FILSAFAT BAHASA: FILSAFAT ANALITIK, FILSAFAT BAHASA BIASA, DAN HERMENEUTIKA
I.
FILSAFAT
ANALITIKA BAHASA
1.1 Pendahuluan
Perhatian
filsafat terhadap bahasa memang telah berlangsung lama, sejak pra-Socrates,
ketika Herakleitos membahas hakikat segala sesuatu, termasuk alam semesta.
Aristoteles menyebutnya para fisiologis kuno (hoi arkhaioi physiologoi). Perhatian Herakleitos terpusat pada
dunia fenomenal, tidak setuju bahwa di atas dunia fenomenal ini terdapat `dunia
menjadi` namun ada dunia yang lebih tinggi, dunia idea dunia kekal yang berisi
`ada` yang murni. Ia tak puas hanya dengan fakta perubahan saja hingga mencari
prinsip perubahan yang menurutnya tak bisa dietmukan dalam dunia material
melainkan dunia manusiawi yang menempatkan kemampuan bicara menjadi tempat
sentrtal. Menurut Herakleitos bahwa `kata` (logos)
bukan semata gejala antropologi, namun kebenaran universal, `dengarlah pada
sang kata dan akuilah semua benda itu satu`. Pemikiran Yunani merupakan awal
bergeser dari filsafat alam kepada filsafat bahasa yang meletakkan bahasa
sebagai objek kajian filsafat (Cassier dikutip Kaelan, 2009: 67).
Bahasa
menjadi pusat perhatian filsafat sejak zaman Sokrates tatkala retorika menjadi
medium utama dalam dialog filosofis yang menggunakan analisis bahasa dan metode
yang dikembangkan dikenal dengan `dialektis kritis`. Objektivitas kebenaran
filosofis perlu diungkapkan melalui analisis bahasa secara dialektis dengan
didasarkan pada logika. Hal ini
dikembangkan juga oleh Plato maupun
Aristoteles sehingga hakikat bahasa menjadi pokok perhatian. Thomjas
Aquinas mengangkat teologi ke tingkat filosofis hingga mampu menjembatani
antara realitas Tuhan dengan makhluk yang bersifat terbatas.
Eksistensi
bahasa semakin kokoh ketika filsafat abad modern memberikan dasar-dasar
timbulnya analitika bahasa. Peranan rasio, indera, dan intuisi manusia sangat
menentukan dalam pengenalan pengetahuan. Aliran rasionalisme yang menekankan
otoritas akal, aliran empirisme yang nmenekankan peranan pengalaman indera,
serta aliran imaterialisme dan kritisisme Imanuel Kant sangat berperanan
terhadap tumbuhnya filsafat analitika bahasa, teruatama dalam pengungkapan
realitas apa pun melalui bahasa.
Filsafat bahasa sulit ditentukan batasan
pengertiannya, terutama filsafat analitika bahasa sebab dasar filofisnya rumit,
padat, dan sangat beragam. Filsafat analitik timbul sebagai bentuk
ketidakpuasan terhadap pemikirasn filsafat modern kala itu. Tatkala para
penganut filsafat modern bertikai tentang hakikat kebenaran, kalangan filosof
analitika bahasa sadar bahwa sebenarnya problema filsafat dapat dipecahkan,
dijelaskan, dan diuraikan dengan menggunakan analisis ungkapan filsafat atau
analisis bahasa. Para filosof analitika melihat banyak ungkapan filsafat kaum
idealisme, rasionalisme, maupun
intuisionisme tak bermakna, bahkan dengan tegas kaum positivisme logis
ingin menghilanghkan metafisika.
Istilah analtika bahasa dikenal dan populer
pada abad XX. Pengertian filsafat analitika adalah pemecahan dan penjelajahan
problem serta konsep filsafat melalui analisis bahasa, maka sebenarnya atas
dasar isi dan materi filsafat analitika bahasa telah berkembang sejak zaman
Yunani. Pada abad XX banyak aliran muncul di Inggris dan Jerman yang
mempengaruhi timbulnya aliran positivisme logis, termasuk Lingkungan Wina.
Lantas banyak filosof kontemporer yang menggunakan analisis bahasa melalui
gejala-gejala untuk sampai pada kebenaran yang hakiki, antara lain Edmund
Husserl bersama fenomenologinya, Gadamer dan Dilthey dengan Mazhab
Frangfurt-nya. Aliran modernisme oleh mereka dianggap tidak mampu mengungkapkan
hakikat kemanusiaan dan hanya mampu diungkapkan melaui simbol-simbol,
sebagaimana diungkapkan Derrida, Michel Fouchauuklt, Lyotard, dan tokoh
Postmodernisme lain.
1.2 Filsafat
sebagai Analisis Bahasa
Bahasa
merupakan alat utama bagi filosof serta sebagai media untuk analisis dan
refleksi. Atas kesensitifan terhadap kekaburan dan kelemahan bahasa, parta
filosof menaruh perhatian untuk menyempurnakannya. Aliran analitika bahasa
memandang bahwa problema filosofis akan terjelaskan manakala menmggunakan
analisis terminologi gramatika. Tugas utama filsafat adalah analisis
konsep-konsep sebagai permulaan usaha pokok filsafat untuk mendapatkan
kebenaran hakiki sesuatu, termasuk manusia.
Dewasa
ini kegiatan itu dianggap tidak mencukupi karena tidak didukung oleh pengamatan
dan pembuktian yang memadai untuk mendapatkan kesimpulan yang adekuat. Maka
diperlukanlah argumentasi yang didukung analisis bahasa yang memenuhi syarat
logis. Dalam hal ini terdapat tiga cara: masalah sebab-akibat, kebenaran,
pengetahuan atau kewajiban moral,
misalnya tentang hakikat pengetahuan: 1) menyelidiki pengetahuan; 2)
menganalisis konsep; dan 3) membuat eksplisit kebenaran pengetahuan.
Kemungkinan
alternatif ketiga banyak dilakukan oleh filsafat, bahwa tugas utama filsafat
adalah analisis konsep-konsep melalui bahasa (Poerwowidagdo dikutip Kaelan,
2009: 71). Analisis konsep tentu berhubungan dengan makna dalam suatu bahasa.
Konsep-konsep filsafat sering diartikan secara verbal, maka dibutuhkan bahasa yang
memiliki peran netral. Bahasa merupakan laboratoium filsafat guna menguji dan
menjelaskan konsep dan problema filosofis, bahkan menentukan pemikirannya (Alston,
1964: 5 dikutip Kaelan, 2009: 71). Bahasa mengungkapkan secara verbal pandangan
dan pemikiran filosofis. Hal ini sering berhadapan dengan keterbatasan bahasa
sehari-hari yang kadang tak mampu mengunkapkan konsep filosofis.
Ada dua kelomopok berbeda
menanggapi hal tersebut: 1) bahasa biasa (ordinary
language) telah cukup mewadahi konsep filsafat. Kelemahan dan kekurangan bahasa diatasi dengan
memberikan pengertian yang khusus atau penjelasan terhadap penyimpangan. Namun,
menurut penganut Wittgenstein II, masalah justru bermula dari penyimpangan
filosof itu sendiri yang menimbulkan kekacauan dan tanpa penjelasan agar
dimengerti (Poerwowidagdo dikutip Kaelan, 2009: 71). Maka tugas filosof adalah
penyembuhan terapi dalam kelemahan
penggunaan bahasa.filsafat; 2) bahasa sehari-hari tidak cukup untuk
mengungkapkan masalah dan konsep-konsep filsafat. Masalah filsafati timbul
sebab bahasa keseharian tidak cukup mewadahi konsep dan masalah filsafat,
apalagi untuk tujuan analisis karena kelemahannya. Diperlukan pembaruan bahasa
menjadi bahasa yang sarat dengan logika sehingga ungkapam bahasa dalam filsafat
dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Tokoh kelompok ini adalah Leibniz,
Ryle, Rudolf Carnap, Bertrand Russell. Menurut mereka tugas fuilsafat adalah
membangun dan mengembangkan bahasa yang dapat mengatasi kelemahan-kelemahan
yang terdapat dalam bahasa sehari-hari.
