Humanisme Tokoh Wisanggeni dalam Novel Saman Karya Ayu Utami




 Disusun oleh Niken XII IPA 2

I. Deskripsi Fisik Buku

1. Judul                       : Saman
2. Pengarang               : Ayu Utami
3. Penerbit                   : Kepustakaan Populer Gramedia
4. Cetakan ke-             : 28 (dua puluh delapan)
5. Jumlah Halaman      : ix; 202 halaman
6. Ukuran Buku          : 13,5cm X 20cm
7. Tahun Terbit            : 1998
8. Kota Terbit              : Jakarta
9. Harga Buku             : Rp35000

II. Sinopsis
            Athanasius Wisanggeni atau akrab dipanggil Wis lahir pada tahun1958 di kota Jogjakarta. Ibu Wis berasal dari kalangan bangsawan dengan gelar Raden Ayu. Ada satu kelemahan dari ibu Wis, yaitu ia sering terlihat termenung. Akibatnya, ibu Wis sulit untuk diajak ngobrol dan sering dianggap aneh. Sedangkan ayah Wis bernama Sudoyo. Ia bekerja di Bank Rakyat Indonesia. Pada saat Wis berumur empat tahun, Sudoyo dipindahkan ke kota Prabumulih untuk menjabat sebagai Kepala Cabang BRI. Maka dari itu, Sudoyo memboyong keluarganya termasuk Wis kecil ke Prabumulih dan memulai hidup baru disana.
      Setelah pindah ke Prabumulih, Wis hampir memiliki 3 orang adik. Namun sayang, ketiganya meninggal. Adik pertama dan kedua hilang dalam rahim ibunya. Adik ketiga sempat dilahirkan, tapi tidak bertahan hidup. Adik ketiganya meninggal seketika di malam ia dilahirkan. Sejak saat itu Wis terus memendam rasa penasarannya mengenai hilangnya adik dan percakapan ibu dengan orang asing.
Pada tahun 1984, Wis resmi dinobatkan menjadi seorang pastor. Beruntung Wis ditugaskan untuk melayani masyarakat Prabumulih. Wis sangat senang mengetahui kenyataan ini, sebab ia dapat kembali bernostalgia tentang masa kecil dan juga ibunya yang telah meninggal.
Di kamar pastoran, Wis sempat melihat sesosok perempuan yang berpakaian lusuh dan bertampang menyeramkan dibalik jendela kamarnya. Awalnya ia menebak bahwa sosok itulah adiknya yang masih hidup sampai saat itu. Namun Wis salah, perempuan itu adalah Upi.
Upi merupakan salah satu anak transmigran Sei Kumbang yang tinggal di desa kecil bernama Lubukrantau. Ia dianggap gila karena sering berkeliaran ke desa-desa tetangga dan juga berprilaku aneh. Upi terluka pada saat Wis mencoba mengejarnya. Maka Wis segera membawanya ke puskesmas lalu mengantarnya pulang ke rumah. Disanalah akhirnya Wis melihat suatu keadaan yang memprihatinkan. Upi selalu di kurung dalam sangkar kayu kecil dan pengap oleh keluarganya. Keluarga Upi sudah lelah sekali dalam merawatnya. Ia memiliki penyimpangan perilaku seksual dan sering diperkosa oleh orang yang tak dikenal. Beruntung Upi tidak pernah sampai hamil pada saat itu.
Sejak Wis bertemu dengan Upi, ia merasa sangat iba dan ingin terus membuat Upi bahagia. Wis sengaja membuat rumah baru yang jauh lebih nyaman dari yang sebelumnya. Wis juga telah menjadi teman yang sangat baik bagi Upi. Tapi segala hal yang menyangkut Upi membuat Wis tidak fokus lagi dalam tugas gereja, ia seringkali minta ijin untuk mengunjungi desa Lubukrantau. Tak jarang juga ia diperingati oleh pastor kepala, Pater Westenberg. Namun karena pengertian Pater Westenberg, ia mengajukan kepada Uskup agar Wis dapat diberi pekerjaan kategorial di perkebunan. Wis sangat senang karena ia dapat terus merawat Upi.
Pada tahun 1990, masyarakat Lubukrantau diancam oleh sekelompok pemuda yang membawa SK dari gubernur. Mereka menuntut untuk merombak perkebunan karet di Lubukrantau menjadi perkebunan sawit. Semua warga Lubukrantau termasuk Wis bersikeras menolak keputusan tersebut. Wis berpikir bahwa penggusuran desa Lubukrantau dapat menyulitkan warga termasuk Upi. Wis tidak tega dengan para warga dan bertekad unuk membela mereka. Wis melakukan berbagai cara dimulai dari negosiasi, penyampaian himbauan bagi rakyat, serta melawan orang-orang yang ingin tetap menggusur desa.
Sayang, semua usaha Wis bersama masyarakat Lubukrantau sia-sia. Wis bersama sejumlah warga berhasil ditangkap. Wis disekap di pabrik pengolahan kelapa sawit. Disana pula Wis terus disiksa, dipukuli, disundut rokok, ditelanjangi, ditendang dan sebagainya. Tetapi Wis tetap teguh dalam membela warga Lubukrantau. Akhirnya pada suatu hari, warga Lubukrantau berhasil menyelamatkan Wis dengan membakar pabrik kelapa sawit tersebut. Wis yang terluka parah harus menerima kenyataan bahwa Upi yang disayanginya telah dibakar hidup-hidup, merusak rumah, mencabuti pohon karet muda oleh oknum-oknum penggusur desa. Kasus ini sempat dibawa ke pengadilan, namun hakim menetapkan bahwa orang-orang penggusur itu tidak bersalah. Malah Wis dituduh sebagai rohaniwan penghasut penduduk dan pengadu domba penduduk dengan pihak perusahaan kelapa sawit. Wis sempat dijadikan tersangka pembakaran pabrik.
Wis lalu bersembunyi di Lahat dengan bantuan suster-suster Boromeus. Di sanalah Wis serius mengobati luka-lukanya. Pater Westenberg sering mengunjunginya diam-diam. Pater Westenberg mengabari Wis bahwa polisi sedang mencari nya dengan tuduhan berat. Lalu Pater Westenberg memberi Wis dua pilihan: Menyerahkan diri apabila bersalah atau mengundurkan diri dari tugas pastoral apabila Wis bersikeras bahwa ia tidak bersalah. Wis menghadapi keputusan yang sangat sulit, ia akhirnya mengundurkan diri dari tugas pastoral. Wis beranggapan bahwa banyak orang yang mengira ia telah mati. Maka ia tetap bertahan hidup dan mengganti nama menjadi Saman. Ia kemudian aktif dalam Lembaga Swadaya Masyrakat.
Seorang perempuan bernama Laila mengenal Saman pada saat ia menjadi frater yang mengajar di SMP. Laila juga bersahabat bersama Shakuntala, Cok, dan Yasmin. Pada masa SMP, Laila sempat jatuh cinta pada frater Wis. Namun ia harus memendam perasaannya karena Wis adalah rohaniwan pada saat itu. Laila berprofesi sebagai fotografer, Shakuntala adalah seorang pelacur, Cok menjadi ibu rumah tangga dan Yasmin telah menikah dengan lelaki yang tidak ia cintai.
Pada tahun 1993, Saman dikunjungi oleh Laila.. Laila meminta bantuan Saman untuk membela kekasihnya yang sudah berisitri, Sihar. Sihar ingin menuntut atasannya akibat kebakaran yang terjadi di pertambangan minyak. Mereka ingin Saman sebagai aktivis masyarakat untuk mendukungnya. Usaha Laila, Sihar, dan Saman pun berhasil menjebloskan atasan Sihar ke penjara.
Awal tahun 1994, Saman berada di Medan dan dalam keadaan berbahaya. Saman sebagai seorang aktivis yang dibenci aparat kepolisian dituduh sebagai dalang terjadinya unjuk rasa, pembunuhan, serta penjarahan toko. Para polisi mengincar keberadaannnya. Lalu Yasmin datang dari Palembang untuk membantu Saman. Yasmin membawa Saman mengungsi ke Pekanbaru tempat sahabatnya Cok. Disana Saman dan Yasmin bersembunyi beberapa hari. Yasmin menyadari bahwa ia sangat mencintai Saman begitu pula sebaliknya. Ketika Saman berpindah tempat persembunyian ke Singapura, Yasmin sangat sedih melepasnya. Setelah di Singapura, Saman akhirnya menetap di New York. Saman masih berhubungan dengan Yasmin melalui e-mail.

