Aktualisasi Idealisme Tokoh Minke dalam Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer
I. Deskripsi
Fisik Buku
|
|||
II.
Sinopsis
Minke adalah seorang pemuda Jawa dari golongan
priyayi. Ia bersekolah di sekolah Belanda, H.B.S.. Di Surabaya, ia tinggal di rumah
kontrakan milik seorang Mevrouw[1]
yang baik hati yang bersuamikan seorang mantan komandan tentara kolonial. Untuk
mendapatkan uang saku, Minke menjalankan bisnis kecil-kecilan dengan memasarkan
karya-karya hasil seniman invalid yang berdarah Perancis bernama Jean Marais,
yang juga merupakan sahabat Minke. Selain itu, Minke juga sering membuat tulisan
di koran lokal berbahasa Belanda S.N.
v/d D dengan menggunakan nama samaran Max Tollenaar.
Gejolak hidupnya dimulai saat Robert Suurhof mengajak Minke ke Boerderij Buitenzorg[2] di Wonokromo. Perusahaan besar
ini ternyata dipimpin oleh seorang gundik yang diangkat pebisnis Belanda,
Herman Mellema yang sebenarnya telah beristri di Belanda dan mempunyai anak
bernama Maurits Mellema. Gundik yang dipanggil Nyai Ontosoroh itu menunjukkan
kearifan dan etika Belanda di dalam sikap, ucapan, dan tingkah laku yang sama
sekali membuka mata Minke tentang sosok gundik yang biasanya dianggap nista dan
berstrata sosial amat rendah. Di lain sisi, Minke jatuh cinta pada anak Nyai, Annelies Mellema yang selalu ingin diakui sebagai pribumi asli. Cinta itu indah.
Demikian perkataan Jean yang mendorong Minke untuk kembali mengunjungi Annelies
di Wonokromo dan memenuhi permintaan Nyai untuk tinggal di sana.
Nyai Ontosoroh sebenarnya bernama Sanikem. Orang tuanya
menjualnya kepada Herman Mellema saat ia berumur empat belas tahun. Herman
Mellema mengajari Sanikem tentang segala kebiasaan dalam kehidupan seorang
Belanda, mulai dari menyikat gigi, hingga berbicara dan menulis dalam bahasa
Belanda. Ketika mereka hendak mengakui Robert dan Annelies sebagai anak secara
hukum, Pengadilan tidak mengakui mereka sebagai anak sah, hanya sebagai anak
Mellema. Robert sendiri ingin dianggap sebagai seorang Belanda sepenuhnya
seperti ayahnya. Ia sangat benci dengan pribumi dan segala hal yang berkaitan
dengan pribumi. Ia tidak suka pada ibunya dan adiknya, begitu pula sebaliknya.
Agaknya Robert merasa kedatangan Minke sebagai pria pribumi mengancam
eksistensi Robert sebagai satu-satunya pria di rumah itu.
Sementara Minke tinggal di keluarga unik ini, ayahnya
diangkat menjadi Bupati di Kota B.. Mendengar kabar bahwa Minke tinggal di
rumah seorang Nyai, ayahnya pun marah besar. Di dalam pesta pengangkatan itu,
Minke diperkenalkan dengan Sarah dan Miriam de la Croix, putri Tuan Assisten
Residen B.. Tak disangka, wanita-wanita Belanda ini memiliki perhatian dan
dukungan tinggi terhadap perkembangan bangsa Hindia agar menjadi mandiri dan sesegera
mungkin lepas dari kolonialisme Belanda.
Berita mengejutkan datang dari Darsam, pembantu Nyai
Ontosoroh bahwa Robert Mellema berencana membunuh Minke. Untuk sementara, Minke
tak bisa tinggal di Wonokromo. Annelies jatuh sakit karena rindu pada Minke.
Nyai pun menyuruh Robert untuk mencari informasi tentang keberadaan Minke
tetapi ia justru pergi ke Plesiran[3] Tionghoa Babah Ah Tjong, persis seperti ayahnya dulu
yang kini telah diusir Nyai karena kondisi jiwa yang tak sehat. Mengetahui hal itu,Nyai
pun mengusir Robert.