1.3
Aliran Filsafat dalam Analitika Bahasa
Analitika bahasa adalah metode khas dalam
filsafat untuk menjelaskan, menguraikan, dan menguji kebenaran
ungkapan-ungkapan filosofis. Perkembangan filsafat analitika bahasa tak terpisahkan dengan aliran-aliran yang ada
sebelumnya seperti aliran rasionalisme, idealisme, empirisme, imaterialisme,
dan positivisme.
Perkembangan filsafat anakitika bahasa
meliputi tiga aliran pokok, yaitu: 1) atomisme logis (logical atomisme), 2) positivisme logis (logical positivisme), sama
dengan empirisme logis (logical empirism);
dan 3) filsafat bahasa biasa (ordinary
language philosophy).
Atomisme logis muncul sebagai reaksi
ketidakpuasan atas aliran idealisme di Inggris, dipengaruhi aliran rasionalisme
dan empirisme. Pengaruh atomisme logis diteruskan paham positivisme logis yang
dikembangkan oleh para ilmuwan fisika, kimia, dan ilmu alam lain, berpusat di
Wina. Mazhab positivisme besar pengaruhnya terhadap perkembangan dunia pengetahuan modern.
Aliran filsafat bahasa biasa muncul
setelah Perang Dunia II, berpengaruh di Inggris, Jerman, dan Amerika. Pengaruh
tidak secara langsung, namun secara ontologis memiliki kesamaan.
1.4 Atomisme Logis
Awal abad
XX di Inggris muncul pemikiran filsafat baru yang dianggap perubahan radikal
atau “revolusi”, terutama dalam gaya, arah, dan corak pemikirannya. G.E. Moore
(1873-1958) merupakan perintisnya, dengan tokoh utama Bertrand Russell
(1872-1970), dan Ludwig Wittgenstein (1889-1951). Nama aliran atomisme logis
dikemukakan oleh Bertrand Russell lewat konsep `atomisme logis`, dimuat dalam Contemporary British Philosophy, terbit
tahun 1924. Intinya Russell dalam Ayer, 1958: 31 dikutip Kaelan (2009: 75)
mengatakan bahwa logika adalah fundamental bagi filsafat, dan bahwa
mazhab-mazhab seharusnya diwarnai oleh logikanya daripada oleh metafisika.
Logikanya menekankan atomis dan menyebutnya atomius logis daripada realisme.
Bertrand
Russell awalnya penganut empirisme, mengikuti jejak John Locke dan David Hume.
Konsepsi atomisme logis diilhami pemikiran Hume tentang susunan ide-ide yang
sederhana. Tradisi idealisme juga memberikan garis dan warna pemikirannya.
Pengaruh idealisme berasal dari F.H. Bradley, dan pemikiran analitis Moore. Bradley memengaruhi
formulasi logika proposisi, sedangkan Moore
memberikan tekanan ciri analistisnya.
1.5 Pengaruh Idealisme F.H. Breadley
Ludwig
Wittgenstein dalam buku Tractacus Logico
Philosophicus sebenarnya telah mengembangkan atomisme sebagaimana dikemukakan
Russell. Di sisi lain pengaruh idealisme F.H. Bradley menekankan formulasi
logika proposisinya, sedangkan Moore
menekaknkan ciri analistisnya. Awal abad XX di Inggris subur aliran idealisme
sebagai reaksi atas materialisme dan positivisme, ditokohi oleh Edward Caird,
Bernard Bosanquet, dan F.H. Bradley.
Menurut
idealisme bahwa realitas terdiri atas ide, pikiran, akal, jiwa, bukannya
benda-benda material dan kekuatan. Jiwa
dan materi adalah produk samping. Dunia memiliki arti yang berlainan dari apa
yang nampak pada permukaan. Dunia dipahami dan ditafsirkan oleh penyelidikan
tentang hukum-hukum berpikir dan kesadaran, tidak oleh metode yang objektif
berdasarkan pengamatan empiris.
Metode pengenalan empiris itu hanya
bersifat psikologis, sedangkan mereka bekerja
dengan ide-ide, dan sama sekali tidak dengan putusan atau keterangan. Ide
adalah isi dan pikiran. Empirsme kurang memperhatikan putusan atau proposisi,
sebagaimana perbedaan Imanuel Kant dan David Hume. Pemikiran Bradley
mempengaruhi formulasi logika atomisme logis Bertrand Russell. Dengan demikian
atomisme Russell merupakan empirisme yang didasarkan atas putusan-putusan atau
proposisi dan bukan didasarkan atas ide-ide sehingga memanfaatkan idealisme
Bradley. (Poerwowidagdo dikutip Kaelan, 2009: 778).
1.6 George Edwar Moore
Moore berdiri di pinggir
gerakan atomisme logis (Poerwowidagdo dikutip Kaelan, 2009: 78). Moore merupakan tokoh
filsafat analitik yang berpendapat bahwa tugas filsafat adalah memberikan
analisis yang tepat tentang apa yang dimaksud dengan konsep dan proposisi dalam
filsafat.
Moore tidak menolak etika
normatif dan menekankan konsep dan argumentasi yang dipakai. Jadi, lebih
menekankan pada “metaetika”. Pembahasannya terkenal dalam arti kritik dan
uraian tentang kekeliruan naturalistik. Moore
tidak menolak metafisika, namun tidak mempraktikkannya. Moore justru membangun sikap skeptis dan
kritis terhadap metafisika. Dalam setiap analisisnya Moore tidak mengakhiri dengan justifikasi
benar atau salah, melainkan bermakna atau tidak. Atas hal keteguhan dan
sikapnya itu Moore
dikenal dengan istiklah `filsafat analitik bahasa`. Analisis adalah semacam
definisi-semacam persamaan dengan ungkapan yang membingungkan, pangkal uraian
di sebelah kiri dan uraian baru di sebelah kanan yang sering disebut analisis
penguraian (Poerwowidagdo dikutip Kaelan, 2009: 80).
1.7
Filsafat Atomisme Logis Bertrand Russel
Kelebihan pemikiran atomisme logis
Bertrand Russell adalah mampu menyintesiskan berbagai macam filsuf sebelumnya
maupun sezamannya. Bertrand Russdell menekankan konsep atomisme tidak
didasarkan pada metafisika melainkan lebih pada logikanya sebab logika
merupakan hal paling dasariah dalam filsafat. Russell membangun bahasa yang
mampu mengungkapkan realitas berdasarkan
formulasi logika.
Menurut Russell tugas fiklsafat adalah
analsisis logis dan disertai dengan sintesis logis, mengandung pengertian bahwa
untuk mendapatkan kebenaran diajukan dengan mengajukan alasan-alasan yang
bersifat apriori yang tepat bagi suatu pernyataan. Sistesis logis dilakukan dengan
menentukan makna atas pernyataan atas dasar empiris. Dengan pola ini Russell
berhasil memecahkan problema filsafat melalui analisis bahasa.
Metode analsis bahasa dalam pemecahan
masalah filsafat yang mendasarkan pada analisis apriori dan sintesis aposteriori
merupakan alur pikir kritisisme
Immannuel Kant. Atomisme logis didasarkan juga alasan bahwa atom-atom yang
ingin dicapai Russell bukan merupakan atom fisik, melainkan atom logis.
1.7.1
Formulasi Logika Bahasa
Konsekuensi dirumuskannya ungkapan bahasa
yang memiliki formulasi logis adalah adanya formulasi logis dalam
ungkapan-ungkapan bahasa. Struktur gramatikal belum tentu menentukan struktur
logis dari ungkapan bahasa. Ada kalimat yang berstruktur sama namun memilkiki
alternatif makna yang berbeda. Russell mengembangkan formulasi logisnya dalam
analsisis melalui ungkapan bahasa dan berupaya mengatasi kesulitan dalam wacana
filsafat.
1.7.2 Prinsip Kesesuaian (Isomorfi)
Russell menegaskan bahwa terdapat kesesuaian bentuk atau
struktur antara bahasa dengan dunia, terdapat `isomorfi` antara bahasa dengan
dunia. Dunia merupakan suatu keseluruhan fakta, yang terungkap melalui bahasa
sehingga terdapat kesesuaian antara
struktur logis bahasa dengan struktur logis dunia. (Heraty, 1984: 79, 85,
dikutip Kelan, 2009: 87). Ia bertolak dari pernyataan dasar, ialah pernyataan
empirik yang langsung menyebutkan suatu konfrontasi dengan realitas yang
meliputi dua macam: particularia dan universalia. Particularia merupakan hasil persepsi konkret individual, sedangkan
universalia menunjukkan suatu sifat
atau hubungan.
