Mari, Membuat Puisi dengan Gampang!

Puisi sebagai Kebutuhan Batin

Menulis sebuah puisi merupakan hasil penghayatan dan permenungan tentang hahikat hidup dan kehidupan manusia, baik secara perorangan maupun sebagi komunitas. Berdasarkan hal tersebut, sebuah puisi berfungsi juga sebagai ekspresi cita rasa seni seseorang melalui media bahasa atas kehidupan, serta bisa juga diekspresikan dalam bentuk yang lain.

I.A. Richard memperkenalkan hakikat dan metode berpuisi. Hakikat puisi meliputi sense
(tema), feeling (cita rasa), tone (nada), dan intention (amanat). Selain itu dalam menulis puisi ada metode ala I.A. Richard, yauti aspek: 1) diction (diksi/pilihan kata); 2) imagery (daya bayang/imajinasi); 3) the concrete words (penggunaan kata-kata konkret); 4)figurative language (gaya bahasa); 5) rythm (irama); 6) ryme (rima); dan 7) symbolism.

Pada dasarnya manusia di dunia ini mempunyai cita rasa seni, entah dalam seni rupa, seni suara, seni tari, seni musik, seni lukis, seni sastra, atau seni yang lain. Hakikatnya, seni merupakan pencurahan atau ekspresi cita rasa manusia terhadap suatu hal atau objek tertentu.

Begitu jugalah dalam menulis puisi, seseorang mengemukakan cita rasa seni tentang suatu hal atau objek tertentu dengan menggunakan media bahasa tulis. Nuansa bahasa seni terkespresikan melalui kata dan makna sebagai perlambang hakikat hidup dan kehidupan.

Sebuah puisi merupalan karya sastra yang secara hakiki mengandung atau mengungkapkan unsur-unsur:

tema (sense);
rasa (feeling);
nada (tone);
amanat (intention).

Tema merupakan pokok permasalahan yang dikemukakan oleh penyair melaui puisi karyanya. Pokok persoalan tersebut merupakan rumusan inti masalah sehubungan dengan hakikat hidup dan kehidupan makhluk hidup, dan manusia pada khususnya. Biasanya bahasa rumusan tema sebuah puisi bersifat universal, dapat terjadi kapan saja dan di mana saja. Misalnya, Kesehatan manusia ditentukan juga oleh kebersihan lingkungannya; kerusakan moral seseorang juga ditentukan oleh lingungannya; ebutuhan Ilahi seorang manusia tak bisa dipungkiri.

Rasa dalam berpuisi sama dengan sikap penyair terhadap pokok persoalan yang dikemukakannya. Seorang penyair bisa bersikap peduli, prihatin, sinis, acuh tak acuh, dan lain-lain.

Nada dalam berpuisi maksudnya adalah sikap penyair terhadap pembaca. Dalam hal ono penyair bisa mencerminkan sikap memberi nasihat, mengajak merenung, memarahi, mengemukakan opininya, dan lain-lain.

Amanat sebuah puisi pada umumnya berisi semacam renungan akhir inti atau hakikat masalah yang dikemukakan penyair sehingga ada sebuah nafkah batiniah yang diberikan oleh penyair kepada pembaca seputar hidup dan kehidupan. Cakupan amanat lebih khusus dibandingkan tema yang dikemukakan oleh penyair. Jadi, amanat lebih mengacu ke bagian-bagian hidup dan kehidupan. Sebuah puisi memiliki satu tema, tetapi bisa memiliki lebih dari satu/banyak amanat tang dikemukakan penyairnya.


