Cinta Keluarga Memberikan Semangat dan Harapan bagi Tokoh Iwan dalam Novel 9 Summers 10 Autumns Karya Iwan Setyawan
I.
Deskripsi
Fisik Buku
Judul :
9 Summers 10 Autumns
Pengarang : Iwan Setyawan
Penerbit, Kota :
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tahun terbit : 2011
Cetakan ke- : 7
Jumlah halaman: 238
halaman
Jenis Kertas : Quarto
Cover :
Softcover
Ukuran :
20 x 13,5cm
Harga :
Rp48.000,00
II.
Sinopsis
Hari pertama Iwan
tiba di New York disambut oleh dua preman yang menodongnya di Stasiun Fleetwood
saat hendak melihat pesta kembang api pertama kali di New York. Saat itu juga,
ia melihat seorang anak kecil berbaju merah putih melewatinya dan bersembunyi. Anak kecil itu pun mengikutinya pulang setelah dua preman
tadi kabur karena ada seseorang datang berteriak. Anak kecil ini kemudian akan
terus menemani Iwan setiap hari.
Iwan hanyalah anak dari keluarga miskin di Batu, Malang, Jawa Tengah.
Keluarganya terdiri dari bapak, ibu, Iwan dan 4 saudari perempuannya, yaitu
Mbak Isa, Mbak Inan, Rini, dan Mira. Bapaknya hanya seorang sopir angkut dan
truk di Batu. Berkat Bapak-lah, Iwan beserta saudara-saudaranya dapat
menyelesaikan sekolah hingga ke jenjang universitas. Bapak yang awalnya
memiliki sebuah mobil angkot, rela menjualnya untuk membayar biaya kuliah Iwan
di IPB.
Tentu saja yang paling besar adalah jasa sang Ibu. Ibu, Ngatinah, yang
membangun ide untuk menabung, mengingatkan kami kalau perlu ke dokter, kalau
mobil bisa rusak sewaktu-waktu, kalau rumah bisa bocor, kalau kami butuh
makanan bergizi. Ibulah yang mengatur berapa liter nasi yang harus ditanak
tanpa tersisa keesokan harinya, kapan kami harus makan daging, ayam, atau
tempe. Ibu yang tahu barang apa yang harus digadaikan untuk membeli sepatu baru
untuk anaknya dan mengatur pembayaran uang sekolah kami. Ibulah yang membelah
satu telur dadar untuk dua atau tiga orang. Ibulah yang selalu menyembunyikan
tempe goreng supaya tidak dihabiskan salah satu anaknya. Kesederhaan dan
kebijakan Ibu menyelamatkan dan membangun rumah kecil mereka.
Saudari-saudari Iwan pun ikut ambil bagian dalam membuka jalan bagi Iwan
bahwa semua akan tercapai bila kita terus mencoba dan tabah. Mbak Isa, sebagai
saudari pertama yang membuka jalan untuk kedua adiknya, Mbak Inan dan Iwan.
Mbak Isa adalah siswa berprestasi dari SD hingga SMA. Mbak Isa membuat mereka
terpacu untuk rajin belajar agar membanggakan kedua orangtua mereka. Walaupun
Mbak Isa gagal dalam UMPTN, namun ia tidak pernah menyerah. Kegigihannya
menjadi contoh bagi adik-adiknya, terutama saat ia lolos tes calon pegawai
negeri sipil saat usianya 35 tahun! Itu adalah usia maksimal bagi calon pegawai
negeri sipil dan Mbak Isa berhasil melaluinya dan menjadi seorang pegawai
negeri sipil.
Mbak Inan, kakak perempuan kedua Iwan, mengajarkan Iwan dan adik-adiknya
untuk menjaga kebersihan, dan yang membuat Iwan tertarik dengan dunia teater di
SMA. Mbak Inan adalah seorang yang aktif. Sejak kecil, Mbak Inan rajin bekerja
untuk membantu meringankan perekonomian Bapak dan Ibu dengan berjualan makanan
saat bulan puasa maupun menjajakannya di pasar. Di sekolah pun, Mbak Inan
selalu mengikuti berbagai lomba, dari cerdas cermat hingga membaca puisi. Mbak
Inan yang rajin mengaji ini, saat SMA pun aktif di OSIS dan mengikuti kegiatan
teater. Saat kuliah di Jurusan Perikanan Universitas Brawijaya, Mbak Inan ikut
serta dalam lomba debat P4 dan menang hingga ke tingkat nasional dengan memberi
kebanggaan serta keringanan kepada orangtua mereka dalam membayar kuliahnya. Begitu
pula dengan Rini dan Mira yang menjadi penyemangat Iwan dalam belajar dan menjalani
hidup, memenuhi impiannya, yaitu memiliki sebuah kamar sendiri.
Saat SMA, Iwan mulai membuka diri.
Mulai mencoba hal-hal baru, yaitu teater dan puisi yang selanjutnya menjadi
salah satu kesukaannya. Ia mulai bergaul dengan banyak orang, dan bekerja
menambah penghasilan melalui les privat seperti yang dilakukan Mbak Rini. Ia
pun terus berusaha agar bisa tembus PMDK IPB jurusan Statistika, yang dikatakan
jurusan ini sangat sulit untuk anak dari desa. Iwan membuktikan bahwa hal
tersebut salah. Bahwa dengan kerja keras dan melepaskan ketakutan akan hasil
yang didapat, kita pasti mampu melewati hal tersulit seperti masuk Jurusan
Statistika di IPB. Begitu pula dengan nasihat Ibu yang tidak pernah dilupakan
Iwan, ‘Coba dulu, belajar yang rajin,
jangan takut.’
Di SMA pula, ia mengenal Nicolas Auclair, seorang pelajar Kanada yang
mengikuti program pertukaran pelajar ke sekolahnya. Iwan mulai belajar bahasa
Inggris dari Nico dan berteman dengan Nico. Awalnya, banyak teman-teman Iwan
tidak mendekati Nico karena ia seorang bule, tetapi Iwan-lah yang mengajak Nico
belajar dan bermain bersama di bawah Gunung Panderman.
