Nasionalisme Manusia Pribumi terhadap Ketidakadilan Hukum Hindia Belanda dalam Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer
I.
Deskripsi Fisik Buku
1.1 Judul : Bumi
Manusia
1.2 Pengarang : Pramoedya Ananta Toer
1.3 Kota, Penerbit : Jakarta Timur,
Lentera Dipantara
1.4 Tahun Terbit : 2010
1.5 Cetakan Ke- : 16
1.6 Jenis Kertas : Doff
1.7 Jumlah Halaman : 535 halaman
1.8 Ukuran : 13 x 20 Cm
1.9 Harga : Rp 90.000, 00
II. Sinopsis
Roman
Tetralogi Buru mengambil latar belakang nasionalisme manusia pribumi menghadapi
kekejaman dan ketidakadilan hukum Hindia Belanda masa Kolonial Belanda. Di
dalam penjara beberapa karya Pramoedya Ananta Toer lahir, di antaranya Tetralogi
Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa,
Jejak Langkah, dan Rumah Kaca). Salah satu karya Tetralogi Buru novel Bumi Manusia yang telah banyak
diterbitkan dan diterjemahkan ke dalam 34 bahasa asing. Adapun penghargaan yang
telah diraihnya melalui novel Bumi
Manusia, yaitu Freedom to Write Award dari PEN American Center, Amerika
Serikat (1988), Anugerah dari The Fund for Free Expression, New York, Amerika
Serikat (1989), Centenario Pablo Neruda, Republica de Chile (2004),
International PEN English Center, Great Britain (1992), New York Foundation for the Arts Award, New York, Amerika Serikat
(2000), Fukuoka Cultural Grand Prize, Jepang (2000), The Norwegian Authours
Union (2004).
Pada abad ke-19
menuju awal abad ke-20 masih ada perlakuan tak adil dari orang Eropa masa
Kolonial Belanda yang ditujukan untuk manusia pribumi di Bumi Pertiwi ini. Minke
anak manusia pribumi yang dilahirkan dari keturunan raja-raja Jawa, dan juga berdarah
priyayi yang semampu mungkin untuk keluar dari kepompong kejawaanya menuju
manusia bebas dan merdeka. 31 Agustus 1880 anak pribumi, Minke lahir di tanah
Pertiwi pulau gemerlapan di bawah surya khatulistiwa. Orang tua Minke telah
mempercayakan anaknya, Minke untuk mengenyam pendidikan ditengah masyarakat
terpelajar Eropa dan Indo yang dianggap terbaik dan tertinggi nilainya di seluruh
Hindia Belanda, yaitu HBS. Minke, siswa HBS yang tertarik dengan ilmu pengetahuan telah mengubah dirinya menjadi
pribadi yang agak berbeda dari sebangsanya pada umumnya.
Mengenyam pendidikan
di HBS Minke memiliki banyak teman dari kalangan orang Eropa Totok, Indo,
maupun Pribumi. Salah satunya, Robert Surrof, teman sekolah Minke di HBS yang masih memiliki
aliran darah pribumi. Ia jugalah yang mengenalkan Minke dengan keluarga Mallema, yaitu Tuan Herman
Mallema, Nyai Ontosoroh, Robert Mallema, dan gadis cantik keturunan Indo, Annelies
Mallema, pemilik Perusahaan Pertanian, Boerderij
Buitenzorg di Wonokromo. Kemampuan Nyai Ontosoroh untuk memimpin dan
mengembangkan Boerderij Buitenzorg dilakukannya
secara otodidak, namun tak lepas dari arahan dan ajaran Tuan Herman Mallema.
Dari Tuan Herman Mallema pula Nyai Ontosoroh memiliki rasa dendam mendalam terhadap
orang Eropa. Ini dikarenakan, Tuan Herman Mallema yang tidak mau mengajukan
pernikahan secara syah antara Nyai Ontosoroh dan Herman Mallema. Tidak ada
pengakuan hukum secara syah bahwa Robert Mallema dan Annelies Mallema adalah
anak dari Nyai Ontosoroh. Namun Nyai Ontosoroh dianggap sebagai nyai/ gundik
Tuan Mallema. Tak hanya itu, kebencian Nyai Ontosoroh terhadap orang Eropa juga
dikarenakan adanya sikap dan perilaku anak pertama Tuan Mallema dari hasil
pernikahan dengan istrinya yang syah di Nederland, Ir. Maurits Mallema. Sikap
dan perilaku Ir. Maurits Mallema yang sombong dan kejam membuat Tuan Herman
Mallema meninggalkan Nyai Ontosotroh untuk memimpin dan mengembangkan Boerderij Buitenzorg seorang diri.
Perkenalan antara
Minke dengan keluarga Mallema menyiratkan kekaguman Minke terhadap Nyai
Ontosoroh dan ketertarikannya terhadap putri cantik Nyai Ontosoroh, Annelies
Mallema. Hal itu pula, yang membuat Nyai Ontosoroh meminta Minke untuk tinggal
di rumahnya di Wonokromo. Tak lama kemudian, Tuan Herman Mallema pemilik Boerderij Buitenzorg meninggal, sehingga
anak pertama Tuan Mallema, Ir. Maurits Mallema menuntut hak kekuasaan
kepemilikan secara keseluruhan terhadap Boerderij Buitenzorg di Pengadilan
Putih.
Setamat dari HBS, Minke
menikah secara syah dengan Annelies Mallema menurut Mahkamah Agama di Surabaya.
Namun, kebahagiaan pernikahan itu tak berlangsung lama karena kembali lagi
adanya tuntutan dari Ir. Maurits Mallema terhadap kepemilikan Boerderij Buitenzorg dan disertai perwalian/
hak asuh Annelies Mallema. Keputusan Pengadilan Putih yang tidak mengakui
perkawinan Minke dan Annelies Mallema dan juga memindahkan secara paksa
Annelies Mallema ke Nederland tanpa
didampingi oleh Minke maupun Nyai Ontosoroh, hal inilah
yang menunjukkan perilaku kejam orang Eropa yang
ditampilkan oleh pengarang dalam novel ini.
