APLIKASI TEORI TES KOMPETENSI KEBAHASAAN
I.
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Sebagai suatu
pembelajaran, pembelajaran bahasa dilaksanakan untuk mencapai sejumlah tujuan
pembelajaran yang telah diidentifikasi dan dirumuskan berdasarkan telaah
mendalam terhadap kebutuhan yang perlu dipenuhi. Hal ini diupayakan tercapai
melalui serangkaian kegiatan pembelajaran yang secara matang dirancang dan
diselenggarakan secara sungguh-sunguh. Proses pembelajaran dilansanakan dengan
menggunakan bahan ajar dan pelatihan yang terpilih dan disusun secara teliti
demi pencapaian tujuan. Upaya memastikan ketercapaian tujuan yang telah
dirumuskan dilakukan dengan melaksanakan ragkaian evaluasi sebagaimana telah
dirancang. Faktor inilah yang mendudukkan evaluasi sebagai bagian dari desain
pembelajaran memiliki fungsi amat penting.
Bermula dari tujuan yang
harus dicapai untuk memenuhi sejumlah kebutuhan, serangkaian kegiatan dirancang
dan diselenggarakan. Tujuan pembelajaran, proses kegiatan pembeljaran, dan
evaluasi hasil kegiatan saling terkait dalam satu pola hubungan yang erat.
Suatu kompnen penyelenggaraan pembelajaran terdahulu memengaruhi bahkan
menentukan penyenggaraan komponen berikutnya. Dalam pembelajaran bahasa,
kemampuan bahasa reseptif, menyimak dan membaca merupakan komponen dasar yang
amat berpengaruh terhadap ketercapaian komponen kemampouan bahasa produktif
berikutnya, dalam hal ini berbicara dan menulis.
Evaluasi bahasa pada
umumnya lebih dikaitkan secara terbatas dengan tingkat keberhasilan
pembelajaran yang telah diselengarakan. Evaluai tingkat keberhasilan berbahasa
seringkali dikaitkan dengan tingkat keberhasilan pembelajara dalam bentuk nilai
yang diperoleh dari guru pada masa tertentu, terutama di akhir satuan waktu
belajar. Meskipun pemahaman tersebut tidak keliru, pencapaian tingkat
keberhasilan pembelajar sebenarnya hanyalah meruakan sebagian dari tujuan sekaligus
kegunaan dari hasil evaluasi.[1]
Bagi komponen
penyelenggara pembelajaran nilai yang dicapai pembelajar merupakan tingkat
keberhasilan pembelajaran yang dicapai oleh pembelajar. Bagi guru nilai
merupakan unjuk kerjanya dalam mengelola kegiatan pembelajaran dan interakasi
dengan pembelajar. Maka, akan bijaksana manakala guru memerhatikan tingkat
pemahaman pembelajar tentang materi yang disampaikannya dalam proses layanan
pembelajaran. Guru dapat melakukan telaah terhadap unjuk kerjanya untuk
menganalisis tahap perencanaan, proses layanan pembelajaran,dan pengevaluasian
yang dilakukannya. Hasil evaluasi digunakan sebagai umpan balik bagi komponen awal
dan layanan proses pembelajarannya.
Sasaran penyelenggaraan
evaluasi kemmapuan bahasa adalah kemampuan menggunakan bahasa secara produktif,
dalam hal ini anah menymak, berbicara, membaca, dan menulis. Kemampuan menyimak
mengacu pada kemampuan memahami informasi lisan yang disampaikan pihak lain,
kemampuan berbicara merujuk pada kemampuan menguyngkapkan pikiran dan isi hati
melalui rangkaian kata-kata yang dilisankan, kemampuan membaca menunjuk pada
kemampuan memahami maksud dan pikiran orang lain yang diungkapkan melalui
tulisan, dan kemampuan menulis mengacu pada kemampuan mengungkapkan pikiran dan
isi hati secara tertulis. Kemampuan menyimak an membaca terklasifikasikan dalam
kemamouan bahasa pasif-reseptif, sedangkan kemampuan berbicara dan menulis
termasuk dalam klasifikasi kemampuan bahasa aktif-produktif.
Kemyataan yang sering
terjadi di lapangan adalah kebelumtepatan media penilaian sebagaimana yang
seharusnya. Hal ini antara lain disebabkan oleh tes kompetensi kebahasaan belum
berjalan dengan baik dan benar, guru menguasai materi, namun belum menerapkan
tes kompetensi kebahasaan dengan benar, guru kurang memahami tes kompetensi
kebahasaan dengan baik dan benar, serta kurang mengembangkan diri ke arah yang
dimaksud, tes kebahasaan hanyalah formalitas rangkaian langkah program
administratif yang harus dipenuhi, tes kompeensi kebahasaan kurang mengenai
sasaran yang tepat sesuai dengan konten yang dimaksud, kajian teoretis tentang
tes kompetensi kebahasaan belum begitu banyak dikuasai guru dan belum
dipraktikkan sehingga baru sebatas teoretis namun aplikatifnya masih belum
banyak dimengerti.
1.2
Tujuan
Persoalan aplikasi teori tes kompetensi kebahasan dikaji dengan maksud:
1.2.1 Memahami konsep dasar tes
kompetensi kebahasaan ranah menyimak.
1.2.2 Memahami konsep dasar tes
kompetensi kebahasaan ranah berbicra
1.2.3 Memahami konsep dasar tes
kompetensi kebahasaan ranah membaca
1.2.4 Memahami konsep dasar tes
kompetensi kebahasaan ranah menulis
1.2.5 Mangaplikasikan teori tes
kompetensi kebahasaan ranah menyimak.
1.2.6 Mangaplikasikan teori tes
kompetensi kebahasaan ranah berbicara
1.2.7 Mangaplikasikan teori tes
kompetensi kebahasaan ranah membaca
1.2.8 Mangaplikasikan teori
dasar tes kompetensi kebahasaan ranah menulis
1.3
Rumusan Masalah
1.3.1
Bagaimanakah aplikasi tes kompetensi kebahasaan ranah menyimak?
1.3.2
Bagaimanakah aplikasi tes kompetensi kebahasaan ranah
berbicara?
1.3.3
Bagaimanakah aplikasi tes kompetensi kebahasaan ranah
membaca?
1.3.4
Bagaimanakah aplikasi tes kompetensi kebahasaan ranah
menulis?
II.
PEMBAHASAN
2.1
Kajian Konseptual
2.1.1
Pendekatan Tes Bahasa
Tes
kompetensi bahasa memusatkan perhatian pada hasil pemikiran ilmu bahasa pada
pengukuran tingkat penguasaan kemampuan berbahasa. Dalam kajian dikenal adanya
beberapa cara pandang dan unsur yang dianggap penting sesuai dengan
perkembangan ilmu. Tes bahasa mengenal 5 bentuk pendekatan: 1) pendekatan
tradisional; 2) pendekatan diskret; 3) pendekatan integratif; 4) pendekatan
pragmatik; dan 5) pendekatan komunikatif.[2]
1)
Pendekatan Tradisional
Pendekatan tes bahasa tradisional melakukan tes
tidak berdasarkan patokan atau rambu-rambu baku tentang jenis kemampuan bahasa
yang dijadikan sasran, cara mengetes, dan bagaimana cara menilainya. Semuanya
diserahkan kepada penyelenggara tes. Biasanya pendekatan tradisonal lebih
menguatamakan tes tata bahasa sebagaimana proses pembelajarannya. Dalam oenerapannya tes bahasa pendekatan
tradisional lebih banyak diwarnai dengan berbagai bentuk subjektivitas dalam
pemilihan kemampuan berbahasa yang dijadikan sasaran, penetapan bahan dan isi
tes, serta cara penilaiannya.
2)
Pendekatan Diskret
Discrete
point test: tes yang hanya menekankan/ menyangkut satu aspek kebahasaan pada satu
waktu. Tiap butir tes hanya untuk mengukur satu aspek kebahasaan: fonologi,
morfologi, sintaksis, kosakata. Tes diskret juga dapat menyangkut tes
keterampilan berbahasa. Dasar pemikiran tes diskret (juga dalam hal pengajaran)
adalah teori strukturalisme (linguistik) dan behaviorisme (psikologi). Kedua
teori itu beranggapan bahwa keseluruhan dapat dipecah-pecah ke dalam
bagian-bagian atau, keseluruhan adalah jumlah dari bagian-bagian. Tiap bagian
tersebut (kebahasaan dan keterampilan) dapat diajarkan dan diteskan secara
terpisah. Pembelajaran dan pengujian kebahasaan dalam teori ini mengabaikan
konteks.
Pandangan bahwa teori tes diskret
dapat memecah-mecah unsur kebahasaan dan menghadirkannya dalam keadaan
terisolasi, dianggap sebagai kelemahan tes diskret yang paling mencolok . Orang
tidak mungkin belajar bahasa dalam situasi yang mutlak diskret dan terisolasi
(tanpa konteks). Lagi pula dalam hal belajar bahasa, keseluruhan belum tentu
sama jumlah dari bagian-bagian Ada
kompetensi yang harus dimiliki seseorang yang di luar kebahasaan (: pendekatan
komunikatif). Kompetensi komunikatif
memprasyaratakan kompetensi-kompetensi lain selain unsur bahasa, misalnya
kompetensi sosial (faktor sosio-kultural). Faktor sosio-kultural memegang peran penting
dalam menunjang kompetensi omunikatif seseorang. Tes diskret gagal untuk
mengukur kompetensi komunikatif yang justru memprasyaratkan adanya keterlibatan
banyak unsur kebahasaan dan faktor yang di luar bahasa.
Persoalan yang muncul adalah apakah tes diskret tidak perlu lagi
dipergunakan di sekolah untuk mengukur kadar keberhasilan belajar bahasa siswa?
Teori baru dibangun atau sebagai reaksi
teori sebelumnya; yang baru tak dapat sama sekali meninggalkan yang lama. Pendekatan
komunikatif dalam pembelajaran bahasa tak dapat sama sekali meninggalkan
pandangan strukturalisme. Dalam tahap awal pembelajaran bahasa bagi orang
dewasa, pengajaran unsur struktural bahasa masih amat dibutuhkan. Orang tidak
akan bisa begitu saja diajak berbicara bahasa asing sebelum memiliki
pengetahuan tentang sistem bahasa itu. Artinya, pengajaran unsur bahasa masih
diperlukan. Jika pengajaran unsur struktur masih dilakukan, tes diskret mau
tidak mau masih juga diperlukan atau minimal untuk tujuan remidial
3)
Pendekatan Integratif
Integrative
test
merupakan bentuk tes yang mengukur lebih dari unsur kebahasaan atau satu
keterampilan berbahasa dalam satu waktu. Dalam tes integratif, ada beberapa
unsur kebahasaan atau keterampilan berbahasa yang harus harus dilibatkan, dan
itu dipadukan. Dalam satu kali tes minimal ada dua aspek/keterampilan yang
diukur. Aspek-aspek kebahasaan tidak saling dipisahkan, melainkan dipadukan
sehingga ada keterkaitan antarunsur/antarketerampilan. Bahasa yang alamiah
bukanlah kumpulan dari unsur-unsur bahasa semata. Dalam tes keterampilan
bahasa, bahkan akan lebih baik jika juga mempertimbangkan aspek konteks. Tes
integratif memang sudah memadukan beberapa unsur kebahasaan, tetapi belum tentu
kontekstual. Tes yang kontekstual lazimnya bersifat pragmatik/komunikatif. Tes
pragmatik/komunikatif pasti integratif, tetapi tes integratif belum tentu
pragmatik
Tes integratif yang tidak
kontekstual masih terisolasi, mirip-mirip dengan tes diskret, belum
mencerminkan penggunaan bahasa yang alamiah. Berbagai tes unsur kebahasaan yang
diteskan minimal berada dalam konteks kalimat, atau konteks yang lebih besar. Dilihat
dari sudut pembelajaran bahasa dewasa ini, tes integratif terlihat lebih menjanjikan
daripada tes diskret. Walau demikian, pemilihan tes haruslah disesuaikan dengan
pendekatan, metode, dan teknik, bahkan juga bahan pembelajaran, yang
dipergunakan dalam pembelajaran bahasa di kelas
4)
Tes Pragmatik
Tes pragmatik berangkat dari pandangan bahwa
bahasa adalah alat berkomunikasi, maka seseorang dinyatakan memiliki kompetensi
berbahasa adalah jika mampu mempergunakan bahasa itu dalam konteks yang
sesungguhnya. Tes pragmatik merupakan pendekatan dalam tes keterampilan
berbahasa untuk mengukur seberapa baik pembelajar mampu mempergunakan elemen
bahasa sesuai dengan konteks berbahasa yang sesungguhnya
Tes pragmatik adalah prosedur/tugas yang menuntut
pembelajar menghasilkan urutan unsur bahasa sesuai dengan pemakaian bahasa
secara nyata, dan sekaligus menuntut pembelajar menghubungkannya dengan konteks
ekstralinguistik. Dalam tes pragmatik tak ada lagi tes struktur/kosakata secara
tersendiri, tetapi semua unsur kebahasaan terlibat dan langsung dikaitkan
dengan unsur ekstralinguistik sekaligus. Dalam kehidupan berbahasa ada dua hal
yang terlibat: konteks linguistik dan ekstralinguisik. Konteks linguistik:
bahasa sebagai lambang verbal dengan segala unsurnya
Konteks ekstralinguistik merupakan dunia atau
sesuatu yang di luar bahasa, sesuatu yang disampaikan lewat media bahasa. Dalam
kehidupan berbahasa terdapat hubungan sistematis dan timbal-balik antara kedua
konteks tersebut. Ada berbagai hal di luar bahasa yang berpengaruh terhadap
pemilihan wujud bahasa dalam berkomunikasi, dan itulah yang disebut sebagai
faktor penentu atau pragmatik. Faktor pragmatik/faktor penentu ada banyak
jenisnya, misalnya siapa yang berkomunikasi, apa tujuan komunikasi, masalah
yang dikomunikasikan, tingkat formalitas ketika komunikasi terjadi, dan
lain-lain.
Tes pragmatik mengukur kemampuan berbahasa
pembelajar dalam konteks yang sesungguhnya. Namun, itu harus ada kesesuaian
dengan metode pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa haruslah menekankan pada
kemampuan berbahasa, bukan sistem bahasa. Dengan begitu ada keselarasan antara
model pembelajaran dan model penilaian. Namun, pada praktiknya tidak mudah
mengreaikan pembelajaran bahasa yang benar-benar kontekstual dan komunikatif. Artinya,
pembelajaran “penggunaan bahasa”, kemampuan berbahasa, masih saja artifisial,
namun itu sudah lebih baik daripada yang benar-benar diskret dan terisolasi. Tes
pragmatik yang masih berwujud penggunaan dalam konteks artifisial juga sudah
lebih baik daripada yang benar-benar diskret yang hanya bertujuan mengukur
pengetahuan tentang sistem bahasa.
Ada
banyak model dan contoh, dan salah satunya adalah tes tes cloze (cloze test). Tes
jenis ini baik dipakai untuk pemahaman bacaan; tes pemahaman wacana dengan tes
objektif berkorelasi secara positif dengan hasil tes cloze. Tes cloze adalah
tes yang berupa pengisian kembali kata-kata ke-n yang sengaja dihilangkan dalam
sebuah wacana. Kata-kata yang dihilangkan biasanya kata yang ke-5, ke-6, ke-7. Untuk dapat
mengisi tempat-tempat kosong, pembelajar harus memahami makna wacana. Teknik
penyekoran: teknik kata eksak (jawaban siswa harus sama dengan kata asli yang
dihilangkan) dan teknik kelayakan konteks (jawaban siswa tidak harus persis
dengan kata asli sepanjang dimungkin secara konteks)
Teknik kelayakan konteks lebih menguntungkan;
semua kata yang mempunyai peluang sebagai jawaban benar diperingkat (diskala;
1-4). Tes cloze juga baik untuk menilai tingkat kesulitan wacana bagi
pembelajar level tertentu: jika jawaban benar siswa ≥75%, wacana itu tergolong
mudah; jika ≤20% wacana tersebut tergolong sulit. Jika yang diteskan itu sampel
dari wacana yang panjang, hasil tes itu mencerminkan tingkat kesulitan wacana
secara keseluruhan.