Minke kini terjebak di dalam stereotip umum. Teman-teman
di H.B.S. pun menjauhinya begitu tersebar kabar bahwa ia tinggal di sarang
nyai-nyai. Sempat terjadi tragedi ketika diketahui Herman Mellema tewas di
Plesiran Babah Ah Tjong karena diracuni. Lantas, berita ini menyeret nama Minke
walaupun sebenarnya tak ada sangkut paut apapun dengan kematian Mellema. Ia pun
dikeluarkan dari H.B.S. karena tindakannya dianggap melanggar norma. Orang
terpelajar harus adil sejak dalam pikirannya. Itulah yang menjadi pegangan
hidupnya sekarang. Akhirnya, Minke diminta kembali lagi ke H.B.S. atas
pertimbangan pendapat dari Juffrow Magda Peters. Setelah lulus dari H.B.S.
dengan nilai kedua terbaik di Hindia, ia pun menikahi Annelies.
Enam bulan kemudian, Maurits Mellema mengajukan
permohonan ke Pengadilan untuk mengambil seluruh harta mendiang ayahnya di Boerderij Buitenzorg. Nyai Ontosoroh,
Minke, dan Annelies tahu bahwa mereka akan kalah dalam sidang. Namun, mereka
tetap melawan sehormat-hormatnya. Nyai terus menyuarakan hak-hak pribumi.
Namun, pribumi memang takkan menang melawan Belanda di bumi manusia ini. Mereka
kalah. Annelies sebagai anak Herman Mellema pun diharuskan menyelesaikan
perkara di Nederland. Demikianlah akhirnya Annelies meninggalkan Minke dan Nyai
Ontosoroh pergi berlayar menuju Nederland.
III.
Novel Bumi Manusia :
Aktualisasi Idealisme Tokoh Minke
dalam Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer
3.1 Pendahuluan
3.1.1
Latar Belakang
Pramoedya
Ananta Toer dilahirkan di Blora, Jawa Tengah pada
tanggal 6 Februari 1925 sebagai
anak sulung dalam keluarganya. Nama asli Pramoedya adalah Pramoedya Ananta
Mastoer, sebagaimana yang tertulis dalam koleksi cerita pendek
semi-otobiografinya yang berjudul Cerita Dari Blora. Karena nama
keluarga Mastoer (nama ayahnya) dirasakan terlalu aristokratik, ia
menghilangkan awalan Jawa "Mas" dari nama tersebut dan menggunakan
"Toer" sebagai nama keluarganya. Pramoedya menempuh pendidikan pada
Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya, dan
kemudian bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia. Secara
luas dikenal sebagai salah satu pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Pramoedya telah menghasilkan lebih
dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing.
Pada masa
kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan kerap
ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen serta buku
di sepanjang karir militernya dan ketika dipenjara Belanda di Jakarta
pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia tinggal
di Belanda sebagai bagian dari program pertukaran budaya, dan ketika kembali ke
Indonesia ia menjadi
anggota Lekra, salah satu
organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu,
sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik pada
pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Hal ini menciptakan friksi
antara dia dan pemerintahan Soekarno. Selama
masa itu, ia mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa Indonesia, kemudian
pada saat yang sama, ia pun mulai berhubungan erat dengan para penulis di
Tiongkok. Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat-menyurat dengan penulis
Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia, berjudul Hoakiau
di Indonesia. Ia merupakan kritikus yang tak mengacuhkan pemerintahan
Jawa-sentris pada keperluan dan keinginan dari daerah lain di Indonesia, dan
secara terkenal mengusulkan bahwa pemerintahan mesti dipindahkan ke luar Jawa.
Pada 1960-an ia ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-Komunis
Tiongkoknya. Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan
di Nusakambangan di lepas
pantai Jawa, dan akhirnya di pulau Buru di kawasan
timur Indonesia. Selain pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1
tahun pada masa Orde Lama, selama
masa Orde Baru Pramoedya
merasakan 14 tahun ditahan sebagai tahanan politik tanpa
proses pengadilan.
