Humanisme Tokoh Wisanggeni dalam Novel Saman Karya Ayu Utami
I. Deskripsi
Fisik Buku
1.
Judul : Saman
2. Pengarang :
Ayu Utami
3. Penerbit :
Kepustakaan Populer Gramedia
4. Cetakan ke- : 28 (dua puluh delapan)
5. Jumlah Halaman : ix; 202 halaman
6. Ukuran Buku : 13,5cm X 20cm
7. Tahun Terbit : 1998
8. Kota Terbit : Jakarta
9. Harga Buku : Rp35000
II. Sinopsis
Athanasius
Wisanggeni atau akrab dipanggil Wis lahir pada tahun1958 di kota Jogjakarta. Ibu Wis berasal dari kalangan bangsawan dengan gelar Raden Ayu. Ada satu kelemahan dari ibu Wis , yaitu ia sering terlihat termenung. Akibatnya,
ibu Wis sulit
untuk diajak ngobrol dan sering dianggap aneh. Sedangkan ayah Wis bernama Sudoyo. Ia bekerja di Bank
Rakyat Indonesia .
Pada saat Wis berumur empat tahun, Sudoyo
dipindahkan ke kota
Prabumulih untuk menjabat sebagai Kepala Cabang BRI. Maka dari itu, Sudoyo
memboyong keluarganya termasuk Wis
kecil ke Prabumulih dan memulai hidup baru disana.
Setelah pindah ke Prabumulih , Wis
hampir memiliki 3 orang adik. Namun sayang, ketiganya meninggal. Adik pertama
dan kedua hilang dalam rahim ibunya. Adik ketiga sempat dilahirkan, tapi tidak
bertahan hidup. Adik ketiganya meninggal seketika di malam ia dilahirkan. Sejak
saat itu Wis
terus memendam rasa penasarannya mengenai hilangnya adik dan percakapan ibu
dengan orang asing.
Pada tahun 1984, Wis
resmi dinobatkan menjadi seorang pastor. Beruntung
Wis ditugaskan untuk melayani
masyarakat Prabumulih. Wis
sangat senang mengetahui kenyataan ini, sebab ia dapat kembali bernostalgia
tentang masa kecil dan juga ibunya yang telah meninggal.
Di kamar pastoran, Wis
sempat melihat sesosok perempuan yang berpakaian lusuh dan bertampang
menyeramkan dibalik jendela kamarnya. Awalnya ia menebak bahwa sosok itulah
adiknya yang masih hidup sampai saat itu. Namun
Wis salah, perempuan itu adalah
Upi.
Upi merupakan salah satu anak transmigran Sei Kumbang yang tinggal
di desa kecil bernama Lubukrantau. Ia dianggap gila karena sering berkeliaran
ke desa-desa tetangga dan juga berprilaku aneh. Upi terluka pada saat Wis mencoba mengejarnya.
Maka Wis
segera membawanya ke puskesmas lalu mengantarnya pulang ke rumah. Disanalah
akhirnya Wis
melihat suatu keadaan yang memprihatinkan. Upi selalu di kurung dalam sangkar
kayu kecil dan pengap oleh keluarganya. Keluarga Upi sudah lelah sekali dalam
merawatnya. Ia memiliki penyimpangan perilaku seksual dan sering diperkosa oleh
orang yang tak dikenal. Beruntung Upi tidak pernah sampai hamil pada saat itu.
Pada tahun 1990, masyarakat Lubukrantau diancam oleh sekelompok
pemuda yang membawa SK dari gubernur. Mereka menuntut untuk merombak perkebunan
karet di Lubukrantau menjadi perkebunan sawit. Semua warga Lubukrantau termasuk
Wis
bersikeras menolak keputusan tersebut. Wis
berpikir bahwa penggusuran desa Lubukrantau dapat menyulitkan warga termasuk
Upi. Wis
tidak tega dengan para warga dan bertekad unuk membela mereka. Wis melakukan berbagai
cara dimulai dari negosiasi, penyampaian himbauan bagi rakyat, serta melawan
orang-orang yang ingin tetap menggusur desa.
Sayang, semua usaha Wis
bersama masyarakat Lubukrantau sia-sia. Wis
bersama sejumlah warga berhasil ditangkap. Wis disekap di pabrik pengolahan kelapa
sawit. Disana pula Wis
terus disiksa, dipukuli, disundut rokok, ditelanjangi, ditendang dan
sebagainya. Tetapi Wis tetap teguh dalam membela warga
Lubukrantau. Akhirnya pada suatu hari, warga Lubukrantau berhasil menyelamatkan
Wis dengan
membakar pabrik kelapa sawit tersebut. Wis
yang terluka parah harus menerima kenyataan bahwa Upi yang disayanginya telah
dibakar hidup-hidup, merusak rumah, mencabuti pohon karet muda oleh oknum-oknum
penggusur desa. Kasus ini sempat dibawa ke pengadilan, namun hakim menetapkan
bahwa orang-orang penggusur itu tidak bersalah. Malah Wis
dituduh sebagai rohaniwan penghasut penduduk dan pengadu domba penduduk dengan
pihak perusahaan kelapa sawit. Wis
sempat dijadikan tersangka pembakaran pabrik.
