Permintaan Sang Nenek di Usia yang Tak Lagi Muda dalam Novel Cas Cus Karya Putu Wijaya



I. Deskripsi Fisik Buku
Judul                     : Cas Cus
Pengarang             : Putu Wijaya
Penerbit                 : PT Gaya Favorit Press
Tahun terbit         : 1990
Cetakan ke-         : 1 (satu)
Jumlah halaman   : 143
Ukuran                   : 10, 5cm X 18 cm

II. Sinopsis
            Sekarang permintaan tidak lagi memandang umur .Baik yang muda ataupun yang tua memiliki permintaan baik yang wajar maupun yang aneh-aneh. Ada seorang janda tua yang memiliki seorang anak yang bernama Merdeka.  Mereka hidup dengan senang di kota dengan harta yang berkecukupan. Sang ibu dulu tinggal di desa, namun Merdeka mengajak ibunya untuk tinggal bersamanya di kota. Awalnya sang ibu tidak terbiasa dengan kehidupan di kota, ia selalu merindukan sawah dan desanya. Tapi lama kelamaan akhirnya Ibu Merdeka pun terbiasa dengan kehidupan di kota dan mulai menikmati kehidupannya.
            Pada suatu hari, Ibu Merdeka meminta Merdeka untuk membelikan kaset video porno. Si ibu mengancam bila tidak dibelikan maka ia akan pulang ke kampunya. Merdeka pun merasa malu dan kesal melihat tingkah ibunya. Tapi akhirnya ia pun menuruti kemauan ibunya. Keesokannya, Merdeka dan Lastri ke Proyek Senen mencari video porno. Lalu mereka berhasil menemukan video yang berjudul Night of  the Virgin. Setelah sampai di rumah mereka langsung menyerahkan video tersebut kepada ibunya.
            Ketika Merdeka hendak berangkat ke kantor, si ibu memanggilnya dan marah kepadanya. Ia ingin dibelikan video XXX tapi Merdeka hanya membelikan video X. Jika tidak dibelikan video XXX, maka ibunya akan pulang ke kampungnya. Maka dengan rasa kesal Merdeka pergi ke Pasar Ular. Akhirnya ia menemukan videonya walaupun harganya mahal Merdeka tetap membeli video tersebut. Video itu pun diberikan kepada ibunya. Tapi sang ibu tetap marah kepadanya, karena katanya video tersebut terlalu kolot sama seperti video terdahulu. Merdeka pun mulai marah tetapi amarahnya masih bisa diredam oleh istrinya. Istrinya selalu mengerti akan suami dan ibu mertuanya. Tidak sampai di situ saja keinginan aneh sang ibu, keinginannya pun terus berlanjut.
            Hingga suatu saat sang ibu ingin menikah lagi dengan Pak Donglo seorang duda yang buta. Merdeka pun menjadi sangat marah dan sangat malu sekali terhadap kelakuan ibunya sampai ia berani berkata kasar terhadap ibunya. Sang ibu pun mengambek, ia pun menjadi mogok makan bila tidak dibolehkan kawin. Sampai akhirnya sang ibu jatuh sakit dan tergulai lemas di kamarnya. Untuk menyenangkan ibu mertuanya Lastri mengajak Pak Donglo untuk berkunjung ke rumahnya. Ketika ada Pak Donglo si Ibu Merdeka merasa langsung bersemangat dan langsung keluar dari kamar untuk menemuinya tapi ketika Pak Donglo pulang si Ibu Merdeka langsung masuk dan mengunci diri di dalam kamarnya.
             Akhirnya Merdeka tidak tahan terhadap kelakuan Ibunya yang terus- menerus menyakiti dirinya sendiri. Merdeka merasa iba dan merasa sangat bersalah terhadap ibunya dan akhirnya menyetujui permintaan ibunya.
             Ibu Merdeka pun langsung bersemangat kembali, ia langsung kembali semangat berdandan dan mulai mempercantik dirinya dimulai dari sering memakai make up dan memakai baju yang berwarna cerah. Tapi tak sampai di situ keinginan sang ibu. Dia ingin pernikahannya diisi dengan orkes dangdut, di dokumentasikan dan diwawancarai oleh wartawan.
            Merdeka dan Lastri pun memberitahukan berita ini kepada sanak saudara dan tetangga-tetangganya. Akhirnya pernikahan pun tiba dan berlangsung dengan meriah. Ada orkes dangdut, lalu pernikahan tersebut didokumentasikan dan ada juga yang mewawancarai kedua mempelai tersebut walaupun bukan wartawan sungguhan.
            Permintaan si ibu tidak sampai di sini malah semakin menjadi-jadi. Ibu Merdeka minta bulan madu di motel, lalu minta dibelikan madu, telur, jamu sari rapet dan obat kuat untuk keduanya. Merdeka pun nurut dengan ibunya dan kembali menuruti semua permintaan ibunya tersebut. Ketika Merdeka menjemput ibunya di hotel ibu nya tidak ingin pulang, ia ingin tetap di sana. Tapi dengan bujukan dari pemilik hotel, maka Ibu Merdeka pun pulang.
            Hari – hari pernikahan Ibu Merdeka dan Pak Donglo berlangsung sangat harmonis. Setiap hari selalu diisi dengan kebahagiaan oleh mereka berdua. Tapi tak sampai satu bulan ketidakcocokan pasangan tersebut semakin terlihat. Dari pagi sampai malam selalu saja ada hal yang diributkan dari hal yang sepele sampai hal yang besar. Dan Ibu Merdeka cemburu karena Pak Donglo masih saja menyimpan foto mendiang istrinya. Ibu Merdeka pun ingin bercerai dengan Donglo.
            Merdeka pun sampai malu dibuatnya dan pusing dibuatnya. Akhirnya Merdeka dan Lastri mempunyai rencana yaitu mengirimkan pasangan tua tersebut bertamasya ke daerah wisata. Dengan berbagai bujukan akhirnya mereka mau juga berangkat berdua. Mereka pergi selama dua minggu.
            Tapi ketika pulang ke rumah setelah habis bertamasya. Ibu Merdeka hanya pulang sendirian. Ketika ditanya mana Pak Donglo. Ia hanya menjawab bahwa ia sudah cerai dan Pak Donglo sudah dipulangkan ke rumahnya. Setelah mendengar itu Merdeka langsung jatuh sakit dan di opname. Ia tak tau lagi bagaimana cara menghadapi ibunya.  Ketika pulang dari rumah sakit. Merdeka mencari ibunya di rumah. Ketika bertemu dengan Merdeka. Ibunya ingin meminta permintaan lagi. Ia ingin les dan sekolah setidaknya sebelum mati ia ingin pintar.