1.7.3
Struktur Proposisi
Dunia merupakan keseluruhan fakta yang
memiliki struktur logis. Hakikat fakta terungkap melalui proposisi, dan fakta
tidak dapat terungkap benar atau salah. Kualifikasi proposisilah yang menentukan
kualifikasi benar atau salahnya. Prinsip verifikasi merupakan simbol, bukan
merupakan bagian dunia.
Proposisi mermiliki struktur yang terdiri
atas kata-kata yang menunjukkan data inderawi dan universal melalui ciri-ciri
dan relasi. Tiap-tiap proposisi atomis memiliki arti atau makna sendiri yang
terpisah satu dengan lainnya. Proposisi majemuk merupakan rangkaian proposisi
atomis dengan kata penghubung seperti dan, atau, atau yang lain. Contoh:
”Socrates adalah seorang warga Athena yang bijaksana” ini merupakan suatu
proposisi majemuk yang terdiri atas dua proposisi yang menggambarkan dua fakta
atomis: 1) Sokrates adalah warga Atghena, dan 2) Socrates adalah seorang yang
bijaksana.
1.8
Filsafat Atomisme Logis Ludwig
Wittgenstein
Karya besar Wittgenstein yang merupakan
ulasan filososfis yang ketat tentang filsafat atomisme logis berjudul Tractacus Logico Philosophicus. Isinya
memperkuat visi dasar atomisme logis, berupa uraian singkat yang merupakan
proposisi yang secara sistematis diberi nomor, sangat padat, yang kadang
membuat tidak jelas.
Menurut Wettgenstein cara atau sistem
pemberiasn nomor itu sedemikkian rupa sehingga proposis-proposisi yang penting
diberi nomor bulat. Terdapat tujuh angka desimal yang menunjukkan struktur
logis dari proposisi-proposisi, yang menunjukkan struktur kepentingan.
1.8.1
Peranan Logika Bahasa
Wettgenstein
lewat Tractacus menjelaskan bahwa
filsafat bertujuan untuk memberi penjelasan
logis dari pikiran. Filsafat merupakan kegiatan atau aktivitas sehingga
yang karya-karyanya terdiri atas penjelasan-penjelasan atau
uraian-uraian. Filsafat tidak menghasilkan keterangan filsafati melainkan
penjelasan proposisi. Tanpa filsafat, pikiran akan menerawang tak jelas yang
ujung-ujungnya menjadi tugas filsafat untuk membuat jelas dan batas-batas
pengertiannya.
Menurut
Wettgenstein problema filsafat karena para filsuf sebelumnya kurang memahami
logika bahasa yang digunakan dalam filsafat. Sesuatu yang tidak logis akan membuat kita tidak logis juga. (Wittgenstein
dikutip Kaelan, 2009: 95). Logika bahasa yang sempurna mengandung aturan
sintaksis tertentu sehingga dapat menghindari ungkapan yang tidak bermakna, dan
memiliki simbol-simbol tunggal yang selalu memiliki makna tertentu dan
terbatas. Untuk menghindari kekacauan dan kesalahan dalam filsafat disusunlah
kerangka bahasa yang memenuhi struktur logika bagi uraiannya dan pemecahan
problema filosofisnya
1.8.2
Pemikiran
Filosofis Tractatus Wettgenstein
Konsep
Tractatus Wittgenstein terdiri atas beberapa pernyataan yang secara logis
memiliki hubungan.
Pertama : Dunia itu tidak terbagi atas
benda-benda leiankan terdiri atas fakta-faktya, dan akhirnya menjadi sutau
kesimpulan fakta-fakta atomis yang khas.
Kedua
:
Setiap proposisi pada
akhirnya melarutkan diri, melalui
analisis, menjasdi fungsi kebenaran yang khas dari sebuah proposisi
elementer, yaitu setiap proposisi hanya mempunyai satu analisis akhir.
Fakta
adalah peristiwa atau keadaan dan merupakan kombinasi dari benda-benda atau
objek-objek atau bagaimanavhal itu berada di dunia. Fakta adalah keberadaan
suatu peristiwa (state of affair).
Dunia terdiri atas fakta-fakta dan dapat dijelaskan, ada hubungan satu sama
lainnya. Dunia itu jumlah keseluruhan dari fakta-fakta, bukannya jumlah dari
objek-onjek atau benda-benda itu sendiri. Totalitas fakta sangat kompleks dan terdiri atas fakta-fakta yang makin
kurang kompleks. Fakta atomis adalah balok-balok bangunan dari dunia yang
terdiri atas fakta-fakta atomis dan paling sederhana berada melingkupi diri
sendiri yang dapat berada pada dirinya dalam isolasi.
1.8.3
Struktur Logika
Bahasa
Sebuah
proposisi itu adalah sebuah contoh (model) dari kenyataan (realitas) yang kita
bayangkan. Proposisi dasar merupakan
proposisi yang tidak dapat dianalisis lagi menjadi poroposisi yang lebih asasi.
Sebuah proposisi dapat dianalisis menjadi proposisi sebuah proposisi sebagai
bagian akhirnya (yang terkecil). Proposisi dasar adalah bangunan akhir bahasa
karena jumlah keseluruhan proposisi adalah bahasa.
Sebuah nama adalah objek dan objek itu
adalah maknanya. Proposisi dasar membenarkan fakta-fakta karena fakta-fakta
adalah keberadaan peristiwa. Maka, proposisi dasar merupakan bagian akhir dari
proposisi dan keseluruhannya adalah bahasa. Dengan demikian struktur logis
dunia terungkap lewat bahasa.
1.8.4
Teori Gambar (Picture Theory)
Proposisi itu terungkap melalui bahasa dan
bahasa pada hakikatnya merupakan suatu gambaran dunia. Terdapat
kesesuaian logis antara struktur bahasa dengan struktur realitas dunia. Sdebuah
proposisi itu adalah gambaran realitas diunia, merupakan contoh dari kenyataan
yang kita bayangkan. Struktur logika bahasa yang digunakan Wettgenstein
dimaksudkan untuk mengatasi kekaburan-kekaburan sehingga dalam memahami
realitas dunia manusia hanya akan memberikan suatu kesempatan benar atau salah,
bermakna atau tidak.
Kerangka logis suatu bahasa dalam
mengungkapkan dunia itu menjadi seperti gambar timbul (relief). Oleh karena
itu, proposisi merupakan suatu gambaran keberadaan suatu peristiwa, yang berupa
suatu ungkapan bahasa yang menghadirkan bentuk peristiwa kepada kita.
Proposisi mengandung dua kutup, mengandung
kebenaran jika berkesesuaian dengan keberadaan peristiwa dan sebaliknya
mengandung kesalahan bila tidak sesuai dengan keberadaan peristiwa. Terdapat
pula proposiosi-proposisi logika, yaitu kebenaran-kebenaran yang berada pada
prinsip logis (termasuk tautologi atau kontradiksi). Proposisi logika tidak
termasuk dalam proposisi sejati sebab tidak menggambarkan sesuatu, tidak
mengungkapkan suatu pikiran, namun merupakan suatu kebenaran tautologis belaka
dan tidak menggambarkan bentuk peristiwa atau tidak merupakan suatu picture dari sesuatu. Namun, bukan
berati proposisi tersebut tidak bermakna, melainkan kebenaran bersifat
tautologis.
1.8.5
Tipe-tipe
Kata (Words Type)
Wittgenstein
menerapkan beberapa teknik menganalisis bahasa, antara lain dengan analisis
tipe kata. Dia sependapat dengan Russell dengan cara menganalisis unit-unit
bahasa sampai pada unsur logisnya. Suatu satuan ungkapan bahasa yang memiliki
struktur sama dapat memiliki perbedaan susunan logisnya. Perbedaan disebabkan
oleh susunan satuan kata yang menyusun kalimat tersebut.
Prinsip
verifikasi problema filsafat timbul karena kekacauan para filsuf dalam
penggunaan bahasa yang mencampuradukkan pemakaian ungkapan konsep-konsep nyata
dengan konsep formal.