Seorang perempuan bernama Laila mengenal Saman pada saat ia menjadi
frater yang mengajar di SMP. Laila juga bersahabat bersama Shakuntala, Cok, dan
Yasmin. Pada masa SMP, Laila sempat jatuh cinta pada frater Wis. Namun ia harus
memendam perasaannya karena Wis
adalah rohaniwan pada saat itu. Laila berprofesi sebagai fotografer, Shakuntala
adalah seorang pelacur, Cok menjadi ibu rumah tangga dan Yasmin telah menikah
dengan lelaki yang tidak ia cintai.
Pada tahun 1993, Saman dikunjungi oleh Laila.. Laila meminta bantuan
Saman untuk membela kekasihnya yang sudah berisitri, Sihar. Sihar ingin
menuntut atasannya akibat kebakaran yang terjadi di pertambangan minyak. Mereka
ingin Saman sebagai aktivis masyarakat untuk mendukungnya. Usaha Laila, Sihar,
dan Saman pun berhasil menjebloskan atasan Sihar ke penjara.
Awal tahun 1994, Saman berada di Medan dan dalam keadaan berbahaya. Saman
sebagai seorang aktivis yang dibenci aparat kepolisian dituduh sebagai dalang
terjadinya unjuk rasa, pembunuhan, serta penjarahan toko. Para polisi mengincar keberadaannnya. Lalu Yasmin
datang dari Palembang untuk membantu Saman. Yasmin membawa Saman mengungsi ke
Pekanbaru tempat sahabatnya Cok. Disana Saman dan Yasmin bersembunyi beberapa
hari. Yasmin menyadari bahwa ia sangat mencintai Saman begitu pula sebaliknya.
Ketika Saman berpindah tempat persembunyian ke Singapura, Yasmin sangat sedih
melepasnya. Setelah di Singapura, Saman akhirnya
menetap di New York .
Saman masih berhubungan dengan Yasmin melalui e-mail.
III.
Pembahasan : Humanisme Tokoh Wisanggeni dalam
Novel Saman Karya Ayu Utami
3.1 Pendahuluan
3.1.1
Latar Belakang
Novel
Saman karya Ayu Utami ini dipilih
karena rekomendasi dari guru-guru pembimbing. Menurut beliau novel ini memiliki jalan cerita yang menarik baik dari segi bahasa
maupun setting. Setting pada novel ini menjadi menarik karena adalah kota Prabumulih, Sumatera
Selatan. Tokoh-tokohnya pun ada sebagian yang benar-benar nyata. Ayu Utami
dalam menulis novel ini terbukti telah melakukan penelitian terlebih dahulu
agar jalan cerita novelnya tidak terkesan mengada-ada. Selain itu, Ayu Utami
juga telah mendapatkan penghargaan Price
Claus Award pada tahun 2000. Novel Saman ini juga telah menang dalam
sayembara roman terbaik Dewan Kesenian Jakarta 1998 dan dicetak ulang 28 kali
serta sudah diterjemahkan dalam 6 bahasa asing.
Penulis memilih judul pembahasan “Humanisme
Tokoh Wisanggeni dalam Novel Saman
Karya Ayu Utami” karena pada novel Saman
karya Ayu Utami ini, karakter Saman digambarkan begitu teguh dan bekerja keras
dalam membela penduduk miskin dan tidak berdaya ditindas para penguasa yang
semena-mena. Penduduk yang ditindas dalam cerita novel Saman ini adalah
penduduk transmigrasi Sei Kumbang yang menetap di desa kecil bernama
Lubukrantau. Lokasinya sekitar 70 kilometer dari Kota Prabumulih. Penduduk
setempat berkebun karet untuk menghidupi keluarganya. Namun sekelompok orang
datang untuk merombak kebun karet menjadi perkebunan kelapa sawit dengan alasan
lebih menguntungkan. Saman yang merasa ada ketidakadilan bagi penduduk
Lubukrantau berjuang untuk mempertahankan desa tersebut.
Sejak pemerintahan Orde Baru sampai
sekarang jumlah rakyat miskin masih tetap terus tinggi dari tahun ke tahun.
Dengan adanya berbagai krisis ekonomi atau keuangan di dunia, yang
mengakibatkan memburuknya situasi ekonomi Indonesia juga, maka jumlah orang
miskin di negeri kita masih akan tetap tinggi, kalau tidak makin meningkat.[1]
Ditengah sikap pemuda Indonesia
kini yang cenderung acuh terhadap kaum tertindas, tokoh Saman dapat menjadi
contoh. Banyak kaum miskin maupun tertindas di berbagai daerah di Indonesia
yang masih perlu dibela hak-haknya oleh para pemuda.
