Nasionalisme Kaum Pribumi Melawan Diskriminasi Kaum Eropa pada Masa Kolonial Belanda dalam Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer


Karya Reny, Kelas XII IPA 4 2011/2012

(Disusun untuk Memenuhi Tugas Karya Tulis Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Tahun 2011/2012)
I.          Deskripsi Fisik Buku
    1.1 Judul                             : Bumi Manusia
    1.2 Pengarang                     : Pramoedya Ananta Toer
    1.3 Kota, Penerbit               : Jakarta, Lentera Dipantara
    1.4 Tahun Terbit                  : 2011
    1.5 Cetakan ke                    : 17 (tujuh belas)
    1.6 Jenis Kertas                   : Doff
    1.7 Jumlah Halaman            : 535 halaman
    1.8 Ukuran                          : 13x20cm
    1.9 Harga                            : Rp 90.000    

 II.       Sinopsis
Terlahir sebagai seorang anak Indonesia diantara akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 bukanlah suatu hal yang mudah. Masa kolonial Belanda yang masih begitu mencekam hingga hampir menguasai seluruh Indonesia, termasuk hak-hak orang Indonesia di dalamnya, membuat manusia Indonesia tidak dapat melawan karena terlalu terkungkung dalam tradisi lama yang sulit menerima perubahan dan pengetahuan baru yang telah berkembang pesat. Hal ini pula yang membuat seorang anak manusia Indonesia lebih memilih melepas adat kedaerahannya demi sebuah pengetahuan menjadi seorang manusia modern.
               Diceritakan dalam novel ini seorang tokoh utama bernama Minke yang merupakan seorang pria asli Indonesia berketurunan Jawa yang memiliki kecerdasan melampaui kecerdasan yang seharusnya ia miliki sebagai putra Indonesia. Minke yang berdarah priyayi sebisa mungkin ingin keluar dari kepompong kejawaannya menuju manusia modern. Ia mempelajari Eropa dengan begitu antusias hingga bahkan melupakan nama aslinya dan menggunakan nama ‘Minke’ yang diberikan guru di sekolah Eropanya. Walaupun ia tidak terlalu mengerti arti dari namanya itu, Minke tetap senang menggunakan nama itu dalam hidupnya.
               Minke yang berasal dari keluarga priyayi memiliki ayah seorang Bupati yang sangat menjunjung tinggi kebudayaan Jawa yang telah diwariskan turun-menurun. Meskipun  berasal dari keluarga Jawa, Minke sendiri tidak suka dengan adat Jawa yang menurutnya terlalu kolot. Bahkan, ia lebih lancar menulis dalam bahasa Belanda daripada dalam bahasa Jawa.
      Kecintaan Minke pada pengetahuan dan peradaban Eropa dibuktikannya dengan bersekolah di HBS, sebuah sekolah menengah Belanda yang bergengsi pada waktu itu yang tidak dapat dimasuki sembarangan siswa. Beruntung, Minke adalah anak seorang Bupati hingga ia dapat bersekolah disana. Di sekolah itu jugalah ia bertemu dengan seorang teman bernama Robert Suurhof, seorang pria Indo, yang kemudian membuatnya mengenal Robert Mellema, Nyai Ontosoroh, dan gadis cantik bernama Annelies Mellema.
      Selain pandai dalam pelajaran di sekolah Belanda, HBS, Minke juga pandai menulis dan bakat itulah yang membuatnya bekerja di sebuah perusahaan surat kabar yang bernama S.N.v/d D. Dari surat kabar inilah pada akhirnya, ia sebagai Max Tollenar, mengapresiasikan apa yang ia ketahui tentang Pribumi dan Eropa termasuk cerita tentang Annelies Mellema dan Nyai Ontosoroh. Kehidupannya di rumah Nyai dijadikannya topik yang paling sering ia tulis dalam surat kabar tersebut.
            Nyai Ontosoroh alias Sanikem  sendiri merupakan seorang gundik orang Belanda bernama Herman Mellema. Dari Herman Mellema-lah ia belajar banyak hal secara otodidak yang kemudian menjadikannya seorang gundik yang sangat pintar dan mampu memimpin Boerderij Buitenzorg, sebuah perusahaan peternakan, yang ditinggal Herman Mellema menjadi sebuah perusahaan peternakan yang maju pesat. Namun, dari Herman Mellema jugalah ia merasakan dendam mendalam pada kaum Eropa.
            Rasa kagum pada Nyai Ontosoroh membuat Minke perlahan-lahan berbalik dari kekaguman menjadi kebencian pada kaum Eropa. Pengetahuan tentang Eropa yang ia dapat dari Nyai Ontosoroh dan tidak ia dapat di bangku sekolah membuatnya mengerti akan ketidakberdayaan bangsa Indonesia di mata Eropa. Di rumah Nyai Ontosoroh itu pulalah ia jatuh cinta pada gadis Indo Belanda, Annelies Mellema, anak dari Nyai Ontosoroh.  
Setelah tamat dari HBS, Minke menikah dengan Annelies Mellema. Namun kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama. Kasus kematian Herman Mellema di tempat prostitusi membuat anak kandung Herman Mellema dari istri syahnya di Belanda , Maurits Mellema, menuntut penyitaan harta Herman Mellema dan pengambilan hak asuh Annelies Mellema dari Nyai Ontosoroh. Pengadilan Amsterdam juga tidak mengakui pernikahan antara Minke dan Annelies Mellema dan akan memindahkan secara paksa Annelies Mellema ke Nederland. Kejahatan kolonialisme seperti diskriminasi ras, hukum yang kejam dan tidak adil, egois, tidak manusiawi, buta terhadap realitas sosial dan tidak bermoral adalah kesan akhir dari novel pertama dari tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer ini.
           