III. Nasionalisme
Manusia Pribumi terhadap Ketidakadilan Hukum Hindia Belanda dalam Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer
3.1 Pendahuluan
3.1.1 Latar Belakang
Penulis memilih novel Bumi Manusia
karena novel ini berisi pemikiran yang luar biasa sehingga menjadikan novel Bumi Manusia sebagai sumbangan Indonesia
untuk dunia. Adapun karya yang telah dibuat Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi
Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa,
Jejak Langkah, dan Rumah Kaca). Penulis memilih salah satu karya Tetralogi
Buru Pramoedya Ananta Toer, novel Bumi
Manusia, ini dikarenakan novel Bumi
Manusia telah banyak diterbitkan dan diterjemahkan ke dalam 34 bahasa asing
di berbagai negara. Di Indonesia saja novel Bumi
Manusia sudah mencapai cetakan ke-16 tahun 2010. Adapun penghargaan yang
telah diraihnya dari novel Bumi Manusia,
yaitu Freedom to Write Award dari PEN American Center, Amerika Serikat (1988),
Anugerah dari The Fund for Free Expression, New York, Amerika Serikat (1989),
Centenario Pablo Neruda, Republica de Chile (2004), International PEN English
Center, Great Britain (1992), New York Foundation for the Arts Award, New York,
Amerika Serikat (2000), Fukuoka Cultural Grand Prize, Jepang (2000), The
Norwegian Authours Union (2004). Hal ini membuktikan bahwa novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer
tergolong novel bermutu yang dapat digunakan untuk telaah buku.
Karya Pramoedya
Ananta Toer tidak hanya tetralogi Buru, namun masih banyak novel lain yang
dibuat oleh Pramoedya. Dari tangannya yang dingin telah lahir lebih dari 50
karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 42 bahasa asing. Banyak penghargaan
yang telah diraih oleh Pramoedya dari hasil karyanya. Kiprah Pramoedya di dunia
sastra dan kebudayaan yang gemilang sehingga ia dianugrahi berbagai penghargaan
internasional, di antaranya: The PEN Freedom-to-write Award pada 1988, Ramon
Magsaysay Award pada 1995, Fakuoka Cultur Grand Price, Jepang pada tahun 2000,
tahun 2003 mendapatkan penghargaan The Norwegian Authours Union dan tahun 2004
Pablo Neruda dari Presiden Republik Chile Senor Ricardo Lagos Escobar. Sampai
akhir hidupnya, Pramoedya adalah satu-satunya wakil Indonesia yang namanya
berkali-kali masuk dalam daftar Kandidat Nobel Sastra.
Nasionalisme manusia
pribumi terhadap ketidakadilan hukum Hindia Belanda dalam novel Bumi manusia karya Pramoedya Ananta
Toer, penulis tekankan menjadi judul telaah buku. Ini dikarenakan, cikalbakal
nation Indonesia di awal abad ke-20 manusia pribumi masih dianggap sebagai
manusia bawah yang tak berpendidikan ditindas secara fisik maupun batin. Akhir
abad ke-19 menuju awal abad ke-20 masa kolonial Belanda menguasai hidup manusia
pribumi di Indonesia, dengan kekuasaan hukum Hindia Belanda yang menindas, menyakiti
dan melecehkan martabat manusia pribumi. Manusia pribumi di abad ini belum
dapat melawan hukum Hindia Belanda yang memiliki kekuasaan hukum kuat di Bumi
Pertiwi ini. Namun, ada manusia pribumi yang memiliki rasa nasionalisme kuat
dalam dirinya untuk melawan kekuasaan hukum Hindia Belanda di Bumi Pertiwi ini.
Hukum Hindia Belanda yang tidak akan memberikan ruang dan kesempatan bagi
manusia pribumi untuk mempertahankan haknya apalagi untuk membela diri
mendapatkan keadilan dan kebenaran.
Minke
dan Nyai Ontosoroh, manusia pribumi yang memiliki rasa nasionalisme untuk melawan
kekejaman dan ketidakadilan orang Eropa. Orang Eropa menggunakan kekuasaannya
untuk menghancurkan manusia pribumi melalui hukum yang dibuatnya. Hukum Hindia
Belanda dibuat hanya untuk keuntungan orang Eropa yang berkeinginan besar untuk
menguasai hidup manusia pribumi, merendahkan, serta melecehkan martabat manusia
pribumi.
3.1.2 Tujuan
3.1.2.1 Menganalisis tindakan nasionalisme manusia
pribumi terhadap ketidakadilan hukum Hindia Belanda dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta
Toer.
3.1.2.2 Meningkatkan dan memupuk rasa nasionalisme
dan semangat kebangsaan sebagai rakyat Indonesia di zaman modern ini.
3.1.2.3 Mengembangkan dan memupuk kecintaan
terhadap ilmu pengetahuan, budaya bangsa sendiri, dan berpikir kritis serta terbuka
menerima hal-hal baru yang positif.
3.1.3 Rumusan masalah
Bagaimana
tindakan nasionalisme manusia pribumi terhadap ketidakadilan hukum Hindia
Belanda dalam novel Bumi Manusia karya
Pramoedya Ananta Toer?