Novel Saman ini menciptakan karakter tokoh yang begitu jarang ditemukan
pada masyarakat umum. Saman rela bolak-balik Prabumulih-Lubukrantau hanya untuk
menjenguk seorang perempuan gila yang sangat memprihatinkan. Ia juga berkorban
melepas ikatan kepastorannya demi membela penduduk Lubukrantau. Walaupun Saman
terus dihadapi berbagai cobaan, ia tetap teguh pada pendiriannya terus berjuang
membela rakyat tertindas. Bahkan setelah Saman berhasil bebas dari ancaman dan
penganiayaan, ia masih menjadi seorang aktivis yang aktif membela rakyat
melalui Lembaga Swadaya Masyarakat.
Pada masyarakat umum sekarang hampir
tidak ada orang yang seperti tokoh Saman. Mereka cenderung mementingkan diri
sendiri tanpa ikut membantu orang lain yang sedang membutuhkan pertolongan. Padahal
dengan membantu orang lain, secara tidak langsung kita telah membantu diri kita
sendiri.
3.1.2 Tujuan
3.1.2.1 Untuk mengetahui perjuangan Wisanggeni dalam membela
penduduk transmigrasi di desa Lubukrantau.
3.1.3 Rumusan
Masalah
3.1.3.1 Bagaimankah
perjuangan Wisanggeni dalam membela penduduk transmigrasi di desa Lubukrantau?
3.2 Analisis
3.2.1 Landasan
Teori
Dalam membahas humanisme tokoh Wisanggeni dalam
novel Saman karya Ayu Utami, perlu
diketahui apa itu pengertian humanisme dan juga pengertian unsur intrinstik
tokoh.
Novel merupakan satu bagian dari cerita fiksi, karena itu relevansi
tokoh-tokohnya sering memberikan reaksi emotif tertentu, seperti merasa
akrab, simpati, empati, benci, antipati atau berbagai reaksi efektif lainnya. Pembaca tidak jarang mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh yang
diberinya rasa simpatik dan empati. Segala yang dirasa atau dialami oleh tokoh, yang menyenangkan atau
sebaliknya, solah-olah dirasakan oleh pembaca. Bahkan banyak tokoh yang menjadi
pujaan pembaca, masyarakat. Kehadiran tokoh tersebut seolah hadir dalam dunia
nyata. Pembaca akan merasa akrab dengan tokoh tersebut, atau bahkan menjadi
bagian dalam hidupnya, walaupun secara fisik tidak akan pernah dapat menginderakannya[2]
Tokoh atau perwatakkan berkaitan dengan watak pelaku dalam novel.
Tokoh serta perwatakatan dalam novel tentunya juga memiliki kekhasan yang
sangat diperngaruhi faktor sosial dan budaya.[3]
Penokohan atau perwatakan merupakan
unsur yang tersurat dalam sebuah cerita. Yang dimaksud dengan penokohan adalah
pelukisan mengenai pelaku cerita dalam novel baik mengenai keadaan lahir maupun
keadaan batik pelaku cerita tersebut.[4]
Penokohan adalah pemberian watak
atau karakter pada masing-masing pelaku dalam sebuah cerita. Pelaku bisa
diketahui karakternya dari cara bertindak, ciri fisik, lingkungan tempat
tinggal.[5]
Penokohan merupakan
penggambaran suatu watak tokoh dalam sebuah novel. Pada novel pengembangan
watak tokoh dalam tokoh disesuaikan oleh perubahan nasib pelaku dan
perkembangan konflik. Perwatakkan tokoh dibagi menjadi beberapa cara untuk memahami,
antara lain perbuatan-perbuatan tokoh, ucapan-ucapan tokoh, gambaran fisik
tokoh, pikiran-pikiran tokoh, dan penerangan langsung dari pengarang.[6]
Istilah penokohan dapat diartikan sebagai teknik (cara)
pengarang mengembangkan watak tokoh dalam prosa fiksi (cerpen, roman, novel). Ada dua teknik penokohan,
yakni naratif dan dramatik. Teknik naratif adalah penuturan watak tokoh secara
langsung melalui paparan narasi. Teknik dramatik adalah pengembangan watak
tokoh secara tidak langsung melalui pemaparan sebuah peristiwa dramatik yang
mengandung perilaku dan dialog para tokoh.[7]
Sedangkan istilah Humanisme adalah
temuan dari abad ke-19. Dalam bahasa Jerman kata Humanismus pertama kali diciptakan pada tahun 1808. Untuk merujuk
pada suatu bentuk pendidikan yang memberikan tempat utama bagi karya-karya
klasik Yunani dan Latin.[8]
Pengertian humanisme lebih melihat pada sisi
perkembangan kepribadian manusia. Pendekatan ini
melihat kejadian yaitu bagaimana manusia membangun dirinya untuk melakukan
hal-hal yang positif. Kemampuan bertindak positif ini yang disebut sebagai
potensi manusia dan para pendidik yang beraliran humanisme biasanya memfokuskan
pengajarannya pada pembangunan kemampuan positif ini. Kemampuan positif disini
erat kaitannya dengan pengembangan emosi positif yang terdapat dalam domain
afektif. Emosi adalah karakterisitik yang sangat kuat yang nampak dari para
pendidik beraliran humanisme.[9]
Humanisme dipandang sebagai sebuah
gagasan positif oleh kebanyakan orang. Humanisme mengingatkan kita akan gagasan-gagasan seperti kecintaan akan
peri kemanusiaan, perdamaian, dan persaudaraan. Tetapi, makna filosofis dari
humanisme jauh lebih signifikan: humanisme adalah cara berpikir bahwa
mengemukakan konsep peri kemanusiaan sebagai fokus dan satu-satunya tujuan.