III. Pembahasan :  Humanisme Tokoh Wisanggeni dalam Novel Saman Karya Ayu Utami

     3.1 Pendahuluan
            3.1.1 Latar Belakang
            Novel Saman karya Ayu Utami ini dipilih karena rekomendasi dari guru-guru pembimbing. Menurut beliau novel ini memiliki jalan cerita yang menarik baik dari segi bahasa maupun setting. Setting pada novel ini menjadi menarik karena adalah kota Prabumulih, Sumatera Selatan. Tokoh-tokohnya pun ada sebagian yang benar-benar nyata. Ayu Utami dalam menulis novel ini terbukti telah melakukan penelitian terlebih dahulu agar jalan cerita novelnya tidak terkesan mengada-ada. Selain itu, Ayu Utami juga telah mendapatkan penghargaan Price Claus Award pada tahun 2000. Novel Saman ini juga telah menang dalam sayembara roman terbaik Dewan Kesenian Jakarta 1998 dan dicetak ulang 28 kali serta sudah diterjemahkan dalam 6 bahasa asing.
            Penulis memilih judul pembahasan “Humanisme Tokoh Wisanggeni dalam Novel Saman Karya Ayu Utami” karena pada novel Saman karya Ayu Utami ini, karakter Saman digambarkan begitu teguh dan bekerja keras dalam membela penduduk miskin dan tidak berdaya ditindas para penguasa yang semena-mena. Penduduk yang ditindas dalam cerita novel Saman ini adalah penduduk transmigrasi Sei Kumbang yang menetap di desa kecil bernama Lubukrantau. Lokasinya sekitar 70 kilometer dari Kota Prabumulih. Penduduk setempat berkebun karet untuk menghidupi keluarganya. Namun sekelompok orang datang untuk merombak kebun karet menjadi perkebunan kelapa sawit dengan alasan lebih menguntungkan. Saman yang merasa ada ketidakadilan bagi penduduk Lubukrantau berjuang untuk mempertahankan desa tersebut.
            Sejak pemerintahan Orde Baru sampai sekarang jumlah rakyat miskin masih tetap terus tinggi dari tahun ke tahun. Dengan adanya berbagai krisis ekonomi atau keuangan di dunia, yang mengakibatkan memburuknya situasi ekonomi Indonesia juga, maka jumlah orang miskin di negeri kita masih akan tetap tinggi, kalau tidak makin meningkat.[1]
            Ditengah sikap pemuda Indonesia kini yang cenderung acuh terhadap kaum tertindas, tokoh Saman dapat menjadi contoh. Banyak kaum miskin maupun tertindas di berbagai daerah di Indonesia yang masih perlu dibela hak-haknya oleh para pemuda.
            Novel Saman ini menciptakan karakter tokoh yang begitu jarang ditemukan pada masyarakat umum. Saman rela bolak-balik Prabumulih-Lubukrantau hanya untuk menjenguk seorang perempuan gila yang sangat memprihatinkan. Ia juga berkorban melepas ikatan kepastorannya demi membela penduduk Lubukrantau. Walaupun Saman terus dihadapi berbagai cobaan, ia tetap teguh pada pendiriannya terus berjuang membela rakyat tertindas. Bahkan setelah Saman berhasil bebas dari ancaman dan penganiayaan, ia masih menjadi seorang aktivis yang aktif membela rakyat melalui Lembaga Swadaya Masyarakat.
            Pada masyarakat umum sekarang hampir tidak ada orang yang seperti tokoh Saman. Mereka cenderung mementingkan diri sendiri tanpa ikut membantu orang lain yang sedang membutuhkan pertolongan. Padahal dengan membantu orang lain, secara tidak langsung kita telah membantu diri kita sendiri.


