Aktualisasi Idealisme Tokoh Minke dalam Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer

Oleh; Felicia Sesi Herdian

I.  Deskripsi Fisik Buku



Judul                           : Bumi Manusia
Pengarang                   : Pramoedya Ananta Toer
Kata pengantar            : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit                       : Lentera Dipantara
Kota terbit                   : Jakarta
Tahun terbit                 : 2010
Cetakan ke-                 : 16 (enam belas)
Jumlah halaman           : 538 halaman
Ukuran                                    : 13 x 20 cm
Harga                          : Rp 98.000,00
No. ISBN                    : 979-97312-3-2


II.                Sinopsis
Minke adalah seorang pemuda Jawa dari golongan priyayi. Ia bersekolah di sekolah Belanda, H.B.S.. Di Surabaya, ia tinggal di rumah kontrakan milik seorang Mevrouw[1] yang baik hati yang bersuamikan seorang mantan komandan tentara kolonial. Untuk mendapatkan uang saku, Minke menjalankan bisnis kecil-kecilan dengan memasarkan karya-karya hasil seniman invalid yang berdarah Perancis bernama Jean Marais, yang juga merupakan sahabat Minke. Selain itu, Minke juga sering membuat tulisan di koran lokal berbahasa Belanda S.N. v/d D dengan menggunakan nama samaran Max Tollenaar.
Gejolak hidupnya dimulai saat Robert Suurhof mengajak Minke ke Boerderij Buitenzorg[2] di Wonokromo. Perusahaan besar ini ternyata dipimpin oleh seorang gundik yang diangkat pebisnis Belanda, Herman Mellema yang sebenarnya telah beristri di Belanda dan mempunyai anak bernama Maurits Mellema. Gundik yang dipanggil Nyai Ontosoroh itu menunjukkan kearifan dan etika Belanda di dalam sikap, ucapan, dan tingkah laku yang sama sekali membuka mata Minke tentang sosok gundik yang biasanya dianggap nista dan berstrata sosial amat rendah. Di lain sisi, Minke jatuh cinta pada anak Nyai, Annelies Mellema yang selalu ingin diakui sebagai pribumi asli. Cinta itu indah. Demikian perkataan Jean yang mendorong Minke untuk kembali mengunjungi Annelies di Wonokromo dan memenuhi permintaan Nyai untuk tinggal di sana.
Nyai Ontosoroh sebenarnya bernama Sanikem. Orang tuanya menjualnya kepada Herman Mellema saat ia berumur empat belas tahun. Herman Mellema mengajari Sanikem tentang segala kebiasaan dalam kehidupan seorang Belanda, mulai dari menyikat gigi, hingga berbicara dan menulis dalam bahasa Belanda. Ketika mereka hendak mengakui Robert dan Annelies sebagai anak secara hukum, Pengadilan tidak mengakui mereka sebagai anak sah, hanya sebagai anak Mellema. Robert sendiri ingin dianggap sebagai seorang Belanda sepenuhnya seperti ayahnya. Ia sangat benci dengan pribumi dan segala hal yang berkaitan dengan pribumi. Ia tidak suka pada ibunya dan adiknya, begitu pula sebaliknya. Agaknya Robert merasa kedatangan Minke sebagai pria pribumi mengancam eksistensi Robert sebagai satu-satunya pria di rumah itu.
Sementara Minke tinggal di keluarga unik ini, ayahnya diangkat menjadi Bupati di Kota B.. Mendengar kabar bahwa Minke tinggal di rumah seorang Nyai, ayahnya pun marah besar. Di dalam pesta pengangkatan itu, Minke diperkenalkan dengan Sarah dan Miriam de la Croix, putri Tuan Assisten Residen B.. Tak disangka, wanita-wanita Belanda ini memiliki perhatian dan dukungan tinggi terhadap perkembangan bangsa Hindia agar menjadi mandiri dan sesegera mungkin lepas dari kolonialisme Belanda.
Berita mengejutkan datang dari Darsam, pembantu Nyai Ontosoroh bahwa Robert Mellema berencana membunuh Minke. Untuk sementara, Minke tak bisa tinggal di Wonokromo. Annelies jatuh sakit karena rindu pada Minke. Nyai pun menyuruh Robert untuk mencari informasi tentang keberadaan Minke tetapi ia justru pergi ke Plesiran[3] Tionghoa Babah Ah Tjong, persis seperti ayahnya dulu yang kini telah diusir Nyai karena kondisi jiwa yang tak sehat. Mengetahui hal itu,Nyai pun mengusir Robert.
Minke kini terjebak di dalam stereotip umum. Teman-teman di H.B.S. pun menjauhinya begitu tersebar kabar bahwa ia tinggal di sarang nyai-nyai. Sempat terjadi tragedi ketika diketahui Herman Mellema tewas di Plesiran Babah Ah Tjong karena diracuni. Lantas, berita ini menyeret nama Minke walaupun sebenarnya tak ada sangkut paut apapun dengan kematian Mellema. Ia pun dikeluarkan dari H.B.S. karena tindakannya dianggap melanggar norma. Orang terpelajar harus adil sejak dalam pikirannya. Itulah yang menjadi pegangan hidupnya sekarang. Akhirnya, Minke diminta kembali lagi ke H.B.S. atas pertimbangan pendapat dari Juffrow Magda Peters. Setelah lulus dari H.B.S. dengan nilai kedua terbaik di Hindia, ia pun menikahi Annelies.
Enam bulan kemudian, Maurits Mellema mengajukan permohonan ke Pengadilan untuk mengambil seluruh harta mendiang ayahnya di Boerderij Buitenzorg. Nyai Ontosoroh, Minke, dan Annelies tahu bahwa mereka akan kalah dalam sidang. Namun, mereka tetap melawan sehormat-hormatnya. Nyai terus menyuarakan hak-hak pribumi. Namun, pribumi memang takkan menang melawan Belanda di bumi manusia ini. Mereka kalah. Annelies sebagai anak Herman Mellema pun diharuskan menyelesaikan perkara di Nederland. Demikianlah akhirnya Annelies meninggalkan Minke dan Nyai Ontosoroh pergi berlayar menuju Nederland.
III.             Novel Bumi Manusia :
Aktualisasi Idealisme Tokoh Minke
dalam Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer

3.1  Pendahuluan
3.1.1        Latar Belakang
Pramoedya Ananta Toer dilahirkan di Blora, Jawa Tengah pada tanggal 6 Februari 1925 sebagai anak sulung dalam keluarganya. Nama asli Pramoedya adalah Pramoedya Ananta Mastoer, sebagaimana yang tertulis dalam koleksi cerita pendek semi-otobiografinya yang berjudul Cerita Dari Blora. Karena nama keluarga Mastoer (nama ayahnya) dirasakan terlalu aristokratik, ia menghilangkan awalan Jawa "Mas" dari nama tersebut dan menggunakan "Toer" sebagai nama keluarganya. Pramoedya menempuh pendidikan pada Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya, dan kemudian bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia. Secara luas dikenal sebagai salah satu pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Pramoedya telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing.
Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan kerap ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen serta buku di sepanjang karir militernya dan ketika dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia tinggal di Belanda sebagai bagian dari program pertukaran budaya, dan ketika kembali ke Indonesia ia menjadi anggota Lekra, salah satu organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Hal ini menciptakan friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno. Selama masa itu, ia mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa Indonesia, kemudian pada saat yang sama, ia pun mulai berhubungan erat dengan para penulis di Tiongkok. Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat-menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia, berjudul Hoakiau di Indonesia. Ia merupakan kritikus yang tak mengacuhkan pemerintahan Jawa-sentris pada keperluan dan keinginan dari daerah lain di Indonesia, dan secara terkenal mengusulkan bahwa pemerintahan mesti dipindahkan ke luar Jawa. Pada 1960-an ia ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-Komunis Tiongkoknya. Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau Buru di kawasan timur Indonesia. Selain pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada masa Orde Lama, selama masa Orde Baru Pramoedya merasakan 14 tahun ditahan sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan.
Ia dilarang menulis selama masa penahanannya di Pulau Buru, namun tetap mengatur untuk menulis serial karya terkenalnya yang berjudul Bumi Manusia, serial 4 kronik novel semi-fiksi sejarah Indonesia. Tokoh utamanya Minke, bangsawan kecil Jawa, dicerminkan pada pengalaman RM Tirto Adisuryo seorang tokoh pergerakkan pada jaman kolonial yang mendirikan organisasi Sarekat Priyayi dan diakui oleh Pramoedya sebagai organisasi nasional pertama. Jilid pertamanya dibawakan secara oral pada para kawan sepenjaranya, dan sisanya diselundupkan ke luar negeri untuk dikoleksi pengarang Australia dan kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Pramoedya dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S/PKI, tapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun. Selama masa itu ia menulis Gadis Pantai, novel semi-fiksi lainnya berdasarkan pengalaman neneknya sendiri. Ia juga menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), autobiografi berdasarkan tulisan yang ditulisnya untuk putrinya namun tak diizinkan untuk dikirimkan, dan Arus Balik (1995).
Pramoedya telah menulis banyak kolom dan artikel pendek yang mengkritik pemerintahan Indonesia terkini. Ia menulis buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan para wanita Jawa yang dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa pendudukan Jepang. Semuanya dibawa ke Pulau Buru di mana mereka mengalami kekerasan seksual, mengakhiri tinggal di sana daripada kembali ke Jawa. Pramoedya membuat perkenalannya saat ia sendiri merupakan tahanan politik di Pulau Buru selama masa 1970-an. Banyak dari tulisannya menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum, dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga semi-otobiografi, di mana ia menggambar pengalamannya sendiri. Ia terus aktif sebagai penulis dan kolumnis. Ia memperoleh Ramon Magsaysay Award untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif 1995. Ia juga telah dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel Sastra. Ia juga memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI 2000 dan pada 2004 Norwegian Authors Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia. Ia menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara pada 1999 dan memperoleh penghargaan dari Universitas Michigan.
Sampai akhir hayatnya ia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Menurut laporan, Pramoedya menderita diabetes, sesak napas dan jantungnya melemah. Pada 6 Februari 2006 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, diadakan pameran khusus tentang sampul buku dari karya Pramoedya. Pameran ini sekaligus hadiah ulang tahun ke-81 untuk Pramoedya. Pameran bertajuk Pram, Buku dan Angkatan Muda menghadirkan sampul-sampul buku yang pernah diterbitkan di mancanegara. Ada sekitar 200 buku yang pernah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia.[4]
Novel Bumi Manusia yang merupakan buku pertama dari Tetralogi Buru mengisahkan perjuangan seorang pemuda yang melawan stereotip bahwa bangsa Belanda dan kulit putih lainnya merupakan penguasa karena kemajuan ilmu pengetahuannya, sedangkan rakyat pribumi Hindia hanya dianggap rendah. Para priyayi diiming-imingi dengan jabatan sebagai Bupati di masa depan. Padahal, hak-hak pribumi terutama yang mereka dianggap budak, tak pernah diindahkan. Dalam novel ini Minke terjun langsung dalam kehidupan seorang gundik pribumi yang menggubris jiwanya sehingga menjadi pemuda terpelajar yang nasionalis dan revolusioner.

