sakit hanya untuk bernapas tanpamu. Lima tahun ini adalah lima tahun yang paling menyedihkan dalam hidupku.”

      Ia terus menangis, namun ia balik memelukku erat. Aku tak mau melepasnya lagi. Tak akan kulepaskan lagi genggaman wanita yang paling kucintai ini.

      Hapus
    3. LEVI
      “Aku harap kamu mengerti maksudku menyanyikan lagu ini, Anna.” ujarnya dalam hati.

      ANNA
      “Andai kamu tahu, Vi, bahwa kamu sudah terlambat.” ujarnya dalam hati.

      Hapus
  79. LEVI.


    “Levi?!” pekik gadis bertubuh mungil itu. Ia memergoki Levi yang sedari tadi bersembunyi untuk melihatnya.
    “Oh, sialan… .Bapak ini mengganggu aja!!!” ucap Levi dalam hati.
    “Ngapain kamu jongkok disini?” tanya Anna dengan tatapan bingung sekaligus heran. Pagi yang aneh baginya: melihat sang sahabat lama duduk jongkok dengan ekspresi wajah dongkol. Yang ditanya belum menjawab.
    “Vi! Kamu ini ngapain, sih???” Tanya Anna sekali lagi.
    “Oh, Eh, Ah… Anu… Eh…” jawab Levi yang sedang gugup setengah mati.
    “Apa eh ah eh ah?”
    “Hmm, nggak, Na. Aku lagi… Emm… Ini… Lagi ngumpulin daun yang gugur ini. Nggak enak kan lihatnya berantakan di jalan. Hehehe.” jawab Levi ngawur.
    “Oh. Cukup aneh.” Anna berkomentar lalu membalikkan badan kembali ke pekarangan rumahnya.

    Levi langsung berdiri tegak dan mengejar Anna. Sambil berjalan diraihnya tangan Anna. Sang gadis pun tersentak dan dengan spontan melepaskan tangannya yang dipegang Levi. Ia berhenti dan menatap Levi dengan diam. Bibirnya seperti hendak mengatakan sesuatu tapi tak jadi. Levi menatapnya dengan perasaan tak enak. Ia menatap gadis itu sambil berkata,
    “Jadi sekarang kamu jijik tanganmu aku sentuh sebentar. Segitunya kah? Aku cuma pengen ajak kamu pergi ke kafe tempat kita main musik dulu, kok. Aku cuma mau ajak kamu ngobrol, ajak kamu cerita-cerita tentang yang sekarang. Tapi kayaknya kamu masih sakit hati dengan memori lima tahun lalu.”

    Anna diam membisu. Levi memegang tangan Anna sekali lagi dan gadis itu membiarkannya sambil melengoskan pandangan dengan ekspresi wajah campur aduk: marah, kecewa, sedih. Levi pikir Anna marah karena ia melihat Anna langsung melengoskan pandangannya saat ia memegang tangan gadis itu. Ia menilai itu cara Anna menunjukkan ketidaksukaannya diperlakukan begitu oleh Levi. Dengan wajah tertunduk ia lepaskan tangan gadis itu.

    BalasHapus
  80. ANNA.


    “Jadi sekarang kamu jijik tanganmu aku sentuh sebentar. Segitunya kah? Aku cuma pengen ajak kamu pergi ke kafe tempat kita main musik dulu, kok. Aku cuma mau ajak kamu ngobrol, ajak kamu cerita-cerita tentang yang sekarang. Tapi kayaknya kamu masih sakit hati dengan memori lima tahun lalu.” ujar Levi.

    Anna diam. Hatinya terhenyuk mendengar kalimat terakhir laki-laki itu.
    “Kau tahu itu adalah sebuah kebenaran mutlak”, ucapnya dalam bisu. Tiba-tiba Levi kembali memegang tangannya, hatinya kembali berdesir, ia tahu kalau tak ditahan ia akan menangis. Dengan spontan ia mengalihkan pandangan ke arah jalanan disamping kanannya. Ia sadar, ia sesungguhnya merasa senang diperlakukan begitu oleh Levi. Hanya saja momen ini membuatnya tak tahu harus bagaimana untuk menanggapi perlakuan laki-laki itu. Dalam diam ia pun hanya mampu memandang jalanan, tak mampu menatap wajah laki-laki itu.

    Tak lama kemudian Levi melepas genggamannya pada Anna. Tanpa berpaling ia memandangi gadis itu. Segala macam pikiran negatif berkecamuk di benaknya. Begitu pun Anna. “Kenapa kau lepas?”, ingin ia bertanya begitu pada Levi. Namun nyalinya tak berani. Dengan pasrah ia biarkan laki-laki itu melepas genggamannya sambil berujar dalam hatinya, “Jadi dia tidak serius. Jadi dia tidak terlalu menginginkan aku. Jadi aku masih bertepuk sebelah tangan.” .
    Dan keduanya terpaku, diselimuti rasa kecewa dengan pikiran masing-masing.

    BalasHapus
  81. Levi kecewa melihat tanggapan Anna. Pikiran bahwa ini adalah salahnya terus terngiang-ngiang di pikirannya. Ini salahku meninggalkannya. Aku seharusnya tak pergi. Ia tak ingin bersamaku lagi. Semua ini salahku.

    Levi lalu berjalan meninggalkan Anna yang berdiri terpaku di jalan. Anna berteriak, "Levi, mau kemana kau?"

    Levi terhenti dan berbalik, "Aku akan pergi. Kau tak menginginkan aku lagi bukan? Untuk apa aku di sini, jika kau tak ingin bersamaku. Kepulanganku untuk bersamamu hanya sia-sia." Levi berbalik lagi. Tak kuat ia menatap gadis impiannya itu. Penolakan dan kekecewaan memnuhi hatinya. Ia mulai berjalan lagi meninggalkan Anna. Untuk sekarang dan selamanya.

    Anna terpukau karena ucapan Levi terdiam membisu. Saat ia melihat Levi berjalan pergi meninggalkannya ia tahu bahwa itu saat terkhirnya. Sekarang atau tidak selamanya, pikirnya.

    Ia kejar Levi dan peluk ia dari belakang.

    "Maaf, maaf, maafkan aku. Tolong jangan tinggalkan aku lagi," ucap Anna dengan rasa takut dan gemetar.

    Hati Levi luluh saat itu juga. Ia bebalik dan memeluk Anna, "Aku tak akan meninggalkanmu Anna, sekarang ataupun selamanya. Kau satu-satunya bagiku."

    BalasHapus

Posting Komentar

Gunakan nama dan email masing-masing! Harap ditulis nama, kelas, dan nomor absen.

Postingan populer dari blog ini

CERITA PENDEK ON-LINE KARYA SISWA-SISWI KELAS XII IPA 1 TAHUN 2014/2015

CERITA PENDEK ON-LINE KARYA SISWA-SISWI KELAS XII IPA 3 TAHUN 2014/2015