3.2 Analisis
3.2.1 Landasan
Teori
Rasa
nasionalisme perlu ditanamkan dalam diri setiap warga negara yang tinggal dalam
naungan suatu negara. Rasa nasionalisme merupakan bentuk kecintaaan dan
kesetiaan terhadap sesuatu hal, seperti kecintaan dan kesetiaan terhadap
keluarga, bangsa dan negara. Sebagai generasi penerus bangsa rasa nasionalisme
dan semangat kebersamaan terhadap bangsa dan negara harus dimiliki karena dapat
memacu dan menciptakan persatuan. Memiliki rasa nasionalisme dapat menciptakan
dan mempertahankan hak, kepemilikan/ kepunyaan, dan kedaulatan sebuah negara. Rasa
nasionalisme perlu dipertahankan dan dikembangkan untuk melawan bentuk
ketidakadilan, seperti bentuk ketidakadilan didalam negeri maupun di luar
negeri. Memiliki rasa nasionalisme sama dengan memiliki benteng pertahanan
untuk melawan ketidakadilan dan mempertahankan hak, kepemilikan/ kepunyaan yang
seharusnya dimiliki.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (http://kamusbahasaindonesia.org/ nasionalisme, diakses 31 Oktober 2011, pukul 14.50 WIB) mengungkapkan,
“(1) Paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri; sifat
kenasionalan: makin menjiwai bangsa Indonesia; (2) kesadaran keanggotaan di
suatu bangsa yg secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai,
mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan
kekuatan bangsa itu; semangat kebangsaan”.[1]
Kellas (1998) dalam Akatsuki (http://akatsuki-time.blogspot.com/2011/01/ nasionalisme-kemerdekaan.html,
diakses 30 Oktober 2011, pukul 16.37 WIB) mengemukakan, “Sebagai suatu
ideologi, nasionalisme membangun kesadaran rakyat sebagai suatu bangsa serta
memberi seperangkat sikap dan program tindakan. Tingkah laku seorang nasionalis
didasarkan pada perasaan menjadi bagian dari suatu komunitas bangsa”.[2]
Awal muncul nasionalisme
Indonesia karena adanya kolonialisme. Pengalaman penderitaan, penindasan dan kekejaman orang Eropa terhadap kaum Pribumi,
melahirkan semangat solidaritas sebagai satu komunitas yang mesti bangkit dan
hidup menjadi bangsa merdeka. Semangat nasionalisme dan kebangsaan oleh para
pejuang kemerdekaan dihidupi tidak hanya dalam batas waktu tertentu,
tetapi terus-menerus hingga kini dan masa mendatang.
tetapi terus-menerus hingga kini dan masa mendatang.
Pada masa sekarang ini satu
hal yang perlu dibenahi oleh bangsa Indonesia adalah mentalitas warga
masyarakatnya. Sikap mental yang kuat, berpikir kritis dan konsisten serta
mampu mengeksplorasi diri adalah salah satu bentuk konkrit yang dibutuhkan
bangsa Indonesia pada saat ini.
Renan (1882) dalam Yohana (http://firzarani.wordpress.com/2010/03/10/
pengertian-dan-arti-hakikat-bangsa-menurut-beberapa-ahli/, diakses 31 Oktober 15.55
WIB) mengungkapkan,
“Nasionalisme bisa jadi dalam suatu komunitas yang
multi etnis, persatuan agama juga diperlukan untuk kebangkitan nasionalisme,
persatuan bahasa mempermudah perkembangan nasionalisme tetapi tidak mutlak
diperlukan untuk kebangkitan nasionalisme. Dalam hal nasionalisme,
syarat yang mutlak dan utama adalah adanya kemauan dan
tekad bersama”.[3]
Sikap
dan tindakan untuk melawan kekejaman dengan segala upaya berjuang menegakkan
kebenaran dan memperoleh keadilan. Tidak menyerah dan berani untuk mengungkap
kebenaran dari tindakan kekejaman yang dilakukan oleh orang yang berkuasa. Menempatkan
segala sesuatu sesuai tempat yang semestinya tidak menggangu hak milik orang
lain, itulah keadilan. Bukan merebut, merampas hak milik orang lain secara
paksa. Menyakiti, menindas pikiran, batin, fisik, jiwa dan raga orang yang
lemah dengan kekuasaan yang dimiliki.
Wikipedia bahasa Indonesia ensiklopedia bebas mengungkapkan bahwa,
keadilan adalah kondisi kebenaran
ideal secara moral
mengenai sesuatu hal menyangkut benda
atau orang, sesuatu yang berkaitan dengan keadilan memiliki tingkat kepentingan
yang besar (http://id.wikipedia.org/wiki/Keadilan, 28 Oktober 2011, pukul
15.00 WIB).[4]
Rawls
dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Keadilan
(diakses 28 Oktober 2011, pukul 15.00 WIB) mengatakan, "Keadilan adalah
kelebihan (virtue) pertama dari institusi sosial, sebagaimana halnya
kebenaran pada sistem pemikiran”.[5]
Negel dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Keadilan
(diakses 28 Oktober 2011, pukul 15.00 WIB) mengungkapkan, “Apabila keadilan
belum lagi tercapai: Kita tidak hidup di dunia yang adil”.[6]
Bentuk
ketidakadilan dapat dilawan dengan rasa nasionalisme yang tinggi. Adapun
pendapat yang dikemukan oleh salah satu para ahli yaitu, Kellas bahwa nasionalisme
Sebagai suatu ideologi untuk membangun kesadaran rakyat sebagai suatu
bangsa yang memberikan sumbangan semangat persatuan melawan bentuk ketidakdilan
dan kekejaman. Tingkah laku seorang nasionalis didasarkan pada perasaan menjadi
bagian dari suatu komunitas bangsa. Selain itu, ada pula pendapat salah satu
tokoh yang berperanan penting dalam menyumbangkan buah pikirannya mengenai arti
nasionalisme, Renan. Renan berpendapat bahwa nasionalisme merupakan semangat
persatuan dari berbagai komunitas yang multi etnis, persatuan agama juga diperlukan untuk kebangkitan
nasionalisme, semangat persatuan untuk mempertahankan budaya dan jati diri
bangsa dan negara yang sesungguhnya. Karena
syarat mutlak dan utama untuk mengembangkan rasa nasionalisme
adalah adanya kemauan dan tekad bersama.