Dengan kata lain, humanisme mengajak manusia berpaling dari Tuhan yang
menciptakan mereka, dan hanya mementingkan keberadaan dan identitas mereka sendiri.[10]
A.
Lalande menyebutkan pengertian humanisme sebagai pandangan yang menyoroti
manusia menurutaspek-aspek yang lebih tinggi (seni, ilmu pengetahuan, moral,
dan agama) yang bertentangan dengan aspek-aspek yang lebih rendah dari manusia.
Ali Syari’ati menyebutkan defenisi humanisme sebagai himpunan prinsip-prinsip
dasar kemanusiaan yang berorientasi pada keselamatan dan kesempurnaan manusia.[11]
Bagi
gereja Katholik, peran humanisme mendapatkan nada simpatik yang menampilkan
suatu dunia yang penuh dengan konsep-konsep penting seperti humanum, bersifat
manusia, perikemanusiaan, hak asasi manusia, dan lain sebagainya. [12]
Istilah
Humanisme mempunyai riwayat yang cukup kompleks. Dalam perkembangan ini pernah
ada juga humanisme yang jelas bermusuhan terhadap agama.[13]
Kristeller
menggambarkan humanisme sebagai gerakan kebudayaan dan pendidikan, terutama
yang berkenaan dengan peningkatan atau promosi akan kefasihan dalam berbagai
bentuknya, khusunya dalam bidang tulis menulis atau lisan.[14]
3.2.2 Penerapan
Wisanggeni hanyalah seorang pastor
muda yang kebetulan ditugaskan di kota
Prabumulih. Memang ia sendiri sangat menginginkan bertugas di sana . Ia dapat kembali pada tempat dimana ia
dibesarkan oleh kedua orang tuanya.
Barangkali
Tuhan mengutusnya barangkali Tuhan Cuma mengabulkan harapannya. Untuk
menugaskan dia sebagai pastor paroki Parid, yang melayani kota kecil Prabumulih
dan Karang Endah, wilayah Keuskupan Palembang.
(Utami, 2010: 59)
Saat Wis pertama kali
mengunjungi desa Lubukrantau, suasana disana sangat tenang. Penduduk transmigrasi Sei Kumbang berkebun karet yang sudah dipersiapkan
pemerintah.
Trooper kemudi empat roda melaju kearah selatan, melewati
tikungan-tikungan, kedai-kedai melon, membelah kebun-kebun nanas, kelapa sawit,
lalu perpohonan liar. Aspal minyak bumi yang licin mulai berganti jan berbatuan
ditanah terbis. Mereka berhenti di mana jalan roda terhenti, ditengah hutan
karet yang sedang dalam akhir musim gugur daun, tak jauh dari Sei Kumbang yang
kalinya mengalir kearah Ogan. Percik jeram-jeram kecilnya terdengar dari
sela-sela gesek ilalang terhembus angin. Lambung jalan itu merupakan semacam
lapangan untuk kendaraan pengangkut panen. Diseputarnya berserak rumah-rumah
petak, agak berjarangan satu sama lain.
(Utami, 2010: 70)
Jauh sebelum terjadinya konflik di
desa Lubukrantau, Wisanggeni alias Saman telah dekat sekali dengan penduduk
desa setempat. Hal ini bermula pada saat pertemuan Wisanggeni yang saat itu
masih menjadi seorang pastor dengan seorang gadis bernama Upi.