1.8.6
Pandangan Wittgenstein tentang Metafisika
Metafisika melampaui batas-batas
bahasa. Metafisika mengatakan
apa yang tidak dapat dikatakan. Terdapat beberapa hal yang memang tidak dapat
dikatakan yaitu hal-hal yang bersifat mistis. Hal tersbut melampaui batas
bahasa yang menurut Wittgenstein adalah subjek, kematian, Asllah, dan bahasa
itu sendiri.
1.9
Positivisme Logis
Positivisme logis menerima pandangan
filosofis atomisme logis tentang logika dan cara analisisnya, namun menolak
metafisika atomisme logis. Positivisme logis menggunakan dua cara, yaitu:
Pertama, bertujuan menghilangkan metafisika. Ungkapan metafisika itu pada
hakikatnya tidak mengtungkapkan apa-apa sehingga bersifat nirarti atau tidak
bermakna (Poerwowidsagdo dikutip Kaelan, 2009: 105). Kedua, positivisme logis
menggunakan teknik analisis demi penjelasan bahasa ilmiah dan bukan
menganalisis pernyataan-pernyataan fakta ilmiah. Tugas filsafat adalah
memperhatikan analisis-analisis dan penjelasan tentang pernyataan dan
proposisi, terutama ilmu pengetahuan.
1.9.1
Analisis Logis terhadap Bahasa
Menurut
positivisme logis fiklsafat tidak memiliki wilayah ilmiah tersendiri di samping
objek ilmu pengetahuan. Filsafat tidak menyoroti problema yang berbeda dengan
problema ilmu pengetahuan. Tugas filsafat adalah analisis logis terhadap ilmu
pengetahuan. Maka, tak dapat diharapkan filsafat akan memecahkan problema ilmu
pengtetahuan, kecuali menganalisis masalah dan diusulkan pemecahannya. Kaum
positivisme logis menentukan sikap bahwa agar tidak terjadi kekacauan, analisis
bahasa yang digunakan dalam ilmu pengetahuan dalam filsafat adaklah langkah
yang paling tepat.
1.9.2
Prinsip
Verifikasi
Posivisme
logis yang didasari logika, matematika, serta ilmu pengetahuan alam yang
positif dan empiris. Maka analisis logis tentang pernyatan-pernyataan ilmiah
maupun pernyataan filsafat sangat ditentukan oleh metode ilmu pngetahuan
positif dean empirik. Menurut
mereka, suatu ungkapan atau proposisi
dianggap bermakna manakala secara prinsip dapat diverifikasi, yaitu dengan
menguji atau membuktikan setiap empiris.
Hasil
verifikasi tidak mengharuskan hal yang benar, bermakna meskipun belum
diverifikasi, tetapi memiliki kemungkinan
untuk diverifikasi. Menurut Ayer verifikasi merupakan pengandaian untuk
melengkapi suatu kriteria sehingga melalui kriteria tersebut dapat ditentukan
apakah kalimat itu mengandung makna atau tidak. Tidak hanya kalimat teruji dan
terbukti secara empirik saja yang bermakna, melainkan juga kalimat yang dapat
dianalisis lebih lanjut.
Menurut
Ayer, ada verifikasi ketat dan longgar. Verifikasi ketat (strong verifiable) adalah sejauh kebenaran proposisi itu didukung
oleh pengalaman secara meyakinkan.
Verifikasi lunak adalah sejauh proposisi itu mengandung bagi pengalaman
atau merupakan pengalaman yang memungkinkan. Prinsiop ini memppunyai pengaruh
luas dalam ilmu pengetahuan.
1.9.3
Konseop
Proposisi
Menurut
positivisme logis, terdapat dua macam proposisi: proposisi empiris dan
proposisi formal. Proposisi empiris merupakan proposisi faktual yang dapat
diverifikasi secara empirik dan mengandung kemungkinan disahkan atau ditolak.
Proposisi formal adalah proposisi yang kebenarannya tidak memerlukan verifikasi
empiris. Proposisi ini meliputi logika dan matematika yang memiliki kebenaran
pasti sehingga tidak memerlukan verifikasi empiris.
Proposisi
analitis berdasarkan penjelasan Ayer memberikan ciri berikut.
1.
memiliki ciri benar berdasarkan pembatasan semata-mata
berdasarkan makna yang terkandung dalam susunan simbolik;
2.
tidak berdasarkan pada pengalaman, melainkan pengetahuan
apriori yang diperoleh melalui refleksi logis tanpa melalui empiris;
3.
mengandung kepastian dan keniscayaan, memiliki
kebenaran tautologis dan pernyataan yang mesti berdasarkan hukum-hukum logika;
4.
mengandung makna sejauh proposisi yang bersangkutan didasarkan
pada penggunaan istilah yang pasti.
Dalam
kaitannya dengan ilmu pengetahuan modern dewasa ini konsep proposisi menurut
positivisme logis ini menjadi kata kunci untuk mendapatkan kebenaran ilmiah
objektif.
1.9.4
Logika dan
Matematika
Logika
mengalami pembaruan radikal pada abad XIX. Perbedaan logika modern dan logika
klasik ialah 1) penggunaan simbol-simbol menurut analogi matematika; dan 2)
bertambahnya wilayah pembahasan yang sama sekali baru. Menurut Wittgenstein
logika matematika tidak mengatakan apa pun tentang realita empiris. Ucapan logika serta matematika bersifat
analitis belaka, dan bukan sintesis. Ucapan sedemikian itu merupakan tautologi,
dan setiap ucapan tentang realitas empiris bersifat sitetis, yang berarti
dilakukan pada pengetahuan tentang fakta saja dan tidak berlaku untuk setiap
macam pengetahuan (Bertens dikutip Kaelan, 2009: 112).
1.9.5
Konsepsi Lingkungan Wina tentang Filsafat
Menurut Carnap sintaksis logis disusun
secara formal antara relasi-ralasi. Maka filsafat harus menyelidiki sintaksi-sintaksis
logis dari ucapan ilmiah dari segi struktur logisnya. Analisis logis tidak
dapat duipisahkan dari bermakna tidaknya bahasa yang diselidiki.
1.9.6
Bahasa
Universal bagi Seluruh Ilmu Pengetahuan
Menurut Lingkungasn Wina bahwa ucapan semua ilmu
pengetahuan dapat diterjemahkan ke dalam bahasa universal yang sama. Menurut
Carnap setiap objek pengetahuan dapat diasalkan kepada pengalaman elementer
subjek. Objek dibuat tingkatannya sesuai dengan urutan struktur pengenalan.
Orang dapat merumuskan semua ucapan ilmu pengetahuan dalam bahasa dasariah.
Bahasa inilah yang menjadi bahasa universal.
1.10
Positivisme
Logis Alfred Jules Ayer
Pemikiran
filsafat Ayer memiliki corak tersendiri dalam menciptakan klarifkasi dan
ketelitian dalam filsafat. Menurut Ayer suatu ungkapan itu bermakna bila
merupakan observation statement, didasarkan pada observasi
atau verfikasi. Selain berdasarkan data empiris, terdapat pula proposisi
matematika dan logika. Ungkapan matematika dan logika itu tidak memungkinkan
realitas inderawi sehingga tidak dapat diverifikasi atas dasar pengalaman.
Untuk menentukan benar tidaknya kita tidak dapat meninggalkan bahasa karena
kebenarannya sehingga kebenarnnya bersifat pasti.
Ungkapan
bahasa disebut bermakna tidak harus diverifikasi secara faktual bila secara
prinsipial memiliki kemungkinan untuk diverifikasi. Verifikasi tidak harus
lengkap, melainkan sebagian saja, misalnya dalam bidang fisika. Hal ini yang
membuat anggapan bahwa ungkapan metafisika tidak bermakna.
II. FILSAFAT BAHASA BIASA (THE ORDINARY LANGUAGE PHILOSOPHY)
Para
tokoh filsafat analitika bahasa menyadari bahwa dalam kenyataannya banyak
problema filsafat dapat diatasi melalui analsisi bahasa. Maka, bahasa merupakan
pusat perhatian. Ungkapan metafisika mendapat perhatian serius, bahkan aliran
atomisme logis dan positivisme ingin membersihkan filsafat dari metafisika.
