Menullis Itu Menyembuhkan!


Ada korelasi antara kegiatan menulis dengan kondisi kesehatan manusia. Dan hubungannya ternyata positif. Artinya, menulis bisa menjadi salah satu cara yang efektif untuk meningkatkan kualitas kesehatan seseorang.

 James W. Pennebaker adalah salah satu pelopor studi mengenai keterkaitan antara kegiatan menulis dengan kondisi kesehatan manusia. Psikolog yang mengajar di Southern Methodist University, USA, ini sering menganjurkan kliennya untuk menuliskan soal-soal yang bersifat pribadi. Misalnya, seputar kejadian-kejadian di masa kecil, relasi dengan orangtua, orang-orang yang pernah dicintai atau yang sekarang Anda cintai, atau karier Anda.

Pennebaker kerap menyarankan agar sedikitnya dalam empat hari berturut-turut kliennya menuliskan emosi-emosi dan pikiran-pikiran terdalam yang muncul. Emosi-emosi dan pikiran yang berkaitan erat dengan peristiwa-peristiwa sangat penting, peristiwa-peristiwa yang memengaruhi hidup Anda sampai saat ini. Ungkapkan dan galilah setiap kejadian penting dan bagaimana hal itu memengaruhi Anda.

Saran Pennebaker banyak dipraktikkan untuk mereka yang menderita penyakit stress dan kanker, juga untuk orang-orang yang mengalami trauma-trauma serta berbagai penyakit yang psikosomatik. Dengan demikian ada kesan proses menulis itu membantu penyembuhan berbagai penyakit yang bersifat emosi dan kejiwaan, tetapi bukan untuk penyakit yang bersifat fisik semata (patah kaki atau sakit gigi, misalnya).

Jika studi Pennebaker dihubungkan dengan film Freedom Writers yang antara lain diperankan Hillary Swank, maka nampak jelas manfaat menulis untuk penyembuhan luka-luka batin dan emosi.
Mau mencoba?
  
*) Andrias Harefa : 021-3260 3383 ; 0815 8963 889 ; www.andriasharefa.com
Nb. Catatan ini merupakan draft buku saya yang ke-38, dan tiap respons atas catatan ini akan diseleksi menjadi bagian dari buku tersebut.
Terima kasih.

Berani Saja Tidak Cukup

March 23, 2009 by admin   Filed under Agoeng Widyatmoko
Dalam beberapa kali seminar soal kewirausahaan, saya sering mendengar orang yang berkata bahwa modal utama usaha adalah keberanian alias kenekadan. Karena mendapat masukan semacam itu, otak saya pun terpacu untuk menjalankan berbagai usaha, dari sejak saya sekolah menengah atas (SMA), kuliah, dan bahkan ketika bekerja pada sebuah institusi. Usaha saya kala itu memang tergolong mikro. Skalanya memang tak besar. Tapi, modal yang saya keluarkan untuk beberapa usaha tersebut, dari jualan jam tangan, jualan aneka aksesoris, buka pengetikan komputer, broker cetakan, hingga event organizing (EO) tetap saja ukurannya cukup besar untuk kantong saya saat itu.

Asal berani dan asal ada peluang, saya pasti akan langsung maju dengan modal yang saya miliki. Hasilnya? Secara hitung-hitungan angka sangat tidak memuaskan. Tapi, secara hitung-hitungan “modal masa depan”, saya merasa tak rugi sama sekali. Tapi, sebagai manusia biasa, siapa sih yang tidak kecewa modal hilang begitu saja? Herannya, entah kenapa, suatu ketika seorang teman menawarkan sebuah peluang bisnis, karena di mata saya usaha itu cukup berprospek, tanpa memikir lagi saya invest modal saya. Dan, lagi-lagi saya kejeblos. Modal tak balik seperti harapan.

Tapi, anehnya, keberanian membuka usaha itu tak pernah surut. Hanya saja, kali ini saya lebih memakai perhitungan berdasar pengalaman. Hasilnya beberapa memang mulai menunjukkan grafik kenaikan. Meskipun, proses jatuh bangun it uterus saya alami.

Nah, berangkat dari pengalaman tersebut, saya hanya ingin berbagi. Jika setuju, silakan dipakai cara saya, kalaupun tidak, semua itu adalah hak Anda. Berbagai pengalaman tersebut membuat saya menyimpulkan beberapa hal berikut:

1. Berani butuh kekuatan mental
Jika tidak kuat mental dan tahan banting, jangan asal berani. Nekad alias berani kalau hasilnya tak sesuai harapan, akan sangat menyakitkan. Maka, hanya bagi yang kuat mental sajalah yang saya anjurkan untuk mengambil langkah berani ini. Tapi, bukan berarti nekad menjadi satu hal yang salah. Melainkan, nekadlah dengan perhitungan. Yang saya maksud penuh perhitungan di sini adalah saat berpikir ada peluang, jika punya kemampuan dan kemauan kuat, segera ambil tindakan (action). Sebab, kalau tanpa tindakan, sebagus apapun rencana, hanya akan tinggal harapan. Jadi, yang dihitung bukan soal kemungkinan untung rugi dan balik modalnya, melainkan asal punya keyakinan kuat tentang sebuah peluang, daripada hanya berhenti sebagai ide, kenapa tidak segera dieksekusi. Tapi, kembali ke soal keberanian, perhitungan kita pun masih bisa meleset. Karena itulah, kembali ke soal mental. Hanya yang punya bekal mental tahan bantinglah yang akan berhasil melewati berbagai ujian di depan.
2. Berani butuh kecerdasan
Cerdas di sini adalah ketika kita sudah memutuskan terjun ke dunia entrepreneurship, kita harus mampu mengelola aneka sumber daya yang ada. Kadang, saat gagal, kita langsung patah semangat dan tak sadar hadirnya peluang besar di balik kegagalan itu. Padahal, dengan sedikit kejelian (baca: kecerdasan), pasti ada hal positif yang bisa dikerjakan dari kegagalan tersebut. Ini terjadi ketika sekolah penulisan yang saya dirikan bersama beberapa teman mengalami kekurangan murid. Dengan sedikit kejelian, ternyata tim kami justru berhasil meng-create sebuah program yang mendatangkan keuntungan lebih besar dibanding kelas regular pada umumnya.
3. Berani butuh pengorbanan\
Pengorbanan di sini saya umpamakan dengan para martir di medan perang. Pengorbanan prajurit di barisan paling depan biasanya akan membuka jalan menuju kemenangan. Kalau istilah “kasar” saya, kita butuh “tumbal”. Saat hendak menjalankan sebuah bisnis, kadang kita perlu “mengorbankan” salah satu bisnis untuk menjaring bisnis yang lebih besar. Bukankah untuk menangkap ikan besar di laut kita tak bisa hanya menggunakan umpan cacing?

Cara berbisnis semacam ini lazim adanya. Seperti yang dilakukan oleh peritel besar yang memberikan harga diskon besar untuk satu dua produk yang laris di pasaran. Dengan memotong keuntungan dari produk tersebut, orang akan memunyai image bahwa retailer itu murah. Dengan begitu, meski produk lain lebih mahal, orang tetap merasa produk di sana lebih murah.

Sekali lagi, soal keberanian ini semata bukan hanya urusan nekad. Tapi, perlu juga menggunakan perhitungan yang matang. Jadi, masih nekadkah Anda?

*) Agoeng Widyatmoko, konsultan independen UKM, perencana pemasaran usaha keluarga, penulis buku best seller 100 Peluang Usaha. Ia bisa dihubungi melalui email agoeng.w@gmail.com atau telepon 021-30316708

Bahagia Menjadi Seorang Guru

February 12, 2009 by admin   Filed under Andrew Ho

“Happiness comes of the capacity to feel deeply, to enjoy simply, to think freely, to risk life, to be needed. – Kebahagiaan berasal dari kapasitas untuk merasakan, menikmati, berpikir bebas, menghadapi resiko hidup, dan menjadi dibutuhkan.” 