III. Pembahasan: Permintaan Sang Nenek di Usia yang Tak Lagi Muda dalam Novel Cas Cus Karya Putu Wijaya
3.1 Pendahuluan
3.1.1 Latar Belakang
                           Novel Cas Cus karya Putu Wijaya menceritakan seorang nenek yang masih  memiliki permintaan yang aneh-aneh. Walaupun di usianya yang tak lagi muda, tapi dia masih memiliki permintaan yang bisa dibilang tidak wajar untuk seusianya. Bila tidak dituruti dia pun akan ngambek. Dia memiliki permintaan seperti ingin menonton video porno, ingin menikah lagi lalu tak berapa lama bercerai dan ingin les dan sekolah.
                           Sang Ibu tua memiliki seorang anak yang bisa dibilang cukup sibuk dengan pekerjaanya. Tetapi memiliki istri yang sangat sayang dan perhatian kepada ibu mertuanya. Si ibu tua juga memiliki 2 orang cucu. Satu cucu laki-laki dan satu cucu perempuan.
                           Si Ibu pun mulai memiliki permintaan. Lalu dia utarakan secara langsung dan balak-blakan kepada anaknya. Awalnya sang anak tidak setuju atas permintaan aneh sang ibu, tapi setelah dibujuk oleh sang istri mau tak mau sang anak pun menuruti permintaan aneh ibunya. Lalu setelah permintaannya dituruti, si ibu pun langsung berubah pikiran dan meminta permintaan lagi yang bisa dibilang lebih aneh.
                           Novel ini dipilih karena novel ini meraih Pemenang ke-1 sayembara mengarang Novelet Femina tahun 1987. Dan menceritakan tentang permintaan aneh sang nenek tua yang tidak memiliki suami lagi tapi bisa dibilang memiliki semangat yang cukup tinggi dan dapat menghasilkan permintaan yang tidak wajar. Dia memiliki permintaan tidak seperti nenek-nenek yang lain malah bisa dibilang seperti anak-anak remaja yang bila tidak dituruti akan marah dan mengancam bila tidak dituruti.
                           Tetapi karena permintaan yang aneh itulah sang nenek membuat berbagai masalah. Sang anak pun sangat marah dan malu terhadap sikap ibunya. Istrinya yang bernama Lastri pun terus meredam amarah sang suami agar tidak marah kepada ibunya dan membujuk suaminya agar menuruti permintaan ibunya. Karena sang istri sangat sayang kepada ibunya.
                           Sang anak yang walaupun mengeluh, marah dan malu terhadap sikap ibunya. Tetapi dia masih sangat sayang terhadap ibunya dan berusaha menuruti permintaan sang ibunya.
                           Walaupun sang ibu yang selalu meminta permintaan aneh-aneh tapi sang ibu juga masih memperhatikan sang anak dapat dilihat ketika sang anak masuk rumah sakit untuk diopname, ketika sang anak pulang ke rumah. Ibunya langsung memperhatikannya.
                           Anak, menantu dan kedua cucunya juga sangat sayng kepada ibu tua tersebut. Anaknya yang selalu sibuk dengan pekerjaan kantornya masih sangat memperhatikan ibunya. Menantu nya juga berusaha membujuk suaminya agar menuruti semua permintaan ibu mertuanya. Kedua cucunya walaupun usianya masih muda tapi kedua anak tersebut cukup mengerti keadaan nenek dan kedua orang tuanya.
                           Penulis menggambarkan karakter nenek dalam novel ini secara blak-blakan. Dimulai dari permintaannya yang aneh yang langsung diutarakan langsung kepada anaknya tanpa dipikirkan secara baik-baik dan matang.
                           Dalam novel ini dipilih judul “Permintaan Sang Nenek di Usia yang Tak Lagi Muda” karena memiliki beberapa alasan. Di sini diceritakan bahwa sang nenek hidup dengan anaknya memiliki banyak permintaan yang tidak diminta pada nenek-nenek sebelumnya. Hal ini sangat bertolak belakang pada kehidupan kita sehari-hari.
                           Selain itu si nenek tidak peduli dengan orang-orang lain. Walaupun orang lain berprasangka yang buruk dan aneh-aneh dan sang anak sudah marah dan malu. Tapi dia tetap ingin permintaannya harus dipenuhi.
                           Alasan lainnya dipilih karena setelah permintaanya dipenuhi dia malah meminta permintaan lagi yang bisa dibilang lebih aneh dan tidak dapat diterima dengan wajar. Tapi sang anak masih telaten meladeni permintaan ibunya tersebut dan masih sangat sayang kepada ibunya.