5)
Tes Komunikatif
Sebenarnya ada tumpang-tindih antara tes pragmatik
dan tes komunikatif; bahkan tak jarang keduanya disamakan. Keduanya sama-sama
berpandangan bahwa pembelajaran dan tes bahasa haruslah berangkat dari
penggunaan bahasa yang sesungguhnya, bukan tes tentang sistem bahasa dan dalam
keadaan terisolasi. Kedua jenis tes ini sama-sama menekankan pentingnya tes
kemampuan berbahasa (kinerja bahasa, performansi bahasa), dan bukan tes
terhadap unsur-unsur bahasa (diskret). Tampaknya, adanya perbedaan itu lebih
disebabkan oleh penamaan yang diberikan oleh orang yang berbeda. Tes
komunikatif atau tes kompetensi komunikatif terlihat lebih ketat
memprasyaratkan adanya konteks pemakaian bahasa.
Tes komunikatif dilakukan sejalan
dengan penggunaan pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa. Pendekatan
ini menekankan pada pembelajaran bahasa sesuai dengan fungsi-fungsi bahasa
untuk keperluan berkomunikasi. Penggunaan bahasa (atau komunikasi dengan
bahasa) dapat bersifat aktif-reseptif (menyimak, membaca) dan aktif-produktif
(berbicara, menulis). Dalam sebuah tes komunikatif terlibatkan semua aspek
bahasa (whole language) sebagaimana halnya orang berkomunikasi yang juga
melibatkan seluruh unsur kebahasaan. Penggunaan bahasa yang otentik (authentic
language) menjadisemacam keniscayaan, dan itu juga terlihat dalam tes
bahasa. Bahasa otentik adalah bahasa yang dijumpai dalam penggunaan bahasa yang
sesungguhnya dalam berkomunikasi sehari-hari. Hal yang demikian sebenarnya juga
menjadi tuntutan tes pragmatik.
Wujud tes komunikatif adalah tes
pemahaman dan penggunaan bahasa dalam konteks yang jelas; jadi ia berupa tes
kemampuan berbahasa (skills). Konteks haruslah dikreasikan sedemikian
rupa dengan melibat berbagai faktor penentu sehingga pembelajar tahu apa wujud
bahasa yang mesti dipergunakan sesuai dengan konteks itu. Misalnya, tes
pemahaman terhadap sebuah dialog (menyimak), maka harus dapat dikenali siapa
yang berbicara, bagaimana situasi, topik pembicaraan, dan lain-lain. Tes
terhadap komponen bahasa, misalnya kosakata atau struktur, jika diperlukan,
boleh dilakukan tetapi tetap harus berdasarkan konteks; hal ini misalnya
terkait dengan tujuan remidial . Artinya, kosakata dan struktur itu diambil
dari konteks tertentu. Dalam tes prakomunikatif, terutama dalam tes
pembelajaran bahasa asing, tes komponen kebahasan tentu masih diperlukan.
6)
Tes Otentik
Sebagaimana halnya portofolio, sejak era KBK/KTSP,
penilaian otentik (authetic assessment) kini sedang naik daun. Dalam arti
disarankan dan banyak digunakan untuk mengukur hasil pembelajaran khususnya
pembelajaran bahasa. Portofolio juga merupakan salah bentuk penilaian otentik. Penilaian
otentik mementingkan penilaian proses dan hasil sekaligus. Dengan demikian,
seluruh tampilan siswa dalam rangkaian KBM dapat dinilai secara objektif, apa
adanya, dan tidak semata-mata hanya berdasarkan hasil akhir (produk) saja.
Lagi pula amat banyak
kinerja siswa yang ditampilkan selama KBM sehingga penilaiannya haruslah
dilakukan selama dan sejalan dengan berlangsungnya kegiatan pembelajaran. Sejalan
dengan teori Bloom, penilaian haruslah mencakup ranah kognitif,afektif, dan
psikomotorik. Cara penilaian juga bermacam-macam, nontes dan tes dan kapan saja
Misalnya dengan cara: tes (ulangan), penugasan, wawancara, pengamatan, angket,
catatan lapangan/harian, portofolio, dan lain-lain. Penilaian yang dilakukan
lewat berbagai cara (model), menyangkut berbagai ranah, serta meliputi proses
dan produk inilah yang kemudian disebut sebagai penilaian otentik. Otentik
dapat berarti dan sekaligus menjamin objektivitas, bersifat nyata dan konkret, benar-benar hasil
tampilan siswa, serta akurat dan bermakna.
Tes otentik dapat dimaknakan bermaca-macam,
tergantung oleh siapa dan untuk lingkup apa, namun umumnya bersifat saling
melengkapi. Penilaian otentik menunjuk pada pemberian tugas kepada pembelajar
untuk menampilkan kemampuannya mempergunakan bahasa target secara bermakna dan
kemudian dinilai. Authentic assessment: a form of assessment in which
students are asked to perform real-world tasks that demonstrate meaningful
application of essential knowledge and skills (John Mueller, 2008). Authentic assessment: performance assessment
call upon the examinee to demonstrate specific skills and competencies, that
is, to aplly the skills and knowledge they have mastered (Richard J.
Stiggins, 1987).[3]
Bagaimana Tes Tradisional dengan Tes
Otentik?
Penilaian
tes tradisional lebih banyak menanyakan
penguasaan pengetahuan lewat bentuk-bentuk tes objektif. Karakteristik tes
tradisional menurut Mueller (2008): misi sekolah adalah mengembangkan warga
negara yang produktif. Untuk menjadi warga negara produktif, seseorang harus menguasai disiplin
keilmuan dan keterampilan tertentu. Maka, sekolah mesti mengajarkan siswa
disiplin keilmuan dan keterampilan tersebut. Untuk mengukur keberhasilan
pembelajaran, guru harus mengetes siswa untuk mengetahui tingkat penguasaan
keilmuan dan keterampilan itu. The curriculum drives assessment; the body of
knowledge is determined first.
Karakteristik tes otentik: misi sekolah adalah
mengembangkan warga negara yang produktif . Untuk menjadi warga negara
produktif, seseorang harus mampu menunjukkan penguasaan melakukan sesuatu secara
bermakna dalam dunia nyata. Maka, sekolah mesti mengembangkan siswa untuk dapat
mendemonstrasikan kemampuan/keterampilan melakukan sesuatu. Untuk mengukur
keberhasilan pembelajaran, guru harus meminta siswa melakukan aktivitas
tertentu secara bemakna yang mencerminkan aktivitas di dunia nyata. Assessment drives the curriculum; the teachers first
determine the tasks that student will perform to demonstrate their mastery.
Traditional
Test
|
Authentic
Assessment
|
Selecting a Response
|
Performing a Task
|
Contrived
|
Real-life
|
Recall/Recognition
|
Construction/Application
|
Teacher-structured
|
Student-structured
|
Indirect Evidence
|
Direct Evidence
|
Lantas Mana yang Lebih Baik Digunakan?
John Mueller (2008) dalam Nurgiantoro (2009) menyebutkan
sedikitnya ada empat alasan mengapa kita perlu menggunakan penilaian otentik: 1) Authentic Assessments are Direct Measures;
2) Authentic Assessments Capture
Constructive Nature of Learning; 3) Authentic Assessments Integrate Teaching, Learning and Assessment;
dan 4) Authentic Assessments Provide Multiple Paths to Demonstration.[4]
Authentic Assessment: Students are asked
to perform real-world tasks that demonstrate meaningful application of
essential knowledge and skills
Langkah-langkah pertimbangan pengembangan
penilaian otentik dapat dilakukan dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai
berikut.
Tes Otentik
Kebahasaan
Penilaian otentik hasil
pembelajaran bahasa tentulah juga terkait dengan fungsi bahasa yang sebagai
sarana berkomunikasi. Jadi, ia lebih terkait penilaian kompetensi komunikatif daripada
kompetensi linguistik. Dalam penilaian model ini, siswa dituntut untuk
benar-benar menghasilkan bahasa sebagaimana halnya dalam komunikasi sehari-hari
dengan mempertimbangkan berbagai faktor pragmatik. Faktor pragmatik itu
bermacama-macam: situasi (tingkat keformalan penuturan, tujuan, lawan tutur,
substansi tuturan, saluran komunikasi, dll.). Dalam situasi nyata, orang
berbahasa tidak sekadar demi bahasa itu sendiri, melainkan karena ada sesuatu
yang ingin dikomunikasika.
Jadi, faktor gagasan
(substansi penuturan) yang terkandung dalam penuturan mesti ada dan harus dipertimbangkan
dalam penilaian. Selain itu, tingkat keformalan (formal—nonformal) juga amat
menentukan. Dari sinilah kemudian muncul istilah: berbahasa Indonesia secara baik dan benar. Baik berarti sesuai
dengan faktor pragmatik, benar sesuai dengan kaidah. Namun, yang lebih
disarankan untuk diujikan di sekolah dalam bentuk tugas-tugas yang harus
dilakukan siswa/mhs adalah produksi bahasa yang benar. Lewat cara itu
pengetahuan kebahasaan (kompetensi linguistik) siswa/mhs sekaligus dapat
diketahui. Penggunaan bahasa Indonesia secara baik umumnya sudah teruji di luar
kelas.
Dengan demikian, penilaian
ketepatan penggunaan bahasa, sekaligus juga berarti ketepatan gagasan atau
kebermaknaan. Tanpa keduanya, itu hanya berati belajar berbahasa dalam situasi
terisolasi, dan itu belum tentu dengan realitas kehidupan berbahasa di
masyarakat atau, minimum belum teruji. Pengungkapan hasil belajar bahasa
tersebut sebenarnya dapat dilakukan dalam semua mata kuliah. Bahkan juga lewat
mata-mata kuliah nonkebahasaan dan kesastraan, misalnya lewat berbagai tugas
menulis. (Sebetulnya tugas-tugas menulis untuk mata-mata kuliah umum dapat juga
dipakai sebagai salah satu sumber data penilaian kemampuan berbahasa mahasiswa.
. Namun, yang paling praktis dan terlihat lebih konkret adalah lewat mata-mata
kuliah keterampilan berbahasa. Jadi, dapat secara lisan atau tertulis.
Bagaimana perbandingan
bobot penyekoran antara unsur bahasa dan gagasan? Secara sederhana penilaian
berbahasa secara otentik dapat dibedakan secara dikhotomis ke dalam unsur bentuk
(bahasa) dan isi (gagasan). Jawabannya adalah tergantung level pembelajar yang
akan dinilai dan jenis karya yang dinilai. Semakin tinggi level mereka,
misalnya mahasiswa tingkat tinggi, semakin tinggi pula skor bobot unsur
gagasan. Jenis karya seperti skripsi dan laporan penelitian, bobot unsur
gagasan mestinya, lebih tinggi. Tugas mengarang yang bertujuan melatih
kemampuan menulis siswa/mhs, bobot unsur bahasa yang lebih tinggi, atau minimun
sama
Perbandingan unsur bahasa dan gagasan itu misalnya: 75: 25; 70:30; 65:35;
60:40; 55: 45; 50:50; 45:55; 40:60; 35:65; 30:70; 25:75; 20:80.
Unsur substansi (isi,
gagasan) dan bentuk (aspek kebahasaan dan ejaan) tersebut haruslah dirinci ke
dalam sub-subunsur. Sub-subunsur ini merupakan kriteria dan atau indikator yang
secara nyata akan dinilai tingkat capaiannya. Tiap kriteria diikuti skor yang
menunjukkan tingkat capaian, misalnya 1-5. Untuk memudahkan penilaian biasanya
digunakan rubrik. Rubrik adalah sebuah skala penyekoran (scoring scale) yang
dipergunakan untuk menilai kinerja subjek didik untuk tiap kriteria terhadap
tugas-tugas tertentu. Rubrik dapat digunakan untuk menilai berbagai tampilan
kinerja berbahasa siswa, termasuk kinerja bersastra. Ada bermacam model rubrik,
dan di bawah dicontohkan rubrik untuk
untuk menilai kemampuan berbicara.
Masalah yang Sering Muncul
Tes bahasa seperti apa atau yang bagaimana yang
mesti kita kembangkan? Jika telah muncul teori atau cara baru, teori/cara
sebelumnya sering terlihat tidak cocok atau ketinggalan. Pada prinsipnya, semua
jenis tes di atas dapat dipergunakan tergantung pada tujuan (kompetensi!) yang
akan diukur capaiannya. Dalam kasus jenis bahasa, penamaan itu sebenarnya
mengandung unsur tumpang tindih, tergantung siapa yang mempergunakannya
mula-mula. Bukankah sebenarnya tes pragmatik, tes komunikatif, dan tes otentik
mempunyai banyak kesamaan
Tes tradisional pun dapat digunakan secara
berdampingan dengan tes otentik. Di fakultas bahasa dan sastra, mahasiswa tidak
hanya dibelajarkan mempergunakan bahasa, tetapi juga pengetahuan tentang bahasa
(mhs harus menguasai sistem bahasa target). Sistem bahasa target (kompetensi
linguistik) = disiplin keilmuan = tepat dites dengan cara tradisional. Kemampuan
mempergunakan bahasa target secara meaningful (kompetensi komunikatif) = proficient at performing meaningful the
tasks = tepat dites dengan cara otentik. Jadi, tergantung mata kuliah yang
diampu masing-masing dosen: MK keilmuan atau MK keterampilan.
Tes yang dipergunakan di sekolah atau PT mestinya
tidak lepas dari kurikulum yang sedang berlaku. Dewasa ini di dunia pendidikan
Indonesia, orang baru bersibuk-sibuk ria dengan KBK/KTSP. Kurikulum tersebut
menekankan pentingnya capaian kompetensi untuk melakukan sesuatu sesuai dengan
mata pelajaran . Jadi, tekanannya adalah proficient at doing something,
dan itu berarti (=) penggunaan tes otentik ditekankan. Jadi, mata-mata kuliah
yang lebih bernuansa teori, di samping mempergunakan tes-tes tradisional, ada
baiknya juga memberikan tugas-tugas tertentu yang bernuansa tes otentik. Mata-mata
kuliah keterampilan tentu harus mempergunakan tes otentik, tetapi untuk
keperluan diagnosis & perbaikan kesalahan, tes kompetensi linguistik
(teoretis) dapat juga dimanfaatkan.
Tes Sastra
Walau bermediakan bahasa, teks kesastraan tidak
semata-mata berurusan dengan bahasa, karena ada unsur-unsur lain, misalnya
keindahan, yang mesti juga diapresiasi. Unsur-unsur lain itu hanya dapat
diperoleh, dirasakan, atau dinikmati jika kita/mhs/siswa membaca secara
langsung teks kesastraan . Maka, tugas dan penilaian yang berkaitan dengan
pembacaan langsung teks-teks itu harus menjadi prioritas utama. Tugas dan tes
harus ditekankan pada hal-hal yang menuntut siswa untuk benar-benar “memperlakukan”
teks-teks kesastraan. Istilah memperlakukan dapat dioperasionalkan menjadi:
membaca, memahami, memparafrase, menganalisis, menuliskan kembali, membuat,
menulis resensi, dll tergantung indikator yang dibuat. Ada baiknya setiap mata
kuliah mewajibkan mhs harus membaca dan membuat laporan sekian puluh teks
kesastraan. Selain itu, penilaian lewat karya nyata mhs, misalnya lewat
publikasi di media massa, harus sudah diketengahkan.
Untuk kegiatan pembelajaran & penilaian di
kelas, kita dihadapkan pada kenyataan teks-teks kesastraan lazimnya panjang shg
tidak mudah “memperlakukan”-nya di sekolah, kecuali puisi. Untuk itu,
tugas-tugas yang “memperlakukan” novel, cerpen, cer1ta klasik, drama yang
relatif panjang sebaiknya dilakukan di luar jam pelajaran sebagai tugas rumah. Tugas
yang diberikan harus jelas, harus mengapakan teks kesastraan itu dan sedapat
mungkin melibatkan berbagai genre (fiksi, puisi, cerita lama, teks drama). Misalnya:
meringkas cerita/membuat sinopsis, menganalisis unsur karakter/moral, membuat
parafrase, menulis dengan sudut pandang lain, menulis resensi, dll termasuk
menghadiri pementasan drama atau baca puisi di tempat tertentu. Hasil kerja
siswa sebagian harus dibaca dan diberi tanggapan. Tanggapan tidak menyalahkan
siswa karena akan mematikan motivasi, tetapi lebih mempertanyakan argumentasi. Penilaian
kesastraan haruslah diusahakan yang berkadar apresiatif tinggi atau paling
tidak sedang walau dengan bentuk ujian objektif (PG).
2.1.2
Bentuk-bentuk tes kebahasaan
Sesuai
dengan ranah keterampilan berbahasa, bentuk tes kebahasaan diterapkan dalam
keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.