Sepasang
mata makhluk itu,sepasang yang tidak kongruen, menatap dirinya tajam-tajam,
mengawasinya dengan kepala kaku seakan reptil yang siaga. Lalu tersenyum. Ia
mengeluarkan suara seperti erangan terpatah-patah. Suara perempuan, tangannya
melambai-lambai. Memanggilkukah? Tapi itu bukan suara yang didengar Wis sebelumnya. Ia baru
menyadari, punggungnya telah merapat pada dinding kayu yang jadi terasa hangat
karena jari-jarinya telah menjadi dingin dan berembun. Makhluk itu tersenyum
lagi. Kali ini seperti tertawa ramah sehingga ia Nampak bagai orang tak
bersalah yang terkena tuhah Allah, seperti Ayub yang terkena bisul dan kusta
meski tak berdosa,seperti anak-anak sulung yang terlahir sebagai orang Mesir
ketika Tuhan sedang berpihak pada bani Israil. Rasa takutnya perlahan-lahan
berubah menjadi iba. “Kamu… adik?”
(Utami, 2010:65)
Gadis itu sama sekali tidak rupawan, namun tidak seburuk saat ia
melihatnya pertama kali dalam keadaan shok. Wajahnya tidak simetris. Kulit
pipinya yang lembut menunjukkan bahwa anak itu masih belasan tahun. Beberapa
bisul Nampak mengotori. Tubuhnya kurus meski payudaranya mulai matang. Tapi
kepala itu tentu menyimpan sedikit saja volume otak. Dahinya yang pendek merah
karena luka yang sedikit bernanah, luka yang telah lama infeksi. Kini tulang
keringnya juga patah.
(Utami, 2010:69)
Upi
memiliki gangguan jiwa dan kelainan perilaku seksual. Karena kelakuannya
itulah Upi membuat resah para warga
sekitar desanya bahkan warga dari desa tetangga. Upi seringkali berkeliaran ke
desa-desa tetangga, hingga akhirnya bertemu dengan Wis. Pihak keluarganya tidak
bisa berbuat apa-apa kecuali mengurungnya.
Gadis
itu amat berbahaya. Kami khawatir kelak ia membikin celaka orang lagi. Karena
itu kami mengurung dia. Kemarin dulu ia berhasil memutus rantai yang telah
berkarat dan kabur.
(Utami, 2010:74)
Upi
tinggal di suatu kandang yang sangat buruk, kotor, dan reot. Keluarga Upi sudah
tidak sanggup untuk memperbaiki kandang tempat tinggal Upi itu.
Bilik itu terbuat dari kayu dan bambu berukuran
satu setengah kali dua meter. Berdiri sebagai bangunan panggung dengan kaki
pendek. Dari dalam dan bawah tercium pesing serta bau dan lembab. Dan banyak
lalat. Perempuan itu berjongkok dibalik ruji-ruji sambil terisak, tak lagi
melolong.
(Utami, 2010 :72)
Wis pun rela bekerja keras demi membuat tempat
tinggal yang layak bagi Upi. Upi sangat senang dengan
bantuan Wis
ini. Rumahnya menjadi lebih bersih dan nyaman.
Ia
telah memutuskan: meringankan penderitaan si gadis dengan membangun sangkar
yang lebih sehat dan menyenangkan, seperti membikin kurungan besar bagi
perkutut dan cucakrawa ayahnya sebab melepaskan mereka hampir sama dengan
membunuh mereka. Mak Argani, ibu gadis itu, serta dua abangnya menyilakan
dengan agak bingung. Sisa siang itu Wis
membawa gerobak berkeliling dusun mengangkuti bongkah-bongkah batako yang
tergeletak dari rumah-rumah transmigran yang ditinggalkan. Jika tak ada yang
melihatnya, dia juga mencungkili batu yang masih menempel pada tembok serta
papan dari pintu yang masih bisa digunakan.
(Utami, 2010: 75-76)
Dari rasa kasihan itulah Wis jadi sering
mengunjungi desa Lubukrantau untuk menjenguk Upi. Tidak ada alasan khusus bagi Wis , ia hanya tidak
tenang apabila tidak memantau keadaan Upi.
SEMAKIN AKU TERLIBAT dalam penderitaanmu, semakin aku ingin
bersamamu. Dan Wis selalu kembali ke sana .
Kian ia mengenal perkebunan itu, kian ia cemas pada nasib si gadis.
(Utami, 2010:81)
Hingga
pada tahun 1990, permasalahan muncul dihadapan penduduk desa Lubukrantau.
Sekelompok orang datang dengan membawa SK dari gubernur dan berusaha untuk
merombak perkebunan karet menjadi kelapa sawit.
Lalu mereka berbicara singkat saja. “Kami
menjalankan tugas dari gubernur.” Salah satunya mengacungkan selembar kertas
berkop pemda, tapi tidak menyerahkan kepadanya. “Menurut SK beliau tahun
1989, lokasi transmigrasi sei kumbang ini harus dijadikan perkebunan sawit. Perusahaan intinya sudah ditunjuk, yaitu PT Anugrah Lahan
Makmur. ” Ia berhenti sebentar, memandang rumah pengolahan itu, melongok
keluar dari jendela, dan menoleh lagi pada Anson. “Kami melihat bahwa
dusun ini saja yang belum patuh untuk menandatangani kesepakatan dengan
perusahaan.”