III.             Nasionalisme Kaum Pribumi Melawan Diskriminasi Kaum Eropa pada Masa Kolonial Belanda dalam Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer
3.1 Pendahuluan
3.1.1  Latar Belakang Masalah
Novel Bumi Manusia adalah novel yang memberikan sumbangan besar bagi sejarah Indonesia. Penulis memilih novel ini sebagai novel yang akan penulis telaah dikarenakan novel ini adalah tertalogi  karya Pramoedya Ananta Toer yang sangat laris dan telah memperoleh penghargaan PEN Freedom to Write Award yang diterima dari berbagai anggota PEN di berbagai Negara yakni PEN Australia (1982), Swedia (1982), Amerika Serikat (1987), Swiss (1989) dan  penghargaan The Fund for Free Expression Award ditahun 1989  dari negeri paman Sam di New York. Novel ini juga telah diterjemahkan ke dalam 34 bahasa antara lain dalam bahasa China, Jerman, Jepang, Malaysia, Thailand, Italia, Prancis, dan banyak lainnya.
Selain penghargaan yang ia dapatkan dari Tetralogi Burunya, Pramoedya juga banyak mendapatkan banyak penghargaan dari karya-karyanya yang lain, salah satunya adalah novel yang berjudul Cerita dari Blora (1952), sebagai pemenang karya sastra terbaik dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional, Jakarta, 1953.
Diskriminasi dan nasionalisme kaum pribumi penulis  tekankan menjadi judul bedah buku penulis karena setelah membaca novel ini penulis banyak sekali menafsirkan suatu tindakan pembedaan yang sangat jelas oleh kaum Eropa terhadap kaum pribumi. Hal tersebut membuat prihatin karena di negara sendiri pada masa kolonial Belanda kita tidak dapat membela diri kita jika kita hanya seorang ‘Pribumi’. Namun, di sisi lain penulis juga melihat adanya keinginan dan perjuangan kaum pribumi untuk melawan walaupun mereka tahu pada akhirnya mereka akan kalah.

3.1.2        Tujuan
3.1.2.1  Menganalisis tindakan diskriminasi yang dilakukan kaum Eropa pada kaum Pribumi pada masa kolonial Belanda..
3.1.2.2  Menganalisis rasa nasionalisme manusia pribumi melawan  diskriminasi kaum Eropa pada masa kolonial Belanda.
3.1.2.3  Memberi informasi kepada pembaca tentang diskriminasi kaum Eropa dan nasionalisme kaum Pribumi pada masa kolonial Belanda.

3.1.3        Rumusan Masalah
3.1.3.1   Apa tindakan diskriminasi yang dilakukan kaum Eropa pada kaum Pribumi pada masa kolonial Belanda?
3.1.3.2  Bagaimana nasionalisme kaum Pribumi dalam menghadapi diskriminasi kaum Eropa pada masa kolonial Belanda ?