Storm Jameson.


Kebahagiaan adalah ide yang sangat abstrak dan bersifat sangat subyektif. Kebahagiaan dapat terkait dengan tercapainya suatu keinginan atau kebutuhan kita. Tetapi kebahagiaan seorang guru menurut saya sangat terkait dengan tanggung jawabnya mendidik dan mengajarkan nilai-nilai penting dan inspiratif terhadap para siswanya. Ketika seorang guru dapat melakukan beberapa hal berikut ini kemungkinan besar ia dapat memiliki semua sumber kebahagiaan bahkan lebih dari semua yang dipaparkan oleh Storm Jameson tersebut.
Seorang guru bahagia karena ia mencintai profesi sebagai pendidik. Ia mendapatkan kepuasan tersendiri ketika dapat mendidik para murid, walaupun mungkin kehidupan pribadi mereka sederhana dan jauh dari kemewahan. Seorang guru akan jauh lebih bahagia, jika apa yang telah mereka lakukan tak hanya membuat para murid pintar melainkan menginspirasi bahkan menggerakkan para murid untuk mengubah diri mereka menjadi lebih baik.

Mencintai proses pembelajaran dengan memperluas wawasan ilmu pengetahuan melalui berbagai macam buku, seminar, kaset, radio dan lain sebagainya adalah sumber kebahagiaan seorang guru. Karena tanggung jawab seorang guru bukanlah sekedar menjelaskan subyek atau materi pelajaran, melainkan memberikan contoh sikap bahwa kemauan untuk terus belajar dapat meningkatkan kreatifitas dan memaksimalkan potensi diri. Seorang guru akan semakin bahagia jika mampu menginspirasi para siswa belajar lebih giat.

Rasa syukur yang besar terhadap Tuhan YME mendatangkan keindahan dan kebahagiaan. Rasa syukur membuat guru lebih bahagia, karena rasa syukur itu membuatnya dapat menjelaskan ilmu pengetahuan kepada para muridnya dengan bahasa yang positif pula. Ia akan lebih bahagia jika sikap yang positif serta ilmu pengetahuan yang ia sampaikan menginspirasi para muridnya untuk lebih kreatif dan positif dalam menggunakan ilmu pengetahuan tersebut.

Seorang guru akan bahagia jika tidak membebani hidupnya dengan orientasi mendapatkan imbalan. Ia bahagia karena tidak pernah mengharap balas jasa dari murid atas semua yang diberikannya. Ia sudah cukup senang dapat mengabdikan diri untuk membentuk para tunas bangsa menjadi sumber daya manusia yang berkualitas.

Guru akan bahagia jika berhasil membangkitkan semangat para murid yang nyaris terpuruk karena kehilangan jati diri. Untuk semua itu ia akan rela melakukan apapun, walaupun harus menghadapi banyak kesulitan. Mendampingi dan membentuk anak-anak didik menjadi tegar dan optimis, baginya jauh lebih menyenangkan dibandingkan apapun juga.

Seorang guru bahagia, jika ia menjadi diri sendiri dan tidak membandingkan dengan orang lain. Ia bebas berekspresi sebagai diri sendiri dalam menyampaikan ilmu pengetahuan agar terserap dan bermanfaat bagi anak didiknya. Ia akan berbahagia jika etika yang ia tunjukkan itu dapat menumbuhkan keberanian para murid untuk menjalani kehidupan dengan jujur dan menghargai diri sendiri.

Guru bahagia karena ia mencintai murid-muridnya, bagaimanapun keadaan mereka. Ia menikmati saat bersama-sama berjuang melawan keterbatasan diri dengan ilmu pengetahuan dan budi pekerti. Sebagaimana M. Scott Peck mengatakan, “When we love something it is of value to us, and when something is of value to us we spend time with it, time enjoying it and time taking care of it. – Ketika kita mencintai sesuatu maka itu akan berarti bagi kita. Ketika sesuatu berarti bagi kita, maka kita akan senang menghabiskan waktu untuknya, menikmatinya, dan memeliharanya”.

Guru yang bahagia adalah guru yang terus memperkaya ilmu pengetahuannya. Dengan demikian ia dapat mengkreasikan metode mengajar, sehingga para murid dapat dengan mudah menyerap ilmu pengetahuan yang ia sampaikan. Semakin luas ilmu yang ia miliki, semakin mudah baginya mengubah kesulitan hidup menjadi anugrah yang membahagiakan.

Seorang guru bahagia, karena kehidupannya berjalan seimbang. Keseimbangan tersebut dikarenakan ia mampu memanajemen waktu. Ia dapat menggunakan waktu secara efektif dan proprosional untuk diri sendiri, keluarga, profesi, kegiatan sosial, belajar dan beribadah.

Sumber kebahagiaan seorang guru berasal dari dalam dirinya sendiri. Ia bahagia ketika mampu menginspirasikan harapan, kebahagiaan, kekuatan sekaligus nilai-nilai moralitas kepada generasi masa depan. Ia akan lebih bahagia jika para anak didik itu mampu melakukan hal serupa dengan dirinya.

Note : Artikel ini adalah inti pembicaraan di Seminar Pendidikan “Menjadi Guru Yang Menyenangkan, Inovatif dan Kreatif.” (Anjuran Yayasan Pendidikan Sinar Dharma)
*Andrew Ho adalah seorang pengusaha, motivator, dan penulis buku-buku best
seller.Kunjungi websitenya di : www.andrewho-uol.com

Tulisan yang Menggugah

March 30, 2009 by admin  
Filed under Eni Kusuma

Ketika saya menghadiri acara talkshow yang diadakan oleh salah satu perusahaan network marketing terkemuka di Indonesia, saya mendapat pengalaman yang sangat berharga. Yaitu, jika kita hendak membuat orang-orang larut dalam percakapan kita, hendaknya kita harus larut terlebih dahulu. Jika kita hanya setengah-setengah atau tidak begitu memperhatikan apa yang kita bicarakan, maka orang-orang yang mendengar pun tidak begitu memperhatikan juga. Demikian juga dengan menulis, jika kita tidak sungguh-sungguh dengan apa yang kita tulis, maka energi makna yang terkandung di dalamnya tidak akan menghipnotis pembacanya.

Jika kita ingin membuat orang-orang yang mendengar itu mencucurkan airmata atau menangis, hendaknya kita harus bersedih atau cenderung untuk mencucurkan air mata. Ketika saya membacakan puisi –dalam acara tersebut- yang menemani saya ketika berada di Hong Kong sebagai pembantu rumah tangga, saya membaca dengan nada yang begitu menyayat hati sehingga saya sendiri menangis. Ini bukan sebuah rekayasa. Ini murni dari hati. Maka saya menjumpai orang-orang yang mendengarkan ikut menangis, bahkan yang mewawancarai saya dalam talkshow tersebut pun ikut meneteskan air mata. Dan ketika saya tanya kepada mereka “kenapa ikut menangis?”, mereka menjawab: “Karena larut dalam rasa haru yang terpancar dari hati saya”. Jadi, dalam hal ini kita tidak bisa berpura-pura atau merekayasa sebuah kesedihan atau keterharuan. Saya yakin jika hal ini dilakukan akan gagal.

Demikian juga jika kita hendak membuat orang-orang itu tertawa. Hendaknya kita memperhatikan cara kita menyampaikannya atau cara menceritakannya. Karena tidak ada cerita atau dongeng yang dengan sendirinya lucu, tetapi cara menceritakan itulah yang membuatnya lucu atau tidak sama sekali. Jadi, kita tidak perlu menjadi badut atau tiba-tiba harus menjadi seorang yang humoris. Ini akan mendapatkan kegagalan. Apalagi jika lelucon tersebut sudah kuno atau cara penyampaiannya yang kurang tepat. Sulit memang agar bisa membuat orang-orang itu tertawa. Demikian juga dengan pengalaman saya, saya tidak harus berniat melucu. Saya memang ingin membuat orang-orang tertarik pada pembicaraan saya terlebih tertawa. Tetapi saya tidak menghiraukan ini, karena semakin saya berniat melucu maka pasti lelucon saya tidak akan lucu. Justru dengan bercerita apa adanya lah saya tidak menyangka orang-orang tertawa dan bertepuk tangan dengan meriah. Ya, cerita-cerita dan celutukan-celutukan yang mencerdaskan yang bisa membuat orang-orang itu tertawa. Bukan banyolan-banyolan yang konyol.