3.1.2 Tujuan
3.1.2.1 Membuat pembaca dapat belajar membaca novel-novel yang mendapatkan           penghargaan.
3.1.2.2 Agar dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan, dan menganalisis                       secara langsung Novel Cas Cus.
3.1.2.3 Memenuhi syarat tugas Bahasa Indonesia tahun ajaran 2011 – 2012.

3.1.3 Rumusan Topik
3.1.3.1 Bagaimana karakter tokoh yang terdapat dalam novel Cas Cus ?
3.1.3.2 Mengapa permintaan sang nenek dapat menyebabkan berbagai macam                    konflik ?

3.2 Analisis
3.2.1 Landasan Teori
                             3.2.1.1 Definisi Permintaan

“Permintaan adalah segala sesuatu yang akan direalisasikan oleh si pelaku (subyek) dan jika ia telah terealisasi, maka dia ingin sesuatu itu akan hilang atau berganti dengan sesuatu yang baru”.   

(Cemiloglu, 2007)[1]

Segala bentuk permintaan itu pada dasarnya sama, yaitu timbul dari kebutuhan diri, baik yg secara biologis maupun secara psikologis, dan tidak lepas dari yang namanya kecintaan pada diri sendiri.
(Amrey, 2007)[2]


 Keinginan adalah salah satu faktor yg penting bagi manusia   karna tanpa keinginan, segalanya tidak akan pernah ada.”

(Plomin, 1989)[3]

          Permintaan adalah segala sesuatu yang muncul dari dalam diri sendiri dan ingin kita penuhi secara baik.

3.2.1.2 Defisi Usia

Usia adalah rentang kehidupan yang diukur dengan tahun, dikatakan masa awal dewasa adalah usia 18 tahun sampai 40 tahun, dewasa Madya adalah 41 sampai 60 tahun, dewasa lanjut >60 tahun, umur adalah lamanya hidup dalam tahun yang dihitung sejak dilahirkan.

(Harlock, 2004)[4]

“Umur adalah lama waktu hidup atau ada (sejak dilahirkan atau diadakan”.
(Borton, 1998)[5]


“Umur atau usia adalah satuan waktu yang mengukur waktu keberadaan suatu benda atau makhluk, baik yang hidup maupun yang mati.”

 (Fiennes, 2001)[6]
             
“Umur adalah kapasitas kehidupan dari segala sisi”.

(Leland, 1990)[7]

          Umur memiliki arti yang sama dengan usia. Yaitu satuan waktu yang mengukur kehidupan kita dari awal kita dilahirkan.