Dari
dua pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tersebut didapatlah bahwa tindakan nasionalisme manusia pribumi masa
kolonialisme Belanda telah ada dan ditunjukkan serta dikembangkan,
dipertahankan dengan baik. Ini terlihat dari isi novel Pramoedya Ananta Toer,
yaitu tokoh Minke, Nyai Ontososroh, Jean Marais, dan Darsam yang memiliki latar belakang kehidupan yang
berbeda digunakan oleh pengarang untuk menunjukkan bahwa manusia pribumi telah
memiliki rasa nasionalisme yang begitu kuat dalam dirinya masa kolonialisme
Belanda. Melalui tokoh-tokoh tersebut pengarang berhasil menciptakan dan mempertahankan
rasa nasionalisme untuk melawan kekejaman dan ketidakadilan orang Eropa
terlebih lagi melawan hukum Hindia Belanda yang kuat di Bumi Pertiwi ini.
3.2.2 Aplikasi
Novel Bumi Manusia dikemas dalam 20 bab oleh
pengarangnya. Novel yang berisi pemikiran luar biasa, kritis dan tajam mampu
membawa pembacanya terhanyut dalam cerita dan memahami rasa nasionalisme,
pikiran dan akal budi.
Pemikiran luar
biasa mengenai nilai kehidupan dari seorang terpelajar dapat terlihat dalam Bab 3 tatkala membuat pembaca semakin penasaran dengan
kelanjutannya.
Pendapat
umum perlu dan harus diindahkan, dihormati, kalau benar. Kalau salah, mengapa
dihormati dan diindahkan? Kau terpelajar, Minke, seorang terpelajar harus juga
belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Itulah
memang arti terpelajar itu.
(Toer, 2010: 77)
Dalam novel ini
juga terdapat sejarah perjuangan bangsa Aceh yang bukan saja pandai megertak,
juga ulet dan keras seperti baja. Kelebihan anak manusia pribumi melawan sampai
mati dengan segala kemampuan dan ketakmampuan. Mereka kalah, tapi tetap melawan.
Ini terlihat dalam Bab 3 Minke merenungkan cerita perjuangan sahabatnya, Jean
Marais (orang Prancis) sewaktu sebagai anggota Kompeni di Aceh. Pengarang
memasukkan unsur nasionalisme manusia pribumi terhadap penindasan dan
ketidakadilan masa Kolonial Belanda.
Pengalaman
ia di Aceh membikin ia mengakui: prasangkanya tentang kemampuan perang Pribumi
ternyata keliru. Kemampuan mereka tinggi, hanya peralatannya rendah; kamampuan
berorganisasi juga tinggi. Sebaliknya ia juga mengakui kehebatan Belanda dalam
memilih tentara perang.
(Toer, 2010: 86)
Keberanian
manusia pribumi untuk melawan kekejaman Belanda, mempertahankan yang jadi
haknya tanpa mengindahkan maut. Sikap keberanian manusia pribumi oleh pengarang
dicantumkan dalam Novel ini. Melalui tokoh Jean Marais, sahabat Minke,
pengarang menunjukkan betapa besar pengorbanan dan perjuangan manusia pribumi
untuk mendapatkan hak yang seharusnya mereka miliki.
Seorang
panglima Aceh, Tjoet Ali, sudah kehilangan banyak kekuatan dan daerah, namun
tetap dapat mempertahankan ketingggian semangat pasukannya—suatu rahasia yang
tak dapat aku pecahkan. Mereka tetap bertempur, bukan hanya melawan Kompeni,
juga melawan kehancurannya sendiri.
(Toer,
2010: 87)
Dari isi surat
Miriam de la Croix untuk Minke juga digunakan oleh Pramoedya Ananta Toer untuk
menggambarkan nasionalisme manusia pribumi di Bumi Pertiwi ini melawan
penindasan Eropa.
Di malam
sunyi dalam gedung kami yang besar dan lenggang ini, apabila papa tidak lelah,
sukalah kami mendengarkan uraiannya tentang nasib bangsamu, yang pernah
melahirkan baratus dan beribu pahlawan dan pemimpin dalam usaha menghalau
penindasan Eropa. Seorang demi seorang dari mereka jatuh, kalah, tewas,
menyerah, gila, mati dalam kehinaan, dilupakan dalam pembuangan. Tak seorang
pun pernah memenangkan perang.
(Toer, 2010: 285)
Pramoedya
Ananta Toer juga menggambarkan kekejaman dan ketidakadilan orang Eropa terhadap
manusia pribumi, melalui isi surat Miriam de la Croix yang ditujukan untuk
Minke.
Bangsa
besar dan gagah-perwira itu terus juga mencoba mengangkat kepala dari permukaan
air, dan setiap kali bangsa Eropa memperosokkan kembali kepalanya ke bawah.
Bangsa Eropa tidak rela melihat Pribumi menjengukkan kepala pada udara melihat
keangungan ciptaan Allah. Mereka terus berusaha dan terus kalah sampai tak tahu
lagi usaha dan kekalahannya sendiri.
(Toer, 2010: 285)
Minke juga
digunakan oleh Pramoedya Ananta Toer untuk menunjukkan bentuk diskriminasi orang
Eropa terhadap manusia pribumi. Diskriminasi yang mencemooh manusia pribumi
dengan kekuasaan yang dimiliki orang Eropa atas Bumi Pertiwi ini. Minke yang
menerapkan dan mengajukan ideologinya sebagai ungkapan rasa nasionalisme.
Kalau pribumi
tak punya nama keluarga memang mereka tidak atau belum membutuhkan, dan itu
tidak berarti hina. Kalau Nederland tak punya Prambanan dan Barabudur, jelas
pada jamannya Jawa lebuh maju daripada Nederland. Kalau Nederland sampai
sekarang tak mempunyainya, ya, karena memang
tidak membutuhkan ....