(Utami, 2010:92)
Sekelompok
orang itu juga memberikan warga pilihan yang harus dipilih. Tetapi pihak warga
tetap tidak mau ada pihak lain yang ikut mencampuri urusan desanya termasuk
menumbangi pohon-pohon karet yang telah mereka rawat sepenuh hati.
Lalu
keempat lelaki itu pergi setelah meninggalkan pilihan ini: orang-orang
Lubukrantau harus menandatangani kertas kesepakatan dan menebang pohon-pohon
karetnya. Perusahaan akan membagikan bibit sawit dan orang-orang harus
mananamnya. Jika dalam sebulan mereka tidak menurut, terpaksa
bulldozer-buldozer membabat perkebunan itu. Terpaksa, kata mereka menekankan.
Lalu menghilang dengan kijang berlogo ALM yang bergambar siluet sawit dan
matahari oranye pada pintu supir dan kap mesin.
(Utami,
2010: 93)
Warga
desa Lubukrantau segera mencari bantuan agar rencana perombakan kebun tidak
berhasil dilaksanakan. Wis
pun ikut membantu membela warga.
(Utami, 2010: 96)
“Karena merasa persoalan
tak akan segera selesai, Wis pergi ke Palembang, Lampung, dan Jakarta, setelah
memotret desa dan mengumpulkan data-data tentang dusun mereka yang tengah maju.
Ia mengunjungi kantor-kantor surat
kabar dan LSM. Pada setiap orang yang menerimanya, ia bercerita panjang lebar
dengan bersemangat dan menyerahkan materi berita. Ia membujuk: kalau bisa, datanglah
sendiri dan tengok desa kami. Setelah Koran-koran mulai menulis serta mengirim
wartawannya ke desa terpencil itu, empat lelaki itu tidak lagi bolak-balik
dengan lembaran blanko kosong. Usaha menggusur dusun memang jadi
tertunda, berbulan-bulan, bahkan hampir setahun.”
(Utami, 2010 :95)
Usaha
yang dilakukan Wis
menjadi sia-sia, orang-orang lawannya terlalu banyak. Wis yang dianggap sebagai pelopor penolakkan
warga Lubukrantau berhasil diculik. Wis
disekap di sebuah pabrik pengolah kelapa Sawit.
Tapi dua orang berseragam
hitam-hitam itu menangkap dan mengunci lengannya, mendorong punggungnya hingga
dada serta pelipisnya menghantam tanah, dan memborgol pergelangannya sebelum ia
sempat mengerang nyeri. Mereka begitu gesit dan terlatih. Ia sempat melihat
tiga yang lain menjaga pintu masjid, melarang ibu-ibu keluar, sebelum secarik
kain hitam menutup matanya, dan sebuah gumpalan menyumbat mulutnya. Wis merasa beberapa
orang menyeret dan melempar tubuhnya ke dalam mobil yang mesinnya segera
bergemuruh meninggalkan tempat itu. Ia mencium percik api dan bau karet
terbakar. Dan suara salawat semakin sayup, semakin jauh, akhirnya tak
terdengar.
(Utami, 2010:104)
Selama
penyekapan di dalam pabrik pengolahan sawit, ia terus disiksa. Wis bahkan merasa bahwa
ia telah mati.
Tapi, bagaimana penyiksaan
yang kemudian ia terima membikin tubuhnya gemetar. Kegentaran itu tetap muncul
seiap kali ia digiring ke ruang interogasi, didudukkan, atau dibiarkan berdiri,
sementara ia menduga-duga cara apa yang digunakan orang-orang kali ini, sebab
matanya selalu ditutup. Kadang mereka menyundut tubuhnya dengan bara rokok,
menjepit jari-jarinya, mencambuknya meski tidak di dada, menyetrum lehernya,
atau cuma menggunakan kepalan dan tendangan
(Utami, 2010: 106)
Warga
berhasil membebaskan Wis
setelah beberapa hari kemudian. Mereka membakar pabrik pengolahan kelapa sawit
tempat Wis
disekap. Kekacauan yang terjadi membuat Wis
dapat kabur.
Rasanya
ia bisa terbang. Ia bangkit dan menjebol pintu yang telah keropos oleh api,
lalu berlari di lorong yang mulai terbakar. Ia berlari, terus berlari,
melayang, entah apa yang mengarahkan langkahnya. Dan ia sampai di pintu
terakhir, yang mengantarnya ke alam terbuka. Sebentang lahan yang ditumbuhi
pohon-pohon sawit muda. Bintang-bintang dan udara segar. Ia masih berlari,
sampai terdengar teriakan : “Ya, Allah! Abang ! Abang
Wis ! ”
(Utami,
2010 :112)
Status
mereka kini buron. Orang-orang yang membakar Upi, menggagahi istri Anson,
merusak rumah kincir, mencabuti pohon-pohon karet muda, menjadi tidak relevan
untuk dibicarakan hakim. Orang-orang itu tidak dipersalahkan.