Para
tokoh fiklsafat analitika bahasa memusatkan perhatian pada aspek semantik
bahasa sehingga melalui kategori logika mereka menentukan bahasa yang bermakna dan yang tidak bermakna.
Berdasarkan logika bahasa ungkapan-ungkapan metafisika dari kalangan idealisme,
terutama bidang teologi, etika, aksiologi, estetika, dan terutama ontologi pada
hakikatnya tidak bermakna. Bertrand Russell menegaskan bahwa ungkapan
metafisika pada hakikatnya adalah omong kosong karena tidak melukiskan realitas
dunia dan keberadaan peristiwa secara empiris. Formulasi logika bahasa menemui
berbagai keterbatasan dan kesulitan sehingga ungkapan bahasa dalam Tractatus sebenarnya tidak bermakna.
2.1
Pemikiran
Filsafat Wittgenstein Periode II –Philosophical
Investigation
Karya Wittgenstein periode II
memiliki corak berlainan, yang mendasarkan bahwa bahasa diformulasikan melalui
logika sebenarnya tidak mungkin untuk
dikembangkan pada filsafat, bahkan dalam berbagai kehidupan manusia ada yang
tidak dapat diungkapkan melalui logika bahasa.
Segi pragmatik semakin disadari
sehingga terdapat sejumlah bahasa yang digunakan dalam berbagai macam konteks
kehidupan. Wettgenstein mengkritik pendapat pertamanya berkaitan dengan
struktur. Bahasa merupakan suatu kumpulan besar yang tak terbatas dari
proposisi-proposisi yang sederhana atau atomis pun. Wettgenstein semakin sadar
bahwa dalam kenyataanya bahasa sehari-hari pada hakikatnya teklah cukup dalam
upaya untuk mengungkapkan pemikiran-pemikiran filosofis.
2.1.1 Tata Permainan Bahasa
Philosophical
Investigations merupakan berntuk filsafat bahasa biasa yang paling kuat
sekaligus petunjuk jalan atas terbukanya pemikiran fulsafat yang menaruh
perhatian terhadap bahasa biasa. Menurut Wetgenstein “makna sebuah kata itu
adalah penggunaannya dalam bahasa dan bahwa makna bahasa itu adalah
penggunaanya di dalam hidup”. Ia menekankan bahasa dakam fungsi sebagai aklat
komunikasi kehidupan manusia, tidak hanya memiliki struktur logis saja,
melainkan juga aspek kontekstual dalam kehidupan. Makna kata adalah
penggunaannya dalam bahasa. Orang tidak dapat menduga bagaimana sebuah kata itu
berfungsi. Orang hanya harus melihat melihat penggunaannya dan belajar
daripadanya. Filsafat sama sekali tidak boleh turut campur dalam penggunaan
bahasa yang sesungguhnya, dan sebenarnya filsafat hanya dapat menguraikannya.
Istilah language
games dipakai oleh Wittgenstein sebab bahasa merupakan sebagian dari suatu
kegiatan atau merupakan suatu bentuk kehidupan. Keberagaman kehidupan
memerlukan bahasa yang kontekstual. Bahasa tertentu memiliki aturan tertentu
sebagaimana layaknya sebuah permainan. Ada
aturan yang harus dipatuhi dalam permainan tersebut dan sebagai pedoman dalam
tata permainan. Demikian pula dengan tata permianan bahasa, yang memiliki aturan sendiri-sendiri yang tak dapat
dicampuradukkan. Ragam ilmiah memiliki aturan tersendiri yang harus diikuti
oleh komunitasnya dan tidak dapat diterapkan dalam konteks kehidupan manusia
lain pada umumnya.
Makna sebuah kata adalah
teragntung penggunaannya dalam suatu kalimat, adapun makna kalimat adalah
tergantung penggunaannya dalam bahasa, sedangkan makna bahasa adalah tergantung
penggunaannya dalam konteks kehidupan. Meskipun mengandung pengertian yang
bersifat umum, makna kata sangat
tergantung pada cara penggunaannya dan konsekuensinya juga sangat tergantung pada game atau aturan main dalam konteks penggunaannya.
2.1.2 Kritik Wittggenstein atas Bahasa Filsafat
Penggunaan bahasa filsafat menurut
Wittganstein tidak memiliki struktur yang logis sehingga sering menimbulkan
masalah karena penggunaannya kurang tepat dalam realitas melalui logika bahasa.
Banyak ungkapan filsafat yang tidak melukiskan realita fakta dunia secara
empiris sehingga bahasa fiulsafat, terutama metafisika, filsafat nilai,
estetika, etika dan cabang-cabang lainnya sebenarnya tidak mengungkapkan
apa-apa.
Banyak filsuf bahasa yang tudak
menggunakan aturan game yang ada. Hal
ini menurut Wittgenstein disebabkan oleh 1) penggunaan istilah atau ungkapan
filsafat yang tidak sesuai dengan aturan permainan bahasa; 2) ada kecenderungan
untuk mencari pengertian umum untuk merangkum pelbagai gejala yang dianggap
umum; dan 3) pengertian terselubung lewat istilah yang tidak dipahami maknanya.
Maka, beliau mengajurkan agar kita menghindari atau melewati penyamaran istilah
yang tak terpahami dengan menunjukkan bahwa hal itu sebenarnya nirarti belaka.
2.1.3 Tugas Filsafat
Kelemahan
bahasa filsafat dapat diatasi dengan meletakkan tugas filsafat sebagai analisis
bahasa. Untuk itu ada dua macam cara untuk meletakkan filsafat sebagai
analisis, yaitu: 1) aspek penyembuhan dengan cara menghilangkan kekacauan yang
terjadi dalam bahasa filsafat; 2) aspek metodis, yaitu cara berfilsafat
seharusnya ditempuh dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a) dalam berfilsafat harsulah meletakkan
landasannya pada penggunaan bahasa sehari-hari dengan tetap memperhastikan
aturan permainan bahasanya;
b) upaya untuk keluar dari kemelut kekacauan
filsafat akibat penggunaan bahasanya. Untuk mengtasi itu menurut Wettgenstein
haruslah melalui penampakan jalan bahasa.
c) Metode analisis bahasa harus diletakkan
dalam posisi netral, tidak turut campur dalam memberikan interpretasi
filosofis, yaitu memberikan penafsiran tentang realitas.
Filsafat
tidak turut campour dalam memberikan interpretasi, hanya memberikan atau
memaparkan secara objektif sebab filsafat tidak dapat memberikan dasar apa pun.
Filsafat membiarkan segala sesuatu sesuai dengan apa adanya.
2.2 Beberapa Filosof dari Oxford
Filsuf Oxford lazimnya
memeroleh pendidikan filsafat Yunani dan berlatar pendidikan filologi klasik
dan linguisitik sehingga mempengaruhi corak pemikiran filsafatnya. Namun hampir
dapat dikatakan bahwa semua filsuf Oxford
kebanyakan meneruskan tradisi filsafat biasa.
2.2.1 Gilbert Ryle
Prinsip analisis Ryle
menunjukkan garis lurus dari prinsip analisis Moore. Ia mendasarkan prinsip filsafat biasa,
begitu juga logikanya, tampak dalam bukunya “The Concept of Mind” yang antara
lain mmembahas dan menganalisis berbagai macam bahasa sehari-hari , terutama
dalam kesalahan bahasa filsafat yang dikenal dengan istilah category mistake. Ada kecenderungan beliau memadukan prinsip
atomisme logi dengan filsafat bahasa biasa melalui suatu analisis bahasa. Ryle tidak mendasarkan pada struktur logika
bahasa melainkan memperhatikan dan menganalisis penggunaan bahasa sehari-hari
berdasarkan prinsip-prinsip logika.
2.2.1.1
Kekeliruan
Kategori (Category Mistake)
Filsafat Ryle merupakan kritik tajam
terhadap konsep Rene Descartes. Ryle membedakan pelbagai jenis kata. Perlu
dibedakan antara kata yang menunjuk pada suatu disposisi dengan kata-kata yang
menunjuk suatu peristiwa.
2.2.1.2
Bahasa Biasa
(The Ordinary language)
Filsafat bahasa biasa yang
mendasarkan pada suatu konsep bahwa masalah filsafat dapat diselesaikan dan
dijelaskan melalui analisis bahasa, mendasarkan pada bahasa biasa, yang pada
hakikatnya telah cukup untuk melakukan analisis filsafat. Sayangnya, hingga
periode Ryle belum pernah ada filsuf yang berupaya mendeskripsikan penggunaan
bahasa biasa beserta pembedaannya.