(Toer,
2010: 322)
Jean
Marais adalah orang Eropa Prancis dan juga seorang pelukis cerdas. Ia juga
sekaligus mantan anggota Kompeni Belanda di Aceh. Dari tokoh Jean Marais juga
digunakan oleh pengarang untuk menggambarkan nasionalisme gagah berani orang
Aceh terhadap tindak kekejaman Kompeni Belanda.
Tahu kau,
Minke, sebagai orang Eropa aku sudah sangat malu telah ikut campur dalam soal
kolonial. Kira-kira sama dengan orang yang kau ceritakan itu, orang kita
sama-sama tidak kenal. Aku telah ikut berperang di Aceh, hanya karena tadinya
menduga Pribumi takkan mampu melawan. Ternyata mereka melawan, dan melawan
benar, tidak kepalang tanggung. Gagah-berani pula, seperti dalam banyak perang
besar di Eropa. Pengalaman Aceh yang memalukan itu, Minke: alat-alat perang
terbaru Eropa melawan daging manusia Aceh. Karena kau menanyakan pendapatkku,
aku akan menjawab, setelah itu jangan lagi ajukan soal yang menyiksa nuraniku.
(Toer, 2010: 333-334)
Nyai
Ontosoroh alias Sanikem adalah seorang gundik orang Eropa, Tuan Herman Mallema.
Ia menyimpan dendam yang mendalam terhadap sikap dan perilaku orang Eropa. Nyai
Ontosoroh yang digunakan oleh Pramoedya Ananta Toer untuk mengungkapkan sikap
dan perilaku semena-mena, kejam, jahat, dan angkuh orang Eropa masa Kolonial
Belanda.
Tak bisa
mereka melihat Pribumi tidak penyek terinjak-injak kakinya. Bagi mereka Pribumi
mesti salah, orang Eropa harus bersih , jadi mereka pribumi mesti salah, orang
Eropa mesti bersih, jadi pribumi pun
sudah salah. Dilahirkan sebagai Pribumi lebih salah lagi. Kita, menghadapi
keadaan yang lebih sulit , Minke anakku!
(Toer, 2010: 413)
Bentuk
ketidakadilan hukum Hindia Belanda masa Kolonial Belanda terhadap manusia pribumi.
Ini terlihat dalam Bab 16 percakapan antara Minke dan Nyai Ontosoroh yang
digunakan pengarang untuk menunjukkan ketidakadilan hukum, jaksa dan hakim terhadap
manusia pribumi.
Tapi di
depan hukum kau tak bakal menang. Kau menghadapi orang Eropa, Nyo.
Sampai-sampai jaksa dan hakim akan mengeroyok kau, dan kau tak punya pengalaman
pengadilan. Tidak semua pokrol dan advokat bisa dipercaya, apalagi kalau
soalnya Pribumi menggungat Eropa. Tulisan itu jawab saja dengan tulisan. Tantang
dia dengan tulisan juga.
(Toer,
2010: 414)
Juffrouw Magda
Peters, seorang guru perempuan dari Eropa yang juga digunakan oleh Pramoedya Ananta
Toer untuk mengungkapkan keburukan, kejahatan orang Eropa. Menginjak-injak
harga diri manusia yang bukan Eropa apalagi yang bukan tergabung dalam
kehidupan kolonial.
Memang
begitu kehidupan kolonial di mana saja: Asia, Afrika, Amerika, Australia. Semua
yang tidak Eropa, lebih-lebih tidak kolonial, diinjak, ditertawakan, dihina,
hanya untuk berpamer tentang keunggulan Eropa dan keperkasaan kolonial, dalam
segala hal—mereka hanya petualang dan orang tidak laku di Eropa sana. Di sini
mereka berlagak lebih Eropa. Sampah itu.
(Toer, 2010: 416)
Pengadilan yang
seharusnya bertindak adil dan memberi pengayoman terhadap manusia manapun tanpa
membedakan bangsa, agama, suku, ras dan etnis. Namun, Pengadilan yang sebagian
besar di pimpin oleh orang Eropa membuat pengadilan ini bertindak semena-mena terhadap
manusia pribumi.
Ya,
pengadilan itu memang cukup kurangajar. Jaksa dengan sengaja hendak
mengobrak-abrik kehidupan kami di depan umum sebagai sambungan dari perasaan
Robert Surrof.
(Toer, 2010: 425)
Sikap
Nyai Ontosoroh yang digunakan oleh Pramoedya Ananta Toer untuk mengungkapkan
ketidakadilan hukum Hindia Belanda masa Kolonial Belanda. Hukum yang digunakan
untuk menghina, melecehkan, dan menindas fisik dan batin manusia pribumi. Hukum
Hindia Belanda yang lebih mengagungkan sikap dan tindakan orang Eropa dan
menganggap rendah semua tindakan manusia pribumi.
Dari
kegundikanku lahir Annelies. Tak ada yang menggugat hubunganku dengan mendiang
Tuan Mallema, hanya karena dia Eropa Totok. Mengapa hubungan antara anakku dengan Tuan Minke dipersoalkan? Hanya
karena Tuan Minke Pribumi? Mengapa tidak disinggung hampir semua orangtua
golongan Indo? Antara aku dengan Tuan Mallema ada ikatan perbudakan yang tidak
pernah digugat oleh hukum. Antara anakku dan dengan Tuan Minke ada cinta
mencintai yang sama tulus. Memang belum ada ikatan hukum. Tanpa ikatan itu pun
anak-anakku lahir, dan tak ada seorang pun yang berkeberatan. Orang Eropa dapat
membeli perempuan Pribumi seperti diriku ini. Apa pembelian ini lebih benar
daripada percintaan tulus? Kalau orang Eropa boleh berbuat karena, keunggulan
uang dan kekuasaannya, mengapa kalau Pribumi jadi ejekan, justru kerena cinta
tulus.