Bisa membuat orang-orang menangis dan tertawa bahkan termotivasi oleh cerita kita adalah kebanggaan tersendiri. Sebagai penulis, apalagi. Saya merasa bangga dengan buku saya yang pertama yaitu “Anda Luar Biasa”. Karena buku tersebut mampu membuat orang-orang termotivasi. Ini saya ketahui dari email-email dan sms-sms para pembaca buku saya yang dikirimkan untuk saya.

Saya rasa tulisan yang berhasil adalah tulisan yang bisa membuat para pembaca larut dengan apa yang dibacanya. Ketika saya membaca buku “Resep Cespleng Menulis Buku Bestseller” nya Edy Zaqeus, saya termotivasi untuk menulis buku. Buku tersebut mampu membuat saya ingin tahu sehingga mampu menarik perhatian saya. Demikian juga dengan buku-buku yang berhasil di pasaran. Buku-buku tersebut mampu menimbulkan perasaan ingin tahu sehingga akan segera menarik perhatian.

Ada hal yang hendak saya sampaikan di sini, bahwa jika kita ingin orang lain tertarik terhadap tulisan-tulisan kita, hendaknya kita sendiri harus tertarik dan mengasyikinya lebih dulu terhadap apa yang akan kita sampaikan. Saya akan menulis, jika saya benar-benar tertarik dengan masalah atau topik yang akan saya tulis. Karena hal ini akan memberi saya semangat dan rasa senang. Jika ini yang terjadi, maka keberhasilan kita untuk membuat para pembaca tertarik pun bukan suatu kemustahilan.

Saya ketika itu telah berhasil menulis gagasan yang menggugah orang lain untuk membacanya di milis-milis yang saya ikuti. Dari semua cerpen-cerpen yang saya posting di milis, hampir semua cerpen saya mendapat tanggapan dari para anggota milis yang saya ikuti. Dan yang menggembirakan, tanggapan atau komentar mereka positif dan menyambut baik. Tak disangka, cerpen-cerpen saya dikumpulkan oleh seorang senior di salah satu milis untuk dibukukan pertengahan 2008 mendatang. Untunglah, karena saya tidak pernah menyimpan cerpen-cerpen saya yang tersebar dan yang saya tulis sejak saya masih berada di Hong Kong. Hal ini karena saya masih belajar computer (istilah kerennya : gaptek). Awal dari buku pertama saya “Anda Luar Biasa” juga demikian, tulisan-tulisan motivasi tersebut telah mendapat tangapan positif dari para pembaca baik di milis maupun pengunjung Pembelajar.Com. Apalagi kini dengan menjadi kolumnis tetap di sebuah situs tersebut, maka tulisan-tulisan motivasi saya pun akan tersimpan dengan sendirinya di sana. Siapa tahu di kemudian hari bisa di hubungkan benang merahnya untuk dibukukan.

Menulis gagasan yang menggugah minat baca sangat penting untuk membranding diri sendiri. Awal saya menulis adalah dari sana. Milis adalah media yang sangat tepat untuk para penulis pemula seperti saya sebagai ajang untuk mengetahui sejauh mana kemampuan saya dalam membuat orang lain tertarik membaca tulisan saya. Jika kita sudah bisa menarik perhatian para pembaca, maka hal ini bisa diibaratkan, kita sudah mempunyai fans. Sehingga menulis buku pun akan sangat ditunggu-tunggu oleh mereka. Ya, kemampuan kita untuk membuat orang lain tertarik terhadap kita (dalam hal ini tulisan-tulisan kita) memanglah sangat penting untuk dijadikan salah satu ukuran berhasil atau tidaknya sebuah buku.

Setelah saya bisa mengeluarkan buku atas bantuan berbagai pihak, terutama untuk mentor saya yang dengan sabar membimbing dan mengumpulkan tulisan-tulisan saya, maka saya pun banyak diminta untuk memberi endorsement buku-buku yang akan diterbitkan. Biasanya saya akan bertanya, “siapa ya, penulis ini?” Jika saya mengenalnya, entah itu telah memiliki brand ataupun mengenal karena tulisan-tulisannya, tidak ada masalah. Tetapi jika saya sama sekali tidak mengenalnya dan tidak ada seseorang -yang telah memiliki personal branding- yang merekomendasikannya, tentu saya akan bertanya-tanya, apalagi jika belum ada yang memberi endorsement sebelumnya.

Dengan demikian untuk para pemula yang ingin menjadi seorang penulis yang berhasil dalam waktu singkat, perkenalkan diri Anda melalui tulisan-tulisan yang menggugah di media yang sangat memungkinkan untuk itu, seperti di milis-milis. Ini akan membranding nama Anda. Namun sebelum orang lain tergugah, Anda haruslah tergugah terlebih dulu dengan apa yang akan Anda bicarakan. Seperti halnya kita membuat kue. Kue yang kita buat haruslah enak dimakan oleh kita terlebih dulu sebelum dimakan oleh orang lain. Apalagi jika kue itu akan di jual.

Membuat tulisan yang menggugah, menarik, bisa melarutkan emosi para pembaca sehingga mereka akan menangis, terharu, tertawa, termotivasi dan lain-lain….BERANI??? Ini akan berhasil jika kita sendiri juga larut di dalamnya dengan hati.


*) Eni Kusuma adalah mantan TKW di Hongkong, penulis buku laris “Anda Luar Biasa!!!”, dan kini menjadi motivator. Ia dapat dihubungi di: ek_virgeus@yahoo.co.id.

Hati Melayani

December 7, 2009 by admin   Filed under Andrias Harefa
 “Tanpa kepemimpinan, organisasi tidak dapat menyesuaikan diri dengan dunia yang berubah cepat. Namun, jika pemimpin tidak memiliki hati melayani, maka hanya ada potensi untuk bangkitnya sebuah tirani,” demikian, antara lain, pesan John P. Kotter dan James E. Heskett dalam Corporate Culture and Performance. Dengan kalimat tersebut Kotter dan Heskett mengingatkan kita tentang konsep kepemimpinan yang melayani; sebuah konsep kepemimpinan yang digagas secara mendalam oleh almarhum Robert K. Greenleaf, mantan eksekutif AT&T dan dosen di berbagai universitas terkemuka seperti MIT dan Harvard Business School, yang juga peneliti dan konsultan terkenal di Amerika.

Dalam salah satu karya terbaiknya yang bertajuk Servant Leadership (1977) ––sebuah karya yang mendapat sambutan hangat dan pujian tokoh-tokoh sekaliber Scott Peck, Max De Pree, Peter Senge, Warren Bennis, dan Danah Zohar–– Greenleaf antara lain mengatakan, “… the great leader is seen as servant first, and that simple fact is the key to his greatness”. Perhatikan bahwa Greenleaf menekankan “servant first” dan bukan “leader first”. Seorang pemimpin biasa menjadi pemimpin besar dengan cara melihat dirinya pertama-tama dan terutama sebagai pelayan dan bukan pemimpin. Ia pemimpin juga, tentu. Namun hatinya terutama dipenuhi oleh hasrat melayani konstituennya, melayani pengikutnya, melayani publik atau rakyat yang mengangkatnya menjadi pemimpin. Artinya, jabatan kepemimpinan diterima sebagai konsekuensi dari keinginan yang tulus ikhlas untuk melayani konstituen dan bukan untuk kepentingan egoistik dan selfish, bukan ambisi pribadi yang berangkat dari keinginan berkuasa.