3.2 Analisis
   3.2.1 Tinjauan Pustaka
Nasionalisme adalah suatu paham yang perlu dimiliki setiap masyarakat dalam suatu negara. Nasionalisme akan membuat setiap orang dalam negara mencintai negaranya dan rela melakukan segala sesuatu untuk mempertahankan  kultur dan budaya bangsanya.
Ernest Gellner dalam http://jeremiasjena.wordpress.com/2008/06/20/memahami-nasionalisme/  mengatakan, “Nasionalisme sebagai proses pembentukan kultur suatu bangsa.”[1]
Eric Hobsbawn dalam http://jeremiasjena.wordpress.com/2008/06/20/memahami-nasionalisme/ mengemukakan, “Nasionalisme sebagai proses pembentukan high cultu-re sebuah bangsa, pembentukan iden-titas kebangsaan.”[2]
Benedict Anderson dalam http://jeremiasjena.wordpress.com/2008/06/20/ memahami-nasionalisme/ mengemukakan, “Nasionalisme sebagai komunitas khayalan (imagined community) yang disatukan oleh sebuah persahabatan horisontal yang mendalam di mana anggota-anggotanya diyakini mengkonstitusi (menciptakan) sebuah en-titas yang kuat dan utuh.[3]
Anthony Smith dalam http://jeremiasjena.wordpress.com/2008/06/20/ memahami-nasionalisme/ mengemukakan , “Nasionalisme berhubungan dengan pembentukan identitas nasional suatu bangsa.”[4]
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001, 775&776) mengemukakan, “Nasionalisme adalah 1) paham(ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri, sifat kenasionalan; 2) kesadaran keanggotaan di suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapao, mempertahankan, dan mengabdikan identitas, integritas kemakmuran & kekuatan bangsa itu, semangat kebangsaan” [5]
Dari beberapa pendapat ahli dan sumber di atas dapat diketahui nasionalisme adalah suatu ajaran atau proses yang berhubungan dengan pembentukan identitas suatu bangsa yang  membuat rakyatnya mencintai bangsa sendiri.
Diskriminasi sangat erat kaitannya dengan suatu tindakan pembedaan dari orang atau sekelompok orang  terhadap  seseorang maupun sekelompok orang yang bila dilakukan akan sangat merugikan orang lain.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001, 269)  mengemukakan, “ Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan terhadap sesama warga negara (berdasarkan warna kulit, golongan, suku, ekonomi)”[6]
Senada dengan pernyataan di atas http://id.wikipedia.org/wiki/ Diskriminasi mengungkapkan, “ Diskriminasi merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusia untuk membeda-bedakan yang lain.”[7]
Berdasarkan sumber tersebut, dapat kita ketahui diskriminasi adalah tindakan membedakan dan memperlakukan secara tidak adil.
  Kolonialisme dalam konteks sejarah Indonesia adalah perwujudan dari bentuk keserakahan, kebengisan, diskriminasi dan penafian atas hak asasi manusia. Bangunan Nasionalisme yang pernah ditegakkan oleh para pejuang, pahlawan dan pendiri bangsa adalah nasionalisme yang anti terhadap koloniallisme, artinya nasionalisme yang terbangun untuk mewujudkan bagaimana bangsa ini merdeka dan bebas dari belenggu kolonialisme.( http://sosiologibudaya.wordpress.com/2011/04/10/nasionalism/, diakses tanggal 19 November 2011, pukul 8.59 WIB)[8]
Dari peryataan dalam sumber tersebut dapat kita ketahui bahwa Nasionalisme dan Diskriminasi yang ditunjukkan dalam Kolonialisme adalah suatu hal yang bertentangan sekaligus  sangat berkesinambungan satu sama lain. Saat diskriminasi dilakukan pada sekelompok orang , hanya rasa nasionalisme-lah yang mampu mempersatukan mereka satu sama lain untuk memperjuangkan hak-hak mereka dan menunjukkan bahwa mereka mampu membendung dan bebas dari perlakuan tidak adil tersebut.

   3.2.2 Aplikasi
Novel Bumi Manusia dikemas dalam 20 bab oleh pengarangnya. Pendahuluan dari novel ini diceritakan penulis dengan menggambarkan sosok Minke yang cukup membuat pembaca penasaran membaca kelanjutannya.

Orang memanggil aku Minke. Namaku sendiri…. Sementara ini tak perlu kusebutkan. Bukan karena gila misteri. Telah aku timbang: belum perlu benar tampilkan diri di hadapan mata orang lain.

(Toer, 2011: 9)

               Minke diceritakan pengarang sebagai tokoh  pribumi yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai Eropa. Ia yang berdarah Jawa bahkan  lebih mengagung-agungkan Eropa daripada adat Jawa yang mengalir dalam darahnya. Di bagian ini, rasa nasionalisme Minke belum muncul terhadap bangsanya sendiri.