Ia dilarang
menulis selama masa penahanannya di Pulau Buru, namun
tetap mengatur untuk menulis serial karya terkenalnya yang berjudul Bumi Manusia, serial 4
kronik novel semi-fiksi sejarah Indonesia. Tokoh utamanya Minke, bangsawan
kecil Jawa, dicerminkan pada pengalaman RM Tirto Adisuryo seorang tokoh
pergerakkan pada jaman kolonial yang mendirikan organisasi Sarekat Priyayi dan
diakui oleh Pramoedya sebagai organisasi nasional pertama. Jilid pertamanya
dibawakan secara oral pada para kawan sepenjaranya, dan sisanya diselundupkan
ke luar negeri untuk dikoleksi pengarang Australia dan
kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Pramoedya dibebaskan
dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan secara
hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S/PKI, tapi masih
dikenakan tahanan rumah di Jakarta
hingga 1992, serta
tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali
seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun. Selama
masa itu ia menulis Gadis Pantai, novel
semi-fiksi lainnya berdasarkan pengalaman neneknya sendiri. Ia juga menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), autobiografi
berdasarkan tulisan yang ditulisnya untuk putrinya namun tak diizinkan untuk
dikirimkan, dan Arus Balik (1995).
Pramoedya
telah menulis banyak kolom dan artikel pendek yang mengkritik pemerintahan
Indonesia terkini. Ia menulis buku Perawan Remaja dalam Cengkraman
Militer, dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan para
wanita Jawa yang dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa pendudukan
Jepang. Semuanya dibawa ke Pulau Buru di mana mereka mengalami kekerasan
seksual, mengakhiri tinggal di sana daripada kembali ke Jawa. Pramoedya membuat
perkenalannya saat ia sendiri merupakan tahanan politik di Pulau Buru selama
masa 1970-an. Banyak
dari tulisannya menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda, kerajaan
Jawa, orang Jawa secara umum, dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga
semi-otobiografi, di mana ia menggambar pengalamannya sendiri. Ia terus aktif
sebagai penulis dan kolumnis. Ia memperoleh Ramon Magsaysay Award untuk
Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif 1995. Ia juga telah
dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel Sastra. Ia juga memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI 2000 dan
pada 2004 Norwegian Authors Union Award untuk
sumbangannya pada sastra dunia. Ia menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara
pada 1999 dan memperoleh penghargaan dari Universitas Michigan.
Sampai akhir
hayatnya ia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya
yang lanjut dan kegemarannya merokok. Menurut laporan, Pramoedya menderita diabetes, sesak
napas dan jantungnya melemah. Pada 6 Februari 2006 di Teater
Kecil Taman Ismail Marzuki, diadakan pameran khusus tentang
sampul buku dari karya Pramoedya. Pameran ini sekaligus hadiah ulang tahun
ke-81 untuk Pramoedya. Pameran bertajuk Pram, Buku dan Angkatan Muda
menghadirkan sampul-sampul buku yang pernah diterbitkan di mancanegara. Ada
sekitar 200 buku yang pernah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia.[4]
Novel Bumi Manusia yang merupakan
buku pertama dari Tetralogi Buru mengisahkan
perjuangan seorang pemuda yang melawan stereotip bahwa bangsa Belanda dan kulit
putih lainnya merupakan penguasa karena kemajuan ilmu pengetahuannya, sedangkan
rakyat pribumi Hindia hanya dianggap rendah. Para priyayi diiming-imingi dengan
jabatan sebagai Bupati di masa depan. Padahal, hak-hak pribumi terutama yang
mereka dianggap budak, tak pernah diindahkan. Dalam novel ini Minke terjun
langsung dalam kehidupan seorang gundik pribumi yang menggubris jiwanya
sehingga menjadi pemuda terpelajar yang nasionalis dan revolusioner.
3.1.2
Rumusan Masalah
3.1.2.1 Bagaimana tokoh Minke mengaktualisasikan idealismenya?
3.1.3
Tujuan
3.1.3.1 Menganalisis salah satu karya sastra terbaik Indonesia
yang mengangkat kisah pada masa kolonialisme Belanda.
3.1.3.2 Mengapresiasi karya sastra novel Indonesia yang
berprestasi di kancah Internasional.
3.2 Analisis
3.2.1
Landasan Teori
Secara epistemologi, idealisme
berasal dari kata “ide” yang artinya adalah dunia di dalam
jiwa. Menurut Plato, pandangan
ini lebih menekankan hal-hal bersifat ide, dan merendahkan hal-hal yang materi
dan fisik. Realitas
sendiri dijelaskan dengan gejala-gejala psikis, roh, pikiran, diri, pikiran
mutlak, bukan berkenaan dengan materi.[5] Dalam bahasa inggris, idealisme disebut idealism.
Sementara itu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
idealisme didefinisikan sebagai aliran ilmu filsafat yang menganggap pikiran
atau cita-cita sebagai satu-satunya hal yang benar atau yang dapat dicamkan dan
dipahami.[6]
Idealisme sebenarnya tidak berkontradiksi dengan
realitas, melainkan saling berhubungan dan memperngaruhi satu sama lain.