2.1.2.1
Tes Menyimak
2.1.2.1.1
Konsep Menyimak
Dalam kegiatan
sehari-hari, menyimak adalah salah satu kegiatan yang sangat penting selain
keterampilan yang lainnya. Kegiatan menyimak juga dapat menambah ilmu atau
wawasan yang belum dimiliki di antaranya melalui radio, tv, atau langsung dari
nara sumbernya. Jadi menyimak memegang peranan penting setelah itu barulah
keterampilan berbicara, membaca, dan menulis. Dalam proses belajar mengajar,
menyimak sering diabaikan karena tanpa diajarkan pun keterampilan ini
dilakukan. Sebenarnya apabila kita memahami konsep menyimak, apapun yang
dilakukan tampaknya selalu ada proses menyimaknya. Kenyataan ini terjadi di
segala sektor kehidupan. Melalui proses menyimaklah seseorang mengenal konsep
segala informasi baik berupa ilmu pengetahuan maupun hal-hal lain yang belum
kita kenal.
Dalam kegiatan belajar-mengajar,
kita ketahui bahwa kompetensi yang dimiliki guru Sekolah Menengah Pertama sudah
ada karena guru SMP adalah mata pelajaran, artinya setiap guru hanya
bertanggung jawab pada satu mata pelajaran atau bidang studi saja. Berangkat
dari dasar pemikiran ini seharusnya guru pada jenjang ini dapat menghasilkan
anak didik yang lebih baik sesuai dengan harapan masyarakat. Tetapi apa yang
kita lihat di lapangan sekarang? Kemampuan anak didik kita jauh dari harapan
yang diharapkan, khususnya dalam kemampuan menyimak. Apakah penyebabnya?
Apakah karena kompetensi
guru yang terbatas mengakibatkan pada proses belajar-mengajar kurang baik sebab
guru tidak dapat menentukan mana yang betul dan yang salah, atau siswa kurang
meminati pelajaran Bahasa Indonesia karena tanpa belajar pun siswa sudah
mengetahuinya. Sebaiknya guru dalam melakukan proses belajar-mengajar harus
mempunyai kompetensi dan menguasai metode, pendekatan, atau teknik sebab
apabila guru tidak memiliki kemampuan tersebut di atas maka proses pembelajaran
yang dilaksanakan akan gagal. Artinya konsep yang akan disampaikan atau yang
harus dikuasai siswa tidak jelas. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis
mencoba memaparkan teori menyimak yang harus dikuasai oleh seorang guru Bahasa
Indonesia agar saat melakukan proses pengajaran dapat berhasil dengan baik.
2.1.2.1.2
Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan utama
dari makalah ini adalah untuk memberikan atau gambaran dasar-dasar untuk
memperoleh keterampilan menyimak yang bersifat reseptif agar siswa guru yang
diajak menyimak dengan mudah daopat memahami apa yang dimaksudkan oleh
pembicaranya. Oleh sebab itu dalam menyimak hal yang pertama yang harus
diperhatikan adalah konsentrasi, pengalaman, dan pengetahuan.
Latihan menyimak
dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan dalam memehami ilmu yang lainnya
karena dengan menyimaklah seseorang mendapatkan informasi baik dari TV, radio,
maupun langsung dari nara sumber. Keuntungan lain yang dapat diperoleh dari
keterampilan menyimak adalah lancar berbicara sebab seseorang lancar berbicara
apabila ia mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang luas.
Dengan demikian,
keterampilan menyimak akan mendatangkan keuntungan bagi masyarakat pada umumnya
dan siswa pada khususnya. Sebab dengan keterampilan menyimak akan mengembangkan
kesanggupan kita untuk dapat mempengaruhi orang lain dalam mengembangkan
kontrol sosial yang diinginkan.
2.1.2.1.3 Pengertian Menyimak
Menyimak menurut Tarigan,
adalah suatu proses kegiatan mendengarkan lambang-lambang lisan dengan penuh
perhatian, pemahaman, apresiasi, serta interpretasi untuk memperoleh informasi,
menangkap isi serta memahami makna komunikasi yang disampaikan oleh si pembicara
melalui ujaran atau bahasa lisan. Underwood mendefinisikan menyimak adalah
kegiatan mendengarkan atau memperhatikan baik-baik apa yang diucapkan orang,
menangkap dan memahami makna dari apa yang didengar. Jadi dengan demikian
menyimak adalah keterampilan dalam mencari makna dari bunyi-bunyi dan pola-pola
kalimat yang sampai ke telinga.
Bauer mengemukakan
menyimak adalah kemampuan seseorang untuk menyimpulkan makna suatu wacana lisan
yang didengar tanpa harus menerjemahkan kata demi kata. Selanjutnya Urbana mengatakan menyimak adalah suatu
proses penulisan bahasa yang dimaknai ke dalam pikiran (Listening the process by which spoken language is converted to meaning
in the mind). Jika demikian, maka menyimak adalah proses bahasa yang
terdiri dari bunyi-bunyi yang dimaknai atau dipahami yang diproses lewat
pikiran atau syaraf pendengaran seseorang.
2.1.2.1.4 Tahap–Tahap
Menyimak
Secara
garis besar terdapat sembilan tahap menyimak, mulai dari yang tidak
berketentuan sampai kepada yang bersungguh-sungguh. Adapun tahap-tahapnya
adalah sebagai berikut.
1)
Menyimak secara
sadar
Menyimak ini bersifat
berkala, hanya terjadi saat siswa merasakan terlibat langsung dalam
pembicaraan.
2)
Menyimak berseling atau ada gangguan
Menyimak ini terjadi saat
siswa mendengarkan secara intensif tetapi bersifat sementara atau dangkal.
3)
Setengah mendengarkan
Saat mendengarkan, siswa
menunggu kesempatan untuk mengekspresikan isi hatinya, mengutarakan apa yang
terpendam dalam hatinya.
4)
Menyimak bersungguh-sungguh
Menyimak secara asyik dan
nyata selama pemahaman pasif yang sesungguhnya.
5)
Menyimak sekali-kali
Pada saat menyimak,
perhatian penyimak bergantian dengan keasyikan dengan gagasan yang dikandung
oleh kata-kata sang pembicara ke dalam hati dan pikiran penyimak.
6)
Menyimak sosiatif
Pada saat menyimak,
penyimak mengingat pengalaman pribadi sehingga sang penyimak benar-benar tidak
memberikan reaksi terhadap pesan yang disampaikan oleh pembicara.
7)
Menyimak secara berkala
Saat menyimak reaksi
penyimak terhadap pembicara secara berkala dengan membuat komentar atau membuat
pertanyaan.
8)
Menyimak secara saksama
Menyimak secara saksama
dan sungguh-sungguh mengikuti jalan pikiran sang pembicara.
9)
Menyimak secara aktif
Menyimak untuk
mendapatkan serta menemukan pikiran dan pendapat sang pembicara (Tarigan, 1989,
4 ).
2.1.2.1.5 Sasaran Menyimak
Maksud utama menyimak menurut Logan adalah untuk
menangkap, memahami atau menghayati pesan ide gagasan yang tersirat pada bahan
simakan. Tujuan yang bersifat umum tersebut dapat dipecah-pecah menjadi
beberapa bagian sesuai dengan aspek tertentu yang ditekankan. Adapun tujuan
menyimak menurut klasifikasinya adalah sebagai berikut.
1)
Mendapatkan fakta
Mendapatkan fakta dapat
dilakukan melaui penelitian, riset, eksperimen, dan membaca. Cara lain yang
dapat dilakukan adalah menyimak melalui radio, tv, dan percakapan.
2)
Menganalisis fakta
Fakta atau informasi yang
telah terkumpul dianalisis. Kaitannya harus jelas pada unsur-unsur yang ada,
sebab akibat yang terkandung di dalamnya. Apa yang disampaikan penyimak harus
dikaitkan dengan pengetahuan dan pengalaman penyimak dalam bidang yang sesuai.
3)
Mendapatkan inspirasi
Dapat dilakukan dalam
pertemuan ilmiah atau jamuan makan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan ilham.
Penyimak tidak memerlukan fakta baru. Mereka yang datang diharapkan untuk dapat
memberikan masukan atau jalan keluar berkaitan dengan masalah yang dihadapi.
4)
Menghibur diri
Para penyimak yang datang
untuk menghadiri pertunjukkan sandiwara, musik untuk menghibur diri. Mereka itu
umumnya adalah orang yang sudah jenuh atau lelah sehingga perlu menyegarkan
fisik, mental agar kondisinya pulih kembali.
2.1.2.1.6
Jenis-jenis Menyimak
Menurut Dawson dalam Tarigan (2004) jenis menyimak dapat diklasifikasikan menjadi
dua bagian, yaitu:1) menyimak ekstensif;
dan 2) menyimak intensif.
1)
Menyimak ekstensif
Menyimak ekstensif
merupakan kegiatan menyimak yang berhubungan dengan hal-hal yang umum dan bebas
terhadap suatu bahasa. Dalam prosesnya di sekolah tidak perlu langsung di bawah
bimbingan guru. Pelaksanaannya tidak terlalu dituntut untuk memahami isi bahan
simakan. Bahan simakan perlu dipahami secara sepintas, umum, garis besarnya
saja atau butir-butir yang penting saja.
Jenis menyimak ekstensif
dapat dibagi empat: a) menyimak sekunder, yaitu menyimak sejenis mendengar
secara kebetulan, maksudnya menyimak dilakukan sambil mengerjakan sesuatu; b) menyimak
estetik, yaitu kegiatan menymak yang memosisikan penyimak duduk terpaku
menikmati suatu pertunjukkan misalnya, lakon drama, cerita, puisi, baik secara
langsung maupun melalui radio. Secara imajinatif penyimak ikut mengalami,
merasakan karakter dari setiap pelaku; c) menyimak pasif, yaitu penyerapan
suatu bahasa tanpa upaya sadar yang biasanya menandai upaya penyimak pada saat
belajar dengan teliti; dan d) menyimak sosial, yaitu kegiatan menyimak yang
berlangsung dalam situasi sosial, misalnya orang mengobrol, bercengkrama
mengenai hal-hal menarik perhatian semua orang dan saling menyimak satu dengan
yang lainnya, untuk merespon yang pantas, mengikuti bagian-bagian yang menarik
dan memperlihatkan perhatian yang wajar terhadap apa yang dikemukakan atau
dikatakan orang.
2)
Menyimak intensif
Menyimak untuk jenis ini
bahan-bahan yang disimak harus dipahami serta dirinci, diteliti dan lebih
mendalam. Oleh karena itu perlu adanya pengawasan, bimbingan dari guru. Adapun
yang tergolong menyimak intensif ada lima yaitu a) menyimak kritis, yaitu menyimak
dengan cara ini bertujuan untuk memperoleh fakta yang diperlukan. Penyimak
menilai gagasan, ide, informasi dari pembicara; b) menyimak konsentratif, yaitu
kegiatan untuk menelaah pembicaraan/hal yang disimaknya. Hal ini diperlukan
konsentrasi penuh dari penyimak agar ide dari pembicara dapat diterima dengan
baik; c) menyimak kreatif, yaitu kegiatan menyimak yang mempunyai hubungan erat
dengan imajinasi seseorang. Penyimak dapat menangkap makna yang terkandung
dalam puisi dengan baik karena ia berimajinasi dan berapresiasi terhadap puisi
itu; d) menyimak interogatif, yaitu kegiatan menyimak yang menuntut konsentrasi
dan selektivitas, pemusatan perhatian karena penyimak akan mengajukan pertanyaan
setelah selesai menyimak; dan e) menyimak eksploratori, yaitu menyimak
penyelidikan, sejenis menyimak dengan
tujuan menemukan hal-hal baru yang menarik,
informasi tambahan mengenai suatu topik, dan isu, pergunjingan atau buah bibir yang
menarik.
2.1.2.1.7
Faktor-faktor Penentu
Keberhasilan Menyimak
Menurut Tarigan (2006)
ada empat faktor untuk menentukan keberhasilan menyimak yaitu:
1)
Faktor Pembicara
Ada enam tuntutan yang
harus dipenuhi pembicara yaitu a) penguasaan materi, dalam arti pembicara harus
menguasai materi yang akan disampaikan. Pembicara dalam menyampaikan materi
harus menguasai, memahami, menghayati apa yang disampaikan pada penyimak; b) berbahasa
baik dan benar, dalam oengertian pembicara dalam menyampaikan isi pembicaraan
harus menggunakan ucapan yang jelas, intonasi yang tepat, kalimat yang
sederhana dan istilah yang tepat. Selain itu isi pembicaraan harus sesuai
dengan tarap penyimaknya; c) percaya diri, maksudnya pembicara harus percaya
diri, tampil dengan mantap serta menyakinkan penyimak; d). berbicara sistematis,
dalam arti pembicaraan yang disampaikan harus sistematis dan bahan yang
disampaikan mudah dipahami; e) gaya menarik, dengan maksud pembicara harus
tampil menarik dan simpatik, tidak bertingkah laku berlebihan karena akan
membuat penyimak beralih dari isi pesan ke tingkah laku yang dianggap aneh; dan
f) kontak dengan penyimak, maksudnya dalam berbicara, pembicara harus kontak
dengan penyimak dan menghargai, menghormati serta menguasai para penyimak.
3)
Faktor Pembicaraan, maksudnya topik yang dikemukakan
harus aktual sehingga pembicaraan yang disampaikan terasa baru atau hangat,
karena ini akan menarik dan diminati oleh penyimaknya, Di sisi lain materi yang
dibicarakan bermakna dan berguna bagi penyimaknya Dalam hal ini setiap materi
yang disampaikan tidaklah semua bermakna bagi penyimaknya, ini tergantung dari
kebutuhan penyimaknya. Slain itu gagasan disampaikan secara sistematis sehingga
mudah dipahami oleh penyimaknya.Faktr berikutnya adalah seimbang, dalam arti taraf kesukaran
pembicaraan harus seimbang dengan taraf kemampuan
4)
Situasi, maksudnya berhubungan dengan aspek ruangan atau
tempat, waktu, suasana, dan peralatan. Dalam menyimak, ruangan perlu
diperhatikan yaitu ruangan yang memenuhi persyaratan. Misalnya penerangan,
tempat duduk, tempat pembicara, luas ruangan dan alat-alatnya. Waktu sangat
penting dalam menyimak karena ini akan mempengaruhi si penyimak. Pilihlah waktu
yang tepat misalnya; pada pagi hari saat menyimak masih segar dan rileks. Suasana dan lingkungan yang tenang serta
nyaman sangat mempengaruhi proses menyimak. Apabila suasana kurang tenang, maka
proses penyimakan pun kurang berhasil dengan baik. Peralatan yang digunakan
dalam menyimak harus mudah dioperasikan karena kalau tidak dapat digunakan dan
tidak baik akan mengganggu penyimak.
5)
Penyimak, maksudnya ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan menyangkut diri si penyimak, yaitu
kondisi, konsentrasi, tujuan, dan minat. Dalam menyimak, kondisi dan
mental penyimak harus baik karena ini sangat menunjang dalam menyimak. Penyimak
harus memusatkan perhatian terhadap bahan simakan. Hindari hal-hal yang
mengganggu konsentrasi penyimak. Dalam menyimak, penyimak harus mempunyai
tujuan agar dalam merumuskan tujuan secara tegas mempunyai arah dan keinginan
dalam menyimak. Penyimak dalam menyimak harus berminat atau berusaha meminati.
Bahan yang disimak dikembangkan melalui bimbingan dan latihan yang intensif.
2.1.2.1.8
Ciri-ciri Penyimak yang
Baik
Setiap manusia yang lahir
dalam keadaan yang normal tentu sudah mempunyai potensi yang baik untuk
menyimak. Potensi ini perlu dipupuk dan dikembangkan melalui bimbingan dan
latihan yang intensif. Tetapi kebiasaan menyimak yang baik hendaknya dipahami
oleh seorang penyimak, sehingga dapat menghilangkan kebiasaan-kebiasaan tidak
baik yang mereka lakukan dalam proses menyimak. Menurut Anderson berikut ini
ciri-ciri penyimak yang baik adalah siap secara fisik dan mental, konsentrasi,
bermotivasi tinggi, objektif, menyimak secara uutuh, selektif, tidak mudah
terganggu, tidak emosional, cepat menyesuaikan diri dengan pembicara, bisa
merangkum inti pembicaraan, mampu memberikan penilaian, dan bersedia
mendengarkan tanggapan.