Secara metodologis, sebuah puisi dapat diciptakan melalui cara 1) pilihan kata (diction); 2) daya bayang (imagery); 3) kata-kata konkret (the concrete words ); 4) gaya bahaya (figurative language); 5) ritme (rythm); 6) rima (ryme); dan 7) simbolisme (symbolism)

Pilihan kata (diction)
Sebuah puisi diciptakan oleh penyair berdasarkan penghayatan atas hidup dan kehidupan manusia, baik sebagai pribadi, kolektif, maupun universal. Dalam konteks penyusunan puisi sebagai ekspresi cita rasa sebi dengan media bahasa yang digunakan wajae saj a bola kata-kata yang digunakan dalam sebuah puisi bukanlah sembarang kata biasa, melainkan kata-kata yang: 1) mempunyai cira rasa seni; 2) memiliki nuansa maknawi yang tepat; 3) dan memiliki nilai estetika yang sesuai dengan maksud.

Pilihan kata sangat dipengaruhi oleh kekayaan kosa kata penyair dan referensinya. Seorang penyair bisa terpengaruh oleh penyair lain, baik dalam kosa kata pilihan, pola perlambangan, penafsiran dan penghayatan hidup dan kehidupan, maupun pola pikir/kinerja merumuskan sebuah puisi. Karena itu, amat diperlukan kekayaan refersni bacaan tentang puisi bila kita ingin mengetahui dan mampu menulsi puisi yang baik. Tentu saja hal itu tidak tepat bila dimaknakan sebagai plagiat dan plagiator.

Daya bayang (imagery)

Sebuah pilihan kata amat menentukan daya bayang yang ingin dibentuk oleh seorang penyiar. Dalam hal ini amat diperlukan kekuatan dan kemampuan penulisan kesan inderawi tentang objek yang ingin kita kemukakan. Sebuah objek paling sedikit bisa kita kemukakan secara deskriptif dalam lima sasaran inderawi. Setiap indera mampu menghasilkan beberapa baris puisi. Semua itu sangat dipengaruhi oleh ketajaman inderawi dan kemampuan pengungkapan bahasawi penyairnya. Semua unsur inderawi tersebut juga sangat bisa dilatih dan dibina secara teratur dan terarah.

Kata-Kata Konkret (the concret words)
Sebuah kata mempunyai makna. Makna yang dimaksud mengacu ke benda tertentu berarti kata tersebut bersifat konkret, sedangkan bila sebuah kata mengandung makna konseptual atau pengertian belaka berarti kata tersebut bersifat abstrak. Dalam membuat sebuah puisi sebaiknya kita gunakan kaya-kaya konret sehingga gagasan yang kita kemukakan gamnoang dan mudah dimengerti oleh poembaca, meski ridak lupa terhadap aspek diksi dan keindagan puitisnya. Pilihan kata manakah yang gampang dimengerti langkah cahaya pagi dengan geliat hangat matahari pagi?

Gaya bahasa (figurative language)
Sebuah puisi umumnya terdiri atas serangkaian kata menjadi baris, kemudian baris puisi menjadi bait, dan seterusnya. Di sisi lain maksud yang hendak disampaikan oleh penyair akan terasa lebih imajinatif dan gampang dimengerti oleh pembaca bila penyair juga pangai merangkaikannnya dalam gaya bahasa yangt tepat. Gaya bahasa yang umumnya dipakai adalah metafora, simbolisme, personifikasi, hiperbola, klimaks, dan lain-lain. Kata-kata metaforis bak, laksana, bagai, seperti, ibarat sering digunakan oleh penyair W.S. Rendra sehingga maksud kalimatnya gampang dimengerti dan terasa lebih hidup.

Irama (rhythm)
Baris sebuah puisi terasa lebih indah bila disusun dalam irama bunyi sebagai naluri manusia yang senang berirama. Sentuhan permainan bunyi konsonan maupun vokal dalam baris puisi akan terasa memberikan kenikmatan membaca.

Rima (ryme)
Secara tradisional terutama puisi bentuk lama pada umumnya memiliki peraturan persajakan di akhir baris, misalnya aaaa, abab, dan sejenisnya. Hanya saja dalam puisi baru khususnya puisi bebas hal tersebut tidak diperhatikan. Artinya, kita mau mengakhiri baris puisi dengan rima apa pun boleh saja. Yang penting gagasan kita gampang dan mudah dimengerti oleh pembaca.