            3.1.2 Tujuan
3.1.2.1 Untuk mengetahui perjuangan Wisanggeni dalam membela penduduk transmigrasi  di desa Lubukrantau.




            3.1.3 Rumusan Masalah
3.1.3.1   Bagaimankah perjuangan Wisanggeni dalam membela penduduk transmigrasi  di desa Lubukrantau?

     3.2 Analisis
            3.2.1 Landasan Teori
            Dalam membahas humanisme tokoh Wisanggeni dalam novel Saman karya Ayu Utami, perlu diketahui apa itu pengertian humanisme dan juga pengertian unsur intrinstik tokoh.
              Novel merupakan satu bagian dari cerita fiksi, karena itu relevansi tokoh-tokohnya sering memberikan reaksi emotif tertentu, seperti merasa akrab, simpati, empati, benci, antipati atau berbagai reaksi efektif lainnya. Pembaca tidak jarang mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh yang diberinya rasa simpatik dan empati. Segala yang dirasa atau dialami oleh tokoh, yang menyenangkan atau sebaliknya, solah-olah dirasakan oleh pembaca. Bahkan banyak tokoh yang menjadi pujaan pembaca, masyarakat. Kehadiran tokoh tersebut seolah hadir dalam dunia nyata. Pembaca akan merasa akrab dengan tokoh tersebut, atau bahkan menjadi bagian dalam hidupnya, walaupun secara fisik tidak akan pernah dapat menginderakannya[2]
            Tokoh atau perwatakkan berkaitan dengan watak pelaku dalam novel. Tokoh serta perwatakatan dalam novel tentunya juga memiliki kekhasan yang sangat diperngaruhi faktor sosial dan budaya.[3]
            Penokohan atau perwatakan merupakan unsur yang tersurat dalam sebuah cerita. Yang dimaksud dengan penokohan adalah pelukisan mengenai pelaku cerita dalam novel baik mengenai keadaan lahir maupun keadaan batik pelaku cerita tersebut.[4]
            Penokohan adalah pemberian watak atau karakter pada masing-masing pelaku dalam sebuah cerita. Pelaku bisa diketahui karakternya dari cara bertindak, ciri fisik, lingkungan tempat tinggal.[5]
      Penokohan merupakan penggambaran suatu watak tokoh dalam sebuah novel. Pada novel pengembangan watak tokoh dalam tokoh disesuaikan oleh perubahan nasib pelaku dan perkembangan konflik. Perwatakkan tokoh dibagi menjadi beberapa cara untuk memahami, antara lain perbuatan-perbuatan tokoh, ucapan-ucapan tokoh, gambaran fisik tokoh, pikiran-pikiran tokoh, dan penerangan langsung dari pengarang.[6]