Penyimak yang baik ialah
penyimak yang betul-betul mempersiapkan diri untuk menyimak. Ia memiliki kesiapan
fisik dan mental misalnya, dalam kondisi yang sehat, tidak lelah, mental
stabil, dan pikiran jernih. Penyimak yang baik dapat memusatkan perhatian dan
pikirannya terhadap apa yang disimak. Bahkan ia dapat menghubungkan bahan yang
disimak dengan apa yang sudah diketahui.
Penyimak yang baik
mempunyai motivasi atau mempunyai tujuan tertentu. Misalnya; ingin menambah
pengetahuan, ingin mempelajari sesuatu. Ada tujuan atau motivasi ini tentunya
untuk memotivasi penyimak untuk sungguh-sungguh menyimak.
Penyimak yang baik adalah
penyimak yang selalu tahu tentang apa yang sedang dibicarakan dan sebaiknya
penyimak selalu menghargai pembicara, walaupun pembicara kurang menarik
penampilannya atau sudah dikenal oleh penyimak. Penyimak yang baik akan
menyimak secara utuh atau keseluruhan. Si penyimak tidak hanya menyimak yang
disukai tetapi menyimak secara keseluruhan. Penyimak yang baik dapat memilih
bagian-bagian yang dianggap penting dari bahan simakan. Tidak semua bahan
simakan diterima begitu saja, tetapi ia dapat menentukan bagian yang dianggap
penting. Penyimak yang baik tidak mudah terganggu oleh suara-suara yang lain di
luar bunyi yang disimaknya. Andaikata ada gangguan yang membedakan
perhatiannya, dengan cepat ia kembali kepada bahan yang disimaknya. Penyimak
yang baik adalah penyimak yang menghargai pembicara. Penyimak tidak boleh
menganggap remeh terhadap pembicara. Penyimak yang baik dapat dengan cepat
menduga ke arah mana pembicaraan bahkan mungkin ia dapat menduga garis besar
isi pembicaraan. Penyimak yang baik dapat menyimak dengan baik terhadap pokok
pembicaraan serta dapat mengendalikan emosinya dan tidak mencela pembicara.
Penyimak yang baik
mencoba mengadakan kontak dengan pembicara. Misalnya dengan memperhatikan
pembicara, memberikan dukungan kepada pembicara melalui mimik, gerak atau
ucapan tertentu. Penyimak yang baik dapat menangkap isi pembicaraan atau bahan
simakan. Misalnya dengan membuat rangkuman dan menyajikan atau menyampaikannya
sesudah selesai menyimak. Namun perlu diingat, selama menyimak jangan hanya
asyik membuat catatan-catatan. Apabila mencatat semua yang diucapkan atau semua
yang disampaikan pembicara, sehingga pesan pembicara tidak lagi dapat dipahami.
Penyimak yang baik ialah proses penilaian terhadap materi yang disampaikan.
Pada saat ini penyimak mulai menimbang, memeriksa, membandingkan apakah
pokok-pokok pikiran yang dikemukakan si pembicara dikaitkan atau dihubungkan
dengan pengalaman atau pengetahuan si penyimak, sehingga ia dapat menilai
kekuatan bahan simakan tersebut. Bagian terakhir dari proses menyimak ialah
mengevaluasi bahan simakan. Penyimak mengemukakan tanggapan atau reaksi
misalnya, dengan mengemukakan komentar. Reaksi akan terlihat dalam bentuk
bahasa dan terpancar dari ucapan-ucapan yang pendek seperti; wah, menarik
sekali, bagus, setuju, sependapat dan sebagainya.
2.1.2.1.9
Cara Meningkatkan Prilaku Menyimak
Menurut Mc. Cabe dan
Bender dalam Tarigan, ada beberapa langkah untuk meningkatkan keterampilan
menyimak, antara lain menerima keanehan sang pembicara. Penyimak rela atau mau
menerima keanehan atau keganjilan yang terdapat pada penampilan pembicara.
Penyimak juga tidak berpura-pura
menyimak pikirannya telah melayang ke mana-mana. Pilihlah tempat yang
memungkinkan untuk menyimak lebih baik, jangan memilih tempat duduk dekat pintu
tempat para partisipan keluar masuk. Dalam menyimak sebaiknya apa yang disimak
harus dicatat inti-intinya saja. Catatan yang baik dan bermutu tidak tergantung
pada panjangnya catatan, tetapi pada ketepatan memilih butir-butir gagasan yang
penting dalam kalimat.
Menetapkan tujuan khusus
dalam menyimak akan membantu kita memusatkan perhatian pada kegiatan menyimak.
Andaikata kita menyimak mempunyai tujuan menangkap garis besar argumen utama
sang pembicara, maka sebaiknya kita memusatkan perhatian ke arah yang dituju. Kecepatan
dalam menyimak jauh lebih cepat daripada kecepatan berbicara. Oleh karena itu
perlu direncanakan penggunaan waktu secara diferensial. Arahakanlah penyimakan
kepada sang pembicara dan ramalkanlah ide-idenya yang baru. Gunakanlah waktu
semaksimal mungkin untuk menyimak pembicaraan yang sedang berlangsung. Dalam
menyimak harus disadari kadangkala kita mereaksi emosional, ini dapat
mempengaruhi kegiatan menyimak. Oleh sebab itu kita harus menahan emosi dengan
cara memusatkan perhatian pada pembicaraan yang sedang berlangsung. Dalam
menyimak biasakanlah berlatih menyimak bahan atau materi sulit yang diutarakan
pembicara. Perluaslah wawasan dengan menerima tantangan karena dengan tantangan
maka pengetahuan akan bertambah.
Menyimak merupakan
keterampilan berbahasa yang pertama kali dikuasai anak sebelum menguasaai
keterampilan berbicara, membaca, dan menulis. Keterampilan menyimak pada
hakikatnya lebih bersifat kognitif dengan aspek yang lebih tinggi. Kemampuan
ini mencakup menerima, menganalisis, memahami, dan menyimpulkan informasi lisan
yang disampaikan dalam bahasa target.
Teknik evaluasi yang dapat dilakukan dipaparkan berikut.
1) Menyebutkan/menuliskan
kembali suatu informasi sederhana (fonem, nama sesuatu, jumlah, keadaan sesuatu,
peristiwa, dan lain-lain)
2) Menyebutkan/menuliskan
kembali deskripsi atau uraian suatu peristiwa, benda, keadaan,
sebab akibat, dan lain-lain.
3) Menyebutkan/menuliskan
kembali suatu hal (kelahiran, pengalaman kawan-kawan, dan lain-lain).
4) Menyebutkan/menuliskan
kembali suatu cerita.
5) Menyimpulkan
suatu percakapan.
6) Menjawab
suat pertanyaan dari suatu soal (objektif, esai berstuktural, atau esai bebas).
7) Menyimpulkan
tema dan unsur-unsur lainnya dari sebuah cerita.
8) Memperbaiki
ucapan-ucapan yang salah yang tidak sesuai dengan bahasa target.
Tes menyimak adalah tes
yang tidak hanya untuk mengetahui apakah seseorang mendengarkan atau tidak,
tetapi juga untuk mengukur kemampuan seseorang memahami bahasa lisan yang
didengarnya. Sampel yang disimakkan dalam tes ini dapat berupa satu kalimat
perintah, pertanyaan, atau pernyataan tentang fakta; juga berupa simulasi
percakapan singkat atau uraian wacana ekspositori. Namun, apapun hakikat sampel
itu, peserta tes (subjek) dituntut secara serentak (simultan) menanggapi
”sinyal” fonolofis, gramatikal, dan leksikal; dengan jawaban mereka menunjukkan
sejauh mana mereka dapat menangkap makna dari unsur yang disinyalkan bila
digunakan dalam komunikasi verbal (Harris,1969;35).
Tes menyimak dapat
disesuaikan dengan tingkatannya, yaitu tes menyimak tingkat marjinal atau
deskriptif, tes menyimak tingkat apresiatif, tes menyimak tingkat komprehensif,
tes menyimak tingkat kritis, dan tes menyimak tingkat terapis. Tes menyimak
tingkat marjinal bertujuan untuk mengetahui tingkat kepekaan pebelajar dalam
membedakan suara dan untuk mengembangkan kepekaan pada komunikasi nonverbal.
Tes menyimak apresiatif bertujuan untuk mengetahui gambaran kemampuan pebelajar
dalam menangkap dan memehami bahan simakan yang berhubungan dengan perasaan dan
emosi sehingga dalam pelaksanaannya, pebelajar diberi bahan simakan yang
bersifat menyenangkan,misalnya: drama, puisi, lagu, cerita, dan sebagainya.
Tes menyimak komprehensif
bertujuan untuk mengetahui tingkat pemahaman pebelajar terhadap pesan yang
disimak. Tes menyimak kritis bertujuan untuk mengetahui pemahaman pebelajar
terhadap bahan simakan yang dilanjutkan dengan memberi evaluasi, sedangkan tes
menyimak terapis bertujuan untuk menyembuhkan seseorang, yang biasa dilakukan
oleh seorang psikolog.
2.2
Tes Berbicara
2.2.1
Pengantar
Berbicara
adalah salah satu aspek keterampilan berbahasa. Aspek-aspek keterampilan bahasa
lainnya adalah menyimak, membaca, dan menulis. Keempat aspek tersebut berkaitan
erat, antara berbicara dengan menyimak, berbicara dengan menulis, dan berbicara
dengan membaca.
Keterampilan
berbicara menunjang keterampilan bahasa lainnya. Pembicara yang baik mampu
memberikan contoh agar dapat ditiru oleh penyimak yang baik. Pembicara yang
baik mampu memudahkan penyimak untuk menangkap pembicaraan yang disampaikan.
Berbicara dan menyimak merupakan kegiatan berbahasa lisan, dua-duanya berkaitan
dengan bunyi bahasa. Dalam berbicara seseorang menyampaikan informasi melalui
suara atau bunyi bahasa, sedangkan dalam menyimak seseorang mendapat informasi
melalui ucapan atau suara. Berbicara dan menyimak merupakan dua kegiatan yang
tidak dapat di-pisahkan, kegiatan berbicara selalu disertai kegiatan menyimak,
demikian pula kegiatan menyimak akan didahului kegiatan berbicara. Keduanya
sama-sama penting dalam komunikasi.
Manusia
adalah mahluk sosial. Manusia baru akan menjadi manusia bila ia hidup dalam
lingkungan manusia. Kesadaran betapa pentingnya berbicara dalam kehidupan
manusia dalam bermasyarakat dapat mewujudkan bermacam aneka bentuk. Lingkungan
terkecil adalah keluarga, dapat pula dalam bentuk lain seperti perkumpulan
sosial, agama, kesenian, olah raga, dan sebagainya.
Setiap
manusia dituntut terampil berkomunikasi, terampil menyatakan pikiran, gagasan,
ide, dan perasaan. Terampil menangkap informasi-informasi yang didapat, dan
terampil pula menyampaikan informasi-informasi yang diterimanya. Kehidupan
manusia setiap hari dihadapkan dalam berbagai kegiatan yang menuntut
keterampilan berbicara. Contohnya dalam lingkungan keluarga, dialog selalu
terjadi, antara ayah dan ibu, orang tua dan anak, dan antara anak-anak itu
sendiri. Di luar lingkungan keluarga juga terjadi pembicaraan antara tetangga
dengan tetangga, antar teman sepermainan, rekan kerja, teman perkuliahan dan
sebagainya. Terjadi pula pembicaraan di pasar, di swalayan, di
pertemuan-pertemuan, bahkan terkadang terjadi adu argumentasi dalam suatu
forum. Semua situasi tersebut menuntut agar kita mampu terampil berbicara.
Berbicara
berperan penting dalam pendidikan keluarga. Tata krama dalam pergaulan
diajarkan secara lisan. Adat kebiasaan, norma-norma yang berlaku juga
seringkali diajarkan secara lisan. Hal ini berlaku dalam masyarakat tradisional
maupun masyarakat modern. Berbicara merupakan keterampilan dalam menyampaikan
pesan melalui bahasa lisan kepada orang lain. Penggunaan bahasa secara lisan
dapat pula dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi
berbicara secara langsung adalah sebagai berikut: (a) pelafalan; (b) intonasi;
(c) pilihan kata; (d) struktur kata dan kalimat; (e) sistematika pembicaraan;
(f) isi pembicaraan; (g) cara memulai dan mengakhiri pembicaraan; dan (h)
penampilan.
Berbicara
dan menyimak adalah dua kegiatan yang berbeda namun berkaitan erat dan tak
terpisahkan. Kegiatan menyimak didahului oleh kegiatan berbicara. Kegiatan
berbicara dan menyimak saling melengkapi dan berpadu menjadi komunikasi lisan,
seperti dalam bercakap-cakap, diskusi, bertelepon, tanya-jawab, interview, dan
sebagainya. Kegiatan berbicara dan menyimak saling melengkapi, tidak ada
gunanya orang berbicara bila tidak ada orang yang menyimak. Tidak mungkin orang
menyimak bila tidak ada orang yang berbicara. Melalui kegiatan menyimak siswa
mengenal ucapan kata, struktur kata, dan struktur kalimat.
Berbicara
dan membaca berbeda dalam sifat, sarana, dan fungsi. Berbicara bersifat
produktif, ekspresif melalui sarana bahasa lisan dan berfungsi sebagai penyebar
informasi. Membaca bersifat reseptif melalui sarana bahasa tulis dan berfungsi
sebagai penerima informasi. Bahan pembicaraan sebagian besar didapat melalui
kegiatan membaca. Semakin sering orang membaca semakin banyak informasi yang
diperolehnya. Hal ini merupakan pendorong bagi yang bersangkutan untuk
mengekspresikan kembali informasi yang diperolehnya antara lain melalui berbicara.
Kegiatan
berbicara maupun kegiatan menulis bersifat produktif-ekspresif. Kedua kegiatan
itu berfungsi sebagai penyampai informasi. Penyampaian informasi melalui
kegiatan berbicara disalurkan melalui bahasa lisan, sedangkan penyampaian
informasi dalam kegiatan menulis disalurkan melalui bahasa tulis. Informasi
yang digunakan dalam berbicara dan menulis diperoleh melalui kegiatan menyimak
ataupun membaca. Keterampilan menggunakan kaidah kebahasaan dalam kegiatan
berbicara menunjang keterampilan menulis. Keterampilan menggunakan kaidah
kebahasaan menunjang keterampilan berbicara.
2.2.2
Bentuk Keterampilan Berbicara
Berdasarkan
kegiatan komunikasi lisan, cakupan kegiatan berbicara sangat luas. Daerah
cakupan itu membentang dari komunikasi lisan yang bersifat informal sampai
kegiatan komunikasi lisan yang bersifat formal. Semua kegiatan komunikasi lisan
yang melibatkan pembicara dan pendengar termasuk daerah cakupan berbicara.
Daerah
cakupan berbicara meliputi kegiatan komunikasi lisan sebagai berikut: (1) berceramah,
(2) berdebat, (3) bercakap-cakap, (4)
berkhotbah, (5) bertelepon, (6) bercerita, (7) berpidato, (8) bertukar pikiran, (9) bertanya, (10)
bermain peran, (11) berwawancara, (12) berdiskusi, (13) berkampanye, (14)
menyampaikan sambutan, selamat, pesan, (15) melaporkan, (16) menanggapi, (17)
menyanggah pendapat, (18) menolak permintaan, tawaran, ajakan, (19) menjawab
pertanyan, (20) menyatakan sikap, (21) menginformasikan, (22) membahas, (23)
melisankan (isi drama, cerpen, puisi, bacaan), (24) menguraikan cara membuat
sesuatu, (25) menawarkan sesuatu, (26) meminta maaf, (27) memberi petunjuk,
(28) memperkenalkan diri, (29) menyapa, (30) mengajak, (31) mengundang, (32)
memperingatkan, (33) mengoreksi, (34) tanya-jawab.[5]
2.2.3
Bentuk Tes Kemampuan Berbicara
Tes berbicara merupakan
tes berbahasa untuk mengukur kemampuan testi dalam berkomunikasi dengan bahasa
lisan.
Tes yang dapat digunakan
untuk mengukur kemampuan berbicara
adalah sebagai berikut:
1)
Tes kemampuan berbicara berdasarkan gambar
Bentuk tes ini di sajikan
dengan memberikan rangsangan berupa perangkat gambar yang merupakan satu
rangakaian cerita, dan testi diminta untuk menjawab pertanyaan sehubungan
dengan rangkaian gambar atau menceritakan rangakaian gambar.