Faktanya, realitas yang terjadi sekarang ini dapat terwujud karena dahulu
terdapat idealisme-idealisme dari seseorang atau sekumpulan orang. Demikian
pula masa yang akan datang akan ditentukan oleh aktualisasi idealisme yang
dimiliki orang-orang jaman sekarang.
Idealisme juga dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis
berdasarkan pandangan filsuf, sebagai berikut.[7]
1.
Idealisme
subjektif (Fichte) merupakan pandangan-pandangan yang berasal dari subjek-subjek tertentu. Idealisme ini mengutamakan
keunggulan moral untuk sebuah etika manusia yang ideal.
2.
Hegel mengangkat
idealisme subyektif dan obyektif untuk menggambarkan tesis dan antitesis secara
berturut-turut. Idealisme absolut (Hegel) dikemukakan sebagai sintesis yang
lebih tinggi dibanding unsur yang membentuknya (tesis dan antitesis).
3.
Kant menyebut
pandangannya dengan istilah idealisme transendental atau idealisme kritis, yakni idealisme yang meyakini
pengalaman langsung tidak dianggap sebagai benda dalam dirinya sendiri, dan
ruang dan waktu merupakan forma intuisi kita sendiri.
Idealisme sendiri
dapat ditemukan pula dalam dunia sastra.
Dalam dunia sastra, terdapat aliran idealisme juga,
misalnya sebuah cerita, di dalamnya terdapat pesan yang ingin disampaikan oleh
pengarang. Berdasarkan
pesan-pesan itu, seseorang dapat menganalisis tentang pandangan penulis. Idealisme yang dikemukakan terkait dengan
tema cerita, misalnya tema yang berhubungan dengan cinta, perjuangan, dan pembangunan
masa depan. Ada dua bentuk idealisme: yaitu idealisme aktif, yaitu idealisme
yang melahirkan insipirasi-inspirasi baru yang bisa dilakukan dalam realitas,
sedangkan idealisme pasif adalah idealisme yang hanya semu, tidak pernah bisa
diwujudkan, bersifat utopis saja. [8]
Idealisme sendiri
juga dapat mengarah pada nasionalisme. Para founding
fathers atau pelopor negara juga memiliki idealisme yang mengarah kepada
nasionalisme. Mereka memiliki idealisme tentang bangsa dan negara yang bersatu
dan dapat meraih kemerdekaan. Oleh karena itu, aktualisasi idealisme sudah
sepatutnya untuk diwujudkan. Kata aktualisasi
sendiri berasal dari kata dasar aktual.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, aktual berarti benar-benar
ada (terjadi); sesungguhnya. [9]
Adapun, idealisme
yang dimiliki tokoh Minke dalam novel Bumi
Manusia ini termasuk idealisme subjektif yang diaktualisasikan ke arah
nasionalisme dalam memperjuangkan hak-hak kaum pribumi.
3.2.2
Aplikasi
Novel Bumi Manusia dikemas
dalam 20 bab oleh Pramoedya dan dibuka dengan sebuah pendahuluan dan disertai
dengan pengantar. Minke digambarkan Pramoedya sebagai pemuda yang berasal dari
kalangan bangsawan Jawa/priyayi. Ia merupakan pelajar H.B.S. di Surabaya.
Merupakan sebuah kebanggaan bagi seorang inlander[10] sepertinya, dapat mengenyam pendidikan ala Eropa di
sekolah tersebut.
Sekali direktur sekolahku bilang di depan klas: yang
disampaikan oleh tuan-tuan guru di bidang pengetahuan umum sudah cukup luas;
jauh lebih luas daripada yang dapat diketahui oleh para pelajar setingkat di
banyak negeri di Eropa sendiri. Tentu dada ini menjadi gembung.
(Toer, 2010:11)
Ilmu pengetahuan juga agaknya membuat Minke menjadi
berbeda dibandingkan kaum Jawa lainnya. Selama belajar di H.B.S. ia
terkagum-kagum dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang membuatnya seakan ingin
terlepas dari kejawaannya dan membedah lebih lanjut tentang modernisasi Eropa.