Bila dirunut lebih jauh ke belakang, sosok pelayan sebagai pemimpin dapat kita temukan dalam berbagai ajaran pendiri agama-agama besar. Tak seorang pun di antara guru umat manusia itu yang tidak mendemonstrasikan jiwa dan semangat melayani para konstituen yang mengikutinya dengan tulus hati dan setia, nyaris tanpa pamrih material. Mereka tidak berusaha mengejar jabatan kepemimpinan dulu dan kemudian belajar melayani, melainkan mereka melayani dulu untuk kemudian diterima, diakui, dan diangkat sebagai pemimpin (ini bukan tujuan, tapi konsekuensi). Jadi, pertama-tama dan terutama mereka melihat diri mereka sebagai “pelayan”, khususnya pelayan atau hamba Allah Yang Maha Esa. Dan karena Allah “mengutus” mereka ke dunia, maka demi Allah mereka melayani manusia yang diciptakan Allah itu, sebagai homo Khalifatullah atau homo Imago Dei .

Pada titik ini kita melihat bagaimana ajaran-ajaran agama mulai (kembali) ditemukan relevansinya untuk dapat diaplikasikan dalam konteks wacana kepemimpinan milenium ketiga. Berbagai ajaran “sesat” yang membuang agama ke pinggir arena kehidupan terbukti keok di tengah jalan (komunisme adalah contoh yang nyata). Ada kehausan spiritual yang nyata dalam masyarakat modern dan pasca modern setelah berbagai “eksperimentasi” dalam memposisikan manusia—meminjam istilah Yasraf Amir Piliang—sebagai the idiological man-nya Orde Lama, the mechanistic man-nya Orde Baru, fragmented man-nya Orde Reformasi, selfish man-nya Hobbes, man of commodity-nya Marx, maupun man of nature-nya Rousseau, atau digital man dan man of speed-nya generasi elektronik, yang ternyata justru menciptakan inhuman realities dan inhuman system.

Kembali ke Ordo Creatio
Kita tahu bahwa untuk kurun waktu yang sangat lama, pemimpin acapkali dipahami sebagai suatu jabatan atau kedudukan elitis yang menuntut dilayani dan bukan melayani. Dengan demikian, mereka yang menjadi pemimpin dianggap (dan menerima anggapan bahwa dirinya) berhak untuk mendapatkan perlakuan istimewa. Bahkan dalam tradisi Barat maupun Timur, pemimpin seringkali dianggap keturunan dewa atau wakil Tuhan yang tak boleh diganggu gugat (leaders can do no wrong). Pemimpin ditempatkan sebagai manusia dari “kasta tertinggi” sementara konstituennya adalah “kasta terendah” yang harus menerima diperlakukan sebagai “alat”, “organ”, atau “obyek”. Pandangan ini “berhasil’ melestarikan status quo raja-raja dan penguasa yang lalim dan sewenang-wenang. Namun dewasa ini pandangan yang demikian telah kehilangan argumentasi untuk dapat dipertahankan. Kesetaraan dalam hubungan antar manusia telah menjadi kesadaran global yang menolak penempatan manusia yang satu di atas manusia yang lain, atas dasar apapun (jenis kelamin, agama, suku, warna kulit, “barat”, “timur”, dsb).

Jika benar demikian, maka dalam konteks kepemimpinan kita perlu mengaudit kembali citra diri (self image) para pemimpin kita. Kita harus menolak siapa saja yang mempersepsi dirinya sebagai “manusia unggul”, “manusia superior”, manusia yang merasa “can do no wrong”.

Sebaliknya, kita perlu mencari mereka yang menerima hierarki ordo creatio yang menempatkan ditempat tertinggi hanya Allah semata, yang menempatkan manusia ditempat kedua sebagai homo Khalifatullah atau homo Imago Dei, dan yang menempatkan ditempat ketiga alam semesta sebagai sumberdaya yang harus dikelola secara arif dan bertanggung jawab. Allah adalah Sang Pencipta dan Sang Pemimpin (dengan P besar). Manusia adalah ciptaan yang dicipta dengan potensi daya cipta (creative creature) yang memungkinkan ia menjadi pemimpin (dengan p kecil). Dan alam semesta diciptakan bagi manusia agar manusia itu menjadi manusiawi dengan bertakwa kepada Sang Pemimpin semata.

Kesadaran yang tinggi terhadap kesetaraan manusia sebagai sesama ciptaan menempatkan semua manusia sebagai mahluk yang harus mempertanggungjawabkan setiap kata dan perbuatannya kepada Sang Pencipta dan Sang Pemimpin. Dan kesadaran yang demikian hanya mungkin muncul dari hati nurani (conscience) yang bersih, hati nurani yang menuntun akal budi, dan baik hati nurani maupun akal budi itulah yang pada gilirannya menuntun perilaku manusia agar sungguh-sungguh manusiawi.

Semoga kecerdasan spiritual dan semangat melayani itu kembali merekah di hati para pemimpin.

*) Andrias Harefa; Penggagas Visi Indonesia 2045; Trainer Coach Berpengalaman 20 Tahun;
Penulis 35 Buku Best-seller. Beralamat di www.andriasharefa.com dan aharefa@gmail.com
Harus ada sistem pemilihan yang bersih dan pemilih yang cerdas untuk bisa memiliki pemimpin yang “placing the servant first”.

Namun, jika pemimpin tidak memiliki hati melayani, maka hanya ada potensi untuk bangkitnya sebuah tirani,” demikian, antara lain, pesan John P. Kotter dan James E. Heskett dalam Corporate Culture and Performance.

Matahati

September 2, 2009 by admin   Filed under Wandi S Brata
Saya terperangah oleh data kebutaan, di dunia maupun di negeri kita. Setiap tiga menit, ada tambahan satu orang buta di Indonesia. Tiap tiga menit, satu saudara kita tiba-tiba tak lagi dapat melihat indahnya dunia.
Anda ingin tahu rasanya jadi buta? Anda bisa mengalaminya untuk sementara di mana saja. Kalau mau sambil makan minum di cafe, pergilah ke Jalan Pasirkaliki 16 C-D, tidak jauh dari Stasiun Kereta Api Bandung. Di sana ada Blind Cafe. Di sana ada sensasi ” menjadi buta sementara”.

Konsep cafe dan restoran itu memang lain dari yang lain. Karena itu sensasional dan bikin kita pingin tahu, mencoba dan merasakannya. Setelah pesan makan minum, sebelum memasuki ruangan yang serba gelap pekat, Anda akan diminta meninggalkan barang apa pun yang bisa menghasilkan cahaya. Rokok dimatikan. Korek api dan hp tak akan boleh masuk. Sensasi mulai, ketika Anda dan teman-teman atau keluarga Anda berjalan satu per satu dengan berpegangan pundak orang di depannya, menuju tempat duduk. Anda dan teman-teman Anda pasti cekikikan.

Tawa dan segala komentar lucu mulai menjadi-jadi ketika hidangan tiba dan Anda bingung bagaimana menyantapnya. Karena Anda harus menyentuh untuk mengidentifikasi makanan pesanan Anda, jari belepotan atau gelas tumpah itu biasa.

Beraktivitas di ruang serba gelap itu tentu membawa pengalaman yang tak biasa. Tapi jangan aneh-aneh seperti saat di gedung bioskop bersama pacar, sebab pelayan menggunakan kacamata night vision yang mampu menembus kegelapan.

Mengalami sensasi di situ bisa menyegarkan bahkan mencerahkan, kalau kita mengalaminya hanya untuk sementara. Coba bayangkan, apa yang akan Anda lakukan, atau bagaimana sikap Anda terhadap kehidupan, andaikata realitas kebutaan itu menjadi tetap? Hebat Anda kalau Anda masih bisa mudah cekikikan.

Karena itu, bagi saya, sungguh hebat, saudara-saudara kita yang buta, yang masih memiliki rasa humor yang tinggi. Sungguh hebat mereka, yang walau menyandang kerugian tak terkira karena tak bisa memandang dunia, masih bisa menjalani kehidupan dengan ceria.