2)
Wawancara
Dipakai untuk mengukur kemampuan
testi menggunakan bahasa dalam berkomunikasi. tes ini bisa dipakai apabila
testi memiliki kemampuan berbahasa yang cukup mewadahi.
3)
Bercerita
Kemampuan berbicara yang
berbentuk berbicara dapat dilakukan dengan cara meminta testi untuk
mengungkapkan sesuatu (pengalamannya atau topik tertentu).
4)
Diskusi
Tes ini dilakukan untuk
mengetahui kemampuan testi menyampaikan pendapat, mempertahankan pendapat,
serta menanggapi ide atau pikiran yang disampaikan oleh peserta diskusi yang
lain secara kritis.
5)
Ujian terstruktur
Dapat dilakukan dengan
cara membaca kutipan, mengubah kalimat, dan membuat kalimat. Dengan tujuan
untuk menguji kemampuan testi dalam menggunakan bahasa lisan.
2.2.4
Penilaian
Kemampuan Berbicara
Penilaian kemampuan berbicara dapat dilakukan secara
aspektual yaitu penilaian kemampuan oleh aspek-aspek tertentu yang bersifat
diskrit. penilaian komperhensif merupakan penilaian yang difokuskan pada
keseluruhan kemampuan berbicara secara menyeluruh, tidak dipotong-potong.
Keterampilan berbicara
sangat komplek karena tidak hanya menuntut pemahaman terhadap masalah yang akan
diinformasikan, tetapi juga menuntut kemampuan menggunakan perangkat kebahasaan
dan nonkebahasaan. Evaluasi keterampilan berbicara dilaksanakan untuk
mengetahui kemampuan pebelajar dalam menggunakan bahasa target secara lisan
untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan keberadaannya.
Teknik evaluasi yang
dapat digunakan dipaparkan berikut.
1. Mengucapkan huruf, nama, keadaan dalam bahasa
target.
2. Menceritakan kembali dialog, cerita, peristiwa
yang didengar atau yang dibaca.
3. Menceritakan gambar.
4. Melakukan wawancara.
5. Menyampaikan pengalaman, peristiwa, ilmu
pengetahuan seecara lisan.
6. Menjawab pertanyaan sederhana dan komplek.
7. Bermain peran.
Tes berbicara umumnya dianggap
tes yang paling sukar. Salah satu sebabnya adalah bahwa hakikat keterampilan
berbicara itu sendiri sukar didefinisikan. Pengalaman dalam kenyataan
menunjukkan bahwa ada orang yang disebut pendiam, ada juga yang banyak bicara,
tetapi kalau berbicara, kualitasnya ditinjau dari segi pilihan kata, tata
bahasa, dan penalarannya, orang yang termasuk banyak bicara tadi belum tentu
lebih baik. Orang yang pandai atau berpendidikan tinggi juga belum tentu
pembicara-annya lancar dan mudah dipahami.
Tes berbicara dapat
dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya tes jawaban terbatas, teknik
terbimbing, dan wawancara tentu saja semua itu dilaksanakan secara lisan dan
individual. Dapat juga tes berbicara dilaksanakan secara tertulis dengan bentuk
objektif yang dapat menunjukkan bukti-bukti tidak langsung mengenai kemampuan
bebicara seseorang. Hanya saja, tes bentuk ini kurang valid.
Nurgiyantoro (2009) membagi tes
berbicara berdasarkan kriteria, yaitu (1) kriteria penyelenggaraannya, dan (2)
kriteria tingkatan yang dites. Berdasarkan kriteria penyelenggaraannya, tes
berbicara dibedakan menjadi dua, yakni: (a) tes berbicara secara terkendali,
dan (b) tes berbicara bebas. Berdasarkan kriteria tingkatan yang dites, tes
berbicara dibedakan menjadi tiga, yakni: (a) tes berbicara tingkat ingatan, (b)
tes berbicara tingkat pemahaman, dan (c) tes berbicara tingkat penerapan.
2.3
Tes Kompetensi Kebahasaan Membaca
2.3.1
Pendahuluan
Tes biasanya diartikan
sebagai alat yang dipergunakan untuk mendapatkan data terhadap seseorang yang
dinilai. Tes digunakan untuk memperoleh informasi tentang seseorang yang juga
dipergunakan untuk maksud pendidikan. Kegiatan membaca ada bermacam-macan di antaranya
membaca cepat, membaca sekilas, membaca keras, dan membaca pemahaman. Pembedaan
jenis membaca itu dapat didasarkan atas tujuannya atau teknisnya. Dalam tulisan
ini, membaca yang dimaksud adalah membaca pemahaman, atau membaca untuk
memahami isi bacaan.
Bentuk
tes membaca pemahaman meliputi; (1) tes membaca pemahaman literal, (2) tes
membaca pemahaman interpretatif, dan (3) tes pemahaman membaca kritis.
Tes kemampuan berbahasa
yang bersifat aktif reseptif pada hakikatnya merupakan kemampuan atau proses decoding, kemampuan untuk memahami
bahasa yang dituturkan oleh pihak lain. Pemahaman terhadap bahasa yang
dituturkan oleh pihak lain tersebut dapat melalui sarana bunyi atau sarana
tulisan. Yang pertama merupakan kegiatan menyimak, sedangkan yang kedua adalah
kegiatan membaca.
Tes kemampuan membaca
dimaksudkan untuk mengukur kemampuan siswa memahami isi atau informasi yang
terdapat dalam bacaan. Sebagaimana tujuan
membaca yang telah dikemukakan Anderson dalam Tarigan (2004) bahwa ada tujuh
tujuan membaca yaitu: (1) membaca untuk memperoleh perincian-perincian atau
fakta-fakta (reading for facts), (2)
membaca untuk memperoleh ide-ide utama (reading
for main ideas), (3) membaca untuk mengetahui urutan atau susunan,
organisasi cerita (reading for sequence
or organization), (4) membaca untuk menyimpulkan, membaca inferensi (reading for inference), (5) membaca
untuk mengelompokkan, membaca untuk mengklasifikasikan (reading for classify), (6) membaca menilai, membaca mengevaluasi (reading for evaluate), dan (7) membaca
untuk membandingkan atau mempertentangkan (reading
to compare or contrast).
Dengan demikian, maka
bacaan atau wacana yang diujikan hendaklah yang mengandung informasi yang
menuntut untuk dipahami. Oleh karena itu, seorang guru sebagai evaluator dalam
menguji kemampuan membaca harus benar-benar mampu memilih bacaan yang layak
untuk diujikan.
2.2.2
Aspek Tes Kemampuan
Membaca
Secara umum wacana yang
layak diambil sebagai bahan tes kemampuan membaca tidak berbeda halnya dengan
tes kompetensi kebahasaan yang lain, dan secara khusus juga tidak berbeda
dengan kemampuan menyimak. Dalam tes kemampuan membaca kita harus
mempertimbangkan bahan dan tingkatan tes kemampuan membaca.
2.2.2.1
Bahan Tes Kemampuan
Membaca
Pemilihan wacana
hendaknya dipertimbangkan dari segi tingkat kesulitan, panjang pendek, isi, dan
jenis atau bentuk wacana.
1)
Tingkat kesulitan wacana
Tingkat kesulitan wacana
terutama ditentukan oleh kekompleksan kosa kata dan struktur. Semakin sulit dan
kompleks kedua aspek tersebut akan semakin sulit wacana yang bersangkutan.
Demikian pula sebaliknya. Secara umum orang mengatakan bahwa wacana yang baik
untuk bahan tes kemampuan membaca adalah wacana yang tingkat kesulitannya
sedang, atau yang sesuai dengan tingkat kemampuan siswa.
2)
Isi wacana
Isi wacana yang baik
adalah yang sesuai dengan tingkat perkembangan jiwa, minat, kebutuhan atau
menarik perhatian siswa. Isi wacana dapat mengembangkan sikap dan nilai-nilai
pada diri siswa, misalnya dengan menyediakan bacaan yang berkaitan dengan
sejarah perjuangan bangsa, pendidikan moral pancasila, kehidupan beragama,
berbagai karya seni, berbagai ilmu pengetahuan popular, dan sebagainya. Di
pihak lain kita juga perlu selektif, menghindari bacaan-bacaan yang bersifat
kontra atau masih bersifat controversial. Misalnya, bacaan yang bersifat
menentang (kontra) pemerintah, kehidupan beragama dan bermasyarakat secara
pancasilais, nilai-nilai yang kita yakini betul kebenarannya, atau secara umum
bacaan yang tidak sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia.
3)
Panjang pendek wacana
Wacana yang diteskan
sebaiknya tidak terlalu panjang. Beberapa wacana yang pendek lebih baik
daripada sebuah wacana yang panjang, sepuluh butir tes dari tiga atau empat
wacana lebih baik daripada hanya dari sebuah wacana panjang. Dengan wacana yang
pendek, kita dapat membuat soal tentang berbagai hal, jadinya lebih komprehensif.
Di samping itu, secara psikologis siswa pun lebih senang pada wacana yang
pendek, karena tidak membutuhkan waktu banyak untuk membacanya dan wacana
pendek tampaknya lebih mudah.
4)
Bentuk-bentuk wacana
Wacana yang dipergunakan
sebagai bahan tes kemampuan membaca, bisa berupa wacana yang berbentuk prosa
(narasi), dialog (drama), ataupun puisi. Wacana bentuk prosa yang diambil bisa
berupa karya fiksi atau nonfiksi, dapat dikutip dari buku-buku karya sastra,
buku literatur, buku pelajaran, majalah, jurnal, surat kabar, dan sebagainya.
Jika kita bermaksud mengukur kemampuan siswa memahami bacaan secara kritis,
sebaiknya kita memilih bacaan-bacaan yang memungkinkan untuk maksud tersebut. Wacana
bentuk dialog, bisa berupa kutipan dari suatu naskah drama, baik juga
dipergunakan sebagai bahan bacaan tes kemampuan membaca. Bahkan wacana bentuk
dialog inilah sebenarnya paling dekat dengan bahasa lisan seperti yang
dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Puisi sebagai salah satu
bentuk karya seni yang mengandung pesan atau informasi juga baik sebagai bahan
tes kemampuan membaca. Dibanding dengan prosa, pada umumnya orang memandang
bahwa puisi lebih sulit dipahami, dan sebagai bahan tes pemahaman bacaan tidak
lebih banyak digunakan. Penuturan dalam puisi tidak bersifat langsung, lebih
banyak mempergunakan bentuk metafora.
2.2.2.2
Tingkatan Tes Kemampuan
Membaca
Penekanan tes kemampuan
membaca adalah kemampuan untuk memahami informasi yang terkandung dalam wacana.
Kegiatan ini memahami informasi itu sendiri sebagai suatu aktivitas kognitif
dapat dilakukan atau dibuat secara berjenjang, sebagaimana ranah kognitif yang
dikembangkan Benjamin S. Bloom adalah: 1. Tingkat ingatan (C1); 2. Tingkat
pemahaman (C2); 3. Tingkat penerapan (C3); 4. Tingkat analisis (C4); 5. Tingkat
sintesis (C5); dan 6. Tingkat evaluasi (C6). Berikut akan dibicarakan dan
dicontohkan tingkatan-tingkatan tes kognitif yang dimaksud dalam tes kemampuan
membaca.
1)
Tes Kemampuan Membaca Tingkat Ingatan
Tes kemampuan membaca
pada tingkat ingatan (C1) sekedar menghendaki siswa untuk menyebutkan kembali
fakta, definisi, atau konsep yang terdapat di dalam wacana yang diujikan. Oleh
karena fakta, definisi, atau konsep yang terdapat di dalam wacana itu dapat
ditemukan dan dibaca berkali-kali. Pada hakikatnya tes tingkat ingatan tersebut
hanya sekedar mengenali, menemukan, dan memindahkan fakta yang ada pada wacana
ke lembar jawaban yang dituntut.
Contoh:
Pemindahan unsur-unsur kebahasaan dari satu bahasa ke
bahasa yang lain dapat menimbulkan pengaruh positif, negatif, dan netral.
Pemindahan secara positif terjadi jika unsur bahasa yang diterima mempunyai
kesamaan dengan bahasa penerima dan menghasilkan penampilan yang benar serta
membantu kelancaran komunikasi. Pemindahan yang bersifat menguntungkan inilah
yang disebut pemungutan. Pemindahan yang bersifat negatif terjadi jika
unsur-unsur kebahasaan yang diterima tidak mempunyai kesamaan dengan bahasa
penerima dan menghasilkan tindak berbahasa yang tidak benar karena terjadi
dislokasi struktural, dan menyebabkan terjadinya gangguan komunikasi yang
disampaikan. Pemindahan yang bersifat negatif inilah yang disebut interferensi.
Pemindahan yang bersifat netral terjadi jika pemindahan unsur-unsur kebahasaan
itu tidak memengaruhi kelancaran atau hambatan komunikasi dalam bahasa
penerima.
Contoh butir-butir tes
ingatan
1) Sebutkan tiga macam dampak pemindahan unsur-unsur kebahasaan
antarbahasa!
2) Pemindahan secara positif terjadi jika ….
3) Pemindahan bersifat menguntungkan disebut ….
4) Pemindahan yang bersifat negatif disebut ….
5) Pemindahan yang bagaimanakah yang disebut netral?
Contoh butir tes ingatan
bentuk pilihan ganda
Pemindahan unsur-unsur kebahasaan dari bahasa yang satu
ke bahasa yang lain yang menyebabkan terjadinya dislokasi struktur disebut ….
a. pemungutan
b. interferensi
c. netral
d. hambatan
e. disfungsional
2)
Tes Kemampuan Membaca Tingkat Pemahaman
Tes kemampuan membaca
pada tingkat pemahaman (C2) menuntut siswa untuk dapat memahami wacana yang
dibacanya. Pemahaman yang dilakukan pun dimaksudkan untuk memahami isi bacaan,
mencari hubungan antarhal, dan sebagainya.
Butir tes kemampuan
membaca untuk tingkat pemahaman ini belum tergolong sulit, masih dalam
aktivitas kognitif tingkat sederhana walau sudah lebih tinggi dari sekedar
kemampuan ingatan. Penyusunan tes hendaknya tidak dilakukan sekedar mengutip
kalimat dalam konteks secara verbatim, melainkan dibuat parafrasenya. Dengan
demikian, siswa tidak sekedar mengenali dan mencocokkan jawaban dengan teks
saja, melainkan dituntut untuk dapat memahaminya. Kemampuan siswa memahami dan
memilih parafrase secara tepat merupakan bukti bahwa siswa mampu memahami
bacaan yang diujikan.
Contoh tes tingkat
pemahaman dari wacana bentuk dialog
Tin : Ton,
selamat ya! Saya ikut berbangga atas keberhasilan ujianmu.
Ton : Terima kasih, Tin! Semua ini terjadi karena adanya
dorongan dari berbagai pihak. Dan kau, terlebih
lagi.
Tin : Ah kau ini,
ada-ada saja. Apa rencanamu kini? Mau mendaftar kuliah di mana?
Ton : Itulah
masalahnya, Tin! Sebetulnya aku sangat berminat. Tapi, aku sadar keadaan orang
tuaku. Lagi pula, apakah hanya dari bangku perkuliahan saja yang menjamin masa
depan kita?
Tin : Tentu saja
tidak, Ton! Tetapi, sayang kalau kau tak berkuliah. Bukankah NEM-mu tertinggi
di sekolahmu?
Ton : Apa gunanya
NEM tinggi, Tin, jika kita tak mampu mengatasi masalah sendiri? Bukankah ada
seribu jalan untuk sampai di Mekah?
Contoh butir-butir tes
pemahaman bentuk jawaban singkat.
1) Kapankah
kira-kira dialog antara Ton dan Tin di atas dilakukan?
2) Mengapa Ton tidak
dapat memenuhi keinginannya untuk berkuliah?
3) Jalan hidup
apakah kira-kira yang akan ditempuh Ton?
Contoh butir-butir tes
pemahaman bentuk pilihan ganda.
1) Ton tidak dapat
memenuhi keinginannya berkuliah disebabkan ….
a) Menyadari
keadaan orang tuanya yang miskin.*
b) Banyak cara hidup
yang dapat ditempuh selain berkuliah.
c) Perkuliahan
bukan satu-satunya yang menjamin kehidupan masa depan.
d) Ingin menunjukkan
bahwa ia dapat menyelesaikan persoalannya sendiri.
e) Keingintahuan bisa mengalahkan segalanya.