3.2.2 Penerapan
                        Novel Cas Cus hanya dikemas dalam 1 bab oleh pengarangya yaitu Putu Wijaya, dan diakhiri dengan bagian penutup. Diawali dengan keinginan konflik tokoh utama dan sayangnya bagian ending nya tidak terlalu jelas.
                        Di awal cerita sudah dimulai konflik yang diciptakan oleh tokoh utama. Dimulai dari keinginan seorang nenek tua.
                
                 Suatu kali, sehabis nonton film video silat, Ibu Merdeka protes, “ Katanya ada        film video X, apaan sih isinya? Mbok sekali-sekali pinjamkan aku supaya sebelum mati tahu juga sedikit-sedikit.


(Wijaya, 1990: 7)

                                  Ibu Merdeka memiliki sifat yang sangat keras dan semua keinginannya harus dituruti dalam waktu yang cepat.
                
          Mana sih filmnya kok belum-belum juga. Berapa sih sewanya?
          Pokoknya minggu ini, aku harus dipinjamkan film tiga X!
          Kalau  tidak ada film tiga X, biar aku pulang saja dulu ke kampung. Permintaan begitu saja sulit. Kalau aku minta mobil panser begitu pantas ditolak. Ini kan’ hanya seribu dua ribu. Apaan sih kok disembunyi-sembunyikan. Memangnya mentang-mentang orang tua, lantas tidak boleh?.
          Orang tua itu ngomel dan meninggalakn ruangan. Ia masuk kamar dan mulai memasukkan pakaian ke kopornya.
          Pokoknya kalau besok tidak ada film X, aku pulang! Ancamnya sambil

keluar kamar membawa kopor. Dengan demonstratif kopor itu dihempaskannya di samping meja makan, lalu masuk kembali ke kamarnya sambil menggerutu.

(Wijaya, 1990: 10)

                                  Merdeka dan Lastri memberikan syarat kepada ibunya. Tetapi ibunya tidak ingin menuruti syarat tersebut.
         
                   Kalau mesti pakai syarat-syarat begitu, buat apa. Sama saja dengan bohong. Nggak usah saja deh kalau tidak rela,’ kata orang tua itu sambil menyerahkan kembali kaset dengan marah. Ia sudah hendak bangkit lagi dan masuk ke kamarnya untuk mengambil kopor.

(Wijaya, 1990: 14)

                        Akhirnya Ibu Merdeka pun menonton film itu tapi tidak ingin diganggu oleh orang lain.

Kalian juga masuk sana. Aku mau nonton sendirian,’ Kata orang tua itu dengan dingin.

(Wijaya, 1990: 15)

          Tapi ternyata Ibu Merdeka tidak menonton video porno tersebut.

Nenek cipoa. Dia nggak nonton video, kok. Nenek cuma duduk di situ bengong semalaman. Malah nangis, lalu ketiduran. Agus yang matikan TV.

(Wijaya, 1990: 23)

Walaupun Ibu Merdeka memiliki permintaan yang aneh tapi dia juga memiliki sisi yang berbeda.

Merdeka mengetuk pintu kamar ibunya. Tak ada jawaban. Merdeka mengetuk sekali lagi. Ketika, belum juga ada jawaban, ia mendorongnya perlahan-lahan. Ternyata ibunya sudah bangun. Ia duduk termenung di tepi tempat tidur,  memegang sisir, memandang ke jendela. Cahaya matahari pagi memantul dari dalam pohon kembang sepatu, menimpa muka orang tua itu. Ia sama sekali tak menoleh ketika Merdeka menghampirinya. Rohnya seakan-akan jauh melontar ke luar jendela.

(Wijaya, 1990: 23 )

Setelah permintaannya dituruti, sekarang Ibu Merdeka memiliki permintaan yang baru lagi.

Aku akan pulang kalau kalian tidak memenuhi permintaanku.’‘Permintaan ? Permintaan apa ? Semua sudah dipenuhi’kan ?’‘Aku sudah lama punya cita-cita, aku mau melaksanakannya.’.‘Cita-cita apa ?’‘Pokoknya, harus aku laksanakan sekarang sebab kalian sudah bisa berdiri sendir. Aku tak ada gunanya  lagi, kalian sudah pintar hidup sendirian.’‘Niat apa ?’‘Masak belum aku kasih tahu ?’‘Belum. Apa ?’‘Aku mau kawin lagi.’‘Kalau ibu sudah kangen mau pulang, ya tak apa. Katakan saja kapan mau pulang, nanti saya antar.’‘Aku tidak mau pulang, aku mau kawin.

(Wijaya, 1990: 27)


          Ibu Merdeka ingin menikah dengan Pak Donglo.