Saya tidak punya data berapa persen orang buta yang menjalani hidup mereka dengan bahagia. Saya tak heran kalau sebagian besar memang tersaruk-saruk dalam derita, karena kita tahu betapa besarnya kerugian akibat kehilangan cacat mata itu.

Sayangnya, jumlah saudara kita yang seperti itu banyak sekali. Menurut World Health Organization (WHO) saat ini 161 juta penduduk dunia mengalami gangguan penglihatan. Di antara jumlah itu, 37 juta buta total, dan 124 juta rabun atau mengalami gangguan penglihatan.

Kebutaan di Indonesia merupakan yang tertinggi di Asia, yaitu 1,5% dari penduduk, sementara negara Asia lain kurang dari 1%. Berarti di negeri kita ada hampir 3,5 juta jiwa, meliputi orang dewasa dan anak-anak. Di dalamnya belum termasuk penderita dengan kelainan refraksi yang memerlukan kacamata, tetapi tidak mampu beli.

Penyebab kebutaan tersebut adalah: katarak (gangguan pada lensa mata – 50%), trakoma (infeksi mata luar – 15%), kelainan refraksi yang tidak terkoreksi, glaukoma (gangguan tekanan mata), kelainan mata pada anak-anak, retinopati diabetik (gangguan mata akibat penyakit diabetes), dan degenerasi makula (age-related macular degeneration – gangguan lain akibat penuaan).
Sebenarnya, 80% dari kebutaan itu bisa dicegah atau disembuhkan. Tragisnya, mayoritas dari mereka tergolong tidak mampu.

Karena itu, WHO mempropagandakan visi global VISION 2020: The Right to Sight dan bekerjasama dengan International Agency for the Prevention of Blindness untuk menghapus ”kebutaan yang bisa dihindari”, secara global, pada tahun 2020.

Pemerintah Indonesia ikut menandatangani prakarsa global tersebut, namun keberhasilan program ini tentu amat mengandaikan keterlibatan berbagai pihak. Karena itu, Yayasan Lions Indonesia, Kompas-Gramedia Group, Guo Ji Ri Bao, dan Persatuan Dokter Spesialis Ahli Mata Indonesia, berkerjasama meluncurkan Gerakan Sosial MATAHATI, Peduli Kesehatan Mata, untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai kesehatan mata dan menggalang dana untuk membantu operasi katarak penderita yang tidak mampu.

Rangkaian kegiatannya meliputi penyebaran informasi kesehatan mata, seminar dan pameran kesehatan mata, penggalangan dana, pemeriksaan mata gratis dan operasi katarak gratis bagi penderita yang tak bisa membiayai sendiri operasinya.

MATAHATI bergerak dengan resmi di bawah perlindungan Menteri Kesehatan RI: DR. Dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP. Dewan penasihat terdiri dari Jakob Oetama (Presiden Komisaris Kompas – Gramedia), Prof. Ted Sioeng, PH.D (Presiden Direktur Guo Ji Ri Bao, koran berbahasa Mandarin terbesar di Indonesia), Pandji Wisaksana (Ketua Pembina Yayasan Lions Indonesia), Dr. dr. Tjahjono Gondhowiardjo, Sp.M, Ph.D. (Ketua Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia, Direktur Pengembangan dan Pemasaran RS Cipto Mangunkusumo). Ketua Umum: St. Sularto, Ketua Pelaksana: Nugroho, Wakil Ketua Pelaksana I: Tony Djumadi, Wakil Ketua Pelaksana II: Untung K Wijaya, Sekjen: Wandi S Brata; Bendahara: Devina Dewi Mariana.

MATAHATI Peduli Kesehatan Mata telah mendapatkan komitmen dari para dokter spesialis mata dan banyak rumah sakit yang mampu menyelenggarakan operasi katarak, di seluruh Indonesia, untuk menyelenggarakan operasi katarak bagi para penderita tidak mampu, dengan biaya minimal. Sejak diluncurkan di Mangga Dua Square, Jakarta Utara, awal Agustus 2008, sampai akhir Juli 2009 program telah berhasil melakukan operasi bagi 3.590 orang. Program masih terus akan dilakukan dan untuk sementara ini masih tersisa dana untuk 2.000 operasi.

Dalam rangka itu, sebagai Sekjen gerakan sosial ini saya mengundang partisipasi Anda. Entah mewakili institusi maupun secara pribadi, saya undang Anda untuk bersyukur atas penglihatan prima yang dianugerahkan kepada kita. Caranya dengan menyisihkan dana, untuk membantu penderita yang tidak mampu. Bayangkan, berapa pun dana yang Anda sumbangkan itu akan memungkinkan saudara kita yang selama ini hidup dalam kegelapan tiba-tiba bisa melihat lagi indahnya dunia. Betapa bahagia Anda tahu hal itu!
Dana Anda dapat ditransfer ke MATAHATI 2020, Nomor Rekening: 012.301.915.3 BCA Cabang Gajah Mada, Jakarta.

Anda dapat mendaftarkan kenalan atau kerabat yang tidak mampu (yang dibuktikan dengan Surat Keterangan Tidak Mampu dari RT, RW, Lurah) ke Sekretariat Matahati, Gedung Kompas-Gramedia, Jl. Palmerah Barat 33 – 37, SLIPI, Jakarta 10270, Telp. (021) 536 50 110, 536 50 111 pesawat 3511 (Kunny, Yudith), 3515 (Yati), Fax (021) 530 0545. Email: matahati@gramediapublishers.com
MATAHATI akan menjadwalkan dan merefer penderita ke rumah sakit terdekat di daerah atau kotanya.

*) Wandi S Brata; Direktur Eksekutif PT Gramedia Pustaka Utama. Dapat dihubungi langsung di wandi@gramediapublishers.com

Orgasmic Writing

November 22, 2009 by admin   Filed under Andrias Harefa
Menulis bagi saya adalah sebuah pengalaman yang luar biasa dan sulit didefinisikan dengan kata-kata. Proses menulis, dalam banyak kasus, membawa saya ke dalam percumbuan dengan kekekalan. Artinya, menulis membuat saya melayang dan terbang dari kefanaan, lalu bercengkerama dengan alam ide, dunia maya, alam batin yang non-fisik, dimana ruang dan waktu tak berfungsi sebagaimana di alam nyata (fisik).

Saat asyik menulis, saya bisa tak mendengar suara-suara yang berkeliaran di sekitar. Saya seolah-olah pindah ke alam lain, ke tempat lain, dimana ide-ide saling berkelindan. Sebutir ide mengejar dan mencumbui ide lainnya. Kemudian lahirlah anak-anak ide, yang tak ada sebelumnya.

Waktu juga terasa berhenti. Saya pernah menulis sebuah tulisan sejak pukul 7 malam hingga pukul 7 pagi. Nonstop. Tanpa berdiri sejenak pun. Tanpa makan dan minum. Selama 12 jam itu saya seolah-olah lepas dari ikatan waktu. Saya tersadar karena pintu kamar saya diketuk, lalu melihat jam tangan dan langsung terperanjat sendiri.

Bila sebuah konsep tuntas saya tuliskan, maka ada kelegaan yang besar. Ada kepuasan khusus yang agaknya hanya bisa disetarakan dengan fenomena orgasme yang bersifat mental dan spiritual. Bersifat mental karena tulisan terkait dengan intelektualitas saya, cogito ergo sum. Dan bersifat spiritual karena tulisan bermain di wilayah makna, mengejawantahkan keberadaan saya sebagai homo significants, sang pemberi makna, yang keberadaannya juga disebabkan oleh kepercayaannya atas “sesuatu” yang lebih besar dari dirinya, credo ergo sum.

Pengalaman yang luar biasa itulah yang saya sebut orgasmic writing. Bukan apa-apa. Nama yang diusulkan oleh kawan muda Edy Zaqeus itu memang terasa, terdengar, dan terlihat paling dekat dengan sensasi yang dimunculkan dalam kegiatan menulis itu sendiri.
Anda punya pemikiran atau nama lain?