Istilah penokohan dapat diartikan sebagai teknik (cara) pengarang mengembangkan watak tokoh dalam prosa fiksi (cerpen, roman, novel). Ada dua teknik penokohan, yakni naratif dan dramatik. Teknik naratif adalah penuturan watak tokoh secara langsung melalui paparan narasi. Teknik dramatik adalah pengembangan watak tokoh secara tidak langsung melalui pemaparan sebuah peristiwa dramatik yang mengandung perilaku dan dialog para tokoh.[7]
            Sedangkan istilah Humanisme adalah temuan dari abad ke-19. Dalam bahasa Jerman kata Humanismus pertama kali diciptakan pada tahun 1808. Untuk merujuk pada suatu bentuk pendidikan yang memberikan tempat utama bagi karya-karya klasik Yunani dan Latin.[8]
            Pengertian humanisme lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia. Pendekatan ini melihat kejadian yaitu bagaimana manusia membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan bertindak positif ini yang disebut sebagai potensi manusia dan para pendidik yang beraliran humanisme biasanya memfokuskan pengajarannya pada pembangunan kemampuan positif ini. Kemampuan positif disini erat kaitannya dengan pengembangan emosi positif yang terdapat dalam domain afektif. Emosi adalah karakterisitik yang sangat kuat yang nampak dari para pendidik beraliran humanisme.[9]
            Humanisme dipandang sebagai sebuah gagasan positif oleh kebanyakan orang. Humanisme mengingatkan kita akan gagasan-gagasan seperti kecintaan akan peri kemanusiaan, perdamaian, dan persaudaraan. Tetapi, makna filosofis dari humanisme jauh lebih signifikan: humanisme adalah cara berpikir bahwa mengemukakan konsep peri kemanusiaan sebagai fokus dan satu-satunya tujuan. Dengan kata lain, humanisme mengajak manusia berpaling dari Tuhan yang menciptakan mereka, dan hanya mementingkan keberadaan dan identitas mereka sendiri.[10]
            A. Lalande menyebutkan pengertian humanisme sebagai pandangan yang menyoroti manusia menurutaspek-aspek yang lebih tinggi (seni, ilmu pengetahuan, moral, dan agama) yang bertentangan dengan aspek-aspek yang lebih rendah dari manusia. Ali Syari’ati menyebutkan defenisi humanisme sebagai himpunan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan yang berorientasi pada keselamatan dan kesempurnaan manusia.[11]
            Bagi gereja Katholik, peran humanisme mendapatkan nada simpatik yang menampilkan suatu dunia yang penuh dengan konsep-konsep penting seperti humanum, bersifat manusia, perikemanusiaan, hak asasi manusia, dan lain sebagainya. [12]
            Istilah Humanisme mempunyai riwayat yang cukup kompleks. Dalam perkembangan ini pernah ada juga humanisme yang jelas bermusuhan terhadap agama.[13]
            Kristeller menggambarkan humanisme sebagai gerakan kebudayaan dan pendidikan, terutama yang berkenaan dengan peningkatan atau promosi akan kefasihan dalam berbagai bentuknya, khusunya dalam bidang tulis menulis atau lisan.[14]

3.2.2 Penerapan

      Wisanggeni hanyalah seorang pastor muda yang kebetulan ditugaskan di kota Prabumulih. Memang ia sendiri sangat menginginkan bertugas di sana. Ia dapat kembali pada tempat dimana ia dibesarkan oleh kedua orang tuanya.
           
Barangkali Tuhan mengutusnya barangkali Tuhan Cuma mengabulkan harapannya. Untuk menugaskan dia sebagai pastor paroki Parid, yang melayani kota kecil Prabumulih dan Karang Endah, wilayah Keuskupan Palembang.


(Utami, 2010: 59)

            Saat Wis pertama kali mengunjungi desa Lubukrantau, suasana disana sangat tenang. Penduduk transmigrasi Sei Kumbang berkebun karet yang sudah dipersiapkan pemerintah.

Trooper kemudi empat roda melaju kearah selatan, melewati tikungan-tikungan, kedai-kedai melon, membelah kebun-kebun nanas, kelapa sawit, lalu perpohonan liar. Aspal minyak bumi yang licin mulai berganti jan berbatuan ditanah terbis. Mereka berhenti di mana jalan roda terhenti, ditengah hutan karet yang sedang dalam akhir musim gugur daun, tak jauh dari Sei Kumbang yang kalinya mengalir kearah Ogan. Percik jeram-jeram kecilnya terdengar dari sela-sela gesek ilalang terhembus angin. Lambung jalan itu merupakan semacam lapangan untuk kendaraan pengangkut panen. Diseputarnya berserak rumah-rumah petak, agak berjarangan satu sama lain.


(Utami, 2010: 70)

            Jauh sebelum terjadinya konflik di desa Lubukrantau, Wisanggeni alias Saman telah dekat sekali dengan penduduk desa setempat. Hal ini bermula pada saat pertemuan Wisanggeni yang saat itu masih menjadi seorang pastor dengan seorang gadis bernama Upi.

Sepasang mata makhluk itu,sepasang yang tidak kongruen, menatap dirinya tajam-tajam, mengawasinya dengan kepala kaku seakan reptil yang siaga. Lalu tersenyum. Ia mengeluarkan suara seperti erangan terpatah-patah. Suara perempuan, tangannya melambai-lambai. Memanggilkukah? Tapi itu bukan suara yang didengar Wis sebelumnya. Ia baru menyadari, punggungnya telah merapat pada dinding kayu yang jadi terasa hangat karena jari-jarinya telah menjadi dingin dan berembun. Makhluk itu tersenyum lagi. Kali ini seperti tertawa ramah sehingga ia Nampak bagai orang tak bersalah yang terkena tuhah Allah, seperti Ayub yang terkena bisul dan kusta meski tak berdosa,seperti anak-anak sulung yang terlahir sebagai orang Mesir ketika Tuhan sedang berpihak pada bani Israil. Rasa takutnya perlahan-lahan berubah menjadi iba. “Kamu… adik?”