Ilmu pengetahuan, yang kudapatkan dari sekolah dan
kusaksikan sendiri pernyataannya dalam hidup, telah membikin pribadiku menjadi
agak berbeda dari sebangsaku pada umumnya. Menyalahi wujudku sebagai orang Jawa
atau tidak akupun tidak tahu. Dan justru pengalaman hidup sebagai orang Jawa
berilmupengetahuan Eropa yang mendorong aku suka mencatat-catat. Suatu kali
akan berguna, seperti sekarang ini.
(Toer 2010:12)
Tokoh Minke digambarkan oleh Pramoedya sebagai sosok yang
beridealisme tinggi, yang selalu ingin menjadi manusia yang bebas dari
batasan-batasan dan merdeka. Ia bahkan lebih senang membiarkan orang
memanggilnya dengan nama—yang sebenarnya
bukan nama aslinya—ejekan dari gurunya dahulu.
Meneer Rooseboom
melotot menakutkan, membentak:
‘Diam kau, monk…..
Minke!’
Sejak itu seluruh klas, yang baru mengenal aku, memanggil
aku Minke, satu-satunya pribumi. Kemudian juga guru-guruku juga teman-teman
semua klas juga yang di luar sekolah.
(Toer, 2010:51)
Sosok Minke mengalami pergolakan batin ketika berhadapan
dengan berbagai problem sosial-budaya maupun politik yang menyeret dirinya ke
dalam pergumulan. Dinamika hidupnya dimulai saat Suurhof mengajaknya ke Boerderij Buitenzorg di Wonokromo. Perusahaan itu awalnya dipimpin oleh
seorang Belanda, Herman Mellema tetapi kemudian dipimpin oleh gundiknya, yakni
Nyai Ontosoroh yang tak lain bernama asli Sanikem. Pramoedya menampilkan
kenyataan sosial pada masa itu terhadap kaum perempuan. Penjualan perempuan
dianggap sudah biasa dan dihalalkan, tanpa mengindahkan siksaan dan penghinaan
yang mungkin diterima si perempuan. Sanikem dijual oleh orang tuanya demi naik
jabatan dan mendapatkan uang.
‘Begitulah, Ann,
upacara sederhana bagaimana seorang anak telah dijual oleh ayahnya sendiri,
jurutulis Sastrotomo. Yang dijual adalah diriku: Sanikem. Sejak detik itu
hilang sama sekali penghargaan dan hormatku pada ayahku; pada siapa saja yang
hidupnya pernah menjual anaknya sendiri. Untuk tujuan dan maksud apapun….’
(Toer, 2010:123)
Pramoedya menggambarkan Nyai Ontosoroh sebagai gundik
yang berbeda dari prasangka umum. Ia begitu bersahaja dan arif. Etika, tingkah
laku, kemampuan menulis dan berbicara dalam Melayu, dan Belanda Nyai, sungguh
membuka mata Minke tentang kesalahan besar stereotip yang berkembang di dalam
masyarakat. Mulai dari peristiwa inilah idealisme tokoh Minke terbentuk.
Aku masih terpesona melihat seorang wanita pribumi bukan
saja bicara Belanda, begitu baik, lebih karena tidak mempunyai suatu komplex
terhadap tamu pria. Di mana lagi bisa ditemukan wanita semacam dia? Dan mengapa
hanya seorang nyai, seorang gundik? Siapa pula yang telah mendidiknya jadi
begitu bebas seperti wanita Eropa? Keangkeran istana kayu ini berubah menjadi
mahligai teka-teki bagiku.
(Toer, 2010:34)
Sosok Nyai Ontosoroh merupakan sosok perempuan pribumi
yang begitu kuat. Bekerja menafkahi anak-anaknya dengan mengelola sebuah
perusahaan besar. Berdiri, diposisikan sebagai gundik yang tak lain adalah
budak, dihinakan oleh keluarga sendiri dan masyarakat baik pribumi, Indo,
maupun Belanda Totok. Namun, ia menjadi wanita pribumi tangguh dengan
mengandalkan alur hidup. Semua pengetahuan ia peroleh dari hidup. Pribadi Minke
yang tergila-gila pada ilmu pengetahuan serasa diguncang dengan pernyataan dari
Nyai Ontosoroh yang dipanggil Mama ini.
‘Mana mungkin? Mama bicara, membaca, mungkin juga menulis
Belanda. Mana bisa tanpa sekolah?’
‘Apa salahnya? Hidup bisa memberikan segala pada barang siapa
tahu dan pandai menerima.’