*) Andrias Harefa, Penulis 35 Buku Best-Seller, Trainer Coach with 20 Years Experience.

Sukses Menulis Karena Marah dan Dendam

August 24, 2009 by admin   Filed under Agung Praptapa

Pernahkah Anda merasa diperlakukan dengan tidak adil sehingga harus marah dan dendam? Saat bos kita di kantor memberikan perhatian kepada teman kerja lain dan menyepelekan kehadiran kita akan membakar kita untuk marah. Demikian juga kalau kita merasa diperlakukan tidak adil di dalam pembagian kerja dan pembagian honor. Rasanya pingin marah. Marah yang tidak henti-hentinya akan menimbulkan dendam. Banyak sekali alasan untuk membuat kita marah dan dendam. Istri yang tidak memahami apa yang kita maui akan memancing marah. Anak-anak kita yang nakal juga memancing marah. Itu memang manusiawi. Tapi harus kita ingat, marah dan dendam akan menguras energi. Kita akan capai sendiri karenanya. Padahal sudah dapat dipastikan bahwa marah bukanlah solusi untuk mengatasi masalah apapun.

Tapi marah kan manusiawi? Iya betul. Siapa sih yang tidak pernah marah? Marah adalah suatu bentuk mencari keseimbangan. Marah yang terlampiaskan biasanya akan meredakan amarah itu sendiri. Marah mambuat kita tegang. Saat marah, energi negatif ada pada diri kita. Melampiaskan marah seperti halnya membuang energi negatif. Begitu energi negatif berhasil kita buang, berkuranglah stok energi negatif pada diri kita. Sehingga kita bisa menjadi kembali seimbang. Kalau demikian setiap kali marah langsung saja kita lampiaskan? Dalam rangka membuang energi negatif itu bisa saja. Hanya saja kita harus ingat bahwa melampiaskan marah tidak selalu tanpa respon. 

Saat kita melampiaskan amarah bisa saja menimbulkan marah dari pihak lain. Atau bisa juga akan menimbulkan kerusakan barang-barang di sekitar kita kalau cara melampiaskan amarah dengan cara membanting sesuatu. Kalau respon lingkungan negatif, bukannya energi negatif yang berhasil kita buang, tetapi kita justru akan mendapat tambahan energi negatif. Kalau ini terjadi maka yang kita dapatkan adalah amarah kita yang semakin membesar, amarah orang lain yang semaikin membesar pula, dan akhirnya energi negatif yang ada pada diri kita maupun orang lain akan semakin banyak. Ingat rumus bahwa “energi negatif akan mencari teman energi negatif pula”. Jadi bisa kita bayangkan bagaimana akibatnya kalau kita memelihara energi negatif pada diri kita. Kita akan semakin capai. Konsentrasi terganggu. Mau ini salah. Mau itu salah. Cape deh…!

Untuk itulah saya disini menawarkan konsep konversi, yaitu mengonversi energi negatif menjadi energi positif. Ini seperti halnya mengonversi kompos menjadi biogas. Marah dan dendam yang merupakan energi negatif juga bisa kita konversi menjadi energi positif. Konversi energi negatif menjadi energi positif tidak beresiko seperti apabila kita membuang energi negatif. Membuang energi negatif bisa memancing timbulnya energi negatif lainnya. Sedangkan mengonversi energi negatif menjadi energi positif tidak menimbulkan efek samping negatif. Tanpa resiko dan menyehatkan. Bagaimana caranya?

Cara yang saya tawarkan disini adalah melalui menulis. Loh? Kok melalui menulis? Memangnya menulis bisa mengonversi marah dan dendam menjadi energi postif? Iya. Bisa. Makanya saya tawarkan disini. Tingkat keberhasilannya dijamin 100% selama diterapkan dengan benar. Money back guarantee! Kalau tidak berhasil, uang kembali! Meyakinkan bukan?

Memberi Arti Menulis
Saya tergugah dengan pemikiran Andrias Harefa tentang menulis sebagai “Impresi versus Ekspresi”. Banyak orang yang sebenarnya mumpuni untuk menulis tetapi tidak juga menghasilkan tulisan karena takut tulisannya tidak memberikan impresi bagi orang lain. Namun bagi beberapa penulis, mereka menulis sebagai bentuk ekspresi. Penulis yang menulis sebagai ekspresi inilah yang biasanya lebih produktif. Mereka menulis sebagai “giving” tanpa menghiraukan bagaimana nantinya apakah ada “receiving” yang sepadan. Menulis adalah suatu penyaluran ide, pemikiran, pengalaman, bahkan bisa saja sebagai penyaluran amarah dan dendam. Jadi, menulis disini bisa menjadi saluran untuk mengonversi energi negatif menjadi energi positif.

Menulis bagi sebagian orang merupakan bentuk pengharapan. Pengharapan tersebut bisa dalam arti pengharapan berkenaan dengan pendapatan, agar lebih dikenal orang, dan konfirmasi tantang kepakaran. Jadi menulis disini merupakan sarana untuk mendapatkan energi positif bagi penulis.

Menulis juga merupakan bentuk public relation tentang diri kita sendiri. Ini menegaskan kepada publik siapa kita, apa pemikiran kita, dan seperti apa kita ingin dikenal oleh orang lain. Ada yang mengatakan bahwa menulis merupakan self branding, yaitu menegaskan kepada publik simbol seperti apa yang kita inginkan dari publik.

Menulis juga merupakan kegiatan menabung. Bahkan dapat dikatakan menabung yang tidak akan pernah habis. Apa yang kita tabung? Yang kita tabung adalah pemikiran kita, ide kita, yang bisa dimanfaatkan oleh orang lain pada saat ini sampai saat kapanpun. Saya tersentuh oleh ungkapan salah seorang teman saya yang mengatakan bahwa ia tidak pernah mengenal ayahnya karena ayahnya meninggal dunia pada saat dia masih bayi. “Andaikan ayah saya menulis, saya akan lebih tahu siapa ayah saya sebenarnya, apa pemikirannya, apa petuahnya….sesuatu yang benar-benar saya rindukan” ungkap teman saya tadi dengan mata berkaca-kaca. Saya terharu mendengarnya. Muncul pemahaman baru pada diri saya bahwa menulis merupakan kegiatan menabung, yang dapat kita wariskan, yang tidak akan pernah habis sepanjang masa.

Emas dalam Marah dan Dendam
Binatang yang buas akan menjadi bermanfaat kalau kita bisa mengendalikannya. Marah dan dendam juga bisa menjadi sesuatu yang bermanfaat apabila kita bisa mengendalikannya. Cara pengendalian marah dan dendam yang saya tawarkan disini adalah melalui “menulis”. Lampiaskan saja marah kita melalui tulisan, lampiaskan dendam kita melalui tulisan, sehingga amarah teredam, dendam menghilang, dan tulisan tercipta. Kalau demikian apakah tulisan kita nanti akan berisi umpatan-umpatan seperti halnya orang marah? Bukan begitu.

Hampir pasti setiap kita marah itu ada sebabnya. Hanya saja penyebabnya mungkin kita sadari, dan mungkin pula tidak kita sadari. Sebagai contoh kita marah karena teman kerja kita ngobrol dengan teman kerja lain sehingga mengganggu konsentrasi kerja kita. Kalau keputusan kita membentak mereka agar diam karena mengganggu kerja orang lain, akibatnya bisa saja mereka kemudian diam dan kita bisa bekerja dengan tenang tanpa ada suara-suara yang mengganggu. Tetapi bisa pula akibatnya adalah mereka balik marah kepada kita dengan berbagai alasan. Kalau seperti itu jadinya, akan tercipta suasana yang semakin tidak kondusif. Untuk itulah sebelum marah, saya menyarankan untuk mengonversi terlebih dahulu kemarahan tersebut menjadi tulisan. 