Biayanya juga sudah cukup aku kumpulkan. Tak usah pakai pesta-pesta. Asal syarat terpenuhi dan tetangga ada, cukup. Aku tidak mau dipestakan besar-besaran. Bukan pestanya yang penting tapi niatnya. Nanti Pak Donglo akan datang sendiri kemari membicarakan itu.

(Wijaya, 1990: 30)

          Ternyata Pak Donglo memiliki perlihatan yang terganggu.

Pak Donglo yang buta itu ?
Ia tidak buta, cuma penglihatannya yang kurang ?

(Wijaya, 1990: 30)

Walaupun buta Ibu Merdeka tetap sayang dan memilih Pak Donglo karena mirip dengan almarhum suaminya. Dan dia telah capek hidup sendirian.

Aku kira, meskipun buta, hatinya baik sekali. Donglo itu bisa diajak rembukan. Badannya masih kuat. Cuma matanya itu. Tapi aku bisa merawatnya. Dia persis seperti bapakmu waktu masih hidup. Suka kepada wayang. Tata caranya sopan. Juga masih punya darah biru. Aku kira dia cocok untuk teman hidupku sekarang. Ya aku memerlukan teman sekarang, aku sudah capek sendirian. Jadi nanti kalau ada dia, aku tidak akan banyak lagi ngerusuhi runding masak-masak.

(Wijaya, 1990: 31)

Merdeka merasa terkejut atas permintaan ibunya yang menurutnya sangat mengejutkan. Lastri sang istri pun membantu menenangkan suaminya.

Merdeka tak bisa menjawab. Diam-diam keluar. Tak tahu apa yang harus dikatakan. Tak tahu apa yang harus dilakukan. Ia terhenyak di ruang tengah, sampai Lastri datang dan mebukakan sepatunya. Lastri memijit pundak suaminya dan menyabarkannya.

(Wijaya, 1990: 31)

          Ibu Merdeka berencana mengundang Donglo ke rumahnya.

Donglo sekarang sudah sembuh dari pileknya. Besok sabtu ia akan datang kemari, bicara kepada kamu untuk berunding,’ Kata orang tua itu nyaris memerintah.

(Wijaya, 1990: 34)

          Merdeka pun tak setuju dengan ibunya tapi ibunya selalu saja membela Pak Donglo tersebut.

Merdeka sebenarnya mau marah dan ingin memberikan peringatan yang tegas. Tetapi wanita itu bicara terus, tak memberikannya kesempatan untuk berkutik. Ia bicara panjang lebar tentang siapa Donglo. Kebaikan-kebaikannya. Kapan ia mulai tertarik. Kapan keduanya mulai merasakan getaran yang sama.

          (Wijaya, 1990: 35)

          Merdeka pun tak bisa menahan amarahnya.

Sudah lama saya menahan-nahan perasaan. Sudah lama saya diam, karena saya tak mau ribut. Saya pikir ibu tahu apa artinya orang diam. Ibu tahu kalau diam saya berarti marah. Tapi ibu sama sekali tidak memperhatikan. Ibu sudah tambah aneh-aneh sekarang. Minta pulang waktu kita sedang repot. Minta nonton film porno. Mau kawin sama orang buta. Apa tidak cukup kami berikan perhatian selama ini. Masih kurang

apa lagi. Masa mau bikin malu saya, mau kawin sudah tua begini sama orang lagi. Tidak! Mulai sekarang tidak boleh ketemu dengan Donglo sialan itu!

(Wijaya, 1990: 38)

          Ibu Merdeka pun ngambek dan mengancam akan mogok makan bila permintaanya tidak dituruti

Aku tidak akan mau makan, kalau aku tidak diberikan kebebasan. Aku tahu apa yang aku lakukan. Aku yang dulu memutuskan semuanya. Mengapa sekarang aku harus dilarang-larang. Ini kan tuntutan hidup.

(Wijaya, 1990: 39)

          Merdeka pun mengajak ibunya berdiskusi.

Begini, bu, katanya dengan sungguh-sungguh, kalau memang itu kemauan ibu, ya kami hanya bisa mengatakan, kami bisa mengatakan apalagi kecuali, ya kita lihat saja. Bagaimana baiknya. Kami hanya bisa memberikan pertimbangan, semua itu adalah untuk kepentingan ibu sendiri. Ibu dulu sudah biasa untuk memutuskan apa-apa saja sendiri.

(Wijaya, 1990: 49)

Supaya Ibu Merdeka tak lagi mogok makan. Lastri pun berbicara kepada suaminya, Merdeka bahwa dia ingin mengundang Pak Donglo.