Ryle menegaskan pelru dibedakan
antara penggunaan dari bahasa biasa (the
use of ordinary language) dan penggunaan bahasa yang biasa (the ordinary linguistic usage) dan
penggunaan yang biasa dari ungkapan (the
ordinary use of expression). Menurut Ryle filsafat bahasa biasa pada
hakikatnya mempertahankan penggunaan yang biasa dari bahasa atau penggunaan
bahasa yang baku,
yang standar dan bukannya penggunaan bahasa yang dipakai dalam komunikasi
sehari-hari. Tujuan analisis bahasa baku
dalam penggunaan bahasa filsafat adalah untuk mendapatkan kejelasan yang
memadai bagi penggunaannya (Charlestworth, 1959: 180 diktuip Kaelan, 2009:
137). Penyimpangan penggunaan dalam ungkapan filsafat perlu mendapatkan
penjelasan memadai.
2.2.2
John Langshaw
Austin
Menurut
Austin, kita akan mendapat pelajaran sangat banyak dari perhatian kita terhadap
bahasa sehari-hari. Tidak jarang masalah filosofis akan nampak dalam bentuk
baru jika kita dekati dengan menggunakan unsur bahasa sehari-hari. Pengunaan
bahasa tidak dapat dilepaskan dari situasi konkret tempat ungkapan dan fenomena
kita kemukakan.
2.2.2.1
Pembedaan
Ucapan Bahasa
Austin memberikan sumbangan dalam filsafat
bahasa, yaitu pembedaan ucapan performatif (performative
utterances) dan ucapan konstatif (constative
utterances). Keduanya memiliki perbedaan dalam ucapan dan situasi
penggunaan serta persyaratan yang harus dipenuhi. Hal ini merupakan kontribusi
penting dalam perkembangan pragmatik.
2.2.2.2
Tindakan
Bahasa
Tindakan bahasa yang dimaksud di
sini adalah tindakan penutur dalam mengucapkan bahasa atau lebih dikenal dengan
istilah speech acts. Tindakan bahasa
dapat dibedakan menjadi tiga macam, 1) locutionary
acts, yaitu tindakan bahasa untuk mengatakan sesuatu; 2) illocutionasy acts, yaitu tidakan bahasa
dalam mengatakan sesuatu; 3) dan 3) perlocutionary
acts, yaitu tindakan bahasa dalam mengatakan sesuatu dengan maksud untuk
menimbulkan efek, reaksi, pikiran atau tindakan bagi yang mendengar atau orang
kedua yang diajak berbicara.
Tindakan lokasi (location acts) berupa 1) phonetic act (tindakan bunyi bahasa); 2)
phatic act (tindakan pengucapan kosa
kata ); 3) rhetic act (tindakan kosa
kata untuk kalimat langsungdan tidak langsung); tindakan ilokusi (illocutionary act) berbentuk 1) verdictives (tindakan keputusan); 2) excertives (tindakan bahasa akibat
kekuasaan, hak, pengaruh); 3) commissives
(tindakan bahasa dengan perbuatan atau operjanjian) ; 4) behabitives (tindakan bahasa menyangkut simpati, sikap, memaafkan,
memberikan selamat, dll.); 5) expositves (tindakan
bahasa dengan membrikan pandangan, pendapat, dll.); sedangkan tindakan bahasa
perlokusi (perlocutionary acts)
merupakan tindakan bahasa berkaitan dengan respon atau efek bagi orang yang
diajak berbicara.
2.2.3
Peter
Strawson
Konsep Strawson yang menarik
secara khusus adalah tentang persona.
Konteksnya adalah kesulitan yang dialami para filsuf mengidentifikasikan
keadaan sadar dengan menunjuk objek material. Konsep persona tidak dibentuk
oleh konsep tubuh dan konsep roh, tetapi merupakan suatu individu yang tunggal.
III.
HERMENEUTIKA
3.1 Pengantar
Hermeneutik secara etimologis berasal darti bahasda Yunani hermeneuin (v), berhubungan dengan hermeneus (n) yang berkaitan dengan
nama dewa dalam mitologi Yunani “Hermes” yang membawa pesan takdir. Maka
pengertian hermeneutik secara harfiah adalah menyampaikan pesan, berita. Pesan
yang disampaikan merupakan sasaran hermeneutik, bukan wadah pesan yang menjadi
perhatian primernya.
Tidaklah mudah menentukan
karakteristik pandangan filsafat melalui objek material bahasa. Kenyataannya
bahasa tidaklah mungkin dibatasi melalui formulasi logika. Munculnya pemikiran
filsafat bahasa biasa membuka cakrawala baru dalam dunia filsafat di Eropa,
terutama Inggris. Ryle, Austin,
Strawson dan filsuf lain justru membenarkan pada aspek pragmatik bahasa.
Filsafat metafisika mengalami kelumpuhan akibat kritik akurat melalui analitika
bahasa. Munculnya filsafat bahasa biasa tidak tampil sebagai pendekar melainkan
lebih menekankan pada makna bahasa dalam penggunaannya di kehidupan manusia. Hal ini membawa para filsuf mengkaji ulang
hakikat makna hidup manusia.
Hakikat kajian filsafat melalui objek bahasa hanya
menjelaskan kontekstualisasi linguistik masing-masing dan tidak mampu mengungkapkan kehdiupan manusia sebenarnya.
Menyadari kenyataan demikian muncullah berbagai pemikiran para filsuf yang
berupaya memahami hakikat kehidiupan manusia secara lengkap dan hal ini dapat
dilajukan dengan interpretasi bahasa. Problema ini mendorong para filsuf Jerman
dan Prancis mengembangkan filsafatnya dengan mendasarkan bahasa dalam proses
Hermeneutika, yang objeknya sama dengan filksafat bahasa biasa.
Para
filsuf hermeneutika mendasarkan filsafat bahasa biasa dan berupaya memahami
realitas kehidupan manusia. Filsuf hertemeneutika menawarkan cara lain untuk
melihat hakikat bahasa, yaitu bahasa dilihat sebagai cara memahami kenyataan
dan cara kenyataan tampil pada kita. Dalam pengertian demikian, fungsi esensi
bahasa adalah transformatif. Melalui bahasa kita mengtransformasikan dunia dan
melalui bahasa juga dunia mentransformasikan kita. Jadi pakar filsuf
hermeneutik justru melihat fungsi esensial bahasa dalm kehidupan manusia.
Bahasa tidak hanya dipahami sebagai struktur dan makna
serta penggunaannya dalam kehidupan, melainkan fungsi bahasa yang melukiskan
seluruh realitas hidup manusia. Dalam perspektif hermeuneutik, bahasa (die soprachlichkeit) merupakan pusat
gravitasi. Menurut Gadamer, bahwa ada yang bisa dimengerti adalah bahasa.
Munculnya bahasa manusia menampilkan suatu transformasi mendasar dan total dari
taraf kebinatangan menuju ke tingkat yang lebih khas manusia. Munculnya bahasa
manusia adalah bersamaan dengan munculnya kemampuan reflektif. Berkat adanya
bahasa manusia menjadi objek yang potensial bagi dirinya sendiri. Manusia
bukanlah suatu makhluk yang sekadar natural belaka, melainkan lebih sebagai
suatu produk kultural, suatu konstruk linguistik.
Oleh sebab itu bahasa memungkinkan manusia berpikir
sehingga bahasa tidak sebatas sebagai medium dalam pemikiran modern pada
umumnya. Bahasa bukan sekadar medium dan sarana berpikir belaka dan bukan
sekadar representasi kenyataan. Secara hakiki bahasa adalah manifestasi
totalitas pikiran manusia. Tidak ada cara lain untuk berpikir tentang hakikat
kenyataan itu selain melalui bahasa yang merupakan ungkapan kebudayaan manusia.
Berkaitan dengan itulah filsuf
hermeneutik hadir dengan berbagai macam kosepnya. Mereka itu antara lain
Schleirmacher, Dilthey, Heridegger, Gadamer, Habermas, Ricoeur, dan Derrida.