Keinginan Iwan saat melintasi Jalan Sudirman adalah menjadi “pegawai
berdasi” terwujud juga karena dukungan Ibu, Bapak, dan saudari-saudarinya.
Begitu pula dengan keputusannya menerima pekerjaan di New York, yang membawanya
menjadi seorang Direktur Internal Client
Management di Nielsen Consumer Research, New York –salah satu keinginannya
untuk melihat dunia luar seperti Kak Inan yang pernah ke Jepang. Ia berhasil
memiliki sebuah kamar untuknya, yaitu berupa apartemen setelah bekerja selama
10 tahun di New York.
Kisah cinta Iwan pun tidak berakhir bahagia. Pertama kalinya ia jatuh cinta
pada seorang wanita, seorang Amerika bernama Audrey, yang memiliki hobi yang
sama dengannya, yaitu yoga. Mereka bertemu di kelas yoga yang sama, dan saat
itu mereka hanya saling bertatapan. Kemudian, sebuah keajaiban, mereka bertemu
di Barneys, sebuah department store di
New York, dan Iwan pun memberanikan diri untuk menyapanya dan memberikan kartu
namanya. Perkenalan mereka singkat, dan hubungan mereka diakhiri oleh
pertanyaan dari orangtua Audrey bahwa mereka berbeda kepercayaan. Di musim
gugur ke-9, Audrey menikah dan mereka masih berteman baik.
Di akhir kisah, Iwan memutuskan kembali ke tanah air, karena ia sangat
merindukan kampung halamannya, setelah 10 tahun ia tinggalkan, dan pada halaman
terakhir, ia menceritakan sebuah pengalaman yang sangat ia takuti dan akhirnya
ia berani menceritakannya. Pertengkaran bapak ibunya dan ibunya yang selalu
menangis di dalam kamar sesudahnya.
III.
Cinta Keluarga Memberikan Semangat dan Harapan bagi Tokoh
Iwan dalam Novel 9 Summers 10 Autumns
Karya Iwan Setyawan
3.1 Pendahuluan
3.1.1
Latar
Belakang
Iwan Setyawan, penulis buku ini, lahir di Batu 2 Desember
1974. Ia merupakan lulusan terbaik fakultas MIPA IPB 1997 dari Jurusan
Statistika. Bekerja selama tiga tahun di Jakarta sebagai data analis di Nielsen
dan Danareksa Research Institute dan selanjutnya merambah karier di New York
City selama 10 tahun di Nielsen Consumer Research. Pecinta yoga, sastra dan
seni teater ini meninggalkan NYC Juni 2010 lalu dengan posisi terakhir sebagai
Director, Internal Client Management di Nielsen Consumer Research, New York. 9 Summers 10 Autumns merupakan novel
pertamanya. Buku pertamanya adalah Melankoli
Kota Batu berupa kumpulan fotografi dan narasi puitis, didedikasikan untuk
Kota Batu. Saat ini Iwan tinggal di Batu, Jawa Timur. Buku keduanya, 9 Summers
10 Autumns, menceritakan tentang pengalamannya dari kecil hingga sukses menjadi
direktur Internal Client Management
Nielsen Consumer Research dan juga merupakan pertama kali bagi penulis
untuk menulis sebuah novel fiksi ini memperoleh penghargaan Buku Fiksi Terbaik
Jakarta Book Award 2011 dari IKAPI DKI JAKARTA.
Penulis berhenti bekerja dari Nielsen Consumer Research
karena merasa jemu dan rindu kampung halamannya, Batu. Pada tanggal 23 April
2010, ia resmi mengundurkan diri dengan jabatan terakhir yang dipegangnya yaitu
direktur Internal Client Management. Tujuan penulis menulis buku ini sendiri
untuk berbagi pengalaman dan menginspirasi semua orang agar tidak cepat
menyerah dalam mengejar impian meski banyak hal pahit yang harus dihadapi.
Menurut goodreads.com, sebuah website
database buku dan pembaca, buku ini memperoleh total 316 penilaian dan 105 reviews serta mendapatkan rating 3,47. Penilaian yang cukup bagus
mengingat buku ini bertipe fiksi-autobiografi. Begitu pula terdapat banyak
komentar atau kata pengantar dari penulis terkenal, para ahli dan tokoh
masyarakat merupakan permulaan yang baik untuk buku ini.
Menurut catatan penulis di forum
Goodreads Indonesia, melalui buku ini, penulis ingin mengajak pembaca melompat
dari bawah kaki Gunung Panderman ke New York City, dari gemerlap Times Square[1] ke kesunyian malam di Batu, dari masa kini ke masa lalu,
dan dari masa lalu ke masa kini. “9 Summers 10 Autumns” juga mengajak pembaca
melalui empat musim di New York City, melankoli di bawah rumah kecil berukuran
6x7 meter di Gang Buntu, dari SoHo[2] ke Tanah Abang, dari Venesia Italia sampai Gunung
Rinjani. “9 Summers 10 Autumuns” menelusuri jejak masa lalu, berdamai dengan
kegetiran yang tergores disana dan melangkah maju. “9 Summers 10 Autumns”
bukanlah sebuah cerita sukses, tapi perjuangan keluarga untuk hidup lebih baik.[3]
3.1.2
Rumusan
Masalah
3.1.2.1 Bagaimana
cinta keluarga dapat menjadi penyemangat bagi tokoh Iwan dalam menghadapi hidup?
3.1.3
Tujuan
3.1.3.1 Bagi
khalayak umum khususnya pecinta buku genre
fiksi dan inspirasional, semoga telaah ini dapat dijadikan pertimbangan untuk
membaca buku ini.
3.1.3.2
Bagi
instansi pemerintah diharapkan membaca buku ini dan mengetahui situasi dari
masyarakat bawah dalam mendapatkan pendidikan.
3.2 Analisis Buku
3.2.1
Landasan
Teori
Menurut Wikipedia
dalam definisi umum, cinta adalah sebuah emosi dari kasih saying yang kuat dan
ketertarikan dan ketertarikan pribadi. Dalam konteks filosofi cinta merupakan
sifat baik yang mewarisi semua kebaikan, perasaan belas kasih dan kasih sayang.
Pendapat lainnya, cinta adalah sebuah aksi/kegiatan aktif yang dilakukan
manusia terhadap objek lain, berupa pengorbanan diri, empati, perhatian,
memberikan kasih sayang, membantu, menuruti perkataan, mengikuti, patuh, dan
mau melakukan apapun yang diinginkan objek tersebut.[4]
Secara terminologi, penggunaan istilah
cinta dalam masyarakat Indonesia dan Malaysia lebih dipengaruhi perkataan love
dalam bahasa Inggris. Love digunakan dalam semua amalan dan arti untuk eros,
philia, agape dan storge. Namun demikian perkataan-perkataan yang
lebih sesuai masih ditemui dalam bahasa serantau dan dijelaskan seperti
berikut:
·
Cinta yang lebih cenderung kepada
romantis, asmara dan hawa nafsu, eros
·
Sayang yang lebih cenderung kepada
teman-teman dan keluarga, philia
·
Kasih yang lebih cenderung kepada
keluarga dan Tuhan, agape
Secara etimologi, beberapa bahasa,
termasuk bahasa Indonesia atau bahasa Melayu apabila dibandingkan dengan beberapa
bahasa mutakhir di Eropa, terlihat lebih banyak kosakatanya dalam mengungkapkan konsep ini. Termasuk juga bahasa Yunani kuno, yang membedakan antara tiga atau
lebih konsep: eros, philia, dan agape.
Cinta adalah perasaan simpati yang
melibatkan emosi yang mendalam. Menurut Erich Fromm, ada empat syarat untuk mewujudkan cinta
kasih, yaitu:
·
Perasaan
·
Pengenalan
·
Tanggung jawab
·
Perhatian
·
Saling menghormati
Erich Fromm dalam buku larisnya (the art of loving) menyatakan bahwa
ke empat gejala: Care, Responsibility, Respect, Knowledge (CRRK), muncul semua
secara seimbang dalam pribadi yang mencintai. Omong kosong jika seseorang mengatakan mencintai
anak tetapi tak pernah mengasuh dan tak ada tanggung jawab pada si anak.
Sementara tanggung jawab dan pengasuhan tanpa rasa hormat sesungguhnya &
tanpa rasa ingin mengenal lebih dalam akan menjerumuskan para orangtua, guru,
rohaniwan dll pada sikap otoriter.[6]
Salah satu jenis cinta, yaitu cinta antar
pribadi. Dalam konteks ini, cinta antara manusia. Bentuk ini lebih dari sekedar
rasa kesukaan terhadap orang lain. Cinta antar pribadi bisa mencakup hubungan
kekasih, hubungan orangtua dengan anak, dan juga persahabatan yang sangat erat.
Beberapa unsur yang sering ada dalam cinta antar
pribadi:
·
Altruisme: perhatian non-egois kepada orang lain (yang tentunya
sangat jarang kita temui sekarang ini).
·
Physical
intimacy: berbagi kehidupan
erat satu sama lain secara fisik, termasuk di dalamnya hubungan seksual.
·
Kepentingan pribadi: cinta yang mengharapkan imbalan pribadi, cenderung
egois dan ada keinginan untuk memanfaatkan pasangan.
·
Homoseks: Cinta dan atau hasrat seksual pada orang yang berjenis kelamin sama,
khususnya bagi pria. Bagi wanita biasa
disebut Lesbian (lesbi)[7]
Jenis
cinta yang dibahas pada telaah buku ini adalah cinta keluarga yang mengandung
kasih sayang dan kekerabatan.
Di dalam novel ini, banyak peranan
keluarga yang ditulis si penulis yang mempengaruhi karakter tokoh Iwan. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, keluarga adalah ibu dan bapak beserta
anak-anaknya[8]. Peranan keluarga secara umum menurut Wikipedia
adalah ayah sebagai suami dari istri dan anak-anak, berperan sebagai pencari nafkah, pendidik,
pelindung dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, sebagai anggota dari kelompok sosialnya
serta sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota masyarakat
dari lingkungannya. Sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu
mempunyai peranan untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik
anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya
serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya, disamping itu juga ibu
dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya. Anak-anak
melaksanakan peranan psikosial sesuai dengan tingkat perkembangannya baik fisik, mental, sosial, dan spiritual.[9]
3.2.2
Aplikasi
Novel 9 Summers 10 Autumns terdiri dari 36 bab dan
disertai beberapa pendapat para tokoh masyarakat mengenai buku ini. Pada bab
pertama, dibuka dengan kejadian pencurian terhadap diri Iwan.
Aku tak bisa
menahan badanku yang mulai bergetar. Kedua kakiku seakan kehilangan tulang
penyangganya. Keringat dingin mulai membasahi T-shirt putihku. Pikiran pun
terbang entah ke mana. Aku hanya teringat Ibu, Bapak, dan empat saudara
perempuanku. Siang itu 4 Juli 2001, sekitar pukul dua. Mungkin semuanya akan
berakhir, sebelum aku bisa membangun kepingan hidup di sini.
‘Give me your wallet! Now!’
(Setyawan,
2011:1-2)
Cerita dimulai saat Iwan melihat seorang
anak kecil dengan seragam merah putih saat terjadi pencurian terhadap dirinya. Penceritaan pertama mengenai bapak Iwan. Karakter Bapak
diketahui dari deskripsi yang diberikan Iwan. Bapak memiliki karakter pendiam
namun perhatian.
Karena aku sering
batuk-batuk pada malam hari, Bapak membuatkan ranjang dari bambu.
(Setyawan,
2011:9)
….Aku bisa
merasakan hati Bapak di atas ranjang itu, kehangatan hatinya tak pernah
diucapkan lewat kata-kata atau pelukan.
(Setyawan,
2011:9)
Bapak, Abdul Hasim, adalah anak keenam
dari sembilan bersaudara. Pernah bersekolah namun terpaksa berhenti akibat
tidak ada biaya. Ia menghabiskan waktu mudanya dengan menjadi kenek angkot yang
membuat Iwan ngeri membayangkan bagaimana jika kehidupannya kelak juga
dihabiskan di atas angkot. Namun, dengan angkotlah, Bapak bisa membiayai
kehidupan keluarga, untuk makan, sekolah, dan kebutuhan lainnya. Dengan angkotlah, Bapak bisa menyekolahkan Iwan sampai
kuliah di ITB.
Cerita ini kerap
kali menghantuiku, bagaimana kalau sejarah itu terulang, bagaimana kalau aku
harus meluangkan masa mudaku di atas angkot. Mampukah diriku melalui jalanan
yang ditempuh oleh Bapak? Sampai saat ini, cerita itu kerap menghantuiku.
(Setyawan, 2011:24)
Setelah Bapak
menjual mobil angkot untuk biaya kuliahku, beberapa sahabat SMA mengantar
kepergianku ke Bogor pada hari Jumat pagi itu, di terminal bus Lorena Malang.
(Setyawan,
2011:96)
Dukungan dari Ibu
begitu besar dampaknya bagi Iwan, dan terlihat dari cara Iwan menggambarkan
Ibunya, bahwa ia sangat menyayangi sang ibu. Ibu juga sering memberi nasihat
yang menginspirasi Iwan untuk terus berjuang dan belajar.
Ibu selalu bangun
membuatkan kopi panas untukku. Semuanya pun nyaman kembali. Tak ada obat batuk,
hanya kopi panas, hanya kehangatan dari Ibu.
(Setyawan,
2011: 9)
Ibuku, hatinya putih, ia adalah puisi
hidupku. Begitu indah. Ia adalah setiap tetesan air mataku.
(Setyawan,
2011:35)
Kedekatanku dengan
Ibu, kehangatan saudara-saudaraku, mengikat diriku di rumah ini. Aku bahkan tak
bisa ditinggalkan Ibu selama duduk di bangku TK. Harus ditemani Ibu tiap hari selama dua
tahun.
(Setyawan,
2011: 63)
Ibuku, dengan
sabar, dengan segala kemampuannya berusaha menyediakannya untukku. Dialah yang
tahu barang apa yang bisa digadaikan untuk membeli buku-buku pelajaranku.
Dialah yang tahu ke mana harus mencari utang untuk memberikan yang terbaik.
(Setyawan, 2011:70)
Aku pernah bilang
kepada Ibu, jika aku gagal di sini, aku akan menabung dan mengembalikan semua
uang biaya kuliah. ‘Coba dulu, belajar yang rajin, jangan takut’—sebuah nasihat
sederhana dan bijaksana dari Ibu yang meyakinkan diriku bahwa menjalani proses
adalah menjalankannya sekarang, saat ini, dengan kerja keras dan melepaskan
ketakutan akan hasil yang didapat. Kegagalan ataupun keberhasilan sebuah proses
adalah dimensi lain yang akan melahirkan pelajaran baru untuk proses
selanjutnya. ‘Jangan takut,
belajar yang rajin’ telah menyelamatkanku.
(Setyawan,
2011:103)
Sesulit
apapun keadaan ekonomi keluarga mereka, Ibu tidak ingin anak-anaknya bekerja
mencari uang seperti dirinya. Ibu
hanya ingin anak-anaknya sekolah tinggi-tinggi dan mendapat pekerjaan yang
layak nantinya. Ibu selalu berusaha untuk berhemat, agar bisa membiayai
kebutuhan anak-anaknya.
Dialah yang
membangun ide untuk menabung, mengingatkan kami kalau perlu ke dokter, kalau
mobil bisa rusak sewaktu-waktu, kalau rumah bisa bocor, kalau kami butuh
makanan bergizi. Ibulah yang mengatur berapa liter nasi yang harus ditanak
tanpa tersisa keesokan harinya, kapan kami harus makan daging, ayam, atau
tempe. Ibu yang tahu barang apa yang harus digadaikan untuk membeli sepatu baru
untuk anaknya dan mengatur pembayaran uang sekolah kami. Ibulah yang membelah
satu telur dadar untuk dua atau tiga orang. Ibulah yang selalu menyembunyikan
tempe goreng supaya tidak dihabiskan salah satu anaknya.
(Setyawan,
2011:33-34)
Pernah
suatu hari, ketika aku membawa satu kerat Teh Botol kosong untuk diantar ke
toko lain, Ibu melihatku, hatinya retak melihat pemandangan itu. Ia pun
menyuruhku pulang.
(Setyawan,
2011:71)
Iwan tak berani
bermimpi. Banyak yang menanyakan apa cita-citanya saat kecil. Namun ia bingung
harus menjawab apa. Ia tahu persis kondisi keluarganya bagaimana dan ia tak
berani bermimpi begitu tinggi.
Pernah, seorang
tetanggaku bertanya apa cita-citaku, dan aku menjawab ingin jadi hansip. Tertawalah
orang-orang di sekitarku. Aku piker hansip adalah militer juga. Aku tak ingin
menjadi presiden saat itu karena semua anak kecil lainnya bercita-cita menjadi
presiden, wakil presiden, atau menteri, hanya karena tidak ada inspirasi di
sekitar mereka! Inspirasi di sekitarku begitu kecil tapi begitu dekat, seakan-akan
aku akan terlahir menjadi mereka, menjadi sopir.
(Setyawan,
2011:63)
Namun, Iwan
tersadar, sesulit apapun, jika kita mau berusaha, kita dapat mewujudkan impian
kita. Seperti yang dilakukan Mbak Isa. Walaupun Mbak Isa terkena penyakit asma,
ia tetap berjuang mendapat peringkat terbaik di sekolahnya, mencari nafkah
untuk keluarganya, dan tidak menyerah walau tidak lolos SNMPTN.
Kakakku melanjutkan
sekolah di SMPN 1 Batu dan terus mempertahankan ranking terbaiknya meskipun
mulai menderita asma. Ia sering kali mengajakku untuk ikut belajar kelompok
bersama dengan teman-temannya, sekalian mengasuhku.
(Setyawan, 2011:39)
Sayangnya, dengan
segala usaha keras di tengah penyakit asma, Mbak Isa tidak lolos UMPTN. Kuliah
di universitas swasta bukan pilihan saat itu. Ia harus menunggu setahun untuk
mencoba kesempatan UMPTN lagi dan dalam tahun itu pula kakak keduaku akan lulus
SMA. Karena orangtua kami tidak mungkin membiayai dua anak, kuliah, Mbak Isa
pun memberikan hatinya, memberikan kesempatan kepada adiknya.
(Setyawan, 2011:39-40)
Ia memberikan les
privat dari satu rumah ke rumah lain, dari siang sampai sekitar jam delapan
malam. Dari sinilah ia membantu menyekolahkan adik-adiknya, membukakan jendela
buat kami berempat. Dari
sinilah ia membantu membangun ‘rumah’ kecil kami.
(Setyawan, 2011:40)
Pada usia 35 tahun, ia mencoba untuk
ikut tes pegawai negeri. Iya, pada usia 35 tahun, di ambang batas usia untuk
mencalonkan diri menjadi pegawai negeri. Ia berhasil menembus tes pegawai negeri di urutan nomor 5
dari ratusan peserta yang ikut saat itu.
(Setyawan, 2011:41)
Mbak Inan, kakak
kedua dari Iwan, juga telah menginspirasi Iwan dari kegigihan dan kerja keras
Mbak Inan. Iwan belajar dari kakaknya untuk tidak menyusahkan keluarga, belajar
mencari uang sendiri untuk keperluan pribadi agar tidak memberatkan Bapak dan
Ibu. Mbak Inan sendiri mengurung keinginannya untuk mengambil Jurusan
Kedokteran dan sebagai gantinya mengambil Jurusan Perikanan yang biayanya tidak
terlalu mahal.
Mbak Inan adalah
pekerja keras. Hatinya selalu terketuk untuk melakukan sesuatu ketika mendung
bergantung di atap rumah kami, ketika mobil angkot rusak, ketika kami telat
membayar uang sekolah, atau ketika harus membeli buku-buku baru. Sejak dia SD
dia sudah bisa berdagang kue-kue kecil dan ketika memasuki SMP, sepulang
sekolah, dia bekerja di salah satu kios tetangga kami di pasar sayur Batu.
(Setyawan, 2011:45)
Dia selalu berjuang
dengan tangan kecilnya. Kegigihannya menjadi inspirasi kami.
(Setyawan, 2011:45)
Selama kuliah itu, aku menyaksikan
betapa berat perjuangan orangtuaku untuk membayar uang kuliah, memberi uang
transpor Batu-Malang, membeli buku-buku dan segala perlengkapan kuliah. Aku melihat
kekuatan, ketegaran , keberanian dan keprihatinan yang dalam dari Mbak Inan.
(Setyawan,
2011:46)
Satu hal yang membuat Iwan bangga akan
Mbak Inan adalah Mbak Inan yang memiliki sisa uang saku dari program pertukaran
pelajaran ke Jepang yang diikutinya, malah membelanjakan uang sakunya itu untuk
membeli keramik untuk mengganti lantai semen di ruang tamu rumah mereka.
Dengan sisa uang
saku dari Jepang, Mbak Inan membeli keramik untuk mengganti lantai semen di
ruang tamu rumah kami. Ia tidak membeli baju baru, mainan baru, atau buku
cerita, tapi keramik untuk rumah kami.
(Setyawan, 2011:47)
Adik-adik Iwan, Rini dan Mira, juga
memberikan inspirasi bagi Iwan, namun kesan yang diberikan penulis dalam buku
ini kurang kuat, sehingga sulit untuk memberikan kutipan yang kuat akan hal
tersebut.
…dengan
ketekunannya, dengan kebesaran hatinya, melalui hari-hari bersama alat-alat
dapur, buku-buku pasien, sapu, dan kain pel. Ia selalu bangun pagi, naik angkot
oranye ke Desa Junggo tempat Mbak Mami berpraktik, menghabiskan siang disana
dan kembali pada malam hari dengan angkot oranye. Ketekunannya, ketegarannya
untuk mencari uang, melelehkan hati kami semua. Keringatnya menetes di atas
atap rumah mungilku.
(Setyawan, 2011:51)
Karena cinta dari keluargalah, Iwan
terinspirasi dan tidak ingin menyerah begitu saja terhadap mimpinya yang,
walaupun sederhana, ingin diwujudkannya. Dimulai sejak kecil, ia terpacu untuk
berprestasi ketika melihat Mbak Isa dan Mbak Inan yang selalu mengikuti
perlombaan hingga ke tingkat nasional.
Dan, ketika musim
penerimaan rapor, kami terkejut, aku masuk ranking tiga besar. Aku bingung, aku
begitu bangga. Aku semakin mencintai buku-buku pelajaranku.
Dengan kebanggaan
ini, aku terpacu untuk terus belajar.
(Setyawan, 2011:64)
Memasuki SMP, aku
merasa semakin dekat dengan ‘tantangan’ bahwa seorang laki-laki, apalagi anak
laki-laki satu-satunya, harus bisa mandiri dan kelak bisa membantu nafkah
keluarga.
(Setyawan,
2011:68)
Dengan segala
ketekunan, aku lalui masa SMP dengan gemilang. Aku selalu berada di ranking
teratas di sekolah. Prestasiku dan kakak-kakakku, menjadikan rumah mungil kami
‘terangkat’.
(Setyawan, 2011:72)
Iwan sadar, jika ia ingin mimpinya
terwujud, ia harus mulai berusaha dari dirinya sendiri. Keterbatasan kemampuan ekonomi keluarganya adalah hal pertama
yang harus ia atasi bersama kakak-kakaknya sebelum maju ke langkah berikutnya.
Aku begitu mengerti
kemampuan orangtuaku dan aku tak bisa menunggu keajaiban untuk mengubah ini. Aku
harus bekerja, sekarang. Dengan reputasiku sebagai siswa berprestasi, aku
menerima tawaran untuk memberikan les privat, seperti yang dilakukan kakakku.
(Setyawan, 2011:84)
Iwan pun
berkeinginan untuk melanjutkan kuliah. Dengan dukungan keluarga dan
teman-teman, Iwan berhasil lolos PMDK IPB dengan Jurusan Statistika, jurusan
yang pada saat itu sulit dimasuki. Namun, sekali lagi masalah yang sama menerpa
keluarga Iwan, biaya kuliah. Bapak pun menjual angkotnya dan Mbak Inan akan
membantu dengan segala cara.
Pada waktu yang
sama kami semua prihatin dan khawatir tentang biaya hidup dan biaya kuliahku di
Bogor. Kakakku Isa akan berjuang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hariku di
sana, sementara orangtuaku akan mengusahakan uang kuliah dan buku-buku, entah
dengan cara apa.
(Setyawan,
2011:86)
Meskipun rindu mendera Iwan saat kuliah
di Bogor, jauh dari rumah di Batu dan keinginan untuk pulang terus ada. Ibu
selalu mengingatkan Iwan agar tidak menyerah. Iwan juga menyadari, bahwa
perjuangan Bapak Ibu untuk menyekolahkannya hingga ke IPB tidaklah mudah.
Aku pernah bilang
kepada Ibu, jika aku gagal di sini, aku akan menabung dan mengembalikan semua
uang biaya kuliah. ‘Coba
dulu, belajar yang rajin, jangan takut’
(Setyawan,
2011:103)
Perjuangan Bapak,
Ibu, dan saudara-saudaraku adalah kerja raksasa menembus gelombang besar. Aku
tak boleh gagal. Aku tak boleh pulang kembali ke rumah kecilku sebelum membawa
lukisan indah ke dalamnya.
(Setyawan,
2011:99-100)
Akhirnya setelah tahun pertama di IPB
dilalui, Iwan berhasil meraih nilai yang cukup bagus dan kembali ke rumah,
disambut hangat oleh keluarganya.
Dengan kerja keras, di tengah-tengah
kerinduan yang luar biasa akan rumah kecilku, aku berhasil menyelesaikan TPB
dengan IP yang memuaskan. 3,3!
(Setyawan,
2011:104)
Orang-orang
memelukku, menciumku lewat tatapan matanya. Ibu
memasak daging empal favoritku. Aku kembali ‘terlindungi’.
(Setyawan,
2011:104)
Memasuki tahun kedua di IPB, keadaan
semakin sulit. Bapak pun bekerja lebih malam sebagai sopir angkot, Mbak Isa menambah jumlah murid les privatnya,
bahkan Ibu juga bekerja kecil-kecilan. Tapi semua belum cukup. Bapak terpaksa
meminjam uang kepada Lek Tukeri untuk membayar biaya kuliah Iwan. Suatu hari,
Iwan mengungkapkan kekecewaannya.
“Buk, aku kesel, mlarat terus”—Ibu, aku
capek, miskin terus.
(Setyawan,
2011:115)
Iwan pun pergi ke
rumah Lek Tukeri di Pulomas, Jakarta untuk meminjam uang. Setiap 6 bulan sekali
atau setahun sekali, Lek Tukeri meminjamkan 3 juta kepadanya untuk biaya kuliah
dan kosnya. Setiap kali melewati Jalan Sudirman dan para pekerja profesional di
sana, membuat Iwan bermimpi untuk dapat bekerja di salah satu gedung
perkantoran yang megah di sana.
Aku pun
memberanikan diri bermimpi. Aku ingin menjadi bagian dari gambar itu, aku ingin
menjadi salah satu profesional muda, di Jalan Sudirman, Jakarta.
(Setyawan,
2011:134)
Tibalah upacara
wisuda bagi Iwan. Iwan sendiri tak menyangka bahwa ia termasuk salah satu
wisudawan terbaik, dengan IPK 3,52. Seluruh keluarganya terkejut dan senang.
Iwan pun bangga akan prestasinya. Inilah salah satu ‘lukisan’ yang dapat
diberikannya kepada keluarganya.
Ibu, Bapak, Mbak
Isa, Mbak Inan, Rini, dan Denok, terima kasih untuk cinta yang mengalir bagai
gelombang-gelombang tanpa henti.
(Setyawan,
2011:149)
Segera, setelah
tamat, keinginan Iwan pun terwujud, bekerja di salah satu gedung perkantoran di
Jalan Sudirman, Jakarta. Ia diterima di Nielsen Jakarta sebagai data processing executive.
Pada suatu pagi,
aku mendapatkan pesan dari bapak kos, ada telepon dari Nielsen Jakarta untuk
wawancara kerja. Berita yang sangat menggembirakan meskipun hanya panggilan
wawancara. Aku berdoa. Aku menyuruh saudara-saudaraku berdoa. Semuanya,
termasuk sahabatku, Daus.
(Setyawan, 2011:152)
Kisah cinta Iwan
sendiri tidak berakhir dengan baik. Pertama dengan Audrey, seorang Amerika, berpisah
karena perbedaan agama, dan dengan Kalista, orang Indonesia, yang tidak jelas
status hubungannya.
“I know it’s not a problem for both of
us to have different religion,’ katanya di sepanjang perjalanan pulang dari
kelas yoga. Ada kegelisahan yang dalam di wajahnya. “My parents has been asking
me,” lanjutnya.
“I can totally
understand them,” kataku singkat, tak mampu melanjutkan perbincangan.
(Setyawan,
2011:82)
Tak ada I love you. Tak ada good bye. Hanya ada I will miss you.
Kalista pulang ke Jakarta.
(Setyawan,
2011:162)
But long distance relationship is never
easy. Love is never easy, here in New York City.
(Setyawan,
2011:163)
Kegembiraan pertama bagi Iwan adalah
menerima gaji pertamanya dan mentransferkan sebagian gajinya ke Batu untuk
ibunya. Itu adalah salah satu momen yang membahagiakannya, ketika akhirnya ia
bisa mentransfer gajinya yang tak banyak untuk Ibunya.
Malam itu, setelah mendapat gaji
pertama, aku langsung menelepon Ibu, “Ibu, wis tak transfer yo, gak akeh sik.
Ibu, sudah aku transfer, tapi nggak banyak.”
(Setyawan, 2011:171)
Dengan kerja keras dan keinginan Iwan
untuk tidak menjadi pegawai biasa di kantornya, ia bekerja hingga lembur,
menyelesaikan proyek-proyek yang diberikan kantor sebelum waktunya, ia
memperoleh penghargaan dari kantornya yang sangat jarang diterima oleh
seseorang dari Indonesia. Ia
juga ingin melakukan perubahan sehingga ia berhenti dari kantor Nielsen dan pindah
ke Danareksa. Namun, ia dipanggil oleh Nielsen New York untuk bekerja di sana
setahun setelah ia pindah ke Danareksa. Iwan bingung, apakah ia harus lanjut di
Danareksa, atau mengambil kesempatan pindah ke New York. Namun, ia tak ingin
menyia-nyiakan kesempatan, ia ingin pindah ke New York yang dipenuhi hobinya,
puisi dan opera. Dengan nasihat Ibu, ia yakin keputusannya tepat.
“Buk, percaya nggak? Aku ditawari kerja di Amerika, di New York!”
Ibu sempat terdiam
beberapa saat. “Kamu sudah yakin? Kan baru beberapa bulan saja di Danareksa.”
(Setyawan, 2011:190)
Dengan nasihatnya
yang sederhana, Ibu tidak menanyakan berapa besar gaji, atau kapan aku pindah
ke New York. “Kamu pikir dulu, kamu kan yang tahu apa yang terbaik untuk hidup
kami. Ibu hanya berdoa
untuk yang terbaik.”
(Setyawan,
2011:190)
Opera! Itulah yang
pertama kali aku pikirkan ketika menginjakkan kaki ke New York! Panggung besar,
suara besar. Bahkan, jika aku hanya diberi waktu sehari saja di New York,
cukuplah bagiku untuk meluangkan dua-tiga jam melihat opera dan pulang.
(Setyawan,
2011:187)
Kegelisahan Iwan terhadap dirinya
sendiri, ketidakpercayaan akan apa yang sudah ia raih digambarkan si penulis
lewat curahan hati Iwan.
Tak mudah bagi anak seorang sopir angkot
untuk masuk ke dalam kelas sosial yang lebih tinggi, jauh lebih tinggi.
(Setyawan,
2011:106)
Do I deserve this? Uang sebanyak ini
akan menjadi sangat berharga di Batu. Gosh.
“I think you deserve this vacation,”
celetuknya seakan membaca pikiranku.
(Setyawan, 2011:144)
Setelah 9 tahun bekerja di New York,
Iwan merasa tak betah. Ia ingin berhenti, namun atasannya mengatakan bahwa ia
hanya mengalami tekanan dalam pekerjaan dan home
sick. Namun, Iwan yakin, bahwa keputusannya untuk mundur dari pekerjaannya
dan kembali ke tanah air adalah benar.
New York City, Januari 2009. Dengan
pertimbangan yang berat, dengan kerinduan akan rumah kecilku yang selalu muntah
dalam setiap langkah melalui jalanan di New York, dengan keberanian yang luar
biasa, aku memutuskan untuk berhenti dari Nielsen.
“I think this is an emotional decision.
Please think about it for a week or two,” kata VP[10]
Nielsen Consumer Research NY saat itu. “Why don’t you take a break for a couple
weeks go home and spend time with loved ones?”
(Setyawan, 2011:195)
Dua bulan setelah aku mengirimkan
farewell e-mail, aku meninggalkan New York.
(Setyawan, 2011:208)
Kisah Iwan pun ditutup pada bab 36,
kenangan Iwan saat kecil dimana Bapak yang sudah capek dan emosi memarahi Ibu.
Dalam hati, Iwan berjanji untuk membahagiakan Ibu, menghapus air mata Ibu.
Melihat airmata Ibu jatuh saat itu, I
told myself, I will not let this happen again. I want to make her a happy
mother, a very happy mother. I want to do something for my family. I love them
so much.
(Melihat airmata Ibu jatuh saat itu, aku mengatakan pada diriku sendiri, aku
tidak akan membiarkan hal ini terjadi kembali. Aku akan menjadikannya seorang ibu yang bahagia, yang
paling bahagia. Aku akan melakukan sesuatu untuk keluargaku. Aku mencintai
mereka.)
(Setyawan,
2011:210)
Terdapat pesan dari penulis di dalam pembatas buku ini.
“Impian harus menyala dengan apapun yang kita
miliki. Meskipun yang kita miliki tidak sempurna. Meskipun itu retak-retak.”[11]
(Setiawan, 2011)
3.2.3
Simpulan
Iwan
Setyawan menggunakan tokoh anak kecil sebagai lawan bicaranya untuk membentuk
dialog di dalam novel ini sehingga ia dapat bercerita mengenai masa lalu tanpa
khawatir akan adanya kejanggalan. Tokoh
anak kecil yang misterius ini sebenarnya gambaran tokoh Iwan di masa kecilnya
dengan mengenakan seragam SD.
Berbekal ingatan masa lalu, Iwan bercerita di dalam buku
ini mengenai perjuangan seorang anak dari keluarga kurang mampu yang berusaha
keras untuk mencapai cita-citanya yang sederhana, yaitu memiliki sebuah kamar
untuk dirinya sendiri. Ia terus berdoa dan didukung oleh keluarganya, berani
melangkah keluar dari ‘zona nyaman’, melihat dunia dan berani bermimpi mengenai
hal yang lebih besar dari sekedar memiliki sebuah kamar.
Mimpi itu tidak hanya muncul dalam tidur, tetapi dapat
menjadi nyata jika kita terus berusaha, tabah, rajin berdoa, dan juga dukungan
dari keluarga dan lingkungan sekitar. Banyak belajar dan tidak tertutup juga
salah satu kunci dari kesuksesan Iwan dalam menjalani hidup yang penuh
tantangan.
IV.
Penutup
4.1
Kelebihan
Pertama kali yang
menjadi kelebihan dari novel ini adalah cover
dan sinopsis bagian belakang buku ini. Penampilan cover yang sederhana dan sub judul “Kisah anak sopir angkot dari
Kota Batu yang menjadi direktur di New York City” membuat orang penasaran ingin
membacanya.
Di bagian dalam novel, saya terkesan
dengan kemampuan mengolah percakapan yang dilakukan si penulis, Iwan Setyawan. Iwan
begitu cerdik karena membuat tokoh khayalan, yaitu anak kecil berseragam merah
putih sebagai lawan bicaranya untuk membuat dialog agar cerita tidak terasa
monoton dan bisa langsung tersambung ke bagian masa lalu yang ingin ia
ceritakan.
Pilihan kata yang
apik juga membuat saya terbuai dengan novel ini sehingga saya ingin mengetahui
ada apa di cerita selanjutnya. Penyisipan quote-quote
dari buku favorit si penulis sendiri juga menarik. Banyak quote-quote bagus yang menginspirasi
saya. Isi novel ini juga menginspirasi saya untuk mempunyai sebuah cita-cita
walaupun kecil, yaitu memiliki sebuah kamar untuk diri sendiri.
Di dalam novel ini
juga terdapat banyak pesan tersirat bahwa keluargalah yang akan selalu
mendukung apapun keputusan kita dalam keadaan sesulit apapun. Bahwa bersama
keluarga, kita bisa mengarungi samudera seluas apapun, seperti yang dilakukan
Iwan yang ditawari bekerja di luar negeri dan karena dukungan dari keluarganya,
ia berani menerima tantangan itu dan menjadi sukses karenanya.
4.2 Kekurangan
Penggunaan bahasa asing seperti bahasa
Inggris yang tidak disisipi terjemahan Bahasa Indonesianya membuat pembaca yang
kurang mengerti bahasa Inggris menjadi bingung. Alur yang digunakan, yaitu alur
maju mundur yang diaplikasikan di setiap bab membuat pembaca menjadi cepat
bosan.
Sepertinya, pada buku ini, penulis
menceritakan tentang kisah hidupnya dari kecil yang hidup miskin hingga menjadi
seorang dewasa yang sukses yang terasa hambar dan mirip dengan kisah-kisah pada
novel Negeri 5 Menara karya A. Fuadi
dan Laskar Pelangi karya Andrea
Hirata. Perlunya penyisipan hal-hal dramatis untuk membuat pembaca “berselera”,
tetapi hanya disuguhkan pada bagian bab pertama saja, sisanya monoton dengan
alur maju mundur untuk membuat pembaca tidak merasa bosan.
Mudah ditebak mau
dibawa kemana ceritanya. Dari awal bercerita tentang dirinya, Bapak, Ibu,
saudari-saudarinya, dan tentunya ini seperti biografi singkat Iwan Setyawan
dalam bentuk fiksi. Serta, kita dibuat berekspektasi bahwa buku ini dapat
memompa semangat seorang anak dari keluarga kurang mampu untuk mengejar
cita-citanya, namun, justru buku ini hanya menceritakan pengalaman hidup Iwan,
si penulis, dari kecil hingga ia mendapatkan posisi sebagai Direktur Internal Client Management di Nielsen
Consumer Research, New York.
REFERENSI
Setyawan, Iwan. 2011. 9 Summers 10
Autumns: Dari Kota Apel ke The Big Apple. Jakarta: Gramedia.
http://kamusbahasaindonesia.org/ diakses
tanggal 1 November 2011, pukul 17.00 WIB
http://kamusbahasaindonesia.org/gigih#ixzz1fIEk7vl0
diakses pada tanggal 1 Desember 2011 pukul 21.27 WIB
http://en.wikipedia.org/wiki/SoHo
diakses pada tanggal 2 Desember 2011 pukul 12.45 WIB
http://id.wikipedia.org/wiki/Times_Square
diakses pada tanggal 2 Desember 2011 pukul 13.02 WIB
http://www.goodreads.com/topic/show/470769-anggota-baru-buku-baru-9-summers-and-10-autumns
diakses pada tanggal 2 Desember 2011 pukul 12.45 WIB
http://id.wikipedia.org/wiki/Cinta
diakses pada tanggal 1 November 2011, pukul 16.43 WIB
http://id.wikipedia.org/wiki/Cinta#Terminologi
diakses pada tanggal 2 Desember 2011, pukul 19.52 WIB
http://id.wikipedia.org/wiki/Cinta#Etimologi
diakses pada tanggal 2 Desember 2011, pukul 19.57 WIB
http://id.wikipedia.org/wiki/Cinta#Jenis-jenis_cinta
diakses pada tanggal 2 Desember 2011, pukul 20.00 WIB
http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php
diakses pada tanggal 2 Desember 2011, pukul 20.42 WIB
http://id.wikipedia.org/wiki/Keluarga#Peranan_keluarga
diakses pada tanggal 2 Desember 2011, pukul 20.26 WIB
[1]
Nama persimpangan jalan utama di Manhattan, New York City. Persimpangan ini
ramai akan lampu neon dan papan iklan, pusat bisnis, dagang, seni, dan juga
terdapat kantor harian New York Times di tengahnya., bernama One Times Square.
[2] Mengacu pada South of
Houston street di Lower Manhattan, New York City. Daerah yang
terkenal akan seni dan bangunan arsitektur “besi tuang”, juga banyak butik
ternama dan toko-toko berantai internasional.
[3] http://www.goodreads.com/topic/show/470769-anggota-baru-buku-baru-9-summers-and-10-autumns
part 1 message 35 dan message 36 dari Iwan Setyawan, diakses pada tanggal 2
Desember 2011 pukul 12.45 WIB
[5] http://id.wikipedia.org/wiki/Cinta#Terminologi diakses pada tanggal
2 Desember 2011, pukul 19.52 WIB
[6] http://id.wikipedia.org/wiki/Cinta#Etimologi diakses pada tanggal
2 Desember 2011, pukul 19.57 WIB
[7] http://id.wikipedia.org/wiki/Cinta#Jenis-jenis_cinta diakses pada tanggal
2 Desember 2011, pukul 20.00 WIB
[8] http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php diakses pada tanggal
2 Desember 2011, pukul 20.42 WIB
[9] http://id.wikipedia.org/wiki/Keluarga#Peranan_keluarga diakses pada tanggal
2 Desember 2011, pukul 20.26 WIB
[10] VP=Vice President, wakil direktur.
[11] Terdapat pada pembatas buku 9
Summers 10 Autumns.
Sangat membantu sekali, untuk membuat tugas praktek resensi. lengkap.
BalasHapus