Toer (2010:105)
Bumbu percintaan digambarkan Pramoedya sebagai salah satu
pokok utama cerita. Minke jatuh cinta pada gadis Indo cantik nan jelita,
Annelies Mellema. Oleh karena pribadi ibunya, Annelies tidak tumbuh mandiri,
baik secara fisik maupun psikis. Agaknya wejangan-wejangan dari ibunya—yang
tidak sepenuhnya baik—mempengaruhi psikis Annelies sehingga ia ingin diakui
sebagai pribumi bukan keturunan Indo.
Aku pandangi Mama. Dan Mama mengawasi aku, berkata pelan
:
‘Kalau suka, kau boleh ikuti contoh abangmu.’
‘Tidak, Ma,’ seruku dan kupeluk lehernya. ‘Aku hanya ikut
Mama. Aku juga pribumi seperti Mama.’
(Toer 2010:37)
Kenyataannya, kehidupan dewi jelita ini dibatasi oleh
kekuasaan ibunya. Jiwanya terkurung di dalam pribadi ibunya. Menurut dokter
Martinet, pribadi ibunya sangat berpengaruh dalam perkembangan psikis Annelies.
‘Aku punya dugaan begini: pengaruh dari luar, sangat kuat
tak terlawan, telah membikin gambaran salah tentang diri sendirinya sendiri. Ia
merasa seorang pribumi yang seasli-aslinya. Boleh jadi dari ibunya ia mendapat
gambaran: semua orang Eropa menjijikan dan berkelakuan hina.’
(Toer, 2010:370)
Kedatangan Minke berkesan amat baik bagi keluarga Nyai
Ontosoroh. Nyai pun mengharapkan kedatangannya lagi, tentunya demi perkembangan
putrinya. Minke pun jatuh dalam pergumulan antara soal cinta dan sistem sosial.
Datang dan tinggal di rumah nyai-nyai bukanlah tindakan terpuji. Di sinilah
idealismenya akan permasalahan sistem sosial muncul. Melalui perkataan Jean,
Minke belajar bahwa pandangan masayarakat umum belum tentu benar adanya.
‘Pendapat umum itu perlu dan harus diindahkan, dihormati,
kalau benar. Kalau salah, mengapa dihormati dan diindahkan? Kau terpelajar,
Minke, Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam
pikiran, apalagi dalam perbuatan. Itulah memang arti terpelajar itu….’
(Toer 2010:77)
Tokoh Minke terus digembleng
dengan berbagai permasalahan sejak tinggal di rumah Nyai. Kakak Annelies,
Robert Mellema benci dengan segala hal tentang pribumi termasuk keluarganya
sendiri. Kedatangan Minke pun dianggap mengusik hidupnya. Robert akhirnya
merencanakan pembunuhan terhadap Minke secara diam-diam. Di sini, Pramoedya
menunjukkan salah satu problem social yaitu berupa rasisme. Pada masa
penjajahan, memang terdapat hak-hak istimewa tertentu yang dimiliki oleh
golongan tertentu, sedangkan kaum pribumi hanya dianggap budak yang tak
berpengetahuan.
‘Aku tahu, kau juga tahu, orang-orang di sini pada
memusuhi aku. Tak ada yang menggubris aku. Ada yang membikin semua ini.
Sekarang kau datang kemari. Sudah pasti kau seorang di antara mereka. Aku
berdiri seorang diri sendiri di sini. Hendaknya kau jangan sampai lupa pada apa
yang bisa dibikin oleh seorang yang berdiri sendiri.’
(Toer, 2010:160)
Kekuatiran, satu demi satu bermunculan. Ayah Minke yang
hendak diangkat menjadi Bupati kota B., marah besar ketika mengetahui Minke
tinggal di sarang nyai-nyai. Namun, bundanya ditampilkan oleh Pramoedya sebagai
sosok yang bijaksana.
‘Lelaki, Gus,
soalnya makan, entah daun entah daging. Asal kau mengerti, Gus, semakin tinggi
sekolah bukan berarti semakin menghabiskan makanan orang lain. Harus semakin
mengenal batas. Kan itu tidak terlalu sulit difahami? Kalau orang tak tahu
batas, Tuhan akan memaksanya tahu dengan caraNya sendiri.’