(Toer,
2010: 426)
Sikap
Nyai Ontosoroh yang menuntut keadilan dan kebenaran adalah bentuk Nasionalisme
manusia pribumi yang juga ditunjukkan oleh pengarang. Ini terlihat dalam Bab 17,
Nyai Ontosoroh sebagai manusia pribumi menuntut keadilan dan hak yang
seharusnya ia dapatkan dari keputusan Pengadilan Putih.
Annelies,
anakku, Tuan, hanya seorang Indo, maka tidak boleh melakukan apa yang dilakukan
bapaknya? Aku yang melahirkan, membesarkan dan mendidik, tanpa bantuan satu sen
pun dari Tuan-Tuan yang terhormat. Atau bukan aku yang telah bertanggungjawab
atasnya selama ini? Tuan-Tuan sama sekali tidak pernah bersusah- payah
untuknya. Mengapa usil?
(Toer, 2010: 427)
Sikap
dan perilaku jahat, merendahkan manusia pribumi, licik, dan semena-mena orang
Eropa ditunjukkan oleh pengarang melalui sikap berani Nyai Ontosoroh melawan
tindakan kekejaman, dan keangkuhan tuan-tuan bangsa Eropa.
Siapa
yang menjadikan aku gundik? Siapa yang membikin mereka jadi nyai-nyai?
Tuan-tuan bangsa Eropa, yang dipertuan. Mengapa di forum resmi kami
ditertawakan? Dihinakan? Apa Tuan-Tuan menghendaki anakku juga jadi gundik?
(Toer,
2010: 427)
Sikap
perlawanan manusia pribumi terhadap golongan Indo Eropa maupun orang Eropa yang
dibuat melalui tulisan oleh seorang Penulis Koran, Kommers. Tujuannya untuk
mengungkapkan perbuatan buruk, licik dan semena-mena jaksa dan hakim yang
sebagian besar dipimpin oleh orang Eropa. Penyalahgunaan fungsi pengadilan oleh
orang Eropa yang memonopoli dan mempermainkan kebenaran.
Tulisnya,
perbuatan jaksa dan hakim itu menghina semua golongan Indo Eropa yang berasal
dari pergundikan dan pernyaian. Anak-anak mereka, kalau diakui ayahnya, menjadi
bukan Pribumi. Tidak diakui menjadi Pribumi. Artinya: Pribumi sama dengan anak
gundik yang tidak diakui sang ayah. Ia juga mengecam pengungkapan perkara pribadi.
Kommer menilai jaksa dan hakim itu tidak berbudi Eropa, lebih buruk dari
pengadilan Pribumi yang dilakukan Wiroguno, atas diri Pronocitro—barang
duaratus limapuluh tahunan yang lalu. Minke siapa mereka? Aku tak tahu.
(Toer, 2010: 430)
Sikap
kepasrahan Minke kepada Allah terhadap situasi yang sedang dihadapinya
digambarkan oleh Pramoedya Ananta Toer. Ini terlihat dalam Bab 17 kepasrahan
dan kenelangsaan manusia pribumi, Minke dalam menghadapi kekejaman Orang Eropa.
Ya,
Allah, juga kenelangsaan bisa menghasilkan sesuatu tentang umatMu sendiri, kau
jugalah perintahkan umat untuk untuk
berbangsa-bangsa dan berbiak. Hubungan laki- perempuan yang terjadi karena
perbedaan kemampuan sosial dan eknomi bisa kau ridhai. Mengapa hubungan
sukarela tanpa perbedaan sosial ekonomi begini, hanya karena belum menurut
aturanMu? Dan semua itu telah kau biarkan terjadi, melahirkan golongan Indo
yang begitu berkuasa atas mereka yang lahir dengan keridhaanMu?
(Toer,
2010: 432)
Keberhasilan
Minke, anak manusia pribumi dalam meraih prestasi membanggakan di HBS. Prestasi
anak manusia pribumi yang berada di atas
anak Eropa di Hindia Belanda.
Aku
gemetar. Tak pernah aku duga. Dan memang tidak terpikirkan oleh seorang siswa Pribumi
boleh berada di atas anak Eropa. Yang demikian tabu di Hindia Belanda ini.
(Toer,
2010: 446)
Kemarahan
Minke yang ditujukan untuk orang Eropa karena penghakimannya semena-mena. Orang
Eropa yang sebagian besar terpelajar justru berbuat tidak adil terhadap orang
yang lemah.
Bagaimana
harus membela diri terhadap penghakiman tak semena-mena ini? Barangkah hanya
Jean Marais saja yang mengajarkan: harus adil sudah sejak dalam pikiran.
Ternyata orang Eropa sendiri, dan bukan orang sembarangan pula, yang justru berbuat
tidak adil dalam perbuatan.
(Toer,
2010: 480)
Minke
yang digunakan oleh pengarang untuk menunjukkan kekejaman orang Eropa yang tak
menghiraukan jernih payah, kepunyaan, dan hak orang lain. Ini terlihat dalam
Bab 19 manusia pribumi diremehkan, dihina dan dilecehkan dengan kekuasaan orang
Eropa di Bumi Pertiwi ini.
Rasanya
aku menjadi pingsan membacai surat-surat resmi dengan bahasa yang dipergunakan
begitu aneh. Sedikit dari isinya dapat kupahami benar: tak mengandung perasaan
manusia—menganggap manusia-manusia hanya sebagai inventaris.
(Toer, 2010: 486)
Sikap
dan perilaku ketidakadilan orang Eropa yang merampas apa saja yang mereka ingin
kuasai tanpa pandang bulu. Hidup manusia pribumi yang tak ada harganya di
hadapan orang Eropa, tak ada ruang dan kesempatan bagi manusia pribumi untuk
mempertahankan haknya.