Ilmu dan pengetahuan, yang kudapatkan dari sekolah dan kusaksikan sendiri pernyataannya dalam hidup, telah membikin pribadiku menjadi agak berbeda dari sebangsaku pada umumnya. Menyalahi wujudku sebagai orang Jawa atau tidak aku pun tidak tahu. Dan justru pengalaman hidup sebagai orang Jawa berilmu pengetahuan Eropa yang mendorong aku suka bercatat-catat. Suatu kali akan berguna, seperti sekarang ini.

                                                                                                            (Toer, 2011: 12)

Ketidakadilan kompeni Belanda ditunjukkan pengarang pada cerita Jean Marais mengenai gambar yang dilukisnya. Gambar tersebut merupakan kisah nyatanya yang kehilangan seorang wanita Aceh , Pribumi, yang disukainya, dibunuh adiknya sendiri karena pengaruh kompeni.

Seorang serdadu kompeni , nampak dari topi bambu dan pedangnya, sedang menginjakkan kaki pada perut seorang pejuang Aceh. Serdadu itu menyorongkan bayonet pada dada kurbannya, dan dari balik baju itu muncul buah dada seorang wanita muda. Mata wanita itu membeliak. Rambutnya jatuh terjurai di atas luruhan daun bambu. Tangan sebelah kiri mencoba meronta untuk bangun. Tangan kanan membawa parang yang tak berdaya. Di atas mereka berdua memayungi rumpun bambu yang nampak meliuk diterjang angin kencang. Di seluruh alam ini seakan hanya mereka berdua saja yang hidup : yang hendak membunuh dan yang hendak dibunuh.

                                                                                                (Toer, 2011: 78)
Kebengisan kaum Eropa diperkuat pula dengan pernyataan Nyai Ontosoroh tentang Herman Mellema pada anaknya, Annelies Mellema.

Dia pembenci Pribumi, kecuali keenakannya, kata Mama. Bagi dia tak ada yang lebih agung daripada jadi orang Eropa dan semua pribumi harus tunduk padanya. Mama menolak tunduk. Dia mau menguasai seluruh perusahaan. Semua orang harus bekerja  padanya, termasuk Mama dan aku.

                                                                                                (Toer, 2011: 97)

Kecintaan Minke yang luar biasa pada Eropa membuatnya sangat tidak suka pada adat Jawa yang dianggapnya terlalu kolot. Dalam keluarganya pun Minke telah melupakan dan membenci adat Jawa karena menurutnya itu sama saja dengan penghinaan terhadap martabat manusia. Di bagian ini, rasa nasionalisme Minke sebagai orang Pribumi terhadap bangsanya sendiri belum terbangun.

…Dalam mengangkat sembah serasa hilang seluruh ilmu dan pengetahuan yang kupelajari tahun demi tahun belakangan ini. Hilang indahnya dunia sebagaimana dijanjikan oleh kemajuan ilmu. Hilang anthusiasme para guruku dalam menyambut hari esok yang cerah bagi umat manusia. Dan entah berapa kali lagi aku harus mengangkat sembah nanti. Sembah—pengagungan pada leluhur dan pembesar melalui perendahan dan penghinaan diri!sampai sedatar tanah kalau mungkin! Uh, anak-cucuku tak kurelakan menjalankan penghinaan ini.

                                                                                                          (Toer, 2011: 182)

Perdebatan tentang kaum Eropa dan Pribumi juga diceritakan penulis saat Minke berbincang dengan Miriam dan Sarah  de La Croix. Mereka berusaha membela bangsanya masing-masing. Di bagian ini, Minke mulai menunjukkan rasa nasionalisme pada bangsanya sendiri.

         Orang Pribumi seperti aku  ini membaca apa yang kalian tidak baca: Kitab Babad Tanah Jawi. Memang membaca dan menulis Jawa mata pelajaran tamabahan dalam keluarga kami. Lihat, dalam mata pelajaran ELS sampai HBS kita diajar mengagumi kehebatan balatentara Kompeni dalam menundukkan kami, Pribumi.


                                                                                                (Toer, 2011: 217)

Penistaan kaum Eropa pada Pribumi juga ditunjukkan pengarang pada saat Robert Surhorf mengomentari penulis dari koran S.N.v/d D., Max Tollenar.