(Utami, 2010: 113)
Wis tidak mau ke
Prabumulih, sebab orang yang menyelidiki dirinya mengintai pastoran. Berbahaya
bagi Anson, kawananny, dan dia sendiri, serta Gereja. Ia minta diantar ke rumah
suster-suster Boromeus di Lahat. Di sana
ia berpisah dari Anson dan teman-temannya. Dipeluknya pemuda yang membungkuk ke
tempat tidur.
(Utami, 2010: 113-114)
Dokter yang memeriksa
memperkirakan dia mesti istirahat dua atau tiga bulan. Ada gegar kepala,
kandung kemihnya luka, beberapa organ tubuhnya memar, selain pelipis dan hidung
hampir semua tulang jemari retak, dan sarafnya terganggu akibat penyetruman di
belakang telinga, sehingga kepala dan tubuhnya kadang mengejut di luar
kehendaknya.”
(Utami, 2010: 114)
Selama pengobatannya berlangsung, suster Marietta selalu membawakan Wis koran. Dari sana lah ia mengetahui bahwa ia telah
difitnah melakukan hal yang sama sekali tidak ia lakukan.
Kepala Dinas Penerangan
Polda Sumbagsel menyebut-nyebut actor intelektual di belakang perlawanan warga
Sei Kumbang: Ada
indikasi bahwa dalang aksi tersebut adalah seorang rohaniwan yang disusupi
pandangan-pandangan kiri. Ia dituduh menghasut penduduk Lubukrantau untuk
menghalangi pembangunan. Pembangunan perkebunan sawit harus diutamakan karena
merupakan komoditi utama ekspor nonmigas. Ia juga dituduh mengajarkan teologi
pembebasan, dan mengadu domba perusahaan dengan petani untuk mengacaukan
stabilitas. Meskipun namanya cuma disebut dengan inisial saja: AW.
(Utami, 2010: 114-115)
Pada saat Wis dirawat, pater
Westenberg pernah datang mengunjunginya. Pater Westenberg memberi tahu Wis bahwa ada orang yang
datang mencari dirinya di pastoran. Disana jugalah pater Westenberg memberi Wis dua pilihan. Antara dia menyerahkan diri ke polisi atau
mengundurkan diri dari tugas pastoral.
Pater
Westenberg menghela nafas, seperti berat ia menjawab: “ Jika tim kamu memang
tidak bersalah, kamuharus memenuhi panggilan polisi. Jika kamu merasa bersalah,
saya kira kamu harus mengundurkan diri dari tugas pastoral. Selanjutnya,
menjadi tanggung jawabmu sendiri untuk menyerahkan diri atau tidak. ”
(Utami, 2010 : 116)
Tapi kamu, atu kita, tidak bisa terlalu berharap pada hirarki. Gereja
sendiri dalam posisi terjepit. Tuduhan kita disusupi komunis menimbulkan
ketakutan umat. Tuduhan melakukan kristenisasi membuat kita dibenci.
(Utami, 2010 :116)
(Utami, 2010:116)
Sebelum luka nya benar-benar sembuh. Wis memutuskan untuk
pergi dari Lahat. Hanya sedikit orang tahu keberadaanya, yaitu lima orang suster dan
seorang dokter.
Beberapa hari kemudian,
sebuah mobil membawa Wis pergi dari rumah sakit itu, ke sebuah tempat yang
hanya diketahui lima
orang suster dan seorang dokter. Uskup tidak dikabari. Kirarki gereja hanya
mendengar kabar bahwa pastor Athanasius Wisanggeni menghilang. Sebagian orang
mengira dia mati ketika disekap di pabrik. Dan Pater Westenberg memilih tidak
tahu sebab orang-orang pasti mengecar dia. Di sana Wis
dirawat sampai sembuh, kira-kira tiga bulan lamanya.
(Utami, 2010:117)
Konflik antara penduduk
Lubukrantau dan perusahaan kelapa sawit berangsur-angsur reda setelah hilangnya
Wis. Persidangan berlangsung
sekitar dua tahun lamanya. Wis memutuskan untuk berhenti menjadi pastor dan
mengganti namanya menjadi Saman.
Dan ia mengganti identitasnya, sampai peristiwa
itu selesai di pengadilan kira-kira dua tahun kemudian. Ia memilih nama :
Saman. Tanpa alasan khusus, tiba-tiba saja itu yang terlintas dibenaknya.
(Utami, 2010 : 117)
Tetapi perjuangan Saman dalam membela kaum tertindas tidak berhenti
setelah peristiwa di Lubukrantau. Ia tetap memutuskan untuk aktif menjadi
anggota Lembaga Swadaya Masyrakat(LSM).