3.1.2        Rumusan Masalah
3.1.2.1  Bagaimana tokoh Minke mengaktualisasikan idealismenya?

3.1.3        Tujuan
3.1.3.1  Menganalisis salah satu karya sastra terbaik Indonesia yang mengangkat kisah pada masa kolonialisme Belanda.
3.1.3.2  Mengapresiasi karya sastra novel Indonesia yang berprestasi di kancah Internasional.

3.2    Analisis
3.2.1        Landasan Teori
Secara epistemologi, idealisme berasal dari kata ide yang artinya adalah dunia di dalam jiwa. Menurut Plato, pandangan ini lebih menekankan hal-hal bersifat ide, dan merendahkan hal-hal yang materi dan fisik. Realitas sendiri dijelaskan dengan gejala-gejala psikis, roh, pikiran, diri, pikiran mutlak, bukan berkenaan dengan materi.[5] Dalam bahasa inggris, idealisme disebut idealism.
Sementara itu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, idealisme didefinisikan sebagai aliran ilmu filsafat yang menganggap pikiran atau cita-cita sebagai satu-satunya hal yang benar atau yang dapat dicamkan dan dipahami.[6]
Idealisme sebenarnya tidak berkontradiksi dengan realitas, melainkan saling berhubungan dan memperngaruhi satu sama lain. Faktanya, realitas yang terjadi sekarang ini dapat terwujud karena dahulu terdapat idealisme-idealisme dari seseorang atau sekumpulan orang. Demikian pula masa yang akan datang akan ditentukan oleh aktualisasi idealisme yang dimiliki orang-orang jaman sekarang.
Idealisme juga dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis berdasarkan pandangan filsuf, sebagai berikut.[7]
1.      Idealisme subjektif (Fichte) merupakan pandangan-pandangan yang berasal dari subjek-subjek tertentu. Idealisme ini mengutamakan keunggulan moral untuk sebuah etika manusia yang ideal.
2.      Hegel mengangkat idealisme subyektif dan obyektif untuk menggambarkan tesis dan antitesis secara berturut-turut. Idealisme absolut (Hegel) dikemukakan sebagai sintesis yang lebih tinggi dibanding unsur yang membentuknya (tesis dan antitesis).
3.      Kant menyebut pandangannya dengan istilah idealisme transendental atau idealisme kritis, yakni idealisme yang meyakini pengalaman langsung tidak dianggap sebagai benda dalam dirinya sendiri, dan ruang dan waktu merupakan forma intuisi kita sendiri.
Idealisme sendiri dapat ditemukan pula dalam dunia sastra.

Dalam dunia sastra, terdapat aliran idealisme juga, misalnya sebuah cerita, di dalamnya terdapat pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang. Berdasarkan pesan-pesan itu, seseorang dapat menganalisis tentang pandangan penulis.  Idealisme yang dikemukakan terkait dengan tema cerita, misalnya tema yang berhubungan dengan cinta, perjuangan, dan pembangunan masa depan. Ada dua bentuk idealisme: yaitu idealisme aktif, yaitu idealisme yang melahirkan insipirasi-inspirasi baru yang bisa dilakukan dalam realitas, sedangkan idealisme pasif adalah idealisme yang hanya semu, tidak pernah bisa diwujudkan, bersifat utopis saja. [8]

Idealisme sendiri juga dapat mengarah pada nasionalisme. Para founding fathers atau pelopor negara juga memiliki idealisme yang mengarah kepada nasionalisme. Mereka memiliki idealisme tentang bangsa dan negara yang bersatu dan dapat meraih kemerdekaan. Oleh karena itu, aktualisasi idealisme sudah sepatutnya untuk diwujudkan. Kata aktualisasi sendiri berasal dari kata dasar aktual. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, aktual berarti benar-benar ada (terjadi); sesungguhnya. [9]
Adapun, idealisme yang dimiliki tokoh Minke dalam novel Bumi Manusia ini termasuk idealisme subjektif yang diaktualisasikan ke arah nasionalisme dalam memperjuangkan hak-hak kaum pribumi.