Dia, Juffrouw, Suurhof meneruskan, Indo pun bukan. Dia lebih rendah lagi daripada Indo yang tidak diakui ayahnya. Dia seorang Inlander, seorang Pribumi yang menyelundup di sela-sela peradaban Eropa.

                                                                                                (Toer, 2011: 318)

Ketidakadilan kaum Eropa pada Nyai Ontosoroh, seorang pribumi, dinyatakan pengarang dalam perkataan Nyai Ontosoroh pada Minke  saat mereka menghadapi kasus kematian Tuan Herman Mellema.

Tak bisa mereka melihat Pribumi tidak penyek terinjak-injak kakinya. Bagi mereka pribumi mesti salah, orang Eropa harus bersih, jadi pribumi pun sudah salah. Kita menghadapi keadaan yang lebih sulit, Minke, anakku!

                                                                                                (Toer, 2011: 413)
  
Memang begitu kehidupan kolonial dimana saja : Asia, Afrika, Amerika, Australia. Semua yang tidak Eropa, lebih-lebih yang tidak kolonial, diinjak, ditertawakan, dihina, hanya untuk berpamer tentang keunggulan Eropa dan keperkasaan kolonial, dalam segala hal juga keahliannya. Kau sendiri jangan lupa, Minke, mereka yang merintis ke Hindia ini—mereka hanya petualang dan orang tidak laku di Eropa sana. Di sini mereka berlagak Eropa. Sampah itu.

                                                                                       (Toer, 2011: 416)

Kalau memang kau sudah sepakat menghadapi mereka disampingku, Minke, Nak, Nyo, kau hadapi mereka samapai selesai. Kalau mereka nanti kewalahan—hati-hati—mereka akan mengeroyok. Sudah beberapa kali itu terjadi. Berani kau?

                                                                                       (Toer, 2011: 416)

Diskriminasi kaum Eropa terhadap kaum Pribumi ditunjukkan dengan ketidakadilan hukum pada Pribumi yang diungkapkan oleh Nyai Ontosoroh pada Minke. Namun disini terlihat perjuangan kaum Pribumi untuk tetap melawan.

…Tapi di depan hukum kau  tak bakal menang. Kau menghadapi orang Eropa, Nyo. Sampai-sampai jaksa dan hakim akan mengeroyok kau, dan kau tak punya pengalaman pengadilan. Tidak semua protokol dan advokat bisa dipercaya, apalagi kalau soalnya Pribumi menggugat Eropa. Tulisan ini jawab saja dengan tulisan. Tantang dia dengan tulisan juga.

                                                                                                (Toer, 2011: 414)

Diskriminasi kaum Eropa juga ditunjukkan pengarang pada perlakuan Pengadilan Amsterdam pada Minke, Nyai Ontosoroh, dan Annelies Mellema yang cenderung membela seorang Eropa, Maurits Mellema, anak sah Herman Mellema yang dengan semena-mena menginjak kaum Pribumi.

Dan suara jaksa yang menggeledek murka itu: Dia Indo, Indo, dia lebih tinggi daripada kau!Minke Pribumi, sekalipun punya forum privilegiatum, artinya lebih tinggi dari Nyai, kau! Forum Minke setiap saat bisa dibatalkan. Tapi Juffrouw Annelies tetap lebih tinggi daripada Pribumi.

                                                                                                (Toer, 2011 : 427)

Berdasarkan permohonan dari Ir. Maurits Mellema, dan ibunya, Mevrouw Amelia Mellema Hamers, anak dan janda mendiang Tuan Herman Mellem, melalui advokatnya Tuan Mr Hans Graeg, berkedudukan di Amsterdam, berdasarkan surat-surat resmi dari Surabaya yang tidak dapat diragukan kebenarannya, memutuskan menguasai seluruh harta-benda mendiang Tuan Herman Mellema untuk kemudian karena tidak ada tali perkawinan yang syah antara Tuan Herman Mellema dan Sanikem membagi mejadi: Tuan Ir. Maurits Mellema sebagai anak syah mendapat 4/6 x ½ harta peninggalan: Annelies dan Robert Mellema sebagai anak yang diakui masing-masing mendapat 1/6 x 1/12 harta peninggalan. Berhubung Robert Mellema belum ditemukan baik untuk sementara ataupun untuk selama-lamanya wariasan yang akan jadi haknya dikelola oleh Ir. Maurits Mellema.