Bagaimana sikap Ton
terhadap NEM-nya yang tertinggi?
a.
Tidak meyakini bahwa perkuliahan merupakan satu-satunya
jalan yang menjamin kehidupan masa depan.
b.
Menunjukkan bahwa dia dapat menyelesaikan masalah sendiri
dengan tidak perlu selalu mendambakan berkuliah.
c.
NEM yang tinggi sudah tentu menjamin bahwa yang
bersangkutan dapat mengatasi permasalahan sendiri.
d.
Menyadari betul bahwa cara dan jalan untuk mencapai
tujuan yang diinginkan.
e.
Tak begitu pedjuli dengan Nem tertinggi.
3)
Tes Kemampuan Membaca Tingkat Penerapan
Tes tingkat penerapan
(C3) menghendaki siswa untuk mampu menerapkan pemahamannya pada situasi atau
hal yang lain yang ada kaitannya. Demikian pula halnya dengan tes kemampuan
membaca. Siswa dituntut untuk mampu menerapkan atau memberikan contoh baru,
misalnya tentang suatu konsep, pengertian, atau pandangan yang ditunjuk dalam
wacana. Kemampuan siswa memberikan contoh, demonstrasi, atau hal-hal lain yang
sejenis merupakan bukti bahwa siswa telah memahami isi wacana yang
bersangkutan.
Contoh:
Wacana yang diujikan,
misalnya, adalah wacana yang dikutip pada tes tingkat ingatan di atas.
Untuk mengukur apakah
siswa benar-benar memahami perbedaan konsep pemungutan, interferensi, dan
pemindahan yang bersifat netral, kita dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan
aplikatif, misalnya dengan meminta siswa mencari atau mengenali contoh-contoh
konkret bentuk kebahasaan yang dimaksud.
Contoh butir-butir soal
yang dimaksud misalnya sebagai berikut:
1. Berikan contoh masing-masing tiga buah adanya struktur dan kosa kata
bahasa asing yang telah dipungut (diserap) ke dalam bacaan Indonesia!
2. Tunjukkan tiga kalimat bahasa Indonesia yang mengalami proses
interferensi struktur bahasa asing!
3. Buatlah contoh tiga buah kalimat bahasa Indonesia yang mengalami proses
interferensi struktur bahasa Jawa!
Contoh butir soal tes
penerapan bentuk pilihan ganda
Kalimat berikut yang
tidak mengandung unsur interferensi struktur dari bahasa asing adalah …
A.
Kantor di mana ayah
bekerja terletak di kota lain.
B.
Daerah lereng Merapi dari mana sayur-sayuran
didatangkan berudara sejuk.
C.
Terima kasih kepada
Saudara pengacara yang mana telah memberikan waktu kepada saya.
D.
Minat para tamatan SLTA
untuk menjadi mahasiswa dari tahun ke tahun meningkat.
E. Mengapa kamu belum melegalisir ijazahmu?
E. Mengapa kamu belum melegalisir ijazahmu?
4)
Tes Kemampuan Membaca Tingkat Analisis
Tes kemampuan membaca
pada tingkat analisis (C4) menuntut siswa untuk mampu menganalisis informasi
tertentu dalam wacana, mengenali, mengidentifikasi, atau membedakan pesan dan
atau informasi, dan sebagainya yang sejenis. Aktivitas kognitif yang dituntut
dalam tugas ini lebih dari sekedar memahami isi wacana. Pemahaman yang dituntut
adalah pemahaman secara lebih kritis dan terinci sampai bagian-bagian yang
lebih khusus.
Kemampuan memahami wacana
untuk tingkat analisis antara lain berupa kemampuan menentukan pikiran utama
dan pikiran-pikiran penjelas dalam sebuah alinea, menentukan kalimat yang
berisi pikiran utama, jenis alinea berdasarkan letak kalimat utama, menunjukkan
tanda penghubung antaralinea, dan sebaginya. Berikut contoh beberapa tes
tingkat analisis yang dimaksud.
Contoh:
Shahab yang meneliti masyarakat Betawi melihat bahwa
wanita mempunyai kesempatan amat terbatas dalam peningkatan pendidikan. Hal itu
disebabkan keterbatasan fasilitas pendidikan di Jakarta dan kondisi ekonomi
mereka. Walau ada peningkatan sikap terhadap arti pendidikan, perubahan itu
belumlah memadai. Situasi ini menjadi lebih buruk karena kawin usia muda
dianggap lebih penting dari pendidikan.
Ia mengatakan bahwa pendidikan jelas meningkatkan posisi
wanita. Sebab, pendidikan membekali pengetahuan dan pengalaman yang dibutuhkan
dalam kehidupan modern yang memungkinkan mereka bisa bersaing dengan pria.
Tetapi hanya segelintir wanita Betawi yang mengenyam pendidikan tinggi.
Kebanyakan mereka pergi ke sekolah-sekolah agama, namun tak dapat mengubah
posisi mereka karena tidak mendapatkan bekal yang dibutuhkan untuk memainkan
peran dalam kehidupan modern.
Contoh butir-butir tes
pemahaman bacaan tingkat analisis
1.
Apa pikiran utama alinea
pertama wacana di atas?
2.
Tunjukkan kalimat yang
memuat pikiran utama pada linea kedua!
3.
Dilihat dari segi
penempatan pikiran utama, sama atau berbedakah jenis kedua alinea di atas?
4.
Tunjukkan kata (-kata)
tertentu yang menandai hubungan antaralinea pertama dan kedua!
Contoh butir-butir tes
pemahaman bacaan tingkat analisis dalam bentuk pilihan ganda
Ide pokok alinea pertama terletak pada kalimat ….
a. Wanita mempunyai kesempatan amat terbatas dalam peningkatan
pendidikan.*
b. Keterbatasan fasilitas pendidikan di Jakarta dan kondisi ekonomi
mereka.
c. Ada peningkatan sikap terhadap arti pendidikan.
d. Kawin usia muda dianggap lebih penting dari pendidikan.
e. Usia perkawinan mempengaruhi kebahagiaan keluarga.
Dilihat dari segi
penempatan ide pokok, alinea kedua di atas termasuk alinea yang bersifat ….
a. induktif
b. deduktif
c. deduktif-induktif
d. menyebar
e. campuran
5)
Tes Kemampuan Membaca Tingkat Sintesis
Tes kemampuan membaca
pada tingkat sintesis (C5) menuntut siswa untuk mampu menghubungkan dan atau menggeneralisasikan
antara hal-hal, konsep, masalah, atau pendapat yang terdapat di dalam wacana.
Aktivitas tingkat sisntesis ini berupa kegiatan untuk menghasilkan komunikasi
yang baru, meramalkan dan menyelesaikan masalah. Aktivitas kognitif tingkat sintesis
merupakan aktivitas tingkat tinggi dan kompleks. Tes yang diberikan pun
menuntut kerja kognitif yang tidak sederhana, maka tidak setiap siswa mampu
berpikir atau mengerjakan dengan baik.
Hasil kerja kognitif
tingkat sintesis menunjukkan cara dan proses berpikir siswa. Oleh karena itu,
berbeda halnya dengan tes-tes kognitif tingkatan sebelumnya, dalam tes tingkat
sintesis dimungkinkan sekali adanya berbagai jawaban siswa yang berbeda antara
yang satu dengan lainnya. Tes ini dalam rangka melatih dan mengukur kemampuan
siswa untuk memikirkan secara kritis dan mencari penyelesaian masalah secara
logis.
Contoh:
Wacana yang diujikan, misalnya adalah wacana pertama yang
dikutip untuk tes tingkat analisis di atas.
Contoh butir-butir tes
yang diujikan kepada siswa misalnya sebagai berikut;
1) Apa yang mungkin terjadi seandainya masyarakat Betawi, khususnya
kaum wanita, mau menunda usia perkawinannya?
2) Bagaiman kita dapat memanfaatkan tenaga segelintir wanita Betawi
yang sempat mengenyam pendidikan tinggi itu untukmemajukan tingkat pendidikan
kaumnya?
3) Jika tingkat pendidikan kaum wanita Betawi relatif lebih tinggi,
benarkah hal itu akan mengangkat posisi mereka?
4) Bagaimanakah kita dapat memanfaatkan sekolah-sekolah agama untuk
memberikan pengetahuan dan keterampilan tertentu seperti yang diberikan di
sekolah-sekolah umum?
Oleh karena itu, tes
tingkat sintesis juga dimaksudkan untuk menilai cara dan proses berpikir siswa,
tes esai lebih tepat daripada tes objektif. Tes esai memungkinkan siswa untuk
menunjukkan kemampuan berpikirnya yang kreatif, kemampuan penalaran, kemampuan
menghubungkan berbagai fakta dan konsep, menggeneralisasikan, dan sebagainya.
6)
Tes Kemampuan
Membaca Tingkat Evaluasi
Tes kemampuan membaca pada tingkat evaluasi (C6)
menuntut siswa untuk mampu memberikan penilaian yang berkaitan dengan wacana
yang dibacanya, baik yang menyangkut isi atau permasalahan yang dikemukakan
maupun cara penuturan wacana itu sendiri. Penilaian terhadap isi wacana
misalnya berupa penilaian terhadap gagasan, konsep, cara pemecahan masalah, dan
bahkan menemukan dan menilai bagaimana pemecahan masalah yang sebaiknya.
Tes tingkat ini sangat
baik untuk melatih dan mengukur cara dan proses berpikir siswa. Oleh karena
itu, tes bentuk esai yang memungkinkan siswa berpikir dan bernalar secara
kreatif lebih tepat daripada tes bentuk objektif. Berikut dicontohkan
butir-butir tes tingkat evaluasi.
Contoh:
Wacana yang diujikan, misalnya, adalah wacana yang
dikutip pada tes tingkat ingatan di atas.
Contoh butir-butir tes
yang diujikan sebagai berikut:
1) Menurut pendapat Anda dapatkah kita menekan pemindahan unsur-unsur
kebahasaan yang bersifat negatif, dan sebaliknya mengusahakan pemindahan yang
bersifat positif?
2) Usaha-usaha apakah yang kiranya baik ditempuh untuk menghindari
adanya sifat interferensi kebahasaan?
3) Menurut pendapat Anda apakah bahasa yang dipergunakan dalam wacana
di atas memenuhi kriteria bahasa Indonesia baku?
Tes esai tingkat evaluasi
memungkinkan siswa menunjukkan kemampuan berpikir dan bernalar secara kreatif,
dan dimungkinkan sekali adanya perbedaan jawaban di antara siswa. Hal itu
berarti tidak hanya ada satu jawaban tertentu yang betul, melainkan bisa saja
beberapa jawaban yang berbeda sama-sama betul karena sama-sama dapat
dipertanggungjawabkan. Kriteria “betul” ditentukan berdasarkan ketepatan isi,
pengorganisasian (pengungkapan) isi, penyimpulan, kelogisan, alasan, dan
ketepatan bahasa. Oleh karena itu, penilaian terhadap tes esai ini bersifat
sangat kompleks, dan ada kalanya sulit dihindarkan adanya unsure subjektivitas
penilai.
Dalam melaksanakan tes
kemampuan membaca kita harus mempertimbangkan bahan dan tingkatan tes kemampuan
membaca. Pemilihan wacana hendaknya dipertimbangkan dari segi tingkat
kesulitan, panjang pendek, isi, dan jenis atau bentuk wacana. Tingkatan tes
kognitif kemampuan membaca, meliputi: 1. Tingkat ingatan (C1); 2. Tingkat
pemahaman (C2); 3. Tingkat penerapan (C3); 4. Tingkat analisis (C4); 5. Tingkat
sintesis (C5); dan 6. Tingkat evaluasi
(C6).
2.4
Tes Menulis
Manulis
diartikan sebagai aktivitas pengekspresian ide, gagasan, pikiran atau perasaan
ke dalam lambang-lambang kebahasaan
Kemampuan menulis yang merupakan keterampilan berbahasa produktif lisan
melibatkan kemampuan : penggunaan ejaan, penggunaan kosa kata, penggunaan
kalimat, penggunaan jenis komposisi, penentuan ide, pengolahan ide,
pengorganisasian ide. Kesemua inilah yang diukur dalam kemampuan menulis.
2.4.1
Bentuk Tes Menulis
Secara umum, bentuk tes yang digunakan dalam tes
menulis dapat berupa tes objektif dengan berbagai variasinya (untuk tingkat
ingatan dan pemahaman) dan tes sujektif dengan berbagai variasinya (untuk
tingkat penerapan ke atas).
Ragam bentuk tes
subjektif yang digunakan dalam tes menulis dapat dipaparkan sebagai berikut.
1)
Tes menulis berdasarkan rangsangan visual
Bentuk tes menulis
berdasarkan rangsangan visual dilakukan dengan cara disajikan gambar atau film
yang membentuk rangkaian cerita, dan testi diminta untuk membuat karangan
berdasarkan gambar atau film yang telah diberikan.
2)
Tes menulis berdasarkan rangsangan suara
Bentuk tes ini
dilaksanakan dengan cara disajikan suara yang dapat berbentuk ceramah, diskusi
atau tanya jawab, baik yang berupa rekaman suara maupan langsung.
3)
Tes menulis dengan rangsangan buku
Bentuk tes ini dilakukan
dengan cara menyajikan teks bacaan, dan testi diminta untuk membuat karangan
berdasarkan teks yang telah dibacanya. Bentuk tugas yang harus dikerjakan testi
dapat berupa membuat ringkasan/rangkuman, membentuk resensi, atau membuat
kritik.
4)
Tes menulis laporan
Bentuk tes ini dilakukan
dengan cara meminta testi untuk membuat laporan kegiatan yang pernah dilakukan
(mengikuti khotbah jum’ah, mengikuti seminar/diskusi, mengikuti Darmawisata,
atau kegiatan perkemahan) atau kegiatan penelitian sederhana yang telah dilakukan.
5)
Tes menulis surat
Bentuk tes ini dilakukan
dengan cara : testi diminta untuk menulis sebuah surat.
6)
Tes menulis berdasarkan tema tertentu
Bentuk tes ini dilakukan
dengan cara : disajikan sebuah atau beberapa topik dan testi diminta untuk
membuat suatu karangan berdasarkan topik yang telah ditentukan.
7)
Tes menulis karangan bebas
Tes ini dilaksanakan
dengan cara meminta testi untuk membuat karangan dengan tema dan sifat karangan
yang ditentukan sendiri oleh testi (peserta tes).
Menulis
merupakan kegiatan berbahasa yang melibatkan berbagai kemampuan dan
keterampilan secara terpadu. Tujuan pembelajaran menulis dapat dibedakan
menjadi dua, yakni: (1) siswa mampu mengungkapkan unsur-unsur kebahasaan,
seperti ejaan, kosakata, struktur kalimat, dan pemakaian paragraph, dan (2)
siswa mampu mengungkapkan gagasannya dalam bentuk tulisan yang sesuai dengan
konteks (pragmatik).
Tes
kemampuan menulis juga ada beberapa macam. Hal ini disamping disebabkan oleh
adanya tahapan dalam pengajaran menulis, juga karena ada banyak faktor yang
dapat dinilai, seperti mekanis, kosakata, tata bahasa, ketetapan isi, diksi,
retorika, logika, dan gaya (Madsen, 1983:101). Tompkins (dalam Ramli, 1998)
mengatakan bahwa tes menulis dapat disikapi dalam dua aspek, yakni sebagai tes
proses (tes menulis sebagai proses) dan tes produk (tes menulis sebagai
produk). Oleh karena itu disarankan agar tes menggunakan postofolio, yaitu
koleksi segala dokumentasi dan aktivitas siswa yang menunjukkan usaha,
kemajuan, dan pencapaian siswa dalam satu atau beberapa bidang tertentu yang
dapat digunakan sebagai alternatif atau pelengkap kegiatan tes.
Cara
langsung untuk mengukur kemampuan menulis seseorang adalah dengan menyuruh
seseorang itu menulis. Akan tetepi, tes bentuk esai ini banyak kelemahannya. Di
samping itu, kemampuan menulis juga dapat diukur dengan tes objektif. Baik tes
bentuk esai maupun bentuk objektif mempunyai kelebihan dan kekurangan. Apalagi
jumlah peserta tes besar jumlahnya, tes objektif akan lebih baik.Kemampuan menulis
merupakan suatu keterampilan berbahasa yang melibatkan aspek penggunaan bahasa
dan pengolahan isi. Masalah yang berkembang sehubungan dengan kegiatan menulis
adalah pengetahuan dasar terhadap performansi atau kemampuan menulis.