Mengundang Pak Donglo. Aku bisa ke sana. Aku kenal baik dengan keluarganya. Pak Donglo’ kan adik ibuku juga. Sudahlah, kita coba. Kalau toh ya, nanti apa salahnya ?.

(Wijaya, 1990: 51)


Tetapi Lastri bingung bagaimana caranya mengundang Pak Donglo. Yang sebenarnya Pak Donglo masih bagian dari keluarganya.

Lastri bingung juga. Tak tahu bagaimana caranya mengundang Pak Donglo. Apa alasannya. Ia memang masih punya hubungan famili dengan keluarga yang tinggal di RT 9 itu, tapi mendadak mengundangnya pasti menimbulkan tanda tanya.

(Wijaya, 1990: 52)

Lastri pun menyuruh anaknya, Agus untuk mengundang Pak Donglo ke rumahnya.

Akhirnya Lastri mengutus agus, membisikkan kepada Pak Donglo bahwa Ibu Merdeka sakit.

(Wijaya, 1990: 53)

Pak Donglo pun datang ke rumah Merdeka dan langsung disambut Lastri dengan senang hati.

Hebat juga, ternyata Donglo langsung datang. Memakai tongkat putih, dibimbing oleh Agus, duda itu muncul dengan kikuk. Lastri terpesona, tapi menyambutnya dengan hangat. Ia merasa seakan-akan ibunya yang datang. Dibimbingnya lelaki tua itu masuk ke ruang tengah.

(Wijaya, 1990: 53)

Ibu Merdeka pun langsung keluar kamar ketika mendengar Pak Donglo terbatuk-batuk.

Ibu Merdeka keluar kamar setelah mendengar suara batuk itu. Lalu terkejut melihat Donglo.

(Wijaya, 1990: 55)

Ketika Pak Donglo pulang, Ibu Merdeka kembali masuk kamar melanjutkan kegiatan mogok makannya. Akhirnya mau tak mau untuk menghentikan kegiatan ibunya tersebut Lastri dan Merdeka kembali mengundang Pak Donglo untuk makan bersama. Ketika Pak Donglo datang Ibu Merdeka langsung semangat dan mau makan tetapi hanya satu dua sendok. Tetapi ketika Pak Donglo pulang, Dia masih melanjutkan aksi mogok makannya.

Lalu Pak Donglo dihubungi lagi. Baru ketika mendengar Pak donglo hadir di meja makan, Ibu Merdeka menghentikan mogoknya. Tetapi meskipun sudah mulai makan, orang tua itu masih makan dengan malas. Ia mendorongkan satu dua sendok ke mulutnya, sudah itu berhenti. Seakan-akan semua itu hanya tugas yang terpaksa.

(Wijaya, 1990: 59)

Ibu Merdeka pun kemudian terjatuh sakit akibat dari kegiatan mogok makannya.

Tetapi ketika Ibu Merdeka kemudian bertambah kurus dan cekung, Lastri cemas juga. Apalagi ketika suatu kali ia kembali ditemukan oleh tetangga, jatuh pingsan di halaman. Demikianlah Merdeka masuk ke dalam kamar ibunya. Memijit kaki perempuan yang sudah melahirkannya itu. Meraba betisnya yang sudah kisut dan terasa tulang. Melihat tangannya yang kecil dan perutnya yang menggeliwir. Terus terang yang masih berharga pada daging yang sudah kisut itu hanyajiwanya yang masih bersemangat untuk hidup.

(Wijaya, 1990: 61)

          Akhirnya Merdeka pun menyetujui pernikahan antara ibunya dan Pak Donglo.

Tetapi ini zaman modern. Asal kita beritahukan saja, tak usah minta persetujuan mereka lagi, nanti malah repot. Sesudah itu nanti ibu boleh kawin. Yah, ibu juga tak harus pergi. Ya sudah di sini saja ramai-ramai dengan Pak Donglo. Pak Donglo ‘kan juga keluarga Lastri.

(Wijaya, 1990:65)

          Ibu Merdeka pun merasa sangat senang dan mulai memperbaiki hidupnya kembali.

Ibu Merdeka juga perlahan-lahan memperbaiki penampilannya. Kebaya dan kainnya yang dulu cenderung gelap kini terang. Ia mengganti citra. Pipinya mulai dibedaki. Dam di mulutnya perlahan-lahan muncul merah gincu. Di pipinya juga bersemi merah jambu yang membuat ia seperti boneka jepang hidup. Ibu Merdeka sudah menjadi hiburan semua orang. Ke mana ia pergi, ia selalu membawa suasana meriah.

(Wijaya, 1990: 69)

Pernikahan antara Ibu Merdeka dan Pak Donglo pun berlangsung secara meriah.