(Toer, 2011 : 486)

Pengadilan Amsterdam telah juga menunjukkan Ir.Maurits Mellema menjadi wali bagi Annelies Mellema karena yang belakangan ini dianggap masih berada di bawah umur, sedang haknya ata warisan, sementara ia dianggap belum dewasa, juga dikelola oleh Ir.Maurits Mellema. Dalam menggunakan haknya sebagai wali, melalui advokatnya, Mr.Graeg telah mensubstitusikan kuasa pada conferenya, seorang advokat di Surabaya, yang mengajukan gugatan terhadap Sanikem alias Nyai Ontosoroh dan Annelies Mellema kepada Pengadilan Putih di Surabaya tentang perwalian atas Annelies dan pengasuhannya di Nederland.

                                                                                                (Toer, 2011: 486)

… Annelies Mellema berada di bawah Hukum Eropa, Nyai tidak. Nyai hanya Pribumi. Sekira-kiranya dulu Juffrouw Annelies Mellema tidak diakui Tuan Mellema, dia Pribumi dan pengadilan tidak punya sesuatu urusan….

                                                                                                        (Toer, 2011: 488)
Walaupun Minke tahu bahwa mereka akan kalah apapun caranya, mereka tetap berkeyakinan untuk melawan. Hal ini menunjukkan keteguhan kaum Pribumi untuk memperjuangkan haknya.

Pada saat itu juga aku mengerti, kami akan kalah dan kewajiban kami hanya melawan, membela hak-hak kami, sampai tidak bisa melawan lagi—seperti bangsa Aceh di hadapan Belanda menurut cerita jean Marais. Mama juga menunduk. Ia justru lebih daripada hanya mengerti. Ia akan kehilangan semua : anak, perusahaan, jerih-payah dan milik pribadi.

(Toer, 2011 : 493)

Kesadaran Minke akan sadisnya peradaban Eropa yang dulu sangat dipuja-pujanya semakin terlihat jelas saat ia terkait dalam kasus meninggalnya Tuan Herman Mellema. Di bagian tersebut terlihat jelas rasa nasionalisme kaum Pribumi untuk melawan.

Aku tak punya sesuatu pengertian bagaimana harus melawan, apa yang dilawan, siapa dan bagaimana. Aku tak tahu apa alat-alat sarananya. Biar begitu: Kita melawan.
                                                           
                                    (Toer, 2011: 494)

Benar, ini tak lain dari perkara bangsa kulit putih menelan Pribumi, menelan Mama, Annelies, dan aku. Barangkali ini yang dinamai perkara kolonial—sekiranya penjelasan Madga Peters benar—perkara menelan Pribumi bangsa jajahan.

                                                                                                (Toer, 2011: 495)

Ya, Nak, Nyo, memang kita harus melawan. Betapapun baiknya orang Eropa itu pada kita, toh mereka takut mengambil risiko  berhadapan dengan keputusan hukum Eropa, hukumnya sendiri, apalagi kalau hanya untuk kepentingan Pribumi. Kita takkan malu bila kalah. Kita harus tahu mengapa. Begini, Nak, Nyo, kita , Pribumi seluruhnya, tak bisa menyewa advokat. Ada uang pun belum bisa. Lebih banyak lagi karena tak ada keberanian. Lebih umum lagi karena tidak pernah belajar sesuatu. Sepanjang hidupnya Pribumi ini menderitakan apa yang kita deritakan sekarang ini. Tak ada suara, Nak, Nyo—membisu seperti batu-batu kali dan gunung, bairpun dibelah-belah jadi apa saja. Betapa akan ramainya kalau semua mereka bicara seperti kita. Sampai-sampai langit pun mungkin akan roboh kebisingan.

                       
(Toer, 2011: 499)

Rasa kecewa akan ketidakadilan kaum Eropa juga ditunjukkan Minke dalam wawancaranya dengan Kommer. Ia menyerang Eropa dengan kata-katanya.

Dengan akan dilaksankannya perampasan atas istriku daripadaku sesuai dengan keputusan Pengadilan, bertanyalah aku pada nurani Eropa: Adakah perbudakan terkutuk itu akan dihidupkan kembali?Bagaimana bisa manusia hanya ditimbang dari surat-surat resmi belaka, dan tidak dari wujudnya sebgai manusia?

(Toer, 2011 : 508)

Dampak dari diskriminasi hukum Eropa sangat terlihat jelas pada kondisi Annelies Mellema.