3.2.2        Aplikasi
Novel Bumi Manusia dikemas dalam 20 bab oleh Pramoedya dan dibuka dengan sebuah pendahuluan dan disertai dengan pengantar. Minke digambarkan Pramoedya sebagai pemuda yang berasal dari kalangan bangsawan Jawa/priyayi. Ia merupakan pelajar H.B.S. di Surabaya. Merupakan sebuah kebanggaan bagi seorang inlander[10] sepertinya, dapat mengenyam pendidikan ala Eropa di sekolah tersebut.

Sekali direktur sekolahku bilang di depan klas: yang disampaikan oleh tuan-tuan guru di bidang pengetahuan umum sudah cukup luas; jauh lebih luas daripada yang dapat diketahui oleh para pelajar setingkat di banyak negeri di Eropa sendiri. Tentu dada ini menjadi gembung.

(Toer, 2010:11)

Ilmu pengetahuan juga agaknya membuat Minke menjadi berbeda dibandingkan kaum Jawa lainnya. Selama belajar di H.B.S. ia terkagum-kagum dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang membuatnya seakan ingin terlepas dari kejawaannya dan membedah lebih lanjut tentang modernisasi Eropa.

Ilmu pengetahuan, yang kudapatkan dari sekolah dan kusaksikan sendiri pernyataannya dalam hidup, telah membikin pribadiku menjadi agak berbeda dari sebangsaku pada umumnya. Menyalahi wujudku sebagai orang Jawa atau tidak akupun tidak tahu. Dan justru pengalaman hidup sebagai orang Jawa berilmupengetahuan Eropa yang mendorong aku suka mencatat-catat. Suatu kali akan berguna, seperti sekarang ini.

(Toer 2010:12)

Tokoh Minke digambarkan oleh Pramoedya sebagai sosok yang beridealisme tinggi, yang selalu ingin menjadi manusia yang bebas dari batasan-batasan dan merdeka. Ia bahkan lebih senang membiarkan orang memanggilnya dengan nama—yang  sebenarnya bukan nama aslinya—ejekan dari gurunya dahulu.

Meneer Rooseboom melotot menakutkan, membentak:
‘Diam kau, monk….. Minke!’
Sejak itu seluruh klas, yang baru mengenal aku, memanggil aku Minke, satu-satunya pribumi. Kemudian juga guru-guruku juga teman-teman semua klas juga yang di luar sekolah.

(Toer, 2010:51)
Sosok Minke mengalami pergolakan batin ketika berhadapan dengan berbagai problem sosial-budaya maupun politik yang menyeret dirinya ke dalam pergumulan. Dinamika hidupnya dimulai saat Suurhof mengajaknya ke Boerderij Buitenzorg di Wonokromo. Perusahaan itu awalnya dipimpin oleh seorang Belanda, Herman Mellema tetapi kemudian dipimpin oleh gundiknya, yakni Nyai Ontosoroh yang tak lain bernama asli Sanikem. Pramoedya menampilkan kenyataan sosial pada masa itu terhadap kaum perempuan. Penjualan perempuan dianggap sudah biasa dan dihalalkan, tanpa mengindahkan siksaan dan penghinaan yang mungkin diterima si perempuan. Sanikem dijual oleh orang tuanya demi naik jabatan dan mendapatkan uang.

‘Begitulah, Ann, upacara sederhana bagaimana seorang anak telah dijual oleh ayahnya sendiri, jurutulis Sastrotomo. Yang dijual adalah diriku: Sanikem. Sejak detik itu hilang sama sekali penghargaan dan hormatku pada ayahku; pada siapa saja yang hidupnya pernah menjual anaknya sendiri. Untuk tujuan dan maksud apapun….’

(Toer, 2010:123)

Pramoedya menggambarkan Nyai Ontosoroh sebagai gundik yang berbeda dari prasangka umum. Ia begitu bersahaja dan arif. Etika, tingkah laku, kemampuan menulis dan berbicara dalam Melayu, dan Belanda Nyai, sungguh membuka mata Minke tentang kesalahan besar stereotip yang berkembang di dalam masyarakat. Mulai dari peristiwa inilah idealisme tokoh Minke terbentuk.

Aku masih terpesona melihat seorang wanita pribumi bukan saja bicara Belanda, begitu baik, lebih karena tidak mempunyai suatu komplex terhadap tamu pria. Di mana lagi bisa ditemukan wanita semacam dia? Dan mengapa hanya seorang nyai, seorang gundik? Siapa pula yang telah mendidiknya jadi begitu bebas seperti wanita Eropa? Keangkeran istana kayu ini berubah menjadi mahligai teka-teki bagiku.

(Toer, 2010:34)

Sosok Nyai Ontosoroh merupakan sosok perempuan pribumi yang begitu kuat. Bekerja menafkahi anak-anaknya dengan mengelola sebuah perusahaan besar. Berdiri, diposisikan sebagai gundik yang tak lain adalah budak, dihinakan oleh keluarga sendiri dan masyarakat baik pribumi, Indo, maupun Belanda Totok. Namun, ia menjadi wanita pribumi tangguh dengan mengandalkan alur hidup. Semua pengetahuan ia peroleh dari hidup. Pribadi Minke yang tergila-gila pada ilmu pengetahuan serasa diguncang dengan pernyataan dari Nyai Ontosoroh yang dipanggil Mama ini.

‘Mana mungkin? Mama bicara, membaca, mungkin juga menulis Belanda. Mana bisa tanpa sekolah?’
‘Apa salahnya? Hidup bisa memberikan segala pada barang siapa tahu dan pandai menerima.’