Pernikahan Ibu Merdeka dan Pak Donglo dilangsungkan di rumah Merdeka. Sederhana tetapi meriah. Sanak saudara di daerah tak ada yang datamg, mungkin kabarnya belum sampai. Mungkin mereka tak punya omgkos untuk datang. Bisa jadi tak setuju. Sebaliknya para tetangga yang tak diundang pun datang. Dengan spontan semuanya membantu. Dua orang wartawan juga kelihatan jeprat-jepret karena menganggap itu baru berita. Orkes dangdut yang merupakan sumbangan sukarela dari para pemuda kampung main sampai tengah malam. Sebuah kamera video sejak pagi mengikuti upacara itu, merekam saat demi saat.

(Wijaya, 1990: 79)

          Walaupun mereka capek tapi mereka sangat menikmatinya. Ibu Merdeka dan Pak Donglo pun diantar ke motel untuk berbulan madu.

Kedua mempelai keluar dari kamar malu-malu. Setelah mandi dan sarapan mereka dibayang ke motel. Keduanya tampak pucat. Mereka menikmati benar saat-saat itu. Berpotret bersama-sama. Pegangan tangan dan berjalan-jalan.

(Wijaya, 1990: 89)

Pada saat bulan madunya selesai. Merdeka pun menjemput kedua mempelai tersebut. Tetapi ketika dijemput dia tak mau pulang.

Aku puas di sini. Aku belum pernah minta apa-apa. Ini saja sekarang aku diperpanjang bulan madu samapai dua minggu begitu, biar puas. Nanti jangan-jangan tidak sempat lagi.

(Wijaya, 1990: 95)

Setelah dibujuk kedua mempelai tersebut akhirnya pulang ke rumah dengan perasaan yang kecewa.

Akhirnya Ibu Merdeka diam juga dan menempati kamarnya kembali dengan merengut. Tetapi waktu diajak makan malam, ia menolak. Suaminya juga kelihatan merengut, seperti kambing congek, mengikuti perasaan istrinya.

(Wijaya, 1990: 98)

          Ibu Merdeka pun merasa mual, semua orang merasa Ibu Merdek mual         karena ngidam, ternyata bukan ngidam tapi hanya sakit biasa.

Keliru kok, bukan nyidam, Cuma masuk angin biasa. Tadi sudah dikerok bapakmu.

(Wijaya, 1990: 103)

Ibu Merdeka merasa Pak Donglo curang terhadap dirinya dan merasa cemburu terhadap mendiang istrinya.

Dia bilang dulu dia sudah melupakan bekas istrinya. Ternyata potretnya masih disimpan terus. Lebih baik cerai daripada potret perempuan itu ada di sini!.

(Wijaya, 1990: 107)

Pernikahan Ibu Merdeka dan Pak Donglo pun berlangsung harmonis. Tapi tak sampai satu bulan pertengkaran pun mulai terjadi dari hal sepele sampai hal yang besar.

Pernikahan Ibu Merdeka dengan Donglo belum sampai berusia sebulan. Ketidakcocokan sudah menggila. Setiap hari bertambah keras. Dari pagi sampai malam keduanya cakar-cakaran dari soal-soal besar sampai hal-hal sepele. Mula-mula bisa didamaikan dan ditutup-tutupi karena berharap nanti akan ada saling pengertian. Tetapi nyatanya mereka berdua bagai dua kutub magnit yang bertolak belakang. Makin dekat makin berontak.

(Wijaya, 1990: 107)

Merdeka pun sampai bingung dibuatnya. Akhirnya Merdeka membuat rencana untuk mendamaikan mereka berdua.

Lalu Merdeka mencoba mengatur satu paket perjalanan. Mengirimkan mereka bertamasya ke daerah pariwisata. Dengan berbagai bujukan, pasangan tua itu akhirnya mau juga berangkat.

(Wijaya, 1990: 108)

Ketika pulang dari tamasya, Ibu Merdeka hanya pulang sendirian tanpa ditemani Pak Donglo.

Tapi ketika masa tamasya berakhir, Ibu Merdeka muncul sendirian ke rumah. Semua bertanya di mana suaminya. Orang tua itu dengan dingin sekali menjawab: ‘Sudah aku antar ke rumahnya. Kami sudah cerai!.

(Wijaya, 1990: 108)

          Merdeka pun kaget mendengarny dan langsung masuk rumah sakit.

Merdeka kontan sakit mendengar itu. Sarafnya tak bisa lagi berakrobat. Ia minta diopname di rumah sakit. Ia tak tahu lagi bagaimana cara menghadapi semua itu. Ia merasa habis.