…Keputusan Pengadilan Amsterdam itu, bila benar akan dilaksanakan akan bisa merusak hidup wanita muda cantik ini karena kekacauan emosi. Sampai sekarang Mevrouw Annelies masih dibius. Ia telah hilang kepercayaan akan adanya keamanan, kepastian, dan jaminan hukum. Jiwanya kini terjejali oleh ketidakadilan dan ketidakmenentuan....

(Toer, 2011 : 508)
Melihat kondisi istrinya, rasa nasionalisme Minke sebagai kaum Pribumi menggelora. Walaupun ia tidak bisa membalas perlakuan kaum Eropa dengan hukum, ia menggunakan bakat menulisnya untuk menyerang kaum Eropa.

         Kami tertinggal tanpa tulangpunggung seorang juris, tanpa alat pelawan langsung terhadap keputusan pengadilan. Baik, Mama, yang teringgal sekarang hanyalah pena, dan menulislah aku, berseru-seru, berpidato, mengeluh, mengumpat, mengerang, menghasut. 

(Toer, 2011 : 509)

Rasa nasionalisme dalam melawan diskriminasi kamu Eropa juga dilakukan oleh Darsam dan teman-temannya, orang Madura. Mereka tidak kenal takut dalam menghadapi pasukan  Eropa walaupun meraka tahu mereka kalah dalam persenjataan.

Di jalanan lalu lintas membutuhkan berhenti untuk menonton apa yang sedang terjadi di tempat kami. Seorang madura berpakaian serba hitam, berjalan mondar-mandir dengan baju terbuka, menampakkan dadanya sengaja disediakan untuk melawan dan menerima resiko. Ujung ikat kepalanya menjulur panjang jatuh di atas bahu.

(Toer, 2011 : 511)

Di sana sini nampak orang Madura menggeletak, juga bermandi darah. Komandan Veldpolitie, seorang Totok, memaki-maki anak buahnya yang meletuskan senapan. Sebongkah batu melayang di udara dan mengenai pelipisnya. Dia terhuyung-huyung jatuh, tak bangun lagi. Seorang Belanda hitam, yang nampaknya menggantikan kedudukannya berteriak memberi perintah untuk menghalau lebih keras. Lengannya terbabat parang dan secepat kilat bajunya menjadi coklat. Dengungan orang-orang Madura yang menyerukan kebesaran Tuhan tak terkirakan seramnya. Tapi pada akhirnya mereka terhalau dan melarikan diri ke segala penjuru yang mungkin.

(Toer, 2011: 512)

      Perlakuan diskriminasi pengadilan Amsterdam semakin tidak bermoral dan semakin menyerang pada kekerasan. Hal ini ditunjukkan pengarang dalam pertempuran yang terjadi antara petugas pengadilan, orang Eropa, dengan orang Madura. Di bagian ini terlihat bagaimana kerasnya kaum Pribumi ingin melawan walalupun harus mengorbankan nyawa mereka.

Dua regu Veldpolitie datang dalam iring-iringan kereta berkuda Gubermen. Dari kejauhan telah terdengar lonceng kuningan yang mereka bunyikan terus-menerus dari semua keretanya. Tanpa menghiraukan orang-orang Madura kereta-kereta itu langsung memasuki pelataran. Dari kamar kami dapat kulihat beberapa orang Madura menyerampangkan arit-arit besarnya pada kaki-kaki kuda. Dua buah kereta lepas dari kekangan, memasuki taman, tercebur ke dalam kolam angsa. Dari kereta-kereta yang berhasil dapat dihentikan orang berseragam dan berkerabin melompat turun, menghalau orang-orang Madura. Yang dihalau tak sudi meninggalkan pelataran. Pertempuran terjadi

                                                                                                (Toer, 2011: 512)

3.3 Simpulan
Berdasarkan aplikasi yang berisikan bukti-bukti yang telah penulis paparkan, dapat ditarik simpulan bahwa Novel berjudul Bumi Manusia ini :
3.3.1 Berisi tindakan diskriminasi kaum Eropa yang tidak berperikemanusiaan pada kaum Pribumi.
3.3.2 Memuat banyak nilai-nilai nasionalisme kaum Pribumi dalam melawan kaum Eropa.
3.3.3 Berisi nilai-nilai perjuangan yang mampu membuat pembaca mengerti secara langsung maksud pengarang memaparkan cerita ini.