Dalam
mendengarkan itu terngiang-ngiang kata-kata Bunda: Belanda sangat, sangat
berkuasa, namun tidak merampas istri orang seperti raja-raja Jawa. Bunda? Tidak
lain dari menantumu, istriku, kini terancam akan mereka rampas, merampas anak
dari ibunya, istri dari suaminya, dan hendak merampas juga jernih-payah Mama
selama lebih dari duapuluh tahun tanpa mengenal hari libur. Semua hanya
didasarkan pada surat-surat indah jurutulis ahli, dengan tinta hitam tak luntur
yang menembus sampai setengah tebal kertas.
(Toer,
2010: 487)
Pengadilan Putih atas dasar Hukum Hindia Belanda yang dipimpin oleh orang
Eropa terpelajar justru berperilaku menghina, melecehkan, dan merendahkan
manusia pribumi. Ini terlihat dalam Bab 19 diungkapkan oleh pengarang bahwa
Hukum Hindia Belanda berlawanan dengan keadilan.
Bagaimana
bisa sebuah pengadilan, Pengadilan Putih pula, dengan orang-orang yang sangat
terpelajar dan berpengalaman mengurusi keadilan, bergelar Meester, bisa bekerja
memperlakukan hukum yang begitu berlawanan dengan perasaan hukum kami? Dengan
perasaan keadilan kami?
(Toer,
2010: 489)
Sikap
dan tindakan pantang menyerah, rasa nasionalisme dan mempertahankan hak dan
kepunyaan sampai tidak bisa melawan lagi. Sikap pantang menyerah Minke
digunakan oleh Pramoedya Ananta Toer untuk mengungkapkan, tidak pernah surut
perjuangan manusia pribumi melawan tindak kekejaman dan penindasan orang Eropa.
Pada saat
itu juga aku mengerti, kami akan kalah dan kewajiban kami hanya melawan,
membela hak-hak kami, sampai tidak bisa melawan lagi—seperti bangsa Aceh di
hadapan Belanda menurut cerita Jean Marais. Mama juga menunduk. Ia justru yang
lebih daripada hanya mengerti. Ia akan kehilangan semua: anak, perusahaan, jernih-payah,
dan milik pribadi.
(Toer, 2010: 493)
Minke
menyadari bahwa manusia pribumi lemah di hadapan Orang Eropa. Ini terlihat
dalam Bab 19 pengarang mengungkapkan orang Eropa berkuasa atas hidup dan kebebasan
manusia pribumi.
Benar,
ini tak lain dari perkara bangsa kulit putih menelan Pribumi, menelan Mama,
Annelies dan aku. Barangkali ini yag dinamai perkara kolonial—sekiranya
penjelasan Magda Peters benar-benar—perkara menelan Pribumi bangsa jajahan.
(Toer,
2010: 49)
Sikap
penghinaan dan pelecehan koran kolonial terhadap Hukum Agama di Surabaya. Dalam
hal ini penggarang menunjukkan bahwa sikap dan perilaku orang Eropa sangatlah
tak berperasaan dan tak berperikeadilan.
Mahkamah
Agama di Surabaya mengeluarkan pernyataan: perkawinan kami syah dan dapat
dipertanggungjawabkan, tidak dapat diganggu-gugat. Sebaliknya beberapa koran
kolonial mengejek, memaki dan melecehkan. Koran Nijman dan Kommers sibuk
menyingkat pernyataan-pernyataan tersebut.
(Toer, 2010: 509)
Sikap
dan tindakan kemarahan, kemurkaan
manusia pribumi dari berbagai elemen, yaitu serombongan orang Madura
yang dipimpin oleh Darsam. Tokoh Darsam yang digunakan pengarang untuk
menunjukkan rasa nasionalisme yang begitu kuat dalam diri manusia pribumi untuk
melawan kekejaman orang Eropa yang semena-mena dalam mengeluarkan keputusan tak
berperikemanusiaan.
Keputusan
Pengadilan Surabaya menerbitkan amarah banyak orang dan golongan. Serombongan orang
Madura, bersenjata parang dan sabit besar, clurit, telah mengepung rumah kami,
menyerang orang Eropa dan hamba negeri yang berusaha memasuki pelataran rumah
kami.
(Toer, 2010: 511)
Keputusan
Pengadilan Amsterdam yang kejam, tidak
berperikemanusiaan dan tak terlawankan. Kebenaran dan keadilan yang
sengaja dipermainkan oleh orang Eropa.
Kurasa
sudah kuusahakan segala yang aku bisa, dan aku kalah. Pengadilan Amsterdam tak
terlawankan. Pengadilan Putih Surabaya menyatakan: kami berdua tak ada sangkut-
paut dengan istriku.
(Toer, 2010: 523)
Sikap
keputusasaan dan kesedihan Minke terhadap keputusan akhir Pengadilan Amsterdam
yang mengharuskan Minke merelakan istrinya pergi ke Negeri Eropa, Nederland.
Aku sudah
tak tahu sesuatu. Tiba-tiba kudengar suara tangisku sendiri, Bunda, putramu
kalah. Putramu tersayang tidak lari, Bunda, bukan kriminil, biarpun tak mampu
membela istri sendiri, menantumu. Sebegini lemah Pribumi di hadapan Eropa?
Eropa! Kau, guruku, begini macam perbuatanmu? Sampai-sampai istriku yang tak
tahu banyak tentangmu kini kehilangan kepercayaan pada dunianya yang kecil—dunia
tanpa keamanan dan jaminan bagi dirinya seorang. Hanya seorang.
(Toer, 2010: 534)
Percakapan antara
Nyai Ontosoroh dan Minke yang digunakan oleh pengarang untuk menunjukkan bahwa
manusia pribumi mampu melawan kekuasaan hukum Hindia Belanda yang begitu kuat.
Walaupun kekalahan pula yang didapatkan oleh manusia pribumi dalam menghadapi
kekuasaan hukum kuat Hindia Belanda.
Kita
kalah, Ma, bisikku.
Kita
telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.
(Toer, 2010: 534)
3.2.3 Simpulan
3.2.3.1 Nasionalisme
manusia pribumi diwujudkan untuk melawan penjajahan Kolonial Belanda dengan
segala upaya untuk mendapatkan keadilan dan kebenaran.