Keterampilan
menulis merupakan kiat menggunakan pola-pola lisan dalam menyampaikan suatu
informasi. Dalam menulis, orang tidak hanya dituntut menguasai materi yang akan
ditulis, tetapi juga mempu menggunakan perangkat kebahasaan secara tertulis.
Penggunaan perangkat kebahasaan secara tertulis menjadi inti kegiatan menulis
sebab penggunaan perangkat bahasa tulis berbeda dengan penggunaan perangkat
kebahasaan secara lisan.
Evaluasi
keterampilan menulis bertujuan mengetahui kemampuan pebelajar dalam menyampikan
ide, perasaan, dan pikirannya, serta menggunakan perangkat bahasa target secara
tulis.
Teknik evaluasi yang
dapat digunakan dipaparkan berikut.
1. Menulis huruf, nama, peristiwa, dan keadaan yang diperdengarkan, diperlihatkan, dan bicara.
2. Menyampaikan kembali secara tertulis suatu cerita, dialog, peristiwa yang didengar atau dibaca.
3. Menuliskan cerita berdasarkan gambar atau rangkaian gambar.
4. Melaporkan pengalaman, peristiwa, pekerjaan, atau perjalanan secara tulis.
5. Menjawab pertanyaan sederhana atau komplek secara tulis.
6. Membuat karangan berdasarkan tema tertentu.
7. Menggunakan ejaan dan tanda baca secara tetap.
1. Menulis huruf, nama, peristiwa, dan keadaan yang diperdengarkan, diperlihatkan, dan bicara.
2. Menyampaikan kembali secara tertulis suatu cerita, dialog, peristiwa yang didengar atau dibaca.
3. Menuliskan cerita berdasarkan gambar atau rangkaian gambar.
4. Melaporkan pengalaman, peristiwa, pekerjaan, atau perjalanan secara tulis.
5. Menjawab pertanyaan sederhana atau komplek secara tulis.
6. Membuat karangan berdasarkan tema tertentu.
7. Menggunakan ejaan dan tanda baca secara tetap.
Menulis
merupakan kegiatan berbahasa yang melibatkan berbagai kemampuan dan
keterampilan secara terpadu. Tujuan pembelajaran menulis dapat dibedakan
menjadi dua, yakni: (1) siswa mampu mengungkapkan unsur-unsur kebahasaan,
seperti ejaan, kosakata, struktur kalimat, dan pemakaian paragraph, dan (2)
siswa mampu mengungkapkan gagasannya dalam bentuk tulisan yang sesuai dengan
konteks (pragmatik).
Tes kemampuan menulis
juga ada beberapa macam. Hal ini di samping disebabkan oleh adanya tahapan
dalam pengajaran menulis, juga karena ada banyak faktor yang dapat dinilai,
seperti mekanis, kosakata, tata bahasa, ketetapan isi, diksi, retorika, logika,
dan gaya (Madsen, 1983:101). Tompkins (dalam Ramli, 1998) mengatakan bahwa tes
menulis dapat disikapi dalam dua aspek, yakni sebagai tes proses (tes menulis
sebagai proses) dan tes produk (tes menulis sebagai produk). Oleh karena itu
disarankan agar tes menggunakan postofolio, yaitu koleksi segala dokumentasi
dan aktivitas siswa yang menunjukkan usaha, kemajuan, dan pencapaian siswa
dalam satu atau beberapa bidang tertentu yang dapat digunakan sebagai
alternatif atau pelengkap kegiatan tes.
Cara
langsung untuk mengukur kemampuan menulis seseorang adalah dengan menyuruh
seseorang itu menulis. Akan tetepi, tes bentuk esai ini banyak kelemahannya. Di
samping itu, kemampuan menulis juga dapat diukur dengan tes objektif. Baik tes
bentuk esai maupun bentuk objektif mempunyai kelebihan dan kekurangan. Apalagi
jumlah peserta tes besar jumlahnya, tes objektif akan lebih baik.
2.4.2 Menulis Sebagai Proses
Menulis merupakan
aktivitas pengekspresian ide, gagasan, pikiran atau perasaan dalam lambang
kebahasaan. Kegiatan ini melibatkan aspek penggunaan tanda baca dan ejaan,
penggunaan diksi dan kosakata, penataan kalimat, pengembangan paragraph,
pengolahan gagasan serta pengembangan model karangan. Murray (1978)
mendeskripsikan menulis Sebagai proses penemuan dan penggalian ide-ide untuk
dikespresikan, dan proses ini dipengaruhi oleh pengetahuan dasar yang
dimilikinya.
1)
Tes Kosa Kata
Istilah kosa kata dapat
diartikan sebagai semua kata yang terdapat dalam suatu bahasa, kekayaan kata
yang dimiliki seseorang dalam suatu bahasa, kata-kata yang dipakai dalam suatu
bidang tertentu, daftar kata yang disusun dalam kamus beserta penjelasannya
a)
Bahan Tes Kosa Kata
Persoalan yang banyak
dihadapi guru dalam menyusun tes kosa kata terletak pada pemilihan bahan atau
pemilihan kosa kata mana yang akan diteskan. Secara umum dapat dinyatakan bahwa
bahan tes kosa kata adalah semua kosa kata yang terdapat dalam suatu bahasa,
baik yang digunakan dalam keterampilan reseptif maupun produktif. Secara khusus
pemilihan bahan tes kosa kata perlu mempertimbangkan faktor tingkat dan jenis
sekolah tingkat kesulitan kosa kata aktif dan pasif, serta kosa kata umum /
khusus / ungkapan.
Faktor-faktor pemilihan
bahan tes kosa kata akan dapat memenuhi harapan, dalam arti sesuai dengan
keperluan. Faktor pertama yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan bahan tes
kosa kata adalah untuk siapa tes kosa kata itu disusun. Dengan diketahuinya
untuk siapa tes kosa kata disusun, akan diketahui dengan pasti kosa kata yang
akan diteskan. Jika pemilihan dan penentuan kosa kata disarkan pada buku
pelajaran yang digunakan, ada berapa faktor yang perlu dipertimbangakan antara
lain :
a.
Belum tentu semua jenis sekolah memiliki buku pelajaran
yang secara khusus disusun untuk sekolah yang bersangkutan.
b.
Mendasarkan diri pada buku pelajaran semata berarti
membatasi pengetahuan siswa pada buku tersebut, padahal kosa kata yang
digunakan jauh lebih banyak dibandingakan yang terdapat dalam buku pelajaran.
c.
Penilaian kosa kata dalam buku-buku pelajaran belum tentu
sesuai dengan tingkat kognitif siswa yang didasarkan pada penelitian yang
mantap.
Penilaian kosa kata yang akan diteskan
hendaknya juga mempertimbgangakn tingkat kesulitannya, dalam arti terlalu mudah
atau terlalu sulit. Salah satu pertimbangan yang dapat dipakai adalah tingkat
kekerapan/keseringan pemakaian kosa kata, semakin sering dipakai suatu kosa
kata dapat dipandang mudah dan sebaliknya semakin jarang dipakai suatu kosa
kata dianggap sulit.
Kosa kata aktif dimaksud
adalah kosa kata yang dipakai dalam keterampilan produktif (untuk berbicara dan
menulis), sedangkan untuk kosa kata pasif merupakan kosa kata yang digunakan
dalam keterampilan reseptif ( menyimak dan membaca ).
Kosa kata umum adalah kosa kata yang dipakai
dalam semua bidang, kosa kata khusus merupakan kosa kata yang hanya dipakai
dalam bidang-bidang tertentu, dan ungkapan atau istilah merupakan kosa kata
yang memiliki makna tertentu dalam bidang tertentu.
b)
Ragam Tes Kosa Kata
Tes kosa kata tingkat
ingatan menuntut testi untuk mengingat kembali makna kata,
sinonim/antonym/hiponim/polisemi suatu kata. Tes kosa kata tingkat pemahaman
menuntut testi untuk dapat memahami makan, pengertian, serta masud suatu
kata/istilah/ungkapan. Tes kosa kata tingakat penerapan menuntut testi untuk
dapat memilih dan menerapkan kata-kata, istilah atau ungkapan tertentu dalam
suatu wacana secara tepat atau mempergunakannya dalam wacana. Tes kosa kata
tingkat analisis menutut testi untuk menganalisis, baik terhadap kosa kata yang
diujikan maupun terhadap wacana yang menjadi konteksnya.
2) Tes Struktur
Tes struktur dapat
diartikan sebagai tes kebahasaan yang difungsikan untuk mengukur kemampuan
testi dalam memahami dan menggunakan kalimat. Secara umum bentuk tes yang
digunakan dalam tes struktur tatabahasa berupa tes bentuk subjektif dan bentuk
objektif. Secara teprinci tes yang digunakan dalam tes struktur tatabahasa
dapat dikemukakan seperti berikut :
a.
Melengkapi kalimat dengan kata atau kelompok kata yang
tersedia. Misalnya ada sebuah pernyataan yang belum lengkap karena sepatah kata
atau lebih dihilangkan, selanjutnya pernyataan itu diikuti dengan beberapa kata
atau kelompok kata Sebagai pilihan. Tugas testi memilih kata atau kelompok kata
yang tepat, sehingga pernyataan tersebut menjadi lengkap.
b.
Memilih kalimat dalam bentuk ini disajikan beberapa
kalimat, dan testi diminta untuk memilih satu di antaranya ( yang benar atau
yang salah ).
c.
Menyusun kembali kalimat yang kacau susunannya. Jenis ini
biasanya dipakai untuk menguji hal-hal yang berkaitan dengan urutan kata dalam
kalimat. Penyusunan soal dilakukan dengan cara kata-kata ditempatkan pada urutan
yang tidak sebenarnya, dan testi diminta untuk memilih beberapa kemungkinan
jawaban yang benar.
III.
APLIKASI TES KOMPETENSI
BERBICARA DALAM BERPIDATO
3.1
Pengantar
Pembelajaran keterampilan
berbicara bentuk berpidato merupakan materi yang amat penting dan fundamental
untuk diberikan kepada pembelajar dalam proses pembelajarannya. Bentuk
keterampilan berpidato secara kurikuler menjadi materi pokok keterampilan
berbahasa aktif-produktif.
Pidato adalah suatu
ucapan dengan susunan yang baik untuk disampaikan kepada orang banyak. Contoh
pidato yaitu seperti pidato kenegaraan, pidato menyambut hari besar, pidato
pembangkit semangat, pidato sambutan acara atau event, dan lain sebagainya. Pidato
yang baik dapat memberikan suatu kesan positif bagi orang-orang yang mendengar
pidato tersebut. Kemampuan berpidato atau berbicara yang baik di depan publik /
umum dapat membantu untuk mencapai jenjang karir yang baik.
Pidato umumnya melakukan pidato
dengan tujuan 1) mempengaruhi orang lain agar mau mengikuti kemauan kita dengan
suka rela; 2) memberi suatu pemahaman atau informasi pada orang lain; dan
3) Membuat orang lain senang dengan
pidato yang menghibur sehingga orang lain senang dan puas dengan ucapan yang
kita sampaikan.
Berdasarkan pada sifat
dari isi pidato, pidato dapat dibedakan menjadi 1) pidato pembukaan, adalah
pidato singkat yang dibawakan oleh pembaca acara atau MC, 2) pidato pengarahan
adalah pdato untuk mengarahkan pada suatu pertemuan; 3) pidato sambutan, yaitu
merupakan pidato yang disampaikan pada suatu acara kegiatan atau peristiwa
tertentu yang dapat dilakukan oleh beberapa orang dengan waktu yang terbatas
secara bergantian; 4) pidato peresmian, adalah pidato yang dilakukan oleh orang
yang berpengaruh untuk meresmikan sesuatu; 5) pidato Laporan, yakni pidato yang
isinya adalah melaporkan suatu tugas atau kegiatan; dan 6) pidato pertanggungjawaban, adalah pidato yang
berisi suatu laporan pertanggungjawaban.
Teknik atau metode dalam
membawakan suatu pidatu di depan umum, 1) metode menghafal, yaitu membuat suatu
rencana pidato lalu menghapalkannya kata per kata; 2) metode sertamerta, yakni
membawakan pidato tanpa persiapan dan hanya mengandalkan pengalaman dan
wawasan. Biasanya dalam keadaan darurat tak terduga banyak menggunakan tehnik
serta merta; 3) metode naskah, yaitu berpidato dengan menggunakan naskah yang
telah dibuat sebelumnya dan umumnya dipakai pada pidato-pidato resmi.
Sebelum memberikan pidato
di depan umum, ada baiknya untuk melakukan persiapan, antara lain 1) wawasan pendengar pidato secara umum; 2) mengetahui
lama waktu atau durasi pidato yang akan dibawakan; 4) menyusun kata-kata yang
mudah dipahami dan dimengerti; 5) mengetahui jenis pidato dan tema acara; dan
6) menyiapkan bahan-bahan dan perlengkapan pidato, dan lain-lain.
Skema susunan suatu
pidato yang baik secara berurutan adalah 1) pembukaan dengan salam pembuka; 2)
pendahuluan yang sedikit menggambarkan isi; 3) isi atau materi pidato secara
sistematis : maksud, tujuan, sasaran, rencana, langkah, solusi, dan lain-lai;
4) penutup (kesimpulan, harapan, pesan, salam penutup).
Aplikasi teori penilaian
terhadap keterampilan berpidato berkaitan dengan proses pembelajaranya. Berikut
ini contoh RPP dengan materi keterampilan berpidato.
3.2 Aplikasi dalam Layanan
Pembelajaran
3.2.1 Contoh RPP
UNIT 5 IPTEK
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
Nomor 13
1. IDENTITAS SEKOLAH, SK, KD,
INDIKATOR, ALOKASI WAKTU
NAMA SEKOLAH
|
SMA XAVERIUS 1 PALEMBANG
|
MATA PELAJARAN
|
Bahasa Indonesia
|
KELAS /SEMESTER
|
XII (dua belas) / 1 (satu)
|
PROGRAM
|
IPA/IPS
|
ASPEK PEMBELAJARAN
|
Membaca
|
STANDAR KOMPETENSI
|
Menyampaikan gagasan secara lisan dalam bentuk berpidato
|
KOMPETENSI DASAR
|
Menyampaikan gagasan
secara lisan dalam bentuk berpidato dengan isi, bahasa, dan penyampaian yang
baik dan benar.
|
INDIKATOR
|
1. Menyampaikan gagasan yang berbobot dalam
2. Menyampaikan gagasan yang berbobot secara
lisan secara sistematis
3. Menyampaikan gagasan yang aktual dan
objektif
4. Menyampaikan gagasan secara lisan dengan
intonasi yang sesuai
5. Menyampaikan gagasan secara lisan dengan
artikulasi yang benar
6. Menyampaikan gagasan secara lisan dengan
aksentuasi yang tepat
7. Menyampaikan gagasan secara lisan dengan
jeda yang tepat
8. Menyampaikan gagasan secara lisan dengan
sikap dan santun yang sesuai
9. Menyampaikan gagasan secara lisan dengan
pandangan yang baik
10. Menyampaikan gagasan secara lisan dengan ekspresi
yang tepat
|
ALOKASI WAKTU
|
8 x 45
menit ( 4 pertemuan)
|
2. TUJUAN PEMBELAJARAN
TUJUAN
|
Siswa mampu berpidato tanpa
teks dengan isi, bahasa, dan penampilan yang baik dan
benar.
|
MATERI POKOK PEMBELAJARAN
|
1. Konsep kegiatan berpidato (pengertain,
metode, hal-hal teknis penampilan berpidato)
2. Contoh naskah pidato
3. Cara membacakan naskah pidato
4. Menyusun naskah pidato sesuai dengan tujuan
5. Cara
menguasai bahan pidato
6. Praktik berpidato
|
3.
METODE PEMBELAJARAN
|
Presentasi
|
|
|
Diskusi Kelompok
|
Mendiskusikan sputar konsep berpidato dengan teman
sebangku
|
|
Inquiri
|
|
v
|
Tanya Jawab
|
Mengajukan pertanyaan kepada guru tentang hal-hal yang berhubungan dengan
kegiatan berpdato
|
v
|
Penugasan
|
1.
Menyusun
naskah pidato
2.
Melakukan
pengamatan dan memberikan penilaian siswa lain berpidato
|
v
|
Demontrasi /Pemeragaan Model
|
1.
Audio visual
contoh berpidato yang baik, dibuka dari youtube lewat hotspot sekolah.
2.
Pengurus
OSIS/PPSK di kelas masing-masing.
|
4.