Toer (2010:105)

Bumbu percintaan digambarkan Pramoedya sebagai salah satu pokok utama cerita. Minke jatuh cinta pada gadis Indo cantik nan jelita, Annelies Mellema. Oleh karena pribadi ibunya, Annelies tidak tumbuh mandiri, baik secara fisik maupun psikis. Agaknya wejangan-wejangan dari ibunya—yang tidak sepenuhnya baik—mempengaruhi psikis Annelies sehingga ia ingin diakui sebagai pribumi bukan keturunan Indo. 

Aku pandangi Mama. Dan Mama mengawasi aku, berkata pelan :
‘Kalau suka, kau boleh ikuti contoh abangmu.’
‘Tidak, Ma,’ seruku dan kupeluk lehernya. ‘Aku hanya ikut Mama. Aku juga pribumi seperti Mama.’

                                                                                                                     (Toer 2010:37)

Kenyataannya, kehidupan dewi jelita ini dibatasi oleh kekuasaan ibunya. Jiwanya terkurung di dalam pribadi ibunya. Menurut dokter Martinet, pribadi ibunya sangat berpengaruh dalam perkembangan psikis Annelies.

‘Aku punya dugaan begini: pengaruh dari luar, sangat kuat tak terlawan, telah membikin gambaran salah tentang diri sendirinya sendiri. Ia merasa seorang pribumi yang seasli-aslinya. Boleh jadi dari ibunya ia mendapat gambaran: semua orang Eropa menjijikan dan berkelakuan hina.’

(Toer, 2010:370)

Kedatangan Minke berkesan amat baik bagi keluarga Nyai Ontosoroh. Nyai pun mengharapkan kedatangannya lagi, tentunya demi perkembangan putrinya. Minke pun jatuh dalam pergumulan antara soal cinta dan sistem sosial. Datang dan tinggal di rumah nyai-nyai bukanlah tindakan terpuji. Di sinilah idealismenya akan permasalahan sistem sosial muncul. Melalui perkataan Jean, Minke belajar bahwa pandangan masayarakat umum belum tentu benar adanya.

‘Pendapat umum itu perlu dan harus diindahkan, dihormati, kalau benar. Kalau salah, mengapa dihormati dan diindahkan? Kau terpelajar, Minke, Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Itulah memang arti terpelajar itu….’


(Toer 2010:77)

Tokoh Minke terus digembleng dengan berbagai permasalahan sejak tinggal di rumah Nyai. Kakak Annelies, Robert Mellema benci dengan segala hal tentang pribumi termasuk keluarganya sendiri. Kedatangan Minke pun dianggap mengusik hidupnya. Robert akhirnya merencanakan pembunuhan terhadap Minke secara diam-diam. Di sini, Pramoedya menunjukkan salah satu problem social yaitu berupa rasisme. Pada masa penjajahan, memang terdapat hak-hak istimewa tertentu yang dimiliki oleh golongan tertentu, sedangkan kaum pribumi hanya dianggap budak yang tak berpengetahuan.

‘Aku tahu, kau juga tahu, orang-orang di sini pada memusuhi aku. Tak ada yang menggubris aku. Ada yang membikin semua ini. Sekarang kau datang kemari. Sudah pasti kau seorang di antara mereka. Aku berdiri seorang diri sendiri di sini. Hendaknya kau jangan sampai lupa pada apa yang bisa dibikin oleh seorang yang berdiri sendiri.’

(Toer, 2010:160)

Kekuatiran, satu demi satu bermunculan. Ayah Minke yang hendak diangkat menjadi Bupati kota B., marah besar ketika mengetahui Minke tinggal di sarang nyai-nyai. Namun, bundanya ditampilkan oleh Pramoedya sebagai sosok yang bijaksana.

‘Lelaki, Gus, soalnya makan, entah daun entah daging. Asal kau mengerti, Gus, semakin tinggi sekolah bukan berarti semakin menghabiskan makanan orang lain. Harus semakin mengenal batas. Kan itu tidak terlalu sulit difahami? Kalau orang tak tahu batas, Tuhan akan memaksanya tahu dengan caraNya sendiri.’

(Toer, 2010:189)

 Ayahnya dan ibunya mengharapkan Minke dapat menjadi pejabat pemerintah suatu saat, sebaliknya Minke berketetapan hati dengan idealismenya. Ia ingin menjadi manusia bebas—terinspirasi dari Revolusi Perancis. Sebuah keinginan yang tak terbayangkan oleh orang Jawa pada umumnya karena sehari-hari mereka hidup bagaikan budak, terus diperintah. Selain itu, mereka juga hidup dalam feodalisme Jawa, di mana seseorang harus tunduk dan hormat pada penguasa.

‘…..Kau pasti jadi bupati kelak.’
‘Tidak, Bunda, sahaya tidak ingin.’
‘Tidak? Aneh. Ya, sesuka hatimulah. Jadi kau mau jadi apa? Kalau tamat kau bisa jadi apa saja, tentu.’
‘Sahaya hanya ingin menjadi manusia bebas, tidak diperintah, tiidak memerintah, Bunda.’
‘Ha? Ada jaman seperti itu, Gus? Aku baru dengar.’