Harus
ada LSM-LSM yang memprotes dan mengusiknya terus. Dan saya punya teman yang
bisa mengerjakan itu.” “Siapa dia?” “ Dia… dia orang yang banyak ide dan
berani. Namanya… Saman.” Dulu namanya bukan Saman.
(Utami, 2010:23)
3.3 Kesimpulan
Wisanggeni telah melalui berbagai kerasnya hidup sebelum melepas
ikatan pastoralnya dan juga merubah namanya. Wisanggeni berjuang membela
penduduk Lubukrantau dengan sekuat tenanga. Ia rela berkorban dan bekerja keras
agar penduduk dapat hidup sejahtera. Bahkan setelah ia menjadi buron,
Wisanggeni masih ingin melibatkan diri dalam masyarakat. Ia bergabung dengan
Lembaga Swadaya Masyrakat(LSM) setelah merubah namanya menjadi Saman.
IV. Penutup
4.1 Kelebihan
Novel Saman karya Ayu
Utami memiliki kelebihan dalam pemberian informasi yang tepat. Terdapat
berbagai bagian jalan cerita yang benar-benar nyata. Dimulai dari informasi mengenai pertambangan,
struktur kepastoran, suasana kota Prabumulih dan lain-lain. Ayu Utami telah
melakukan penelitian sebelum mulai menulis novel ini seperti yang dikatakan
pada bagian pendahuluan. Ayu telah menghubungi beberapa narasumber. Sehingga
para pembaca mendapatkan informasi yang cukup banyak.
Selain itu, novel Saman ini memiliki jalan cerita yang khas dan unik. Cerita
perjalanan hidup tokoh utama Saman dengan masa lalu mengerikan dan perjuangan
kerasnya membela penduduk tertindas sangatlah mengesankan. Ditambah pula dengan
cerita cinta Saman bersama salah satu dari keempat sahabat yang dikenal Saman
sejak lama, novel ini berhasil membuat pembacanya tak bisa berhenti membacanya
hingga akhir.
4.2 Kekurangan
Novel
Saman ini juga memiliki beberapa
kekurangan. Bahasa yang digunakan oleh Ayu Utami terkesan sangat vulgar. Terkadang digunakan
perumpamaan-perumpamaan untuk menggambarkan sesuatu hal, namun tak jarang juga
kata-kata yang vulgar itu langsung disebutkan. Hal ini
membuat novel Saman kurang cocok bagi semua usia pembaca.
Perumpamaan yang sering muncul dalam
novel Saman ini juga membuat pembaca agak sulit untuk mencerna kalimat-kalimat.
Sehingga alur cerita kurang efektif disampaikan pada pembaca.
[1] Dikutip dalam Ajaran-ajaran
Bung Karno Untuk Perjuangan Rakyat Miskin, Kaum Marhaen, dan Proletar dalam
http://berdikarionline.com,
diakses 27 Oktober 201, pukul 15:27 WIB.
[2] Dikutip dalam Penokohan dan
Sudut Pandang dalam http://iwanbahasadansastra.blogspot.com,
diakses pada 30 Oktober 2011, pukul 16.01 WIB.
[3] Sri Sutarni, dkk. Bahasa
Indonesia 2 SMA Kelas XI.. (Jakarta :
Yudhistira Ghalia Indonesia).
[5] Dikutip dalam Menganalisis
Unsur-unsur Intrinstik dan Ekstrinstik Novel dalam http://natalidopengasih.wordpress.com, diakses pada 31 Oktober 2011, pukul 16.28 WIB.
[6] Dikutip dalam Unsur
Intrinstik Pada Novel dalam http://si-jalang.blogspot.com,
diakses pada 31 Oktober 2011, pukul 15.48 WIB
[7] Dikutip dalam Cara Membuat
Penokohan dalam Cerita dalam http://yadi82.blogspot.com, diakses
pada 31 Oktober 2011, pukul 20.43 WIB.
[8] Alister E. Mcgrath. Sejarah Pemikiran Reformasi. (Bandung
: BPK Gunung Agung).
[9] Dikutip dalam Teori Belajar
Humanisme dalam http://vie218.blogspot.com
, diakses pada 31 Oktober, pukul 17.35 WIB.
[10] Dikutip dalam Mengkaji Ulang
Humanisme dalam http://harunyahya.com, diakses pada 31 Oktober 2011, pukul
16.31 WIB.
[11] Dikutip dalam Humanisme dalam
Tinjauan Sains, Filsafat, dan Spritualisme dalam http://hminews.com, diakses pada 31 Oktober 2011, pukul 17.15 WIB.
[13] Ibid.
[14] Alister E. Mcgrath. Loc.Cit., halaman 56.
Komentar
Posting Komentar
Gunakan nama dan email masing-masing! Harap ditulis nama, kelas, dan nomor absen.