Perkembangan filsafat ini memiliki kontribusi besar dalam metode penelitian
kualitatif, terutama ilmu sosial.
3.2 Frederich Schleiermacher
Frederich
Schleiermacher berpendapat bahwa pemahaman adalah suatu rekonstruksi yang
bertolak dari ekspresi yang tekah diungkapkan dan mengarah kembali ke suasana
kejiwaan tempat ekspresi tersebut diungkapkan. Bahasa merupakan unsur
fundamental dalam hermeneutika dan sebagai sistem yang artinya suatu kata
ditentukan artinya lewat makna fungsionalnya dalam kalimat secara keseluruhan.
Makna kalimat ditentukan lewat arti kata satu per satu yang membentuknya.
3.3 Wilhelm Dilthey
Dilthey
merupakan pemikir dalam jalannya sendiri namun konsep filosofinya merupakan
sintesis pemikiran tradisi empiris di Inggris dan Prancis, filsafat
transendental. Pemikiran filsafat hidup Dilthey mengungkapkan apresiasi
mendalam tentang kekayaan dan keragaman hidup.
3.3.1 Pemikiran Filosofis
Pemikiran
filsafat Dilthey menghanalisis proses pemahaman yang membuat kita dapat
mengetahui kehidupan pikiran (kejiwaan) kita sendiri dan kejiwaan orang lain.
Hidup bersifat kompleks, merupakan sutau term psikologis dan kausimetafisik,
menunjuk semua keadaan jiwa, proses serta kegiatan sadar atau tidak sadar,
terutama kegiatan ekspresif kreatif sebagai substansi sejarah dan objek. Hidup
adalah objek satu-satunya dalam filsafat.
3.3.2 Bahasa dalam Proses Hermeneutika
Tugas
hermeneutika menurut Dilthey adalah melengkapi teori pembuktian validitas
universal interpretasi agar mutu sejarah tidak tercemari oleh pandangan yang
tidak dapat dipertanggungjawabkan. Untuk itu dituntut adanya latar belakang
pengetahuan untuk mengintrepretasi. Pengtetahuan tersebut bersifat gramatikal
kebahasaan serta sejarah agar kita mempunyai alat dalam mempertimbangkan suatu
karya.
Keselruhan
dapat ditangkap secara bagian per bagian atau sebaliknya. Keseluruhan terdiri
atas bagian-bagiannya dan dapat dipahami hanya dengan membaca keseluruhannya
secara berturut-turut dan membangun menjadi suatu gambaran yang bersifat saling
bertaut (koheren). Proses heremenutika selanjutnya, suatu karya dapat terungkap
penuh melalui karya-karya lain si pengarang. Melalui karya-karya tersebut dapat
terungkap hidup dan watak si pencipta. Interpretasi suatu karya dapat
berkembang dan meluas sehingga menjadi suatu studi sejarah.
3.4 Martin Heidegger
3.4.1 Pemikiran Filosofis
Das sein merupakan pusat pemahaman
fenomenologi heremeneutik Heidegger. Ia konsisten melalui proses
fenomenologi heremeneutisnya berupaya
untuk mengangkat das sein keluar dari
ketersembunyiannya (Poespoprodjo, 1987: 71 dikutip Kaelan, 2009: 273).
Pemikiran
Hedegger meliputi dua periode: 1) Ada dan waktu; 2) kehre (pembalikan). Heidegger berupya menganalisis das sein untuk memperlihatkan struktur
dasariah yang bersifat eksistensial dalam dunia. Struktur hakiki konsepnya
disebutnya sebagai existentialia.
Salah
satu sental gagasan Heidegger II adalah ontologische
differenz atau perbedaan ontologi,
perbedaan antara ada dan adaan. Berpikir patuh pada sein, ada pun berpikir baru disebut berpikir manakala. yang mengacu pada
ada. Berpikir pada hakikatnya terikat pada arti, oleh sebab itu manusia bukanlah penguasa atas ada,
melainkan sebagai penjaga dari padanya. Tanpa bahasa manusia bukankah manusia
Poepoprodjo, 1987: 72 dikutip Kaelan, 2009: 276).
3.4.2 Filsafat Bahasa dan Hermeneutika
Pemikiran
Heidegger merupakan filsafat bahasa yang berbneda dengan filsafat analitik.
Pertanyaan tentang bahasa akan dapat memunculkan kembali masalah kedekatan
berpikir dan sein. Bahasa tak sebatas
sarana belaka, melainkan hakikatnya adalah bahasa hakikat, artinya berpikir adalah
suatu jawaban, tanggapan atau respon dan bukan manipulasi ide yang hakikatnya
telah terkandung dalam proses penuturan bahasa. Bahasa berkaitan dengan proses
penyampaian arti. Identitas benda, ciri-ciri, sifat benda yang disampaikan daan
tanggapan kita menunjukkan manifestasi hakikat bahasa.
Menurut
Heidegger, bahasa tidak mungkin diformulasikan dengan logika yang ketat sebab
akan menggangu hakikat bahasa itu sendiri. Oleh sebab itu, hakikat bahasa
dkitunjukkan dengan berpikir dan berkata atau mengungkapkan sesuatu, menampakkan das sein, dan cerminan keterbukaan manusia terhadap hal ini.
Berkata atau berucap adalah memberitahukan, menampakkan atau menunjukkan das sein sehingga membuatnya menjadi
terbuki dan berpikir. Mengungkapkan suatu kata adalah sein lassen (membicarakan peristiwa yang ada). Bahasa adalah tempat
tinggal sang ada. Bahasa adalah
tanda, menunjukkan isi tertentu sebagai sarana komunikasi dan sarana lain.
Bahasa adalah suatu proses, dinamika, gerakan dan manusia dalam jalan itu.
3.4.3 Bahasa dalam Fenomenologi
Hermeneutika
Menurut Heidegger faktisitas
keberadaan merupakan sesuatu yang amat fundamental. Fenomenologisnya sebagai
hermeneutika. Fenomenologi hemeneutika Heidegger adalah fenomenologi tentang ada. Maka, arti primernya adalah analisis
eksistensialitas.
3.4.4 Bahasa
dalam Proses Pemahaman
Berpikir bukan menggambarkan,
memvisualisasikan di deopan mata, melainkan untuk mendapatkan keterangan dan
memanfaatkan suatu oengertian tentang sei.
3.5 Hans Georg Gadamer
3.5.1 Pemikiran
Filosofis
Pemahaman
kita bersifat historis, peristiwa diaklektis dan peristiwa kebahasaan.
Hermeneutika adalah ontologi fenomenologi pemahaman yang kuncinya partisipasi
dan keterbukaan, bukan manipulasi dan pengendalian. Dialektika merupakan sarana
untuk melampaui kecenderungan metode yaang memprastrukturkan kegiatan ilmiah
peneliti. Hermeneutika dialektis membimbing manusia untuk menyingkap hakikat
kebenaran serta menemukan hakikat realitas segala sesuatu secara sebenarnya.
3.5.2 Hakikat
Bahasa
Di dalam bahasa sebagai perantara
terlaksana kesesuaian pengertian antarsubjek dialog dan kesepahaman tentang
masalah. Fungsi horizontalnya adalah bahasa yang semula berfungsi sebagai alat
tutur, baik lisan maupun tertulis. Bahasa tulis memiliki kelemahan alienasi
hingga karya sastra berupaya semaksimal mungkin mengungkakan daya
pragmatiknya.
3.5.3 Bahasa
dan Sistem Tanda
Bahasa dalam sejarahnya memiliki
teori sistem tanda. Kata sebagai simbol
realitas merupakan tanda melalui kata yang bermakna dan berlaku dalam suatu
komunitas. Bahasa merupakan tanda
dan bentuk simbolik ciptaan manusia. Kata
milik realitas. Manusia mencari kata yang tepat. Bagi Gadamer pemahaman,
pengalaman, pikiran pada hakikatnya benar-benar merupakan kebahasaan. Kata
bukanlah sebagai hasil reflektif, realitas terwujud lewat kata, bahasa di dalam
pengalaman, pemahaman dan pikiran.
3.5.4 Bahasa
sebagai Pengalaman Dunia
Menurut Gadamer bahwa fungsi bahasa
sebagai petunjuk barang-barang adalah terbalik. Bahasa adalah pengalaman dunia, manusia hidup di dalam dunia karena bahasa.