Dalam kasus marah karena merasa terganggu tersebut sebenarnya ada “emas” di dalamnya, yaitu tersedia ide-ide yang bisa kita tulis. Kita bisa menulis beberapa tulisan dari kejadian tersebut. Misalnya tulisan tentang “strategi berkonsentrasi saat terdapat gangguan”, “membangun suasana kerja yang kondusif”, “memahami keragaman pola kerja”, “menjadi karyawan produktif apapun situasinya”, dan tulisan-tulisan lain yang idenya dapat muncul karena kita akan marah. Jadi pada saat akan marah, tahan dulu, ambil ide-ide yang muncul, wujudkan dalam bentuk tulisan.

Demikian pula apa bila terdapat dendam dalam diri kita kepada orang lain. Jangan dipendam dendam tersebut. Kita akan capai karenanya. Lebih baik dendam tersebut kita konversi menjadi ide tulisan. Sebagai contoh, misalnya kita dendam kepada teman kerja kita karena selalu melaporkan secara negatif apa yang kita kerjakan kepada atasan. Kalau melihat dia rasanya kepingin nonjok saja! Nah, kalau dendam ini muncul, cobalah konversikan menjadi ide tulisan. Misalnya, kasus dalam contoh tersebut bisa memunculkan ide untuk menulis tentang “menjadi manusia sabar”, “membangun kompetisi sehat di tempat kerja”, “bagaimana bos harus memilah informasi dari karyawan?”, dan silakan dapatkan ide-ide yang lain yang muncul karena satu kasus tersebut. Jadi semakin banyak kasus yang kita hadapi semakin banyak ide yang bisa kita tulis. Kembali lagi, maka sebenarnya terdapat “emas” di dalam dendam kita.

Tidak sedikit penulis sukses yang mengungkapkan bahwa tulisan yang mereka buat merupakan suatu dendam kepada suatu kejadian ataupun kepada orang-orang tertentu. Ungkapan sakit hati maupun kemarahan yang tak tersalurkan. Kalau kita bisa mengolah hal-hal negatif tersebut secara cerdas dan positif, tentunya akan mengasilkan hal positif, yaitu tulisan yang membangun, yang menyejukkan, yang menginspirasi. Menulis dapat mengonversi energi negatif menjadi energi positif. Tersimpan emas dalam marah dan dendam, yang bisa digali selama kita menulis. Kesimpulannya, menulis adalah solusi.

*) Agung Praptapa, adalah seorang dosen, pengelola Program Pascasarjana Manajemen di Universitas Jenderal Soedirman, dan juga sebagai konsultan dan trainer profesional di bidang personal and organizational development. Alumni UNDIP, dan kemudian melanjutkan studi pascasarjana ke Amerika dan Australia, di University of Central Arkansas dan University of Wollongong. Mengikuti training dan mempresentasikan karyanya di berbagai universitas di dalam negeri maupun di luar negeri termasuk di Ohio State University, Kent State University, Harvard University, dan University of London. Agung Praptapa juga seorang entrepreneur, Direktur AP Consulting. Alumni writer schoolen dan trainer schoolen.Website: www.praptapa.com; Email: praptapa@yahoo.com.

Kebiasaan Optimis dalam Belajar

May 18, 2009 by admin   Filed under Syahril Syam
Hampir semua kenakalan remaja terjadi karena mereka merasa kurang diperhatikan dan disayangi oleh orang tua mereka. (Syahril Syam)

Apa yang menyebabkan kebanyakan siswa tidak menyukai belajar? Atau tidak menyukai mata pelajaran tertentu, bahkan semua mata pelajaran? Jika pertanyaan ini kita tanyakan kembali pada orang-orang tua, sewaktu mereka masih belajar dulu, apakah masih pantas? Dengan kata lain, kebanyakan orang-orang tua pun tidak menyukai belajar, bukan hanya semasa sekolah dulu, mungkin masih sampai sekarang.

Lantas, apa yang menjadi penyebabnya? Peter Kline mengemukakan sebuah pernyataan menarik: Belajar Akan Efektif Jika Dilakukan Dalam Suasana Menyenangkan. Ini berarti, kegiatan belajar-mengajar akan membosankan dan tidak menarik, kalau tidak tercipta suasana yang menyenangkan. Dari sini dapat kita telusuri lagi dengan sebuah pertanyaan: Kenapa suasana belajar tersebut tidak menyenangkan? Atau kenapa sebuah mata pelajaran bahkan semua itu tidak menarik dan tidak menyenangkan? Buckminster Fuller memberikan jawabannya. Kata beliau, “Setiap anak terlahir jenius, tetapi kita memupuskan kejeniusan mereka dalam enam bulan pertama.” Lho, kok bisa demikian? Bukankah setiap orang tua menginginkan anaknya itu jenius. Lantas apa sebabnya?

Dalam buku The 10 Basic Principles of Good Parenting, Laurence Steinberg menulis tentang sepuluh prinsip dasar dalam mengasuh anak. Pada prinsip yang kedua berbunyi: Anda Tak Bisa Terlalu Mencintai. Prinsip ini banyak dipakai oleh kebanyakan orang. Arti prinsip ini adalah: Anda tak boleh terlalu mencurahkan kasih sayang pada anak, karena hal itu akan membuat dirinya menjadi manja, dan nanti akan sulit diatur. Menurut Steinberg, ini adalah pengasuhan “aliran keras”.

Padahal dalam penelitian ilmiah yang dilakukan dibidang psikologi dan neurosains menunjukkan sebaliknya. Anda tak perlu ragu dalam menunjukkan kasih sayang kepada anak. “Jika anak merasa benar-benar dicintai, mereka mengembangkan rasa aman yang kuat sehingga tidak lagi terlalu menuntut. Sebagai hasilnya, orang dewasa yang paling besar kebutuhan emosionalnya adalah mereka yang tidak menerima cukup cinta orangtua saat kecil atau yang cinta orangtuanya kurang konsisten atau kurang tulus. Orang dewasa tersehat, dan mereka yang mampu mengungkapkan cinta mereka pada orang lain, pastilah mereka yang tumbuh dengan perasaan dicintai secara penuh dan tanpa syarat oleh orangtuanya, bukan mereka yang dipaksa menerima kasih sayang yang kurang lengkap”, demikian ungkap Steinberg.

Ini berarti, bayi belajar paling baik dalam sebuah kondisi ideal, dengan kasih sayang, kehangatan, dorongan, dan dukungan. Bila sikap yang sama berlanjut di sekolah, kecepatan dan kesenangan belajar tadi akan terus berlanjut.

Mari kita lihat lagi, penemuan tak sengaja oleh Harry Balkwin. Beliau menemukan hal yang menakjubkan di Rumah Sakit Bellevue tahun 1931. Semula, sebagaimana kebiasaan rumah sakit waktu itu, bayi dilarang disentuh karena alasan higienis. Balkwin menghapuskan larangan itu dan menyuruh para perawat menyentuh dan menggendong bayi. Ajaib, tingkat infeksi menurun dengan drastis. Sebetulnya bukan sentuhan itu sendiri yang menyembuhkan tetapi rasa bahagia dan cinta yang dirasakan oleh bayi-bayi kecil itu.

Dari sini dapat kita ketahui bahwa, terciptanya rasa bahagia sangat penting, bukan saja terhadap perkembangan fisik anak, tapi juga terhadap perkembangan otak dan emosi anak. Gordon Dryden dan Jeannette Vos mengatakan, “Dalam setiap sistem yang terbukti berhasil – yang kami pelajari di seluruh dunia – citra diri ternyata lebih penting daripada materi pelajaran”. Citra diri yang positif menunjukkan bahwa suasana menyenangkan akan melahirkan optimisme dalam belajar. Selama ini, kebanyakan dari kita terperangkap oleh keyakinan lama dalam mendidik anak, sehingga pertumbuhan emosi anak dalam masa pertumbuhannya terganggu.