Simbolisme (symbolism)
Kadang dalam menyampaikan gagagsan seorang penyair tidak secara terus terang mengatakannya kepada pembaca. Caranya, penyair memanfaatkan lambang atau simbol untuk maksud tertentu. Hal ini tidak bersifat kesepakatan yang ada atau berlaku dalam masyarakat.

Dalam blog-nya T.S. Pinang menulis sebagai berikut. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, diksi berarti "pilihan kata yang tepat dan selaras (dalam penggunaannya) untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu (seperti yang diharapkan)". Seorang pengarang pastilah akrab dengan hal ini, lebih-lebih seorang pengarang puisi atau penyair.

Puisi menuntut seorang penyair untuk dapat mengungkapkan gagasan kreatifnya secara ringkas namun berdaya guna menghasilkan efek tertentu pada pembaca. Dalam hal puisi, tentu saja, efek yang dimaksud tersebut akan sangat bergantung kepada daya apresiasi pembaca atas karya puisi dimaksud. Dalam tulisan ini baiklah efek dimaksud kita sebut saja sebagai "efek puitik", yaitu efek, baik yang kasat mata maupun yang tidak kasat mata, di sisi pembaca sebagai tanggapan atas pembacaannya pada sebuah karya puisi.

Efek puitik ini bisa saja sama atau berbeda antara pembaca satu dengan yang lainnya sebab di dalamnya tercakup unsur-unsur puitik apa saja yang mampu dicerna oleh pembaca tersebut, apakah unsur-unsur estetika, makna, emosi ataukah bahkan unsur spiritual. Daya cerna pembaca satu dengan yang lainnya tentu sangat mungkin berbeda tergantung "bekal puitik" yang dimilikinya.

Penyair, terutama yang masih mula-mula menggauli puisi, sering tergoda untuk memilih kata-kata, frasa, atau idiom yang indah-indah sebagaimana sering dijumpai dalam karya-karya sastra klasik, syair-syair lagu, atau kartu-kartu ucapan hari khusus, seolah-olah kata-kata tersebut serta-merta membuat sebuah sajak menjadi "indah". Estetika bahasa seolah diyakini dapat dicapai melalui penggunaan idiom-idiom yang klise tersebut, yang cenderung "berbunga-bunga".

Efek estetik seakan menjadi satu-satunya yang penting dalam proses penciptaan puisi, sehingga rekan-rekan penyair yang muda pengalaman sering kali melupakan elemen-elemen lain yang tak kalah pentingnya dalam puisi. Bukankah terlalu terpaku pada polesan kosmetika sering beresiko memudarkan inner beauty, "kecantikan dalam", aura seseorang?

Begitu pula puisi, ada "tenaga dalam" yang juga (lebih) perlu mendapatkan perhatian penyair. Diksi, sedikit banyak memegang peranan penting dalam memunculkan kekuatan-kekuatan sebuah karya puisi, baik secara fisik semisal unsur bunyi (musikalitas), keunikan komposisi, maupun secara nonfisik seperti picuan asosiasi makna yang terbangkit dalam benak dan hati pembaca, getar emosi tertentu atau bahkan debar spiritual yang tak terjelaskan yang dirasakan oleh seseorang seusai membaca sebuah karya.

Diksi tentu tak bisa dilepaskan dari kosa kata. Agar seorang penyair mampu mengolah diksi, ia dituntut memiliki perbendaharaan kata yang cukup kaya serta upaya yang tekun dan tak kenal menyerah untuk mencari kemungkinan-kemungkinan bentukan komposisi kata yang unik, segar, dan menyarankan kebaruan pada kadar tertentu. Di dalam puisi setiap kata, frasa atau bahkan larik diupayakan untuk hadir dengan alasan yang lebih kuat daripada sekedar untuk dekorasi semata. Sedapat mungkin kata-kata yang dipilih itu merangkum sebanyak mungkin tenaga potensial puitik, sehingga pada saatnya mampu memicu syaraf-syaraf puitik pembaca. Kata-kata yang dipilih dalam puisi sebaiknya bernas, telak, sekaligus enak didengar dan membekas dalam benak pembaca.