(Toer, 2010:190)


Di sini ditampilkan oleh Pramoedya, betapa feodalisme Jawa amat kuat, sebuah “kebudayaan” yang semakin menginjak-injak harkat dan martabat manusia. Minke yang idealismenya bertolakbelakang dengan hal ini, tetap bersujud menyembah ayahnya, meminta ampun meski dengan hati meronta.

Aku mengangkat sembah sebagaimana biasa aku lihat dilakukan punggawa terhadap kakekku dan nenekku dan orangtuaku, waktu lebaran. Dan yang sekarang tak juga kuturunkan sebelum Bupati itu duduk enak di tempatnya. Dalam mengangkat sembah serasa hilang seluruh ilmu dan pengetahuan yang kupelajari tahun demi tahun kebelakangan ini. Hilang indahnya dunia sebagaimana dijanjikan oleh kemajuan ilmu....Sembah—pengagungan pada leluhur dan pembesar melalui perendahan dan penghinaan diri! Sampai sedatar tanah kalau mungkin! Uh, anak-cucuku tak kurelakan menjalani kehinaan ini.

(Toer, 2010:182)

Demikianlah potret kehidupan politik di tanah Jawa, di bawah kekuasaan Belanda. Pejabat pemerintahan diiming-imingi dengan jabatan rendah, padahal pribumi hanya dijadikan alat bangsa Eropa untuk meninggikan kejayaan mereka, sementara di pihak lain kaum pribumi akan semakin direndahkan derajatnya hingga ke jauh ke dalam tanah. Memang, pada masa penjajahan, kaum Hindia tidak dapat melakukan banyak hal untuk membuat kemerdekaan bagi diri mereka sendiri.



Melihat aku mempunyai perhatian penuh dan membikin catatan Meneer Lastendienst bertanya padaku dengan nada mendakwa : Eh, Minke wakil bangsa Jawa dalam ruangan ini, apa sudah disumbangkan bangsamu pada ummat manusia?

(Toer, 2010:168)

Dalam hal politik seperti ini, nasionalisme tokoh Minke semakin terasah. Setidaknya, di antara para kaum penjajah yang tak tahu malu ini, masih ada yang peduli terhadap kaum Hindia, Miriam dan Sarah de la croix. Keduanya merupakan putri Tuan Assisten Residen Kota B.. Miriam dan Sarah de la croix sering berbalas surat dengan Minke, membahas perpolitikan di bumi pertiwi ini.

Dengarkan kata papa lagi, sekalipun tetap menggunakan perbandingan kasar : Tahu kalian apa yang dibutuhkan bangsa cacing ini? Seorang pemimpin yang mampu mengangkat derajad mereka kembali.


(Toer, 2010:283)

Bahkan, Pramoedya menggambarkan dukungan yang luar biasa dari Miriam dan Sarah de la Croix bagi Minke—sebagai seorang terpelajar—untuk dapat menjadi revolusioner bagi bangsanya sendiri. Surat dari mereka semakin menumbuhkan  semangat Minke untuk memperjuangkan hak-hak bangsanya.

Minke, sahabatku, di mana gerangan gung Jawa di luar gamelan, dalam kehidupan nyata ini? Kaulah itu bakalnya? Gung yang agung itu? Bolehkah kami berdoa untukmu?


(Toer, 2010:287)

Untuk sementara, Minke tidak dapat tinggal di Wonokromo karena ada sassus bahwa Robert ingin membunuhnya. Nyai pun menyuruh Robert mencari Minke, tetapi ia justru pergi ke tempat pelacuran Tionghoa. Di sini, Pramoedya menggambarkan  bagaimana nasib kaum perempuan di masa penjajahan. Salah seorang pelacur, Maiko, berasal dari Jepang ia telah dijual berulang kali, hingga akhirnya tinggal di plesiran Babah Ah Tjong.



‘Majikanku, orang Jepang itu, kemudian terlalu benci padaku. Aku sering dipukulinya. Malah pernah aku disiksanya dengan sundutan api rokok. Soalnya karena langgananku semakin berkurang juga.’


(Toer, 2010:252)

Begitu pula yang terjadi pada Herman Mellema beberapa tahun sebelumnya saat anaknya, Maurits datang dari Belanda untuk meminta pertanggungjawaban Herman terhadap keluarganya. Ia justru berplesir di plesiran Babah Ah Tjong. Sekembalinya, ia menjadi linglung dan diusir Nyai. Pramoedya menunjukkan bagaimana nafsu berahi dan seksualitas dapat mengubah sifat dan perilaku seseorang.
Akhirnya, Minke kembali ke Wonokromo. Sekolah dan publik akhirnya mengetahui bahwa Minke tinggal di rumah seorang nyai. Aktualisasi idealisme Minke diuji. Namun, Minke tetap teguh pada pandangannya sendiri tentang moral dan etika yang sesungguhnya.

“Karena tempat tinggal tidak berarti sesuatu. Lagipula apa yang disebut nyai-nyai pada luarnya, Juffrow, tak lain dari orang terpelajar, malahan termasuk guruku.”