3.2.3.2 Semangat
kebangsaan dan nasionalisme manusia pribumi untuk mempertahankan haknya, kepunyaannya
terhadap penindasan, kekejaman, dan bentuk ketidakadilan Kolonial Belanda.
3.2.3.3 Muncul
nasionalisme manusia pribumi karena adanya kolonialisme. Pengalaman
penderitaan, penindasan dan kekejaman orang
Eropa menjadikan kaum pribumi bertekad keras, sekuat tenaga dengan kemampuan
dan ketidakmampuan melawan penindasan, kekejaman dan ketidakadilan hukum Hindia
Belanda.
3.2.3.4 Kebangkitan
nasionalisme dan semangat persatuan untuk mempertahankan jati diri bangsa dan
negara yang sesungguhnya. Karena syarat mutlak dan utama untuk menciptakan
dan mengembangkan rasa nasionalisme adalah adanya kemauan dan
tekad bersama.
IV. Penutup
4.1 Keunggulan
Novel Bumi Manusia
Novel Bumi Manusia mengemukakan semangat nasionalisme manusia pribumi
untuk mendapatkan haknya di negeri sendiri dan bebas dari belenggu tindak
kekejaman dan ketidakadilan orang Eropa. Tokoh-tokoh dalam novel ini
digambarkan secara rinci dan jelas sehingga pembaca dapat dengan mudah mengerti
karakter/ watak dari masing-masing tokoh. Dari tokoh-tokoh dalam novel ini,
Pramoedya Ananta Toer, berhasil menunjukkan rasa nasionalisme yang begitu kuat
ditanamkan dalam diri manusia pribumi masa Kolonial Belanda. Novel Bumi
Manusia mampu mendeskripsikan tindakan
kekejaman dan ketidakadilan melalui hukum Hindia Belanda masa Kolonial
Belanda terhadap manusia pribumi secara jelas, kompleks dari satu bagian cerita
ke cerita yang lainnya. Penyelesaian bagian-bagian cerita dijelaskan Pramoedya
Ananta Toer melalui penggunaan bahasa yang lugas dan berisi sehingga dapat
dipahami pembaca.
Melalui
novel Bumi Manusia, Pramoedya Ananta
Toer berani mengungkapkan sikap dan tindakan penindasan, kekejaman, dan
kelicikan orang Eropa. Keberanian Pramoedya Ananta Toer dalam mengungkapkan
kekolotan tradisi Jawa pada masa itu bahkan hingga membuat generasi muda tidak
ingin mengikuti tradisi Jawa dan lebih memilih keluar dari kepompong kejawaan
untuk hidup bebas dan merdeka.
Dalam mendeskripsikan situasi konflik, orang,
sesuatu bentuk, benda ataupun barang dengan terperinci dan jelas sehingga
pembaca dapat membayangkan situasi yang terjadi, menggugah emosi dan ikut
terhanyut ke dalam cerita. Novel ini dikemas dalam rangkaian kata yang menarik dan deskriptif sehingga
memberikan peluang kepada pembaca untuk mengembangkan imajinasinya. Menyampaikan nilai-nilai moral dan edukatif
sehingga dapat dipelajari dan diterapkan pembaca dalam kehidupan sekarang ini.
Adapun kata bijak Pramoedya melalui tokoh Jean Marais dalam novel Bumi Manusia, seorang terpelajar harus
juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.
Adapun perbandingan rasa nasionalisme novel Bumi Manusia dan novel Tanah Air Beta dapat disimpulkan bahwa
nasionalisme dalam novel Tanah Air Beta
tidak berkaitan dengan tindakan penjajahan atau kekejaman Kolonial. Persamaan
novel Tanah Air Beta dan novel Bumi Manusia adalah bentuk perjuangan
dan rasa nasionalisme sekelompok orang untuk mendapatkan kehidupan yang layak
bersama keluarga, mendapatkan hak yang semestinya serta untuk memperoleh
kemerdekaan dan kebebasan hidup di negeri sendiri.
4.2 Kelemahan
Novel Bumi Manusia
Novel Bumi Manusia memang karya sastra yang
amat penting dalam sastra Indonesia dengan karakteristik bercerita pengarangnya
yang khas mempengaruhi pikiran dan emosi pembaca dengan situasi konflik yang
menegangkan. Hanya saja novel ini sedikit membinggungkan pembaca di awal
cerita, karena banyak tokoh yang di maksudkan dalam cerita yang belum
diperkenalkan karakter tokohnya. Pada bagian awal tempo cerita memang terkesan
sangat lambat bahkan kemungkinan membosankan. Ada pula beberapa kata asing yang
tidak diberi catatan kaki sehingga membinggungkan pembaca untuk mengetahui
maksud kata dalam cerita tersebut, misalnya kata sassus, Missie, dan Zending.
[1] Dikutip dalam Definisi
Nasionalisme dalam http://kamusbahasaindonesia.org/nasionalisme,
diakses 31 Oktober 2011, pukul
14.50 WIB.
[2] Akatsuki. 2011. Nasionalisme Kemerdekaan. http://akatsuki-time.blogspot.com/2011/01/nasionalisme-kemerdekaan.html,
diakses 30 Oktober 2011, pukul 16.37 WIB.
[3] Yohana, Firzarani. 2010. Pengertian dan Arti Hakikat Bangsa Menurut Beberapa Ahli. http://firzarani.wordpress.com/2010/03/10/pengertian-dan-arti-hakikat-bangsa-menurut-beberapa-ahli/,
diakses 31 Oktober 15.55 WIB.
[4] Dikutip dalam Keadilan dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Keadilan, diakses 28 Oktober 2011, pukul
15.00 WIB.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
Komentar
Posting Komentar
Gunakan nama dan email masing-masing! Harap ditulis nama, kelas, dan nomor absen.