(Toer, 2010:189)
Ayahnya dan ibunya
mengharapkan Minke dapat menjadi pejabat pemerintah suatu saat, sebaliknya
Minke berketetapan hati dengan idealismenya. Ia ingin menjadi manusia
bebas—terinspirasi dari Revolusi Perancis. Sebuah keinginan yang tak
terbayangkan oleh orang Jawa pada umumnya karena sehari-hari mereka hidup
bagaikan budak, terus diperintah. Selain itu, mereka juga hidup dalam
feodalisme Jawa, di mana seseorang harus tunduk dan hormat pada penguasa.
‘…..Kau pasti jadi bupati kelak.’
‘Tidak, Bunda, sahaya tidak ingin.’
‘Tidak? Aneh. Ya, sesuka hatimulah. Jadi kau mau jadi
apa? Kalau tamat kau bisa jadi apa saja, tentu.’
‘Sahaya hanya ingin menjadi manusia bebas, tidak diperintah,
tiidak memerintah, Bunda.’
‘Ha? Ada jaman seperti itu, Gus? Aku baru dengar.’
(Toer, 2010:190)
Di sini ditampilkan oleh Pramoedya, betapa feodalisme
Jawa amat kuat, sebuah “kebudayaan” yang semakin menginjak-injak harkat dan
martabat manusia. Minke yang idealismenya bertolakbelakang dengan hal ini,
tetap bersujud menyembah ayahnya, meminta ampun meski dengan hati meronta.
Aku mengangkat sembah
sebagaimana biasa aku lihat dilakukan punggawa terhadap kakekku dan nenekku dan
orangtuaku, waktu lebaran. Dan yang sekarang tak juga kuturunkan sebelum Bupati
itu duduk enak di tempatnya. Dalam mengangkat sembah serasa hilang seluruh ilmu
dan pengetahuan yang kupelajari tahun demi tahun kebelakangan
ini. Hilang indahnya dunia sebagaimana dijanjikan oleh kemajuan
ilmu....Sembah—pengagungan pada leluhur dan pembesar melalui perendahan dan
penghinaan diri! Sampai sedatar tanah kalau mungkin! Uh, anak-cucuku tak
kurelakan menjalani kehinaan ini.
(Toer, 2010:182)
Demikianlah potret kehidupan politik di tanah Jawa, di
bawah kekuasaan Belanda. Pejabat pemerintahan diiming-imingi dengan jabatan
rendah, padahal pribumi
hanya dijadikan alat bangsa Eropa untuk meninggikan kejayaan mereka, sementara
di pihak lain kaum pribumi akan semakin direndahkan derajatnya hingga ke jauh
ke dalam tanah. Memang, pada masa penjajahan, kaum Hindia tidak dapat
melakukan banyak hal untuk membuat kemerdekaan bagi diri mereka sendiri.
Melihat aku mempunyai perhatian penuh dan membikin
catatan Meneer Lastendienst bertanya padaku dengan nada mendakwa : Eh, Minke
wakil bangsa Jawa dalam ruangan ini, apa sudah disumbangkan bangsamu pada ummat
manusia?
(Toer, 2010:168)
Dalam hal politik seperti ini, nasionalisme tokoh Minke
semakin terasah. Setidaknya, di antara para kaum penjajah yang tak tahu malu
ini, masih ada yang peduli terhadap kaum Hindia, Miriam dan Sarah de la croix.
Keduanya merupakan putri Tuan Assisten Residen Kota B.. Miriam dan Sarah de la
croix sering berbalas surat dengan Minke, membahas perpolitikan di bumi pertiwi
ini.
Dengarkan kata papa lagi, sekalipun tetap menggunakan
perbandingan kasar : Tahu kalian apa yang dibutuhkan bangsa cacing ini? Seorang
pemimpin yang mampu mengangkat derajad mereka kembali.
(Toer, 2010:283)
Bahkan, Pramoedya menggambarkan dukungan yang luar biasa
dari Miriam dan Sarah de la Croix bagi Minke—sebagai seorang terpelajar—untuk
dapat menjadi revolusioner bagi bangsanya sendiri. Surat dari mereka semakin
menumbuhkan semangat Minke untuk memperjuangkan
hak-hak bangsanya.
Minke, sahabatku,
di mana gerangan gung Jawa di luar gamelan, dalam kehidupan nyata ini? Kaulah
itu bakalnya? Gung yang agung itu? Bolehkah kami berdoa untukmu?
(Toer, 2010:287)
Untuk sementara, Minke tidak dