PENGARUH HEGEMONI KEKUASAAN DAN LAKI-LAKI TERHADAP PEREMPUAN DALAM ANTOLOGI PUISI 22 PEREMPUAN INDONESIA: `HATI PEREMPUAN` (SUATU TINJAUAN KRITIK SASTRA FEMINIS)
`
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah
Puisi merupakan
karya sastra yang memiliki karakter sangat unik. Seperti dikatakan
oleh Edwin Arlington Robinson (Cole, 1931: 25) ”Poetry has two outstanding
characteristics. One is that it is, after all, undefineable, the other is that
it is eventually unmistakable”. Puisi dikatakan memiliki karakter
yang tidak dapat didefinisi atau justru ketika didefinisi maka
pemaknaan ini tidak ada yang salah. Dengan melihat dua karakter
tersebut, puisi memberi ruang interpretasi yang lebih
luas. Puisi yang tercipta dalam untaian kata yang indah dapat dikatakan multi-interpretable.
Puisi
selalu berubah-ubah sesuai dengan evolusi selera dan perubahan konsep
estetiknya. Meskipun demikian, orang tidak akan dapat memahami puisi secara
sepenuhnya tanpa mengetahui dan menyadari bahwa puisi adalah karya estetis
yang bermakna atau berarti, dan bukan sesuatu yang kosong (Riffaterre dalam
Pradopo, 1991: 5). Analisis puisi dapat berkembang tidak hanya dalam kajian
strukturnya saja karena aspek pendukung seperti latar belakang terciptanya puisi
dapat menjadi faktor penting dalam analisis. Tidak dapat dipungkiri bahwa sebelum
masuk pada pengkajian aspek-aspek yang lain, puisi dikaji sebagai sebuah
struktur yang bermakna dan bernilai estetis (Pradopo, 1991: 5) .
Puisi merupakan hasil kreatifitas
manusia yang diwujudkan lewat susunan kata yang mempunyai makna. Puisi juga
tersusun atas unsur-unsur yang beraneka ragam. Unsur-unsur tersebut antara lain
berupa kata-kata, bentuk, pola rima, ritma, ide, makna atau masalah yang
diperoleh penyairnya di dalam hidup dan kehidupan yang hendak disampaikannya
kepada pembaca, pendengar, melalui teknik dan aspek–aspek tertentu. Unsur-unsur
yang membangun puisi meliputi imajinasi, emosi dan bentuknya yang khas (Brahim
dalam Sayuti, 1985: 14) .
William J. Grace dalam Sayuti (1985:
14) mengatakan bahwa watak puisi lebih mengutamakan intuisi, imajinasi dan
sintesa dibandingkan dengan prosa yang lebih mengutamakan pikiran, konstruksi
dan analisis. Pemaknaan puisi atau pemberian makna puisi ini berhubungan dengan
teori sastra masa kini yang lebih menekankan perhatian pada pembaca. Puisi adalah
artefak yang baru mempunyai makna apabila diberi makna oleh pembaca. Akan
tetapi pemberian makna tidak boleh asal-asalan tetapi berdasarkan atau dalam
kerangka semiotik (ilmu/sistem tanda), karena karya sastra merupakan sistem
tanda (Pradopo, 1991: 278).
Banyak antologi puisi karya penyair
wanita di Indonesia. Di antara karya-karya tersebut bahkan sudah ada yang
diakui dunia. Patut dicatat, dalam khazanah sastra Indonesia dapat dikatakan hanya ada
tiga penyair yang secara konsisten menyuarakan feminisme dalam sajak-sajak
mereka, yakni Toeti Herati (Mimpi dan Pretensi), Dorothea Rosa Herliany (Nikah
Ilalang, Kill The Radio/Sebuah Radio Kumatikan, Nyanyian Gaduh, Para Pembunuh
Waktu), dan Oka Rusmini (Patiwangi, Pandora).
Di sisi
lain demikian marak buku puisi karya penyair perempuan yang terbit dan berada
di berbagai daerah. Karya tersebut umumnya berupa antologi. Banyak juga
bermunculan karya bersama dua, beberapa, bahkan relatif banyak penyair wanita
dalam bentuk antologi. Buku tersebut antara lain Antologi Puisi Perempuan Penyair Indonesia 2005, karya Fathin Hamama,
Helvy Tiana Rosa,
Medy Loekito, dkk,
Dianing Widya Yudhistira, Penerbit Risalah Badai, Jakarta,
2005, Nyanyian
Pulau-pulau: Antologi Puisi Wanita Penulis Indonesia, Penerbit: Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta (2010); Antologi
Puisi 22 Perempuan Indonesia Hati
Perempuan, Penerbit Kosa
Kata Kita, Jakarta (2011), Di Antara Dua Dunia (2010); Puisi-puisi
Feminis “Seperti Pagi” karya R. Valentina Salah Bagala, Penerbit
Institut Perempuan, Jakarta (2010).
Antologi Puisi 22 Perempuan Indonesia Hati Perempuan adalah salah satuantologi
puisi karya perempuan-perempuan penyair
Indonesia yang isinmya antara lain mencerminkan kerangka berpikir para wanita
penyair itu tentang sikap dan pandangan pria terhadap wanita. Dalam antologi puisi ini, para penyair mengungkapkan
di antaranya gambaran bagaimana pandangan laki-laki terhadap sosok
wanita. Antologi puisi ini menarik untuk
dikaji karena sedikit kajian serupa dilakukan sebuah
antologi. Di sisi lain antologi ini berbagai kota di Indonesia, dari Pulau
Jawa, Bali, Kalimantan, dan Sumatera.
Banyak karakter puisi yang tercipta
dalam antologi ini. Secara tematis ada yang mengungkapkan perasaan cinta-kasih,
kehidupan, kebahagiaan, kesedihan, dan kematian. Wanita selalu menjadi yang
kedua. Wanita tidak pernah mendapat porsi untuk menjadi yang pertama. Sungguh
disayangkan, wanita menyadari dan menerima hal tersebut sebagai satu kewajaran.
Hal ini telah berlangsung dari dulu sampai sekarang yang bahkan telah dimulai
sejak abad sebelum masehi. Sistem budaya di belahan dunia manapun turut
melanggengkan sistem ini, stigma ini akhirnya diterima secara umum sebagai
kebenaran. Kesadaran semu yang ditanamkan terhadap otak wanita telah
mengaburkan makna yang sesungguhnya dari hakikat dari segi hegemoni kekuasaan
dan laki-lakidi tengah hadirannya di dunia. Karena itulah antologi puisi menarik untuk dikaji sebagai salah satu sisi perjuangan
feminisme.
1.2 Rumusan
Masalah
1.2.1 Bagaimanakah
pengaruh hegemoni kekuasaan terhadap kerangka berpikir perempuan yang terungkap
dalam Antologi Puisi 22 Perempuan
Indonesia: Hati Perempuan?
1.2.2 Bagaimanakah
pengaruh hegemoni laki-laki terhadap kerangka berpikir perempuan yang terungkap
dalam Antologi Puisi 22 Perempuan
Indonesia: Hati Perempuan?
1.3 Tujuan
Penelitian
Peneilitian
ini bertujuan:
1.3.1 Mendeskripsikan
pengaruh hegemoni kekuasaan terhadap kerangka berpikir perempuan dalam Antologi Puisi 22 Perempuan Indonesia: Hati
Perempuan.
1.3.2 Mendeskrisikan
bentuk-bentuk hegemoni laki-laki terhadap kerangka berpikir perempuan yang
terungkap dalam Antologi Puisi 22
Perempuan Indonesia: Hati Perempuan.
1.4 Manfaat
Penelitian
1.4.1 Teoretis
Akademis
Hasil
penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan dalam salah satu sumber informasi
dalam pengembangan teori sastra dalam kajian struktural genetik dan dapat
digunakan untuk menambah referensi pustaka ilmu terkait, di samping sebagai dasar
rujukan penelitian selanjutnya.
1.4.2 Praktis
Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan
oleh siswa, guru, maupun kalangan akademisi serta instansi terkait untuk
berbagai keperluan yang relevan.
II. KAJIAN PUSTAKA
2.1
Pengertian Teori Hegemoni
Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2001) hegemoni –n- berarti pengaruh kepemimpinan, dominasi,
kekuasan, dan sebagainya suatu negara atas negara lain atau negara bagian. Di
sisi lain dalam bukunya Prison Notebooks, Gramsci memakai berbagai istilah yang
menurutn ya ekuivalen dengan ideologi, seperti kebudayaan, filsafat, pandangan
dunia, atau konsepsi mengenai dunia. Demikian pula istilah ‘reformasi
moral dan intelektual` ketika Gramsci membicarakan transformasi kesadaran
sebagai prasyarat perbaikan menuju sosialisme. Sebagaimana halnya Marx, tetapi berbeda dengan kaum Marxis ortodoks,
Gramsci menganggap dunia gagasan, kebudayaan, superstruktur, bukan hanya
refleksi atau ekspresi dari struktur kelas ekonomi atau infrastruktur yang
bersifat material, melainkan sebagai salah satu kekuatan material itu sendiri.
Sebagai kekuatan material itu, dunia gagasan atau ideologi berfungsi
mengorganisasi massa manusia, menciptakan tanah lapang yang di atasnya menusia
bergerak.
Bagi Gramsci (Bennet, 1983), hubungan antara yang
ideal dengan yang material tidak berlangsung searah, melainkan bersifat
tergantung dan interaktif. Kekuatan material merupakan isi, sedangkan
ideologi-ideologi merupakan bentuknya. Kekuatan material tidak akan dapat
dipahami secara historis tanpa bentuk dan ideologi-ideologi akan menjadi
khayalan individu belaka tanpa kekuatan material. Dengan demikian, ideologi
bukanlah dunia khayalan atau fantasi milik perorangan, bukan pula sesuatu yang
bersifat di awang-awang dan berada di luar aktivitas manusia. Ideologi adalah suatu material yang terjelma dalam aturan dan cara-cara
hidup yang dilakukan oleh individu secara kolektif. Ideologi selalu memberikan
berbagai aturan bagi tindakan praktis perilaku manusia secara kolektif sehingga
menjelma dalam praktik-praktik sosial setiap orang dalam lembaga-lembaga dan
organisasi-organisasi di mana praktik sosial itu berlangsung.
Selain ideologi, konsep penting
yang dibicarakan Gramsci adalah hegemoni. Titik awal konsep Gramsci tentang
hegemoni, bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap
kelas-kelas di bawahnya dengan dua cara, yaitu kekerasan dan persuasi. Cara
kekerasan (represif) yang dilakukan kelas atas terhadap kelas bawah disebut
dengan tindakan dominasi, sedangkan cara persuasinya disebut dengan hegemoni.
Perantara tindak dominasi ini dilakukan oleh para aparatur negara seperti
polisi, tentara, dan hakim, sedangkan hegemoni dilakukan dalam bentuk
menanamkan ideologi untuk menguasai kelas atau lapisan masyarakat di bawahnya.
Secara literal hegemoni berarti
‘kepemimpinan’ yang pada jaman ini menunjukkan sebuah kepemimpinan dari suatu
negara tertentu yang bukan hanya sebuah negara kota terhadap negara-negara lain
yang berhubungan secara longgar maupun secara ketat terintegrasi dalam negara
‘pemimpin’. Bagi Gramsci, konsep hegemoni berarti sesuatu yang lebih kompleks.
Gramsci menggunakan konsep ini untuk meneliti bentuk-bentuk politis, kultural,
dan ideologis tertentu yang lewatnya, dalam suatu masyarakat yang ada, sesuatu
kelas fundamental dapat membangun kepemimpinannya sebagai sesuatu yang bersifat
memaksa.
Adapun hubungan dua jenis
kepemimpinan menurut Gramsci, kepemimpinan (direction)
dan dominasi (dominance) itu
menyiratkan tiga hal. Pertama, dominasi dijadikan atas seluruh musuh, dan
hegemoni dilakukan kepada segenap sekutu-sekutunya. Kedua, hegemoni adalah
suatu prakondisi untuk menaklukan aparatus negara atau dalam pengertian sempit
kekuasaan pemerintahan. Ketiga, sekali kekuasan negara dapat dicapai, dua aspek
supremasi kelas ini, baik pengarahan maupun dominasi, terus berlanjut.
Dengan demikian, konsep hegemoni
yang dikembangkan Gramsci berpijak mengenai kepemimpinan yang sifatnya
‘intelektual dan moral’. Kepemimpinan ini terjadi karena adanya kesetujuan yang
bersifat sukarela dari kelas bawah atau masyarakat terhadap kelas atas yang
memimpin. Kesetujuan kelas bawah ini terjadi karena berhasilnya kelas atas
dalam menanamkan ideologi kelompoknya. Internalisasi ideologis ini dilakukan
dengan membangun sistem dan lembaga-lembaga, seperti negara, commen sense,
kebudayaan, organisasi, pendidikan, dan seterusnya, yang dapat ‘menyemen’ atau
memperkokoh hegemoni tersebut. Di sisi lain, hegemoni terhadap
kelas bawah tidak selamanya berjalan mulus, hambatan, dan rintangan bisa saja
datang, terutama dari kelas-kelas yang tidak menerima hegemoni tersebut. Yang
dilakukan untuk menangani ketidaksetujuan itu dilakukan dengan tindakan
dominasi yang represif melalui aparatus negara, misalnya polisi. Dua
kepemimpinan, dominasi dan hegemoni menjadi hal penting dalam teori hegemoni
Gramscian.[1]
Sebagaimana teoritisi Marxian lainnya, Gramsci
mengakui adanya keteraturan sejarah tetapi tidak berjalan secara otomatis dan
bukan tak terelakkan. Perkembangan sejarah terjadi karena tumbuh kesadaran
massa terhadap situasi dan sistem yang dihadapi kemudian bergerak untuk
melakukan perubahan sosial. Faktor ekonomi mungkin menjadi salah satu penggerak
utama, namun bukan satu-satunya. Dalam hal ini yang diperlukan adalah revolusi
ideologi dimana didorong dan digerakkan oleh kelas intelektual yang sadar
karena massa tidak memiliki kesadaran diri. Meski demikian, dorongan dari elit
akan menjadi ide dan dasar bagi massa untuk melakukan revolusi sosial.
Gramsci pada dasarnya mempersoalkan ide kolektif
dan bukan struktur sosial. Dalam hal ini dia mengemukan kata kunci hegemoni,
yaitu sebuah sistem pemerintahan suatu negara yang didasarkan pada pembentukan
atau pembinaan konsensus melalui kepemimpinan budaya. Hegemoni itu sendiri ia
artikan sebagai praktik kepemimpinan budaya yang dilakukan oleh ruling class, yang menjadi isi dari
filsafat praksis. Perubahan tidak ditempuh melalui praktik koersif yang
menggunakan kekuasaan eksekutif dan legislative atau intervensi yang dilakukan
polisi melainkan menggunakan ideologi. Praktik hegemoni itu dilakukan secara
terus menerus terhadap kekuatan oposisi untuk mau memilih sikap konformistik,
sehingga menimbulkan disiplin diri untuk menyesuaikan dengan norma-norma yang
diputuskan oleh negara dengan keyakinan bahwa apa yang telah diputuskan negara
tersebut merupakan cara terbaik untuk meraih kesejahteraan.
Dalam menganalisa kapitalisme, Gramsci hendak
menunjukkan peran kaum intelektual yang bekerja atas nama kapitalisme dengan
menempuh kepemimpinan kultural dengan persetujuan massa. Massa tidak melahirkan
ideologinya sendiri, melainkan dibantu oleh elit (ruling class) yang disebutnya
sebagai kelas intelektual, baik itu intelektual hegemonic maupun counter
hegemonic. Kedua lapisan kelas intelektual tersebut bertugas untuk
mengorganisasi kesadaran maupun ketidaksadaran massa secara terus menerus.
Intelektual hegemonic bertanggung jawab untuk menjamin pandangan massa
konsisten dengan nilai-nilai kapitalisme yang telah diterima oleh semua lapisan
masyarakat. Sebaliknya, intelektual counter hegemonic bertugas memisahkan massa
dari kapitalisme dan membangun pandangan dunia sesuai dengan perpektif
sosialis. Massa dengan demikian tidak cukup dengan menguasai ekonomi maupun
aparatus negara, tetapi memerlukan penguasaan kepemimpinan cultural di tengah
massa. Di sinilah perlunya peran intelektual kolektif dan partai untuk
mentransformasikan massa pasif menjadi massa aktif dan memasukkannya ke dalam
program transformasi yang disusun oleh intelektual kolektif sebagai partai yang
beretika sosialis.
Konsepsi konsensus dalam kerangka hegemoni Gramsci
dikaitkan dengan ungkapan-ungkapan psikologis yang mencakup berbagai penerimaan
aturan sosio-politis maupun aturan lainnya. Tatanan hegemonic tidak perlu masuk
ke dalam lembaga-lembaga ataupun praktik liberal sebab hegemoni pada dasarnya
merupakan suatu totalitarianisme dalam arti ketat. Mekanisme kelembagaan
seperti sekolah, gereja, partai-partai politik, media massa dan sebagainya
merupakan ‘tangan-tangan’ kelompok yang berkuasa untuk menentukan ideologi yang
mendominasi. Bahasa menjadi sarana penting untuk melayani fungsi hegemonik
tertentu. Dalam konteks ini, tidak ada peluang dan ruang publik bagi agen
masyarakat untuk berbuat lain di luar kerangka ideologi kelompok hegemonik.[2]
Teori hegemoni merupakan sebuah teori
politik paling penting abad XX. Teori ini dikemukakan oleh Antonio Gramci
(1891-1937). Antonio Gramci dapat dipandang sebagai pemikir politik terpenting
setelah Marx. Gagasanya yang cemerlang tentang hegemoni, yang banyak
dipengeruhi oleh filsafat hukum Hegel, dianggap merupakan landasan paradigma
alternatif terhadap teori Marxis tradisional mengenai paradigma base-superstructure
(basis-suprastruktur). Teori-teorinya muncul sebagai kritik dan alternatif bagi
pendekatan dan teori perubahan sosial sebelumnya yang didominasi oleh determinisme
kelas dan ekonomi Marxisme tradisional.
Teori hegemoni sebenarnya bukanlah hal
yang baru bagi tradisi Marxis. Menurut
Femia pengertian semacam itu sudah dikenal oleh orang
Marxis lain sebelum Gramci, seperti; Karl Marx, Sigmund Freud, Sigmund Simmel.
Yang membedakan teori hegemoni Gramci dengan penggunaan istilah serupa itu
sebelumnya adalah; Pertama, ia menerapkan konsep itu lebih luas bagi supremasi
satu kelompok atau lebih atas lainnya dalam setiap hubungan sosial, sedangkan
pemekaian iistilah itu sebelumnya hanya menunjuk pada relasi antara proletariat
dan kelompok lainnya. Kedua, Gramci juga mengkarakterisasikan hegemoni dalam
istilah “pengaruh kultural”, tidak hanya “kepemimpinan politik dalam sebuah
sistem aliansi” sebagaimana dipahami generasi
Marxis terdahulu (Femia, 1983).
Teori hegemoni dari Gramci yang
sebenarnya merupakan hasil pemikiran Gramci
ketika dipenjara yang akhirnya dibukukan dengan judul
“Selection from The Prissons Notebook” yang banyak dijadikan acuan atau
diperbandingkan khususnya dalam mengkritik pembangunan. Dalam perkembangan
selanjutnya teori hegemoni ini dikritisi oleh kelompok yang dikenal dengan nama
“New Gramcian”. \
Teori hegemoni dibangun di atas premis
pentingnya ide dan tidak mencukupinya kekuatan fisik belaka dalam kontrol
sosial politik. Menurut Gramci, agar yang dikuasai mematuhi penguasa, yang
dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai
serta norma penguasa, lebih dari itu mereka juga harus memberi persetujuan atas
subordinasi mereka. Inilah yang dimaksud Gramci dengan “hegemoni” atau menguasai
dengan “kepemimpinan moraldan intelektual” secara konsensual. Dalam konteks
ini, Gramci secara berlawanan mendudukan hegemoni, sebagai satu bentuk supermasi
satu kelompok atau beberapa kelompok atas yang lainnya, dengan bentuk supermasi
lain yang ia namakan “dominasi” yaitu kekuasaan yang ditopang oleh kekuatan
fisik (Sugiono, 1999:31).
Melalui konsep hegemoni, Gramsci
beragumentasi bahwa kekuasaan agar dapat
abadi dan langgeng membutuhkan paling tidak dua perangkat
kerja. Pertama, adalah
perangkat kerja yang mampu melakukan tindak kekerasan
yang bersifat memaksa atau dengan kata lain kekuasaan membutuhkan perangkat
kerja yang bernuansa law enforcemant. Perangkat kerja yang
pertama ini biasanya dilakukan oleh pranata negara
(state) melalui lembaga-lembaga seperti hukum, militer,
polisi dan bahkan penjara. Kedua, adalah perangkat kerja yang mampu
membujuk masyarakat beserta pranata-pranata untuk taat pada mereka yang
berkuasa melalui kehidupan beragama, pendidikan, kesenian dan bahkan juga
keluarga (Heryanto, 1997).
Perangkat karja ini biasanya dilakukan
oleh pranata masyarakat sipil (civil society) melailui lembaga-lembaga masyarakat
seperti LSM, organisasi sosial dan keagamaan, paguyuban-paguyuban dan kelompok-kelompok
kepentingan (interest groups). Kedua level ini pada satu sisi berkaitan
dengan fungsi hegemoni dimana kelompok dominan menangani keseluruhan masyarakat
dan disisi lain berkaitan dengan dominasi langsung atau perintah yang dilaksanakan
diseluruh negara dan pemerintahan yuridis (Gramsci, 1971).[3]
Pembedaan yang dibuat Gramsci antara
“masyarakat sipil” dan “masyarakat politik”, sesungguhnya tidak jelas terlihat,
pembedaan itu dibuat hanya untuk kepentingan analisis semata. Kedua
suprastruktur itu, pada kenyataannya, sangat diperlukan, satu sama lainnya
tidak bisa dipisahkan. Bahwa kedua level itu sangat diperlukan bisa dilihat
dengan gamblang dalam konsepsi Gramsci tentang negara yang lebih luas, tatkala ia tunjuk sebagai “negara integral”
meliputi tidak hanya masyarakat sipil tetapi juga msyarakat politik yang didefinisikan
negara = masyarakat politik + masyarakat sipil, dengan kata lainhegemoni dilindungi
oleh baju besi koersi (Gramsci, 1971). Gramsci juga mengkarakterisasikan apa yang
dimaksud dengan negara integral
sebagai sebuah kombinasi kompleks antara “kediktatoran
dan hegemoni” atau seluruh kompleks aktivitas praktis dan teoritis dimana kelas
berkuasa tidak hanya menjustifikasi dan menjaga dominannya, tetapi juga berupaya memenangkan
persetujuan aktif darimereka yang dikuasai”. Jadi negara adalah aparatus
koersif pemerintah sekaligus aparatus hegemonik institusi swadta.
Definisi ini memungkinkan Gramsci untuk
menghidarkan diri dari pandangan instrumentalis tentang negara memandang negara
sebagai sistem politik pemerintah belaka dalam teori politik liberal atau teori
lainnya seperti institusi koersif kelas berkuasa dalam teori politik Marxis
klasik. Kelebihan konsepsi Gramsci tentang negara integral adalah karena
konsepsi itu memungkinkan dirinya memandang hegemoni dalam batasan dialektik
yang meliputi masyarakat sipil atau masyarakat politik.
Lebih jauh dikatakan Gramsci bahwa bila
kekuasaan hanya dicapai dengan mengandalkan kekuasaan memaksa, hasil nyata yang
berhasildicapai dinamakan “dominasi”. Stabilitas dan keamanan memang tercapai,
sementara gejolak perlawanan tidak terlihat karena rakyat memang tidak berdaya.
Namun hal ini tidak dapat berlangsung secara terus menerus, sehingga para
penguasa yang benar-benar sangat ingin melestarikan kekuasaannya dengan menyadari keadaan ini
akan melengkapi dominasi (bahkan secara perlahan-lahan kalau perlu
menggantikannya) dengan perangkat kerja yang kedua, yang hasil akhirnya lebih dikenal dengan
sebutan “hegemoni”. Dengandemikian supermasi kelompok (penguasa) atau kelas sosial
tampil dalam dua cara yaitu dominasi atau penindasan dan kepemimpinan intelektual dan
moral. Tipe kepemimpinan yang terakhir inilah yang merupakan hegemoni
Dengan demikian kekuasaan hegemoni
lebih merupakan kekuasaan melalui persetujuan (konsensus),
yang mencakup beberapa jenis penerimaan intelektual atau emosional atas tatanan
sosial politik yang ada. Hegemoni adalah sebuah rantai kemenangan yang didapat
melalui mekanisme konsensus (consenso) dari pada melalui penindasan
terhadap kelas sosial lain. Ada berbagai cara yang dipakai, misalnya
melaluiyang ada di masyarakat yang menentukan secara langsung atau tidak
langsung struktur-struktur kognitif dari masyarakat iu. Itulah sebabnya
hegemoni pada hakekatnya adalah upaya untuk menggiring orang agar menilai dan
memandang problematika sosial dalam kerangka yang ditentukan (Gramsci, 1976:244).
Dalam konteks tersebut, Gramsci lebih menekankan pada aspek kultural (ideologis).
Melalui produk-produknya, hegemoni menjadi satu-satunya penentu dari sesuatu
yang dipandang benar baik secara moral maupun intelektual.
Hegemoni kultural tidak hanya terjadi
dalam relasi antar negara tetapi dapat juga terjadi dalam hubungan antarberbagai
kelas sosial yang ada dalam suatu negara. Ada tiga tingkatan yang dikemukakan
oleh Gramsci, yaitu hegemoni total
(integral), hegemini yang merosot (decadent) dan hegemino yang
minimum (Femia, 1981). Dalam konteks ini dapat dirumuskan bahwa konsep hegemoni
merujuk pada pengertian tentang situasi sosial politik. Dalam terminologinya
“momen” filsafat dan praktek sosial masyarakat menyatu dalam keadaan seimbang,
dominasi merupakan lembaga dan manifestasi perorangan. Pengaruh “roh” ini
membentuk moralitas, adat, religi, prinsip-prinsip politik, dan semua relasi
sosial, terutama dari intelektual dan halhal yang menunjuk pada moral.
Konsep hegemoni terkait dengan tiga
bidang, yaitu ekonomi (economic),
negara
(state), dan
rakyat (civil society). Ruang ekonomi
menjadi fundamental. Namun, dunia politik yang menjadi arena dari hegemoni,
juga menampilkan momenperkembangan tertinggi dari sejarah sebuah kelas. Dalam
hal ini, pencapaian kekuasaan negara, konsekwensi yang dibawanya bagi
kemungkinan perluasan dan pengembanganpenuh dari hegemoni iitu telah muncul
secara parsial, memiliki sebuah signifikasi n yangkhusus. Negara dengan segala
aspeknya, yang diperluas mencakup wilayah hegemoni,memberikan kepada kelas yang
mendirikannya baik prestise maupun tampilan kesatuasejarah kelas penguasa dalam
bentuk konkret, yang dihasilkan dari hubungan organik antara negara atau
masyarakat politik dan civil society.
Pendek kata, hegemoni satu kelompok
atas kelompok-kelompok lainnya dalam pengertian Gramscian bukanlah sesuatu yang dipaksakan.
Hegemoni itu harus diraih melalui upaya-upaya politis, kultural dan intelektual
guna menciptakan pandangan dunia bersama bagi seluruh masyarakat. Teori politik Gramsci
penjelasan bagaimana ide-ide atau ideologi menjadi sebuah instrumen dominasi yang
memberikan pada kelompok penguasa legitimasi untuk berkuasa.
2.2
Bentuk-bentuk
Hegemoni
2.3
Hegemoni
Laki-laki terhjadap Perempuan
2.4
Sejarah Teori
Strukturalisme Genetik.
Orang yang dianggap sebagai peletak dasar madzhab genetik adalah Hippolyte
Taine (1766-1817) seorang kritikus dan sejarawan Francis. Ia mencoba menelaah
sastra dari presfektif sosiologis dan mencoba mengebangkan wawasan sepenuhnya
ilmiah dalam pendekatan sastra seperti halnya ilmu scientific dan exacta.
Menurutnya bahwa satra tidak hanya karya yang bersifat imajinatif dan pribadi
melainkan suatu perwujudan pikiran tertentu pada saat karya itu lahir. Ini
merupakan konsep ginetik pertama tetapi metode yang digunakan berbeda, setiap
tokoh mempunyai metodenya masing-masing. Tetapi kesamaan konsep setruktur hanya
pada konteks hubungan phenomena konsep. Lucien Goldman (1975) seorang Marksis
adalah orang yang kemudian mengembangkan fenomena hubungan tersebut dengan
teorinya yang dikenal dengan strukturalisme genetik. Pada prinsifnya teori ini
melengkapi sutrukturaisme murni yang yang hanya menganalisis karya sastra dari
aspek intristiknya saja dan memakai peranan bahasa sastra sebagai bahasa yang
khas. Strukturaisme genetik memasukan faktor genetik dalam karya sastra,
genetik sastra artinya asal usul karya sastra. Adapun faktor yang terkait dalam
asal muasal karya sastra adalah pengarang dan kenyataan sejarah yang turut
mengkondisikan saat karya sastra iu diciptakan. Ditambah lagi ia memasuki
struktur sosial dalam kajiaannya yang membuat teori ini dominan pada priode
tertentu terutama di Barat dan Indonesia.
Pendekatan strukturalisme genetik ialah pendekatan yang mempercayai bahwa
karya sastra itu merupakan sebuah struktur yang terdiri dari perangkan kategori
yang saling berkaitan satu sama lainnya sehingga membentuk yang namanya
struktularisme geneti kategori tersebut ialah fakta kemanusiaan yang berarti
struktur yang bermakna dari segala aktifitas atau prilaku manusia baik yang
verbal maupun maupun fisik yang berusaha di pahami oleh pengetahuaan. Semua
aktivitas itu merupakan respon dari subjek kolektif (subjek trans individual)
dalam dunia sastra transindividual subjek yang artinya terjadi kesamaan rasa
dan pikiran antara pengarang (penulis) karya sastra dengan para pembaca dalam
memahami karya sastra atau fakta manusia tadi, terus pandangan dunia terhadap
subjek kolektif (Trans individual Subject) fakta kemanusiaan dan terakhir
adalah struktur karya sastra menurut Goldman karya sastra merupakan produk
strukturasi dari transindividual subject yang mempunyai struktur yang koheren
dan terpadu terus karya sastra merupakan ekspresi pandangan dunia secara
imajiner dan dalam mengekspresikan pandangan dunia tersebut pengarang
menciptakan semesta tokoh-tokoh, objek-objek dan relasi relasi secara imajiner
dalam pendapat tersebut golman mempunyai konsep struktur yang bersifat tematik.
Yang menjadi pusat perhatiaannya ialah relasi antara tokoh dengan tokoh dan
tokoh dengan obyek yang ada disekitarnya.
Teori strukturalisme genetik ialah sebuah teori yang menjelaskan struktur
dan asal muasal struktur tersebut dengan memperhatikan relevansi konsep
homologi, kelas sosial yang dimaksud Goldman adalah kelas yang mempertahankan
relevansi struktur dan ia menggunakan metode dialektika yang menekankan dan
merpertimbangkan koherensi struktural yang berbeda jauh dengan Marxisme yang
menapikan struktur dan metodenya menggunakan positivistik yang mengingkari
relevansi dan koherensi struktur, subjek transindividual ini berarti sebagai
subjek dalam menciptakan karya sastra yakni penulis harus bisa menyampaikan
perasaan dan pikiranya kepada pembaca dalam novel misalnya supaya pembaca bisa
memahami dan mengerti apa yang disampaikan penulis dan terjadi sama rasa dan
pikiran dalam memahami karya sastra atau novel tadi dan pandangan dunia
pengarang terhadap subjek kolektif (transindividual subject) dan fakta manusia.
Menurut Goldman ada 3 tahap dalam melakukan penelitiaan sastra menggunakan
teori strukturalisme genetik, yakni;
1)
Tesis merupakan
informasi apa yang di perlukan berupa data.
2)
Antitesis
merupakan pemberian opini terhadap realitas, anti tesis ini melebur
dengandengan tesis dan memeberikan suatu opini pada relitas/sintesis.
Dan terus strukturasi tersebut
berputar, berkaitan, saling mengisi dan berkoherensi sehingga teori ini terus
berkembang juga dianggap teori yang berhasil memicu kegairahan analisis
penelitiaan sastra pada khususnya dan pada umumnya penelitiaan meneliti aspek
pengetahuaan lain yang lebih komplit dibandingkan dengan teori structural yang
lainnya.
Prosedur (metode) teori strukturalisme
genetik terhadap penelitian karya yang agung (master piece) menurut goldman
sebagai berikut: 1) Penelitiaan karya sastra dilihat dari satu kesatuaan; 2) Karya
sastra yang dianalisis hanyalah karya yang mempunyai nilai sastra yang
mempunyai tegangan (tention) antara keragaman dan kesatuaan dalam sesuatu
keseluruhan yang padat (a coherent whole); 3) Jika kesatuaan telah ditemukan,
kemudiaan dianalisis hubungannya dengan latarbelakang social. Sifat hubungan
tersebut, a) yang berhubungan dengan latarbelkang social adalah unsure
kesatuaan, b) latar belakang yang dimaksud pandangan dunia suatu kelompok
social, yng dilahirkan oleh pengarang sehingga hal tersebut dapat di
kongkretkan.
Kelebihan teori strukturaisme genetik.kalau
dibandingkan dengan strukturalisme murni dan dinamik, strukturalisme ginetik
mempunyai keungulan yang dominan ketimbang kedua teori structural tersebut
sejajar denggan strukturalisme dinamik, strukturalisme ginetik dikembangkan
atas dasar penolakan terhadap analisis strukturalisme murni yang menganalisis
karya sastra terhadap struktur intristik saja. Baik strukturalisme genetik
maupun dinamik menolak peranan bahasa sastra sebagai bahasayang khas, bahasa
sastra. Perbedaannya strukturalisme dinamik terbatas dalam melibatkan peranan
penulis dan pembaca dalam rangka komunikasi sastra, strukturalisme genetik
melangkah lebih jauh ke struktur social dan karya sastar dapat dipahami dari
asalnya dan terjadinya (unsure genetik) dan latarbelakang social tertentu.
Kekurangannya mungkin konsep
strukturalisme dalam perkembangannya seperti yang disebut Raymond Boudond
(1976) adalah konsep yang kabur mungkin karena hubungan antara tesis, antitesis
dan sintesis yang saling berkaitan, mengisi dan melebur menjadi konsep ini
kabur atau tak jelas sulit untuk mendapatkan simpulan yang pasti. Terus yang
terakhir dalam objek membedah karya sastranya sturkturalisme genetik harus
karya sastra yang besar, yang kuat (master face) berarti ada pembatasan dalam
menganalisis dan syarat untuk meneliti suatu genre sastra menurut standar teori
ini yakni karya sastra yang agung.
Asumsi strukturalisme genetik
terhadap karya sastra adalah karya sastra yang agung, karya sastra yang kuat
(besar) merupakan syarat karya sastra untuk diteliti. Karya sastra yang kuat
sebagaimana dikemukakan Goldman adalah karya sastra yang mempunyai kesatuaan (unity) dan keragaman (complexity)[5].
Di dalamnya terdapat kategori-kategori yang saling bertaliaan dan membentuk
strukturalisme genetik. Kateori-kategori yang dimaksud ialah fakta kemanusiaan,
subjek kolektif (trans individual subject),
stukturasi, pandangan dunia pemahaman, dan penjelasan. Karya satra merupakan
sebuah struktur, tetapi struktur itu bukanlah sesuatu yang statis melainkan
produk dari proses sejarah yang terus berlangsung, proses penikmatstrukturisasi dan destruktusi yang
hidup dan dihayati oleh masyarakatas penikmat karya yang bersangkutan.
III.
METODOLOGI
PENELITIAN
3.1 Metode
Penelitian
Chamamah-Soeratno (2001)
dalam Sofia (2009: 24-25) mengatakan bahwa landasan kerja ilmiah yang bertujuan
meningkatkan kedekatan hasil kerja penelitian terdiri atas tiga hal. Pertama, landasan
teori, yaitu landasan yang berupa hasil perenungan terdahulu yang berhubungan
dengan masalah dalam penelitian dan bertujuan mencari jawaban secara ilmiah.
Kedua, landasan metodoligis, yaitu landasan yang berupa tata aturan kerja dalam
penelitian da bertujuan membuktikan jawaban teoretis. Ketiga, landasan
kecendekiaan, yaitu bekal kemampuan membaca, menganalisis, menginterpretasi,
dan menyimpulkan.
Penelitian ini menggunakan
metode penelitian yang serbaguna dan transdisipliner untuk menunjukkan
rerpresentasi perbedaan manusia dan upaya pengubahan sosial melalui hubungan
spesial dengan pembaca hasil penelitian. Pengungkapan citra perempuan yang
dilakukan dengan mengunakan metode kritik sastra feminis yang bersifat
kualitatif sehingga jenis data yang diambil pun kualitatif. Data-data yang
memaparkan status dan peran perempuan dalam keluarga, masyarakat, dan lingkngan
pekerjaan mengandung studi deskriptif kualitatif secara detil dalam berbagai
bentuk.
3.2 Objek
penelitian
Objek penelitian ini adalah puisi-puisi karya 22
pertempuan Indonesia yang terkumpul dalam Antologi
Puisi 22 Perempuan Indonesia: Hati Perempuan.
3.3 Sumber
Data
Data penelitian ini diambil dari puisi-puisi karya
perempuan Indonesia yang terkumpul dalam Antologi
Puisi 22 Perempuan Indonesia: Hati Perempuan. Dalam antologi itu terdapat
263 puisi. Rata-rata perempuan penyair dalam buku itu menyumbangkan karya
puisinya sebanyak 12 buah, kecuali Aida Ismet, yang hanya menyumbangkan 11
karya puisinya.
3.4 Teknik
Pengumpulan Data
Data-data yang memaparkan
status dan peran perempuan dalam keluarga, masyarakat, dan lingkngan pekerjaan
mengandung studi deskriptif kualitatif secara detil dalam berbagai bentuk.
3.5
Sistematika
dan Cara Pengolahan Data
Dari sebanyak 263 puisi karya 22 perempuan penyair
dilakukan sistematika dan cara pengolahan data.