(Utami, 2010:65)

                     Wis memang sempat mengira bahwa Upi adalah adiknya yang hilang. Ketika ia hendak mengejar Upi, gadis itu terluka. Wis yang kasihan padanya segera menolongnya. Keadaan Upi pada saat itu sangat memprihatinkan.

Gadis itu sama sekali tidak rupawan, namun tidak seburuk saat ia melihatnya pertama kali dalam keadaan shok. Wajahnya tidak simetris. Kulit pipinya yang lembut menunjukkan bahwa anak itu masih belasan tahun. Beberapa bisul Nampak mengotori. Tubuhnya kurus meski payudaranya mulai matang. Tapi kepala itu tentu menyimpan sedikit saja volume otak. Dahinya yang pendek merah karena luka yang sedikit bernanah, luka yang telah lama infeksi. Kini tulang keringnya juga patah.


(Utami, 2010:69)

Upi memiliki gangguan jiwa dan kelainan perilaku seksual. Karena kelakuannya itulah  Upi membuat resah para warga sekitar desanya bahkan warga dari desa tetangga. Upi seringkali berkeliaran ke desa-desa tetangga, hingga akhirnya bertemu dengan Wis. Pihak keluarganya tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengurungnya.

Gadis itu amat berbahaya. Kami khawatir kelak ia membikin celaka orang lagi. Karena itu kami mengurung dia. Kemarin dulu ia berhasil memutus rantai yang telah berkarat dan kabur.


(Utami, 2010:74)

Upi tinggal di suatu kandang yang sangat buruk, kotor, dan reot. Keluarga Upi sudah tidak sanggup untuk memperbaiki kandang tempat tinggal Upi itu.




Bilik itu terbuat dari kayu dan bambu berukuran satu setengah kali dua meter. Berdiri sebagai bangunan panggung dengan kaki pendek. Dari dalam dan bawah tercium pesing serta bau dan lembab. Dan banyak lalat. Perempuan itu berjongkok dibalik ruji-ruji sambil terisak, tak lagi melolong.


(Utami, 2010 :72)

 Wis pun rela bekerja keras demi membuat tempat tinggal yang layak bagi Upi. Upi sangat senang dengan bantuan Wis ini. Rumahnya menjadi lebih bersih dan nyaman.

Ia telah memutuskan: meringankan penderitaan si gadis dengan membangun sangkar yang lebih sehat dan menyenangkan, seperti membikin kurungan besar bagi perkutut dan cucakrawa ayahnya sebab melepaskan mereka hampir sama dengan membunuh mereka. Mak Argani, ibu gadis itu, serta dua abangnya menyilakan dengan agak bingung. Sisa siang itu Wis membawa gerobak berkeliling dusun mengangkuti bongkah-bongkah batako yang tergeletak dari rumah-rumah transmigran yang ditinggalkan. Jika tak ada yang melihatnya, dia juga mencungkili batu yang masih menempel pada tembok serta papan dari pintu yang masih bisa digunakan.


(Utami, 2010: 75-76)

            Dari rasa kasihan itulah Wis jadi sering mengunjungi desa Lubukrantau untuk menjenguk Upi. Tidak ada alasan khusus bagi Wis, ia hanya tidak tenang apabila tidak memantau keadaan Upi.

SEMAKIN AKU TERLIBAT dalam penderitaanmu, semakin aku ingin bersamamu. Dan Wis selalu kembali ke sana. Kian ia mengenal perkebunan itu, kian ia cemas pada nasib si gadis.
           

(Utami, 2010:81)

            Hingga pada tahun 1990, permasalahan muncul dihadapan penduduk desa Lubukrantau. Sekelompok orang datang dengan membawa SK dari gubernur dan berusaha untuk merombak perkebunan karet menjadi kelapa sawit.

Lalu mereka berbicara singkat saja. “Kami menjalankan tugas dari gubernur.” Salah satunya mengacungkan selembar kertas berkop pemda, tapi tidak menyerahkan kepadanya. “Menurut SK beliau tahun 1989, lokasi transmigrasi sei kumbang ini harus dijadikan perkebunan sawit. Perusahaan intinya sudah ditunjuk, yaitu PT Anugrah Lahan Makmur. ” Ia berhenti sebentar, memandang rumah pengolahan itu, melongok keluar dari jendela, dan menoleh lagi pada Anson. “Kami melihat bahwa dusun ini saja yang belum patuh untuk menandatangani kesepakatan dengan perusahaan.”


(Utami, 2010:92)
Sekelompok orang itu juga memberikan warga pilihan yang harus dipilih. Tetapi pihak warga tetap tidak mau ada pihak lain yang ikut mencampuri urusan desanya termasuk menumbangi pohon-pohon karet yang telah mereka rawat sepenuh hati.

Lalu keempat lelaki itu pergi setelah meninggalkan pilihan ini: orang-orang Lubukrantau harus menandatangani kertas kesepakatan dan menebang pohon-pohon karetnya. Perusahaan akan membagikan bibit sawit dan orang-orang harus mananamnya. Jika dalam sebulan mereka tidak menurut, terpaksa bulldozer-buldozer membabat perkebunan itu. Terpaksa, kata mereka menekankan. Lalu menghilang dengan kijang berlogo ALM yang bergambar siluet sawit dan matahari oranye pada pintu supir dan kap mesin.