KEGIATAN PEMBELAJARAN
TAHAP
|
KEGIATAN
PEMBELAJARAN
|
PEMBUKA
(Apersepsi)
|
Pertemuan ke-1 (30 menit)
|
1.
Guru
menayangkan cuplikan rekaman pidato dokumentasi dari youtube, misalnya pidato
Presiden dalam suatu acara kenegaraan
dan mengajak siswa untuk mencermatinya.
2.
Siswa diberi
kesempatan untuk mengungkapkan tanggapannya atas unjuk kemampuan pidato
tersebut. Dengan panduan pertanyaan, tanggapan diarahkan pada intonasi,
artikulasi, aksentuasi, jeda, dan ekspresi.
3.
Guru
menyatakan bahwa keterampilan berpidato sangat penting dan siapa pun suatu
saat akan melakukannya sehingga perlu bagi siswa untuk belajar cara berpidato
yang menarik.
|
|
|
|
INTI
|
Pertemuan
ke-1 ( 60 menit)
|
1.
Siswa
mendiksuikan macam-macam teknik atau
metode berpidato.
2.
Guru
atau siswa (model) yang ditunjuk
membacakan teks pidato yang terpilih sementara siswa yang lain mencermatinya.
3.
Siswa
berdiskusi menjawab sejumlah pertanyaan untuk
menanggapi kemampuan berpidato
yang telah ditampilkan. Kemudian wakil kelompok mempresentasikan tanggapannya di depan
kelas.
4.
Siswa menyumbang pendapat untuk merumuskan
hal-hal penting yang perlu
diperhatikan saat berpidato.
5.
Guru
memberikan tabel penilaian keterampilan berpidato di depan kelas untuk semua
siswa.
6.
Siswa menyiapkan teks pidato, dibuat di rumah,
menandai bagian-bagian penting yang perlu mendapat penekanan, dan berlatih
membacakannya dalam kelompok. Naskah pidato diarahkan ke pola persuasif, disiapkan
secara tekstual dan dikumpulkan dalam print out sebelum tampil dalam durasi
waktu 3 menit.
|
|
Pertemuan
ke-2 ( 90 menit)
|
|
Praktik
pidato di depan kelas.
1.
Guru
membimbing siswa membuat tabel penilaian bagi siswa yang tampil berpidato
2.
Secara
bergantian berdasar undian, semua siswa berpidato di depan kelas
tanpa teks.
3.
Dengan
menggunakan pedoman penilaian yang dibagikan guru, semua siswa di kelas
ikut memberikan penilaian setiap
penampil di Buku Latihan-nya.
4.
Guru
menyampaikan ulasan, menyebutkan siswa yang sudah bagus unjuk
kemampuannya dengan menunjukkan
kelebihan-kelebihannya.
5.
Guru
memberikan masukan atau saran kepada siswa yang penampilannya belum bagus.
|
|
Pertemuan
ke-3-4 (165 menit)
|
|
1.
Siswa
berpidato di depan kelas tanpa teks secara bergiliran sesuai dengan undian.
2.
Siswa
melakukan pengamatan teman yang berpidato serta memberikan penilaian sesuai
dengan pedoman.
3.
Siswa secara
bergantian memberikan tanggapan atas teman yang berpidato di depan kelas.
4.
Siswa bersama
guru menyimpulkan hal-hal yang perlu dilakukan dan dihindari dalam penampilan
berpidato pada setiap kali pertemuan berakhir.
|
|
PENUTUP
(Internalisasi dan refleksi)
|
Pertemuan
ke-3-4 ( 15 menit)
|
1.
Siswa
menjawab 10 soal Kuis Uji Teori untuk me-review
konsep-konsep penting tentang
berpidato yang telah dipelajari
2.
Siswa merefleksikan nilai-nilai serta kecakapan hidup (live skill) yang bisa dipetik dari pembelajaran dan ditulis di
Buku Latihan masing-masing.
3.
Guru memberi
semangat siswa untuk terus berlatih berpidato dan menerima peluang setiap
kali diminta untuk berpidato
|
5. SUMBER BELAJAR
V
|
Pustaka rujukan
|
§ Buku Kumpulan
Naskah Lomba Pidato Pelajar 2006: Bangkitlah Pemuda! Ayo Lawan Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta: Direktorat
Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat (Dikyanmas)-KPK.
§ Aktif dan
Kreatif Berbahasa Indones-ia untuk kelas XII
SMA/MA program IPA dan IPS karya
Adi Abdul Somad dkk. dalam Buku
Sekolah Elektronik via Depdiknas.go.id
§ Komposisi karya Gorys Keraf terbitan Nusa Indah, Ende-Flores.
§ Argumentasi
dan Narasi karya Gorys Keraf terbitan Nusa
Indah Ende-Flores.
|
V
|
Material: VCD, kaset, poster
|
kaset/cd/vcd rekaman pidato (dari
dokumentasi sekolah)
|
|
Mediacetak dan elektronik
|
Hotspot: http://smax-1_plg.sch.id
|
|
Website internet
|
http://kasdiharyanta-kasdih.blogspot.com
|
|
Narasumber
|
|
V
|
Model peraga
|
Pengurus
OSIS/PPSK di kelas siswa yang masih aktif
|
|
Lingkungan
|
|
6. PENILAIAN
TEKNIK DAN BENTUK
|
vV
|
Tes Lisan
|
vV
|
Tes Tertulis dalam bentuk kuis
|
|
vV
|
Observasi Kinerja/Demontrasi
|
|
vV
|
Tagihan Hasil Karya/Produk: tugas
menyusun naskah pidato.
|
|
vV
|
Pengukuran Sikap
|
|
vV
|
Penilaian diri
|
|
INSTRUMEN /SOAL
|
1.
Tugas untuk membacakan teks pidato
2.
Tugas untuk menanggapi pembacaan teks pidato
3.
Daftar tabel pengisian hasil pengamatan
4.
Daftar
pertanyaan kuis uji teori untuk mengukur pemahaman siswa atas konsep-konsep
yang telah dipelajari.
5.
Praktik
berpidato
|
|
RUBRIK/KRITERIA PENILAIAN/BLANGKO OBSERVASI
|
Lembar rubrik penilaian kinerja berpidato (Terlampir-Lampiran 1)
|
Mengetahui, Palembang, Juli 2011
Kepala Sekolah Guru Mata Pelajaran
Bahasa Indonesia
Dra.
Lucia Chia Drs.
Kasdi Haryanta
_____________________________________________________________________________
3.3
Proses
Penilaian:
3.3.1 Bentuk tes : Praktik berpidato
tanpa teks
3.2.2 Sarana tes : Materi topik berpidato yang
disampaikan seminggu sebelum diteskan agar siswa menyusun naskah pidato. Dirasi
waktu tes per siswa 3 menit.
3.3.3 Kriteria Penilaian: Rubrik
Penilaian => terlampir-Lampiran 1
3.4
Hasil
Penilaian => terlampir dalam Lampiran 2 (Daftar Nalai
Kelas XII IPA 1 dan Kelas XII IPA 2).
3.5
Sistem pengolahan skor ke dalam nilai:
menggunakan PAP sehingga siswa jelas dan mengejar target masing-masing dengan
KKM= 75. Klasifikasi nilai adalah
No.
|
Skor
|
Kualifikasi
|
1
|
86-95
|
Amat baik
|
2
|
75-85
|
Baik
|
3
|
65-74
|
Cukup
|
4
|
55-64
|
Kurang cukup
|
5
|
41-54
|
Amat kurang cukup
|
IV.
PENUTUP
Pembelajaran
bahasa dilaksanakan untuk mencapai sejumlah tujuan pembelajaran yang telah
diidentifikasi dan dirumuskan berdasarkan telaah mendalam terhadap kebutuhan
yang perlu dipenuhi. Hal ini diupayakan tercapai melalui serangkaian kegiatan
pembelajaran yang secara matang dirancang dan diselenggarakan secara
sungguh-sunguh.
Tujuan pembelajaran, proses kegiatan pembelajaran,
dan evaluasi hasil kegiatan saling terkait dalam satu pola hubungan yang erat.
Suatu komponen penyelenggaraan pembelajaran terdahulu memengaruhi bahkan
menentukan penyenggaraan komponen berikutnya. Dalam pembelajaran bahasa,
kemampuan bahasa reseptif, menyimak dan membaca merupakan komponen dasar yang
amat berpengaruh terhadap ketercapaian komponen kemampouan bahasa produktif
berikutnya, dalam hal ini berbicara dan menulis.
Evaluai tingkat keberhasilan berbahasa seringkali
dikaitkan dengan tingkat keberhasilan pembelajara dalam bentuk nilai yang
diperoleh dari guru pada masa tertentu, terutama di akhir satuan waktu belajar.
Bagi komponen penyelenggara pembelajaran nilai yang dicapai pembelajar
merupakan tingkat keberhasilan pembelajaran yang dicapai oleh pembelajar. Bagi
guru nilai merupakan unjuk kerjanya dalam mengelola kegiatan pembelajaran dan
interakasi dengan pembelajar. Maka, akan bijaksana manakala guru memerhatikan
tingkat pemahaman pembelajar tentang materi yang disampaikannya dalam proses
layanan pembelajaran. Guru dapat melakukan telaah terhadap unjuk kerjanya untuk
menganalisis tahap perencanaan, proses layanan pembelajaran,dan pengevaluasian
yang dilakukannya. Hasil evaluasi digunakan sebagai umpan balik bagi pendidikan
dan layanan proses pembelajarannya.
Daftar Pustaka
Ariani, Farida. 2006. Keterampilan
Menyimak. Depdiknas Ditjen PMPTK PPPG Bahasa.
Djiwandono, M.S. 2008. Tes Bahasa, Pegangan bagi Pengajar Bahasa. Jakarta: Indeks.
Maidar, Arsyad G. 1994. Bahasa dan Proses Pengejaran Menyimak. Jakarta: Departemen P dan K
Ditjen Dikdasmen. PPPG Bahasa.
Kamidjan dan Suyono. 2000. Menyimak. Jakarta: Depdiknas-Ditjen Dikdasmen Direktorat Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama.
Keraf. Gorys. 2001. Komposisi.
Ende-Flores: Nusa Indah Percetakan Arnoldus
Keraf. Gorys. 1998. Narasi
dan Argumentasi. Ende-Flores: Nusa Indah Percetakan Arnoldus.
Nurgiyantoro, Burhan. 2009. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: BPFE.
Ridwan.
2010. “Tes Kemampuan Membaca”. Dalam http://ikfaiz.wordpress.com/2010/10/07/tes-kemampuam-membaca/, Diakses 4
Desember 2011, pukul 23.35 WIB.
Safari. 2002. Pengujian
dan Penilaian Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta: PT Kartanegara.
Tarigan, Henry Guntur. 1987. Membaca Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
___________________. 2004. Teknik Pengajaran Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
___________________. 2006. Menyimak sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Lampiran 1
YAYASAN XAVERIUS PALEMBANG
SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA)
XAVERIUS 1
TERAKREDITASI A
Jalan
Bangau No.60/1258 Palembang – 30113
((0711)358005,
Fax:(0711)373061,Email : smu_xav1@telkom.net
PEDOMAN PENIAIAN
PRAKTIK BERPIDATO BAHASA
INDONESIA
No.
|
Aspek
|
Kualifikasi
|
Skor
|
1
|
ISI
1.1
Bobot
|
a. Kualitas aktualitas dan objektivitas materi amat baik
|
86-95
|
b.
Kualitas aktualitas dan objektivitas materi
baik
|
76-85
|
||
c.
Kualitas aktualitas dan objektivitas materi cukup baik
|
66-75
|
||
d.
Kualitas aktualitas dan objektivitas materi kurang baik
|
56-65
|
||
1.2
Sistematika
|
a. Keteraturan, keruntutan, dan penalaran amat baik
|
86-95
|
|
b.
Keteraturan, keruntutan, dan penalaran baik
|
76-85
|
||
c.
Keteraturan, keruntutan, dan penalaran cukup baik
|
66-75
|
||
d.
Keteraturan, keruntutan, dan penalaran kurang
baik
|
56-65
|
||
1.3
Akurasi
|
a. Kecermatan dan kebenaran materi amat baik
|
86-95
|
|
b.
Kecermatan dan kebenaran materi
baik
|
76-85
|
||
c.
Kecermatan dan kebenaran materi cukup
baik
|
66-75
|
||
d.
Kecermatan dan kebenaran materi kurang baik
|
56-65
|
||
2
|
BAHASA
2.1
Intonasi
|
a. Keselarasan lagu kalimat dengan isi dan tujuan amat baik
|
86-95
|
b.
Keselarasan lagu kalimat dengan isi dan tujuan baik
|
76-85
|
||
c.
Keselarasan lagu kalimat dengan isi dan tujuan cukup baik
|
66-75
|
||
d.
Keselarasan lagu kalimat dengan isi dan tujuan kurang
baik
|
56-65
|
||
2.2
Artikulasi
|
a. Kesesuaian ucapan dengan isi dan tujuan amat baik
|
86-95
|
|
b.
Kesesuaian ucapan dengan isi dan tujuan baik
|
76-85
|
||
c.
Kesesuaian ucapan dengan isi dan tujuan
cukup baik
|
66-75
|
||
d.
Kesesuaian ucapan dengan isi dan tujuan kurang baik
|
56-65
|
||
2.3
Aksentuasi
|
a. Ketepatan tekanan ucapan dengan isi dan tujuan amat baik
|
86-95
|
|
b. Ketepatan
tekanan ucapan dengan isi dan tujuan baik
|
76-85
|
||
c.
Ketepatan tekanan ucapan dengan isi dan tujuan cukup baik
|
66-75
|
||
d.
Ketepatan tekanan ucapan dengan isi dan tujuan kurang baik
|
56-65
|
||
2.4
Jeda
|
a. Kesesuaian sela ucapan dengan isi dan tujuan amat baik
|
86-95
|
|
b.
Kesesuaian sela ucapan dengan isi dan tujuan baik
|
76-85
|
||
c.
Kesesuaian sela ucapan dengan isi dan tujuan cukup baik
|
66-75
|
||
d.
Kesesuaian sela ucapan dengan isi dan tujuan kurang baik
|
56-65
|
||
3
|
PENAMPILAN
3.1
Sikap
|
a. Santun dan etika bicara amat baik
|
86-95
|
b. Santun
dan etika bicara baik
|
76-85
|
||
c. Santun
dan etika bicara cukup baik
|
66-75
|
||
d. Santun
dan etika bicara kurang baik
|
56-65
|
||
3.2
Pandangan
|
a.
Keselarasan pandangan dengan isi dan tujuan pidato ke
audiens amat baik
|
86-95
|
|
b.
Keselarasan pandangan dengan isi dan tujuan pidato ke
audiens baik
|
76-85
|
||
c.
Keselarasan pandangan dengan isi dan tujuan pidato ke
audiens
cukup baik
|
66-75
|
||
d.
Keselarasan pandangan dengan isi dan tujuan pidato ke
audiens kurang baik
|
56-65
|
||
3.3
Ekspresi
|
a.
Kesesuaian ekpresi mimik-pantomimik dengan isi dan
tujuan amat baik
|
86-95
|
|
b.
Kesesuaian ekpresi mimik-pantomiki dengan isi dan
tujuan baik
|
76-85
|
||
c.
Kesesuaian ekpresi mimik-pantomimik dengan isi dan
tujuan cukup baik
|
66-75
|
||
d.
Kesesuaian ekpresi mimik-pantomimik dengan isi dan
tujuan kurang baik
|
56-65
|
Palembang, 7 Oktober 2011
Guru Bidang Studi Bahasa Indomesia
Drs. Kasdi Haryanta
[1] Tes Bahasa Pegangan bagi Pengajar bahasa
karya M. Soenardi Djiwandono, terbitan Indeks, Jakarta.
[2] Jenis Tes Bahasa karya Burhan Nurgiyantoro dari FBS/PPs Universitas Negeri Yogyakarta,
makalah disampaikan di IAIN Gorontalo,
6 Juni 2009, diakses 12 Oktober 2011, pukul 23.30 WIB dalam
http://101.203.168.85/sites/default/files/tmp/Jenis%20Tes%20Bahasa%20IAIN%20Gorontalo%2009.ppt.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Susilo Firi Yatmoko, Tes Kebahasaan, dalam http://susilofy.wordpress.com/2011/01/11/tes-keterampilan-berbahasa, diakses 23 Oktober 2011, pukul 14.30
WIB.
thanks,,, bagus banget :D
BalasHapus