Sistematika pengolahan data dilakukan dengan:
1) Klasifikasi data karya setiap penyair,
meliputi judul dan jumlah setiap kara penyair, dan jumlah total;
2) Inventarisasi biodata setiap penyair,
meliputi a) nama; b) tempat, tanggal lahir, c) usia; d) pendidikan terakhir;
dan e) profesi; f) konsteks lingkungan-budaya pendukung.
Berdasarkan data di atas dilakukan cara pengolahan
data sebagai berikut:
1) Secara keseluruhan dibaca puisi-puisi
tersebut untuk memperoleh gambaran pemetaan hakikat dan metode berpuisi puisi
secara menyeluruh.
2) Secara bertahap dilakukan pemahaman puisi
per puisi setiap penyair untuk dianalisis dari segi teori dasar yang digunakan
dengan referensi konsep I.A. Richard, meliputi hakikat puisi: tema (sense), sikap penyair terhadap pokok
persoalan (feelling), sikap penyair
terhadap pembaca (tone), dan amanat (intention) serta metode-metode berpuisi:
pilihan kata-diksi (diction), daya
bayang-iamjinasi (imagery),
penggunaan kata-kata konkret (the
concrete words), gaya bahasa (figurative
language); (rythm), dan
persajakan-rima (ryme).
3) Data-data yang diperoleh berdasarkan
langkah tersebut diinventarisasi dalam tanbel klasifikasi secara berahap (contoh terlampir).
4) Berdasarkan tabel klasifikasi dilakukan
kajian puisi per puisi, disertai dengan penulisan kutipan kata-kata kunci
pendukung. Perlu dilakukan revisi sebelum dilakukan langkah berikutnya.
5) Berdasarkan data tersebut dilakukan
penulisan laporan kajian sesuai dengan format yang ditentukan.
3.6 Jadwal
Penelitian
No.
|
Langkah Kegiatan
|
Pelaksanaan
|
Keterangan
|
1
|
Penentuan topik penelitian,
kajian teori dan referensi
|
Minggu pertama Mei 2012
|
Terlaksana
|
2
|
Penginventarisasian dan
pengkalsifikasian data
|
Minggu kedua Mei 20112
|
Terlaksana
|
3
|
Penganalisisan dan
pembahasan data
|
Meinggu ketiga Mei 2012
|
Terlaksana
|
4
|
Penulisan laporan hasil
penelitian
|
Minggu keempat Mei 2012
|
Dalam proses
|
5
|
Presentasi Hasil Peneltian
|
Minggu pertama Juni 2012
|
-
|
Daftar Pustaka
Afzal, Anisa dkk. (Editor).
2011. Antologi Puisi 22 Perempuan
Indonesia: Hati Perempuan. Jakarta:
Penerbit Kosa Kata Kita.
Antonio Gramsci: Hegemoni dalam pdf-search-engine.com/…hegemoni…/10-relasi-formatif-hegemoni-gramsci.html
, diakses 20 Mei 2010,
pukul 23.25 WIB.
Djajanegara, Sunarjati.
2003. Kritik Sastra Feminis, Sebuah
Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Departemen Pendidikan
Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Endraswara, Suwardi. 2011. Metode Peneltian
Sastra. Yogyakarta: CAPS.
--------------------------.
2011. Metodologi Penelitian Sosiologi
Sastra. Yogyakarta: CAPS.
Esten, Mursal. 1988.
Menjelang teori dan Kritik Susastra yang Relevan. Bandung: Angkasa.
JURNAL STUDI GENDER & ANAK, Pusat Studi Gender STAIN
Purwokerto YINYANG ISSN: 1907-2791, Vol.4 No.2 Jul-Des 2009 pp.308-319
Minderop, Albertine. 2010. Psikologi
Sastra. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Pengertian Teori Hegemoni Antonio
Gramsci dalam, http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/2180258-pengertian-teori-hegemoni-antonio-gramsci/, diakses 22 Mei 2012, pukul 12.28 WIB.
S., Yudiono K., 2009. Pengkajian Kritik Sastra Indonesia.
Jakarta: Grasindo.
Sofia, Adib. 2009. Aplikasi
Kritik Sastra Feminis ’Perempuan dalam Karya-karya Kunto Wijoyo`. Yogyakarta: Citra Pustaka Yogyakarta.
Sugihastuti dan Suharto.
2010. Kritik Sastra Feminis: Teori dan
Aplikasinya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sugihastuti dan Rossi Abi
Al Irsyad. Stanton (terjemahan). 2007. Teori
Fiksi Robert Stanton. Yokarta: Pustaka Pelajar.
Teori Struktural Genetik dalam Penelitian Sastra dalam http://ukonpurkonudin.blogspot.com/2010/04/perbandingan-teori-strukturalisme-murni.html,
diakses 20 Me4i 2011, pukul 23.36 WIB.
[1] Antonio Gramsci: Hegemoni dalam pdf-search-engine.com/…hegemoni…/10-relasi-formatif-hegemoni-gramsci.html
, diakses 20 Mei 2010, pukul 23.25 WIB.
[2] Pengertian Teori Hegemoni
Antonio Gramsci dalam, http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/2180258-pengertian-teori-hegemoni-antonio-gramsci/, diakses 22 Mei
2012, pukul 12.28 WIB.
[4]
Sugihastuti dan Suharto. 2010. Kritik Sastra Feminis: Teori dan
Aplikasinya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[5]
Abib Sofia dalam Aplikasi Kritik
Sastra Feminis `Perempuan` dalam Karya-karya Kuntowijoyo, penerbit Citra Pustaka Yogyakarta.
Komentar
Posting Komentar
Gunakan nama dan email masing-masing! Harap ditulis nama, kelas, dan nomor absen.