Hal inilah yang melahirkan sikap pesimis atau tidak percaya diri dalam belajar, yang melahirkan keengganan untuk memulai suatu pelajaran. Dengan kata lain, kehilangan perasaan bahagia. Coba perhatikan penelitian berikut ini:
Ahli psikologi Al Siebert menjadi berminat pada kepribadian orang-orang yang bertahan hidup ketika ia bergabung dengan pasukan payung setelah baru lulus dari pendidikan tingginya pada tahun 1953. Kelompok latihannya terdiri atas beberapa orang yang bertahan hidup dari sebuah unit yang bisa dibilang musnah di Korea. Ia menemukan bahwa veteran-veteran ini ulet tetapi lebih sabar daripada yang diduganya. Dalam menanggapi kesalahan, mereka biasanya menjadikannya sebagai lelucon bukannya menjadi marah.


Yang lebih penting, tulis Siebert, “Saya mengamati bahwa mereka mempunyai kesadaran yang santai. Mereka masing-masing tampaknya mempunyai semacam radar pribadi yang terus-menerus melacak.” Ia menyadari bahwa bukan hanya nasib mujur yang membuat orang-orang ini mampu mengatasi nasib buruk.

Sepanjang karirnya, Siebert secara kontinyu mengamati mereka yang bertahan hidup. Ia menemukan bahwa salah satu karakteristik mereka yang paling menonjol adalah kompleksitas karakter, suatu paduan dari banyak sifat yang berlawanan yang disebutnya sifat bifasik (berfase dua). Mereka itu serius sekaligus suka melucu, keras sekaligus lembut, logis sekaligus intuitif, suka bekerja keras sekaligus pemalas, pemalu sekaligus agresif, introspektif sekaligus suka bergaul, dan seterusnya. Mereka adalah orang-orang yang penuh pertentangan yang tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori-kategori psikologis yang lazim. Ini membuat mereka lebih luwes daripada kebanyakan orang, dengan serangkaian sumber-sumber yang lebih luas yang dapat mereka manfaatkan.

Melalui penelitian panjang, Siebert menemukan bahwa mereka yang bertahan itu mempunyai hierarki kebutuhan dan bahwa, berbeda dengan kebanyakan orang, mereka mengejar semua kebutuhan itu. Di mulai dari kebutuhan yang paling dasar, kebutuhan-kebutuhan itu adalah: kelangsungan hidup, rasa aman, penerimaan oleh orang lain, harga diri, dan aktualisasi diri. Namun, salah satu kebutuhan utama yang membedakan mereka dari orang-orang lain adalah lebih dari aktualisasi diri: kebutuhan akan sinergi. Siebert mendefenisikan kebutuhan akan sinergi itu sebagai kebutuhan untuk membuat segala sesuatunya berjalan lancar bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain. Oleh karena itu, mereka yang bertahan hidup bertindak bukan atas kepentingannya sendiri saja melainkan juga atas kepentingan orang lain, bahkan dalam situasi yang sangat membuat stres. Kadang-kadang mereka tampak tidak terlibat, tetapi mereka adalah “sahabat dalam keadaan yang buruk”. Mereka muncul apabila timbul masalah. Orang-orang seperti ini, biasanya, menafsirkan masalah sebagai pengarahan ulang, bukan kegagalan.
 
Dengan melihat penelitian Siebert ini, memberi pemahaman kepada kita untuk selalu optimis dalam hidup dan senantiasa tidak mementingkan diri sendiri, apalagi jika ada sebuah masalah yang dihadapi. Sebagai penutup, saya ingin menceritakan kepada Anda sebuah pengalaman nyata yang dilakukan oleh seorang kepala sekolah:
Ketika Dr. Dan Yunk datang menjabat sebagai kepala sekolah baru di SD Northview di Manhattan, Kansas, pada 1983, dia mendapati rendahnya nilai ujian, lemahnya disiplin, dan loyonya staf pengajar. Tujuh tahun kemudian, seorang kru televisi PBS menemukan perubahan mendasar dalam hal lingkungan dan hasil belajar. Anak-anak kelas empat belajar pembagian dengan memotong-motong pizza; belajar bahasa Spanyol sambil bernyanyi; belajar sejarah Amerika melalui permainan dan lagu. Anak-anak kelas empat itu dipasangkan dengan murid TK, mereka bertindak sebagai guru, dan menggunakan kata-kata tertulis menjadi cerita untuk anak umur lima tahun.

Anak-anak aktif di gedung olahraga sejak pukul 7 pagi. Di kelas, guru-guru melayani seluruh gaya belajar mereka: dengan melibatkan penglihatan, pengucapan, dan tindakan; sebuah sekolah yang memungkinkan kebanyakan muridnya bermain alat musik, dan kurikulumnya diperkaya dengan seni. Dengan cara kerja yang mungkin sulit dimengerti oleh kebanyakan guru di negara-negera lain, pada 1983 Yunk menemukan bahwa guru-guru “dalam 20 tahun tidak pernah bertukar ruang kelas”. Lalu dia menetapkan norma kerjasama antarguru.

Ketika dia datang pertama kali, “orangtua tidak menyukai dirinya. Sekarang mereka bertindak sebagai tutor, pembantu, dan mentor; bahkan salah satunya menjadi ketua klub komputer”. Dari semua sekolah dasar di negara bagian itu pada 1983, hanya sepertiga dari anak kelas empat di SD Northview yang meraih tingkat kompetensi yang diharapkan. Pada 1990: 97 persen – di tiga persen teratas. Dan di beberapa daerah, di atas satu persen teratas. Resep keberhasilan Yunk? Sama seperti Bill Hewlett dan Dave Packard di dunia bisnis: Manajemen Kebersamaan”. “Berdayakan para siswa, orangtua, dan guru, mereka harus merasa ikut memiliki.”

*) Syahril Syam adalah seorang konsultan, terapis, public speaker, dan seorang sahabat yang senantiasa membuka diri untuk berbagi dengan siapa pun. Ia memadukan kearifan hikmah (filsafat) timur dan kebijaksanaan kuno dari berbagai sumber dengan pengetahuan mutakhir dari dunia barat. Ia juga adalah penulis buku best seller The Secret of Attractor Factor. Teman-temannya sering memanggilnya sebagai Mind Programmer, dan dapat dihubungi melalui ril@trainersclub.or.id

Makin Cerdas

October 27, 2009 by admin   Filed under Andrias Harefa

Menulis itu sudah jelas merupakan salah satu cara meningkatkan kecerdasan. Setiap kali saya menyelesaikan sebuah tulisan, kecerdasan saya meningkat sekian derajat. Dan semakin sering saya menulis, maka kecerdasan dalam berbahasa, kecerdasan dalam aspek intrapersonal (tahu diri), interpersonal (tahu orang lain), kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, dan berbagai kecerdasan lainnya terus berkembang tanpa henti.

Bagaimana saya tahu bahwa kecerdasan saya berkembang dan meningkat? Sederhana saja. Ketika saya mulai menulis artikel dan buku-buku di tahun 90-an, saya banyak sekali melakukan kesalahan. Lalu saya menulis lagi dan melakukan kesalahan lagi. Lalu saya menulis lagi dan melakukan kesalahan lagi. Kesalahannya masih tetap ada, bahkan sampai sekarang. Tetapi semakin jarang dan semakin jarang dan semakin jarang. Bukankah itu berarti saya semakin cerdas?

Jadi, ada kalanya saya memandang kawan-kawan yang enggan menulis sebagai orang-orang yang enggan meningkatkan kecerdasannya. Mereka senang bertahan dalam kubangan yang menggerogoti kecerdasannya. Saya sungguh khawatir bahwa pada suatu titik nanti mereka akan dianggap bodoh oleh lingkungannya, bahkan oleh cucu-cicit mereka sendiri.

Kalau ingin makin cerdas: menulislah!

*) Andrias Harefa. Penulis 35 Info pelatihan penulis telepon 021-460 5757: 0815 8963 889; www.andriasharefa.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CERITA PENDEK ON-LINE KARYA SISWA-SISWI KELAS XII IPA 1 TAHUN 2014/2015

CERITA PENDEK ON-LINE KARYA SISWA-SISWI KELAS XII IPA 3 TAHUN 2014/2015