Pengalaman bersifat kebahasaan adalah mutlak, yaitu melampaui segala
relativitas dan hubungan tempat berbagai realitas berada.
Bahasa
merupakan perantara pewarisan dan pengungkapan, pengalaman kebahasaan
menunjukkan bahwa pengalaman mansia tidak mungkin mendahului bahasa akan tetapi
pengalaman terjadi lewat dan dalam bahasa.
3.5.5 Struktur
Spekulatif Bahasa
Bahasa pada hakikatnya adalah bersifat
dinamis yang membawa sesuatu ke arah pemahaman. Proses transformasi dalam
bahasa tidak pernah berhenti, bahasa adalah hidup sehingga senantisa membiarkan
sesuatu untuk mengungkapkan diri. Setiap ungkapan verbal menuntut ke arah
keterbukaan terhadap transformasi das
sein.
3.5.6 Bahasa
sebagai Pusat Hermeneutika
Bahasa adakah alat komunuikasi aku dan dunia bersama-sama di dalamnya. Bahasa
bukanlah daya final realitas, melainkan proses yang tidak pernah berhenti ke
arah transformasi bahasa. Menurut Gadamer filsafat hermeneutika memahami diri
sendiri bukan sebagai posisi mutlak sebuah pengalaman, melainkan sebagai jalan
pengalaman. Struktur spekulatif memiliki posisi yang sangat sentral dalam
menentukan jalannya pengalaman. Hubungan manusia dengan dunianya bersifat
kebahasaan. .
3.6 Jurgen Habermas
3.6.1 Peranan
Bahasa dalam Pemahaman
Habermas
membedakan penjelasasn dan pemahaman. Beliau menekankan bahwa kita tidak dapat
memahami sepenuhnya makna fakta sebab ada juga fakta yang tidak dapat
diinterpretasi. Bahasa merupakan unsur fundamental dalam hermeneutika. Analisis
terhadap fakta dilakukan melalui simbol-simbol yang berperan sebagi simbol dan
fakta. Dalam proses hermeneutika rumusan bahasa yang dimaksud adalah bahasa
yang merupakan simbol dari fakta sehingga terhubungkan secara sistematis
antarunsur bahasa.
3.6.2 Peranan
Bahasa dalam Hermeneutika
Hermeneutika berusaha menerangkan
sesuatu secara individual yang khas, bukan bersifat universal. Bahasa sehari-hari digunakan untuk
berkomunikasi dalam konteks kehidupan yang konkret sehingga bahasa mampu
mengungkapkan makna individual;.
3.6.3 Hubungan
Antara Bahasa, Pengalaman, dan Tindakan
Terdapat interaksi antara bahasa dan
pengalaman tidak menjadi syarat transendental bagi suati tindakan dalam
berkomunikasi. Bahasa dan pengalaman harus masuk dalam dialektika dengan
tindakan. Ada
empat bagian: 1) tindakan teologis; 2) tindakan normatif; 3) tindakan
dramaturgik; dan 4) tindakan komunikatif.
3.7
Paul Ricoeur
3.7.1 Pemikiran
Filosofis
Filsafat pada hakikatnya adaklah
suatu hermeneutika, yaitu kupasan tentang makna yang tersembunyi dalam teks.
Setiap interpretasi adalah usaha membongkar makna-manka yang masih tersembunyi
atau usaha membuka selubung atau lipatan dari tingkatan makna yang tersembunyi
terkandung dalam makna kesusastraan.
3.7.2 Makna
Bahasa dalam Hermeneutika
Suatu sasaran yang hendak dituju
oleh berbagai macam hermeneutika adalah perjuangan melawan distansi kultural.
Penafsir harus membuat jarak agar menjadi penafsuir yang baik. Bahasa dinyatakan dalam simbol, pengalaman
dibaca melalui pernyataan atau ungkaopan simbol-simbol. Kita mengungkaopkan
gagasdan, emosi, kesustraan, filsafat, dan lain-lain melalui bahasa.
3.7.3 Peranan
Bahasa dalam Pemahaman
Dalam
hermeneutika harus dilakukan pembedaan antara pemahaman, penjelasan, dan
interpretasi. Setiap interpreter juga
bicara sirkulasi saling terkait antarhal tersebut. Interpreter harus menggumuli
interpretasinya sendiri, dari masih mentah hingga matang.
Tiga
langkah yang bisa dilakukan: 1) penghayatan simbol-simbol; 2) pemberian makna simbol-simbol; 3) langkah filosofis
degan menggunakan simbol-simbol sebagai titik tolaknya.
3.8 Jacques Derrida
3.8.1 Pemikiran
Filosofis
Filsafat
dan ilmu pengetahuan pada dasarnya
merupakan hal yang sama. Tradisi metafisis condong ke arah ADA yang hadir bagi
dirinya sendiri ada yang benar bagi dirinya sendiri, terlepas dari serita di
mana ada dikemukakan atau
dikisahkan.
3.8.2 Pemikiran
Filsafat Bahasa
Tanda adalah trace (bekas) suatu kata yang sebelumnya sudah dipakai sebagai
istilah teknis dalam filsafat. Pada hakikatnya tanda tadi tidak mempunyai
substansi serta kuantitas sendiri, melainkan hanya menunjuk. Bekas tidak dapat
dimengerti sendiri melainkan hanya sejauh menunjuk kepada hal-hal lain. Tnda
tidak dianggap sebagai sesuatu yang sementara karena seandainya bekas itu
dihapus, kehadirannya akan terhapus juga.
3.8.3 Hakikat
Bahasa
Derrida membedakan tanda dan simbol
yang merupakan pronblema filosofis dalam filsafat bahasa. Tanda bersifat arbitrer (manasuka) dan tidak menurut
kodratnya. Tulisan mendahului ucapan, itulah dasar pemikiran Derrida, hingga
prioritas utamanya adalah bahasa tulis. Tulisan adalah semacam barang asing yang
masuk ke dalam sistem bahasa sehingga merupakan sebab atau asal dari bahasa yang diucapkan. Penulisan abjad menghadirkan ucapan dan sesaat
kemudian hilang di balik kata-kata yang diucapkan. Tulisan akan hilang ketika
ucapan mencapai kesempurnaannya dan akan sepenuhnya ditampilkan dalam
pemindahan sistem penulisannya. Lantas hadir subjek yang mengucapkan dan pada
ucapan itu tulisan memperoleh arti, isi, serta nilainya.
3.8.4 Bahasa
dalam Proses Hermeneutika
Teoiri interpretasi pada hakikatnya
adalah teori membaca yang pada akhirnya teori tentang teks. Pemahaman seseorang
bergantung pada bagian mana ia membacanya. Derrida lebih cenderung kepada interpretasi teks tertulis yang
digunakan untuk dibaca sebagai teks sebab
teks ini mengikuti secara ketat aturan-aturan sintaksis dan gaya bahasa.
3.8.5 Makna
Bahasa
Secara ontologis tulisan mendahului
ucapan. Tulisan menjadi jejak yang bisu namun dapat menjadi saksi yang tidak
hadir dan belum dapat terkatakan. Tulisan menghilang ketika ucapan akan
mencapai kesempurnaan. Gerakan makna tidak akan mungkin bila setiap unsurnya
tidak hadir atau tampil.
Bahasa pada hakikatnya adalah suatu
sistem tanda yang bermakna. Untuk mengungkapkan realitas dalam kenyataannya
tidaklah cukup jikalau hanya dikaji melalui unsur struktur bahasa saja. Hakikat
bahasa yang hanya mengungkapkan realitas segala sesuatu harus mampu mencapai core values yang berada di balik
struktur bahasa yang nampak bersifat enmpiris tersebut. Hal inikah yang dalam
perkembangannya kajian filosofis melalui analitika bahasa menumbuhkan suatu
pandangan ilmiah yang mendasarkan pada
pendekatan kuantuitaif positivistic dan penmdekatan kualitatif fenomenologis.
Daftar
Pustaka
Kaelan.
2009. Filsafat Bahasa, Semiotika dan
Hermeneutika. Yogyakarta:
Paradigma.
Komentar
Posting Komentar
Gunakan nama dan email masing-masing! Harap ditulis nama, kelas, dan nomor absen.