IV.             Penutup
4.1 Keunggulan
            Novel Bumi Manusia mengungkapkan semangat perjuangan kaum pribumi untuk mendapatkan haknya di negeri sendiri, bebas dari belenggu dan diskriminasi kaum Eropa. Tokoh-tokoh dalam novel ini digambarkan secara terperinci dan jelas sehingga pembaca dapat dengan mudah mengerti karakteristik dari masing-masing tokoh.
            Bumi Manusia menampilkan problematika manusia Pribumi pada masa Hindia Belanda yang kompleks dari satu bagian cerita ke cerita yang lainnya. Namun penyelesaian dari bagian-bagian cerita dijelaskan Pramoedya Ananta Toer dengan bahasa yang lugas sehingga dapat dipahami pembaca.
            Melalui Novel Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer berani menceritakan bagaimana kolotnya tradisi Jawa pada masa itu bahkan hingga membuat generasi muda bangsanya sendiri tidak mau mengikutinya dan lebih memilih tradisi negara lain. Pelarangan yang dilakukan Jaksa Agung pada tahun 1980 tidak membuat Pramoedya Ananta Toer gentar untuk terus berkarya. Hal itulah yang menunjukkan sifat Pramoedya sebagai seorang sastrawan yang tidak kenal takut mengungkap kenyataan walaupun tau resiko berat yang akan ia terima.

4.2 Kekurangan
Tidak dapat dipungkiri Novel Bumi Manusia memang merupakan novel sejarah yang sangat berarti bagi bangsa Indonesia. Hanya saja isi dari novel ini masih menggunakan beberapa kata asing yang agak sulit dimengerti generasi muda Indonesia di zaman modern ini. Kata-kata asing dalam novel ini memang diberikan penjelasan pada catatan kaki, namun ada beberapa kata yang tidak dijelaskan secara terperinci sehingga sedikit membuat bingung pembaca untuk menafsirkannya. Hal tersebut berbeda dengan Novel karya Pramoedya Ananta Toer lain yang berjudul Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer Dalam novel tersebut  kata-kata asing dalam bahasa Jepang yang digunakan dijelaskan Pramoedya secara keseluruhan  sehingga pembaca lebih mudah mengerti.








Daftar Pustaka

Departemen Pendidikan Nasional. 2001(3). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:Balai Pustaka.


“Memahami Nasionalisme” dalam Anthony Smith, dalam http://jeremiasjena.wordpress. com/ 2008/06/20/memahami-nasionalisme/. Diakses tanggal 31 Oktober 2011, pukul 19.54 WIB.

“Memahami Nasionalisme” dalam Benedict Anderson , dalam http://jeremiasjena.wordpre ss.com/ 2008/06/20/memahami-nasionalisme/. Diakses tanggal 31 Oktober 2011, pukul 19.54 WIB.

“Memahami Nasionalisme” dalam Eric Hobsbawn  dalam http://jeremiasjena.wordpress. com/ 2008/06/20/memahami-nasionalisme/. Diakses tanggal 31 Oktober 2011, pukul 19.54 WIB.

“Memahami Nasionalisme” dalam Ernest Gellner, dalam http://jeremiasjena.wordpress. com/ 2008/06/20/memahami-nasionalisme/. Diakses tanggal 31 Oktober 2011, pukul 19.54 WIB.

Toer, Pramoedya Ananta. 2011. Bumi Manusia. Jakarta : Lentera Dipantara.


 


[1] Ernest Gellner dalam Memahami Nasionalisme dalam http://jeremiasjena.wordpress.com/2008/06/20/ memahami-nasionalisme/, diakses tanggal 31 Oktober 2011, pukul 19.29 WIB.
[2] Ibid., dalam Eric Hobsbawn.
[3] Ibid., dalam Benedict Anderson
[4] Ibid., dalam Anthony Smith.
[5] Kamus Terbaru Bahasa Indonesia, karangan Departemen Pendidikan Nasional, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta, halaman 775&776.
[6]  Loc. Cit., halaman 269.
[7] Diskriminasi dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Diskriminasi, diakses tanggal 29 Oktober 2011, pukul 11.13 WIB.
[8]  Nasionalisme dalam http://sosiologibudaya.wordpress.com/2011/04/10/nasionalism/, diakses tanggal 19 November 2011, pukul 8.59 WIB.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CERITA PENDEK ON-LINE KARYA SISWA-SISWI KELAS XII IPA 1 TAHUN 2014/2015

CERITA PENDEK ON-LINE KARYA SISWA-SISWI KELAS XII IPA 3 TAHUN 2014/2015