(Toer 2010:336)

Akhirnya, hanya hinaan, cacian, dan makian yang ia terima. Tuan Herman Mellema ditemukan tewas karena diracuni di Plesiran Babah Ah Tjong. Nama Minke ikut terseret dalam masalah ini.  

Dan  benar saja: berita mulai tersiar di harian-harian: matinya salah seorang hartawan terkaya Surabaya, pemilik Boerderij Buitenzorg, Tuan Mellema; mati di rumah plesiran Babah Ah Tjong di Wonokromo; mati dalam muntahan minuman keras beracun! Dan nama kami disebutkan berulang kali.


(Toer, 2010:408)

Ia pun dikeluarkan dari sekolah. Minke digambarkan tetap berteguh pada idealismenya karena baginya pandangan umum belum tentu benar. Pramoedya menampilkan tokoh Minke sebagai seorang yang nasionalis, dan bebas, tak peduli pendapat orang. Sidang di Pengadilan Putih akhirnya dilaksanakan, tentunya tanpa hukum yang berimbang antara kaum Eropa (kulit putih) dan pribumi.

‘Tak bisa mereka melihat pribumi tidak penyek terinjak-injak kakinya. Bagi mereka pribumi mesti salah, orang Eropa harus bersih, jadi pribumipun sudah salah. Dilahirkan sebagai pribumi lebih salah lagi.’


(Toer, 2010:413)

Atas pertimbangan Magda Peters, Minke tidak jadi dikeluarkan. Minke terus melanjutkan studinya hingga lulus. Setelah lulus H.B.S., ia segera menikahi Annelies.  Pramoedya memasukkan unsur kebudayaan Jawa dalam pernikahan Minke melalui wejangan bundanya.

‘Husy, Kau yang  terlalu percaya pada segala yang serba Belanda. Lima syarat yang ada pada satria Jawa : wisma, wanita, turangga, kukila, dan curiga.  Bisa mengingat?’

(Toer 2010:463)

Akhirnya, Pramoedya menggambarkan klimaks dengan sempurna. Digambarkan, tokoh Minke menghadapi masalah politik dan percintaan. Saat Annelies jatuh sakit, Maurits Mellema mengajukan permohonan ke Pengadilan untuk mengambil semua harta mendiang ayahnya di Wonokromo.

Berdasarkan permohonan dari Ir. Maurits Mellema, dan ibunya, Mevrouw Amelia Mellema Hammers, anak dan janda mendiang Tuan Herman Mellema, melalui advokatnya Tuan Mr Hans Graeg, berkedudukan di Amsterdam, Pengadilan Amsterdam, berdasarkan surat-surat resmi dari Surabaya yang tidak dapat diragukan kebenarannya, memutuskan menguasai seluruh harta-benda mendiang Tuan Herman Mellema untuk kemudian karena tidak ada tali perkawinan syah antara Tuan Herman Mellema dengan Sanikem.

(Toer, 2010:486)

 Keberanian, ketangguhan, dan kepercayaan digambarkan Praamoedya dalam usaha Minke dan Nyai dalam melawan Maurits dalam sidang. Meski mereka tahu bahwa mereka akan kalah, mereka tetap melawan. Permasalahan ini  mengungkit nasionalisme Minke untuk melawan permohonan tersebut di Pengadilan.



‘Ya, Nak, Nyo, memang kita harus melawan. Betapapun baiknya orang Eropa itu pada kita, toh mereka takut mengambil risiko berhadapan dengan keputusan hukum Eropa, hukumnya sendiri, apalagi kalau hanya untuk kepentingan pribumi. Kita takkan malu bila kalah. Kita harus tahu mengapa.’


Toer (2010:499)

Pramoedya memperlihatkan betapa mudahnya hukum dipermainkan. Hukum seakan-akan tidak mengakui hak-hak pribumi. Bahkan Minke pun tak diakui sebagai suami Annelies, walaupun telah menikah sah secara Islam.

‘Kami tidak punya urusan dengan siapapun yang mengaku atau tidak mengaku sebagai suaminya. Juffrouw Annelies Mellema masih gadis, tidak bersuami.’


Toer (2010:510)

Akhirnya, sesuai dengan keputusan Pengadilan, Annelies pergi ke Nederland untuk menyelesaikan perkara tanpa Minke dan Nyai.

Sayup-sayup terdengar roda kereta menggiling kerikil,makin lama, makin jauh,  akhirnya tak terdengar lagi. Annelies dalam pelayaran ke negeri di mana Sri Ratu Wilhelmina bertahta. Kami menundukkan kepala di belakang pintu.

(Toer, 2010:534)

Demikianlah Pramoedya Ananta Toer mengekspresikan idenya ke dalam novel Bumi Manusia. Sesuai dengan judulnya, di dalam novelnya ini, ia mengisahkan kehidupan manusia yang kompleks dari segi sosial-budaya dan politik yang erat kaitannya satu sama lain.

Cerita,,selamanya tentang manusia, kehidupannya, bukan kematiannya. Ya biarpun yang ditampilkannya itu hewan, raksasa atau dewa ataupun hantu. Dan tak ada yang lebih sulit dipahami daripada sang manusia… jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana; biarpun penglihatanmu setajam mata elang; pikiranmu setajam pisau cukur, perabaanmu lebih peka daripada dewa, pendengaranmu dapat menangkap musik dan ratap tangis kehidupan; pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa kemput.