(Wijaya, 1990: 108 )

Setelah Merdeka keluar dari rumah sakit, dia langsung mencari ibunya. Dan ibunya meminta satu permintaan lagi.

‘Coba carikan aku besok’. ‘ Carikan apa ?’. ‘Les’. ‘Les ?’. ‘Ya. Aku mau sekolah lagi, biar pinter sebelum aku mati’.

(Wijaya, 1990: 112)

                                                                                 
3.2.3 Simpulan
        Novel Cas Cus menceritakan seorang nenek tua yang memiliki permintaan yang aneh yang bisa dibilang tidak wajar di usia yang sebenarnya. Semua itu tampak dari permintaannya yang dapt membuat semua orang terkejut dan tidak ada di pikiran orang lain.
        Ibu Merdeka yang mempunyai sifat blak-blakan seringkali mebuat anaknya, Merdeka menjadi marah, malu dan kesal. Tetapi sang istri Lastri berusaha meredam amarah suaminya tersebut.
        Beragam konflik terdapat di novel ini yang terjadi akibat dari permintaan aneh Ibu Merdeka. Walaupun Merdeka sering mengeluh dan marah kepada ibunya. Tapi Merdeka selalu berusaha menuruti semua permintaan ibunya karena ia sangat sayang terhadap ibunya.

IV. Penutup
4.1 Kelebihan Cas Cus
                                 Novel Cas Cus mengemukakan tentang semangat seorang tokoh nenek tua yang dapat mengubah pandangan orang di sekitarnya. Bahkan sikap yang dilakukannya dapat dikatakan bertentangan dengan orang-orang yang hidup bersamanya. Cas Cus membahas tentang keinginan orang tua yang bisa dikatakan aneh yang tidak dapat kita pikirkan sebelumnya.
                                 Putu Wijaya mengemas tema tersebut dengan menggunakan bahasa yang lugas dan mudah dimengerti tidak berbelit-belit. Hal ini dapat membuat pembaca lebih mengerti apa yang ingin disampaikan. Tokoh ceritanya dikemas sebagai pribadi yang pikirannya tidak dapat ditebak. Sehingga kita dapat berimajinasi apa yang akan dilakukan selanjutnya. Dan pola pikir tokoh tersebut dapat mengubah pola pikir masyarakat.


4.2 Kekurangan Cas Cus
                        Novel Cas Cus adalah karya yang meraih Pemenang ke-1 sayembara mengarang Novelet Femina tahun 1987. Namun novel ini memiliki cerita yang ending nya terlalu singkat dan menggantung. Putu Wijaya mengakhiri cerita ini seperti terburu-buru. Dapat dilihat dari beberapa kalimat terakhir di cerita yang langsung menyatakan akhir dari cerita tersebut. Dan cerita akhir dari novel ini tidak seperti yang kita harapkan.

V. Referensi
http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20081117092046AAdFiRM. Diakses tanggal 27 Oktober 2011, pukul 15.40 WIB.
http://bidan-ilfa.blogspot.com/2010/01/definisi-usia.html. Diakses pada 27 Oktober 2011, pukul 20.22 WIB
Manusia dan Keinginan”. Dalam http://xelz.blogdetik.com/manusia-dan-keinginan/ . Diakses pada 27 Oktober 2011, pukul 15.50 WIB.

Modal Manusia adalah Umur”. Dalam http://grahaahlifils afat.blogspot.com/2011 /01/mo dal-manusia-sebenarnya-adalah-umur.html. Diakses pada 27 Oktober 2011, pukul 21.06 WIB.



                    






















[1]http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20081117092046AAdFiRM. Diakses pada 27 Oktober 2011, pukul 15.40 WIB.
[2] Ibid
[3]“Manusia dan Keinginan”. http://xelz.blogdetik.com/manusia-dan-keinginan/ . Diakses pada 27 Oktober 2011, pukul 15.50 WIB
[4] http://bidan-ilfa.blogspot.com/2010/01/definisi-usia.html. Diakses pada 27 Oktober 2011, pukul 20.22 WIB
[5] Ibid
[6] Ibid
[7]“Modal Manusia adalah Umur”. http://grahaahlifilsafat.blogspot.com/2011/01/modal-manusia-sebenarnya-adalah-umur.html. Diakses pada 27 Oktober 2011, pukul 21.06 WIB

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CERITA PENDEK ON-LINE KARYA SISWA-SISWI KELAS XII IPA 3 TAHUN 2014/2015

CERITA PENDEK ON-LINE KARYA SISWA-SISWI KELAS XII IPA 2 TAHUN 2014/2015

FORMAT KARYA TULIS ILMIAH AKADEMIS