(Utami, 2010: 93)

Warga desa Lubukrantau segera mencari bantuan agar rencana perombakan kebun tidak berhasil dilaksanakan. Wis pun ikut membantu membela warga.

Wis menyadari airmatanya telah mencetak dua lingkaran di dada bajunya. Ia sungguh gentar pada nasib desa ini, yang juga berarti nasib Upi. Ia seperti kota gurun yang terkepung, mata airnya telah dikuasai musuh. Tuhan, kau biarkan ini terjadi? Lalu ia menyeka wajahnya yang basah dan berjalan kembali ke rumah. Hari mulai gelap dan listrik tak lagi menyala. Tapi Anson telah mengumpulkan orang-orang dewasa di rumah asap, dan menyuruh beberapa pemuda berjaga-jaga diluar. Ia mencari Wis, meminta dia bergabung.


(Utami, 2010: 96)

Wis sudah mengusahakan berbagai cara untuk mengatasi persoalan ini. Namun usaha itu hanya dapat menahan penggusuran desa Lubukrantau sesaat saja.

“Karena merasa persoalan tak akan segera selesai, Wis pergi ke Palembang, Lampung, dan Jakarta, setelah memotret desa dan mengumpulkan data-data tentang dusun mereka yang tengah maju. Ia mengunjungi kantor-kantor surat kabar dan LSM. Pada setiap orang yang menerimanya, ia bercerita panjang lebar dengan bersemangat dan menyerahkan materi berita. Ia membujuk: kalau bisa, datanglah sendiri dan tengok desa kami. Setelah Koran-koran mulai menulis serta mengirim wartawannya ke desa terpencil itu, empat lelaki itu tidak lagi bolak-balik dengan lembaran blanko kosong. Usaha menggusur dusun memang jadi tertunda, berbulan-bulan, bahkan hampir setahun.”


 (Utami, 2010 :95)

Usaha yang dilakukan Wis menjadi sia-sia, orang-orang lawannya terlalu banyak. Wis yang dianggap sebagai pelopor penolakkan warga Lubukrantau berhasil diculik. Wis disekap di sebuah pabrik pengolah kelapa Sawit.

Tapi dua orang berseragam hitam-hitam itu menangkap dan mengunci lengannya, mendorong punggungnya hingga dada serta pelipisnya menghantam tanah, dan memborgol pergelangannya sebelum ia sempat mengerang nyeri. Mereka begitu gesit dan terlatih. Ia sempat melihat tiga yang lain menjaga pintu masjid, melarang ibu-ibu keluar, sebelum secarik kain hitam menutup matanya, dan sebuah gumpalan menyumbat mulutnya. Wis merasa beberapa orang menyeret dan melempar tubuhnya ke dalam mobil yang mesinnya segera bergemuruh meninggalkan tempat itu. Ia mencium percik api dan bau karet terbakar. Dan suara salawat semakin sayup, semakin jauh, akhirnya tak terdengar.


(Utami, 2010:104)

Selama penyekapan di dalam pabrik pengolahan sawit, ia terus disiksa. Wis bahkan merasa bahwa ia telah mati.

Tapi, bagaimana penyiksaan yang kemudian ia terima membikin tubuhnya gemetar. Kegentaran itu tetap muncul seiap kali ia digiring ke ruang interogasi, didudukkan, atau dibiarkan berdiri, sementara ia menduga-duga cara apa yang digunakan orang-orang kali ini, sebab matanya selalu ditutup. Kadang mereka menyundut tubuhnya dengan bara rokok, menjepit jari-jarinya, mencambuknya meski tidak di dada, menyetrum lehernya, atau cuma menggunakan kepalan dan tendangan


(Utami, 2010: 106)

Warga berhasil membebaskan Wis setelah beberapa hari kemudian. Mereka membakar pabrik pengolahan kelapa sawit tempat Wis disekap. Kekacauan yang terjadi membuat Wis dapat kabur.

Rasanya ia bisa terbang. Ia bangkit dan menjebol pintu yang telah keropos oleh api, lalu berlari di lorong yang mulai terbakar. Ia berlari, terus berlari, melayang, entah apa yang mengarahkan langkahnya. Dan ia sampai di pintu terakhir, yang mengantarnya ke alam terbuka. Sebentang lahan yang ditumbuhi pohon-pohon sawit muda. Bintang-bintang dan udara segar. Ia masih berlari, sampai terdengar teriakan : “Ya, Allah! Abang ! Abang Wis ! ” 


(Utami, 2010 :112)

Setelah Wis berhasil kabur, ia tidak seketika merasa bahagia. Karena ia harus menerima fakta bahwa Upi, beberapa warga, bahkan desa Lubukrantau telah disakiti dan dihancurkan. Mereka yang telah berusaha membela penduduk tertindas malah menjadi buron. Sedangkan orang-orang yang telah menyakiti warga justru bebas dari segala tuntutan.



Status mereka kini buron. Orang-orang yang membakar Upi, menggagahi istri Anson, merusak rumah kincir, mencabuti pohon-pohon karet muda, menjadi tidak relevan untuk dibicarakan hakim. Orang-orang itu tidak dipersalahkan.