(Toer, 2010:7)
3.2.3        Simpulan
Pramoedya Ananta Toer menggambarkan tokoh Minke sebagai pemuda terpelajar dari kaum priyayi yang memiliki idealisme tinggi terhadap nilai-nilai moral dan kehidupan yang mengacu pada nasionalisme. Minke merupakan pelajar H.B.S. yang tergila-gila pada pengetahuan dan peradaban, sehingga seakan-akan ingin keluar dari kejawaannya menuju kebebasan di luar dari feodalisme Jawa yang terkesan merendahkan atau meninggikan kaum tertentu. Minke memang digambarkan sebagai tokoh yang ingin menjadi manusia yang bebas dan merdeka, tidak ingin diperintah ataupun memerintah.
Awal mula tumbuhnya semangat idealisme ini dimulai saat ia mengalami gejolak sosial. Dengan berbekal pemikiran yang adil, Minke berani menantang pendapat umum masyarakat dengan tinggal di rumah Nyai Ontosoroh. Ia belajar banyak hal dari “guru spiritualnya” ini. Meski ia dilimpahi hinaan, ejekan, dan cacian dari orang banyak termasuk keluarganya sendiri, ia tetap berpegang pada idealismenya. Sampai pada akhirnya, keluarga Nyai Ontosoroh menghadapi masalah hukum, jiwa nasionalisme Minke muncul untuk memperjuangkan hak-hak kaum pribumi yang selalu diinjak-injak oleh kaum penjajah. Tokoh Minke berani menjadi revolusioner bagi kebangkitan pemikirannya dan spiritualitasnya sendiri.

IV.             Penutup
4.1  Kelebihan
Pramoedya Ananta Toer yang menulis novel ini saat dalam masa tahanan, mampu mengemas sejarah kolonialisme Belanda di Hindia (Indonesia) dengan sangat apik dari sudut pandang yang berbeda. Novel ini memberikan banyak nilai spiritualitas yang masih dapat direnungkan di abad 21 ini. Peristiwa demi peristiwa ditampilkan secara tak terduga dan menimbulkan kesan bagi pembaca.
Pramoedya sangat cerdik dalam menyusun rangkaian kata-kata yang ekspresif, sehingga pembaca pun ikut “masuk” ke dalam cerita. Ia mendeskripsikan cerita dengan sangat detail dan kronologis sehingga pembaca dapat dengan mudah memahami jalan cerita. Dari segi tata bahasa, memang terdapat banyak istilah dalam bahasa Belanda, dan istilah-istilah kuno. Namun, justru inilah salah satu poin menarik/keunikan dari novel ini yang memang seharusnya dipertahankan.
Terlepas dari kecerdasan Pramoedya dalam mengolah kata-kata, kelebihan yang terutama adalah kayanya novel ini akan nilai-nilai kehidupan. Melalui novel ini, tokoh Minke seakan-akan mengajarkan kita untuk berani terlepas dari pandangan umum masyarakat yang belum tentu benar dan mampu menjadi revolusioner bagi diri kita sendiri. Pram mengajak kita untuk selalu adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.

4.2  Kelemahan
Kelemahan dari novel sastra ini adalah masih terdapat kesalahan pengetikan tanda baca, seperti tanda petik (“ “) yang biasa digunakan untuk mengawali dan mengakhiri perkataan tokoh. Selain itu, harga novel ini cukup mahal dibandingkan dengan novel sastra lain. Memang, novel seperti ini layak diapresiasi dengan harga yang cukup mahal, tetapi imbasnya tidak banyak orang mau membeli novel ini, kecuali mereka yang berpengetahuan sastra cukup dan berkemampuan ekonomi cukup.


DAFTAR PUSTAKA

“Aktual” dalam http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php, diakses pada 1 November 2011 pukul 15.32 WIB

“Idealisme”  dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Idealisme, diakses tanggal 1 November 2011, pukul 15.22 WIB

“Idealisme” dalam http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php, diakses pada 1 November 2011 pukul 15.32 WIB

“Pramoedya Ananta Toer” dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Pramoedya_Ananta_Toer, diakes tanggal 28 Oktober 2011, pukul 13.05 WIB

Toer, Pramoedya Ananta. 2010. Bumi Manusia. Jakarta : Lentera Dipantara.





[1] Mevrouw (Belanda) = Nyonya. Juffrow (Belanda) = Nona.
[2] Boerderij Buitenzorg (Belanda) = Perusahaan Pertanian.
[3] Plesiran (Jawa) = Pelacuran
[4] http://id.wikipedia.org/wiki/Pramoedya_Ananta_Toer, diakes tanggal 28 Oktober 2011, pukul 13.05 WIB
[5] http://id.wikipedia.org/wiki/Idealisme, diakses tanggal 1 November 2011, pukul 15.22 WIB
[6] http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php, diakses tanggal 1 November 2011, pukul 15.32 WIB
[8] Ibid.
[10] Inlander = pribumi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CERITA PENDEK ON-LINE KARYA SISWA-SISWI KELAS XII IPA 1 TAHUN 2014/2015

CERITA PENDEK ON-LINE KARYA SISWA-SISWI KELAS XII IPA 3 TAHUN 2014/2015