Membekasnya sebuah ucap-ucapan dalam puisi ini bisa jadi dikarenakan idiom tersebut memiliki asosiasi tertentu yang membangkitkan emosi tertentu dalam diri pembaca, mungkin karena mengingatkannya pada pengalaman pribadinya sendiri, atau karena idiom tersebut memiliki keunikan tersendiri baik dalam hal bentuk atau bunyinya, kebaruannya, atau bahkan keusilannya "mengerjai" simpul-simpul syaraf puitik pembaca.

Memperkaya diri dengan bacaan-bacaan lintas disiplin, wawasan bahasa lintas budaya, serta pengalaman berbahasa maupun pengalaman batin secara luas baik dari interaksi dengan orang lain, lingkungan maupun dengan diri sendiri adalah beberapa upaya yang dapat disebut guna mengasah kepekaan diktif seorang penyair. Kekuatan diksi dapat lambat laun dicapai melalui latihan-latihan empirik. Dari situlah mungkin dapat dimengerti mengapa setiap penyair dapat dikenali gaya ucapnya melalui diksi dalam rangkaian karya-karya puisinya.

"Dikenali" di sini lebih bersifat intuitif ketimbang fisik karena seorang penyair yang baik akan selalu berusaha terus mencari dan menemukan idiom-idiom yang belum pernah dipakai, paling tidak oleh dirinya sendiri. Ini tentu akan mengurangi kemungkinan ditemukannya pengulangan-pengulangan dalam karyanya, sehingga "pengenalan" kita atas gaya ucap penyair tersebut akan lebih bersifat menduga-duga sembari merasakan efeknya alih-alih menunjuk pola-pola yang kasat mata, meski tak dapat dimungkiri kadang-kadang tanpa disadari (atau justru disengaja?) seorang penyair memang ada memiliki kata-kata atau frasa "favorit" yang cenderung muncul dalam sejumlah karyanya.

Puisi religius sering memuat istillah yang tak asing lagi dalam idiom-idiom, jargon-jargon agamis yang diambil-tempel (copy-paste) dari kitab agama, khazanah dan kharisma agamis, aforisma religius yang dikutip dari kitab suci, hadis/sabda nabi dan para sufi agung, maupun jargon-jargon religius yang klise lainnya. Religiositas sebuah puisi (atau seorang penyair?) seolah diukur dari berapa fasih penyair mengutip idiom-idiom agamis yang “siap pakai” tersebut.

Biasanya pola seperti ini dilakukan oleh para pendakwah. beban moral dan tanggung jawab nurani penyair sentuhan sanubari berkaitan dengan hakikat hisup dan kehidupan, berlindung di balik falsafah (bagi yang suka, atau menemukan dan mengajari prinsip hidup dan kehidupan baru yang terasa nyaman dan nikmat serta benar bagi yang mampu mengapresiasi dan memahami. Pola penalaran dan pemahaman yang tidak biasa inikah menjadi semacam merk dan karakter pribadi pennyair dalam menjelajahi kemungkinan-kemungkinan baru berkespresi melalui media berbahasa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CERITA PENDEK ON-LINE KARYA SISWA-SISWI KELAS XII IPA 3 TAHUN 2014/2015

CERITA PENDEK ON-LINE KARYA SISWA-SISWI KELAS XII IPA 2 TAHUN 2014/2015

LKS MEMBERIKAN TANGGAPAN-SANGGAHAN-PENOLAKAN PENDAPAT KELAS XII MIPA 6 TAHUN 2015/2016