(Utami, 2010: 113)

Bebasnya Wis dari sekapan, tidak menjamin keamanan Wis sendiri. Wis tidak berani kembali ke Prabumulih sebab semua orang termasuk polisi tengah mengincarnya. Wis telah menjadi buronan. Ia dituduh sebagai penghasut dan pengadu domba penduduk serta otak dibalik pembakaran pabrik pengolahan kelapa sawit. Wis bersembunyi di Lahat dibantu suster-suster Boromeus hingga ia benar-benar sembuh.

Wis tidak mau ke Prabumulih, sebab orang yang menyelidiki dirinya mengintai pastoran. Berbahaya bagi Anson, kawananny, dan dia sendiri, serta Gereja. Ia minta diantar ke rumah suster-suster Boromeus di Lahat. Di sana ia berpisah dari Anson dan teman-temannya. Dipeluknya pemuda yang membungkuk ke tempat tidur.


(Utami, 2010: 113-114)

Wis benar-benar terluka parah hinggan membutuhkan perawatan yang cukup lama. Hampir seluruh bagian tubuhnya terluka.

Dokter yang memeriksa memperkirakan dia mesti istirahat dua atau tiga bulan. Ada gegar kepala, kandung kemihnya luka, beberapa organ tubuhnya memar, selain pelipis dan hidung hampir semua tulang jemari retak, dan sarafnya terganggu akibat penyetruman di belakang telinga, sehingga kepala dan tubuhnya kadang mengejut di luar kehendaknya.”


(Utami, 2010: 114)

Selama pengobatannya berlangsung, suster Marietta selalu membawakan Wis koran. Dari sana lah ia mengetahui bahwa ia telah difitnah melakukan hal yang sama sekali tidak ia lakukan.

Kepala Dinas Penerangan Polda Sumbagsel menyebut-nyebut actor intelektual di belakang perlawanan warga Sei Kumbang: Ada indikasi bahwa dalang aksi tersebut adalah seorang rohaniwan yang disusupi pandangan-pandangan kiri. Ia dituduh menghasut penduduk Lubukrantau untuk menghalangi pembangunan. Pembangunan perkebunan sawit harus diutamakan karena merupakan komoditi utama ekspor nonmigas. Ia juga dituduh mengajarkan teologi pembebasan, dan mengadu domba perusahaan dengan petani untuk mengacaukan stabilitas. Meskipun namanya cuma disebut dengan inisial saja: AW.


(Utami, 2010: 114-115)

Pada saat Wis dirawat, pater Westenberg pernah datang mengunjunginya. Pater Westenberg memberi tahu Wis bahwa ada orang yang datang mencari dirinya di pastoran. Disana jugalah pater Westenberg memberi Wis dua pilihan. Antara dia menyerahkan diri ke polisi atau mengundurkan diri dari tugas pastoral.

Pater Westenberg menghela nafas, seperti berat ia menjawab: “ Jika tim kamu memang tidak bersalah, kamuharus memenuhi panggilan polisi. Jika kamu merasa bersalah, saya kira kamu harus mengundurkan diri dari tugas pastoral. Selanjutnya, menjadi tanggung jawabmu sendiri untuk menyerahkan diri atau tidak. ”


(Utami, 2010 : 116)

Wis yang mendengar pilihan dari pater Westeberg segera tegang. Ia mengetahui bahwa ia sedang dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit. Tetapi pater Westenberg juga terpaksa, ia tetap harus mempertahankan nama baik gereja.

Tapi kamu, atu kita, tidak bisa terlalu berharap pada hirarki. Gereja sendiri dalam posisi terjepit. Tuduhan kita disusupi komunis menimbulkan ketakutan umat. Tuduhan melakukan kristenisasi membuat kita dibenci.


(Utami, 2010 :116)

Wis pun akhirnya terpaksa juga melepaskan ikatan pastoralnya dengan gereja. Ia menganggap bahwa Athanasius Wisanggeni telah tiada.

Wis memanggil kedua orang itu. “Saya kira, mereka tidak betul-betul tahu bahwa saya masih hidup.”


(Utami, 2010:116)

Sebelum luka nya benar-benar sembuh. Wis memutuskan untuk pergi dari Lahat. Hanya sedikit orang tahu keberadaanya, yaitu lima orang suster dan seorang dokter.

Beberapa hari kemudian, sebuah mobil membawa Wis pergi dari rumah sakit itu, ke sebuah tempat yang hanya diketahui lima orang suster dan seorang dokter. Uskup tidak dikabari. Kirarki gereja hanya mendengar kabar bahwa pastor Athanasius Wisanggeni menghilang. Sebagian orang mengira dia mati ketika disekap di pabrik. Dan Pater Westenberg memilih tidak tahu sebab orang-orang pasti mengecar dia. Di sana Wis dirawat sampai sembuh, kira-kira tiga bulan lamanya.


(Utami, 2010:117)

Konflik antara penduduk Lubukrantau dan perusahaan kelapa sawit berangsur-angsur reda setelah hilangnya Wis. Persidangan berlangsung sekitar dua tahun lamanya. Wis memutuskan untuk berhenti menjadi pastor dan mengganti namanya menjadi Saman.

Dan ia mengganti identitasnya, sampai peristiwa itu selesai di pengadilan kira-kira dua tahun kemudian. Ia memilih nama : Saman. Tanpa alasan khusus, tiba-tiba saja itu yang terlintas dibenaknya. 


(Utami, 2010 : 117)

Tetapi perjuangan Saman dalam membela kaum tertindas tidak berhenti setelah peristiwa di Lubukrantau. Ia tetap memutuskan untuk aktif menjadi anggota Lembaga Swadaya Masyrakat(LSM).

Harus ada LSM-LSM yang memprotes dan mengusiknya terus. Dan saya punya teman yang bisa mengerjakan itu.” “Siapa dia?” “ Dia… dia orang yang banyak ide dan berani. Namanya… Saman.” Dulu namanya bukan Saman.


(Utami, 2010:23)

3.3 Kesimpulan
          Wisanggeni telah melalui berbagai kerasnya hidup sebelum melepas ikatan pastoralnya dan juga merubah namanya. Wisanggeni berjuang membela penduduk Lubukrantau dengan sekuat tenanga. Ia rela berkorban dan bekerja keras agar penduduk dapat hidup sejahtera. Bahkan setelah ia menjadi buron, Wisanggeni masih ingin melibatkan diri dalam masyarakat. Ia bergabung dengan Lembaga Swadaya Masyrakat(LSM) setelah merubah namanya menjadi Saman.
    









IV. Penutup
     4.1 Kelebihan
            Novel Saman karya Ayu Utami memiliki kelebihan dalam pemberian informasi yang tepat. Terdapat berbagai bagian jalan cerita yang benar-benar nyata. Dimulai dari informasi mengenai pertambangan, struktur kepastoran, suasana kota Prabumulih dan lain-lain. Ayu Utami telah melakukan penelitian sebelum mulai menulis novel ini seperti yang dikatakan pada bagian pendahuluan. Ayu telah menghubungi beberapa narasumber. Sehingga para pembaca mendapatkan informasi yang cukup banyak.
Selain itu, novel Saman ini memiliki jalan cerita yang khas dan unik. Cerita perjalanan hidup tokoh utama Saman dengan masa lalu mengerikan dan perjuangan kerasnya membela penduduk tertindas sangatlah mengesankan. Ditambah pula dengan cerita cinta Saman bersama salah satu dari keempat sahabat yang dikenal Saman sejak lama, novel ini berhasil membuat pembacanya tak bisa berhenti membacanya hingga akhir.

     4.2 Kekurangan
            Novel Saman ini juga memiliki beberapa kekurangan. Bahasa yang digunakan oleh Ayu Utami terkesan sangat vulgar. Terkadang digunakan perumpamaan-perumpamaan untuk menggambarkan sesuatu hal, namun tak jarang juga kata-kata yang vulgar itu langsung disebutkan. Hal ini membuat novel Saman kurang cocok bagi semua usia pembaca.
            Perumpamaan yang sering muncul dalam novel Saman ini juga membuat pembaca agak sulit untuk mencerna kalimat-kalimat. Sehingga alur cerita kurang efektif disampaikan pada pembaca.                                   











[1] Dikutip dalam Ajaran-ajaran Bung Karno Untuk Perjuangan Rakyat Miskin, Kaum Marhaen, dan Proletar dalam http://berdikarionline.com, diakses 27 Oktober 201, pukul 15:27 WIB.
[2] Dikutip dalam Penokohan dan Sudut Pandang dalam http://iwanbahasadansastra.blogspot.com, diakses pada 30 Oktober 2011, pukul 16.01 WIB.
[3] Sri Sutarni, dkk. Bahasa Indonesia 2 SMA Kelas XI.. (Jakarta: Yudhistira Ghalia Indonesia).
[4] Op. Cit.
[5] Dikutip dalam Menganalisis Unsur-unsur Intrinstik dan Ekstrinstik Novel dalam http://natalidopengasih.wordpress.com, diakses pada 31 Oktober 2011, pukul 16.28 WIB.
[6] Dikutip dalam Unsur Intrinstik Pada Novel dalam http://si-jalang.blogspot.com, diakses pada 31 Oktober 2011, pukul 15.48 WIB
[7] Dikutip dalam Cara Membuat Penokohan dalam Cerita dalam http://yadi82.blogspot.com, diakses pada 31 Oktober 2011, pukul 20.43 WIB.
[8] Alister E. Mcgrath. Sejarah Pemikiran Reformasi. (Bandung : BPK Gunung Agung).
[9] Dikutip dalam Teori Belajar Humanisme dalam http://vie218.blogspot.com , diakses pada 31 Oktober, pukul 17.35 WIB.
[10] Dikutip dalam Mengkaji Ulang Humanisme dalam http://harunyahya.com, diakses pada 31 Oktober 2011, pukul 16.31 WIB.
[11] Dikutip dalam Humanisme dalam Tinjauan Sains, Filsafat, dan Spritualisme dalam http://hminews.com, diakses pada 31 Oktober 2011, pukul 17.15 WIB.
[12] Bertens, K.. Panorama Filsafat Modern. Jakarta : Teraju Mizan.
[13] Ibid.
[14] Alister E. Mcgrath. Loc.Cit., halaman 56.
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CERITA PENDEK ON-LINE KARYA SISWA-SISWI KELAS XII IPA 1 TAHUN 2014/2015

CERITA PENDEK ON-LINE KARYA SISWA-SISWI KELAS XII IPA 3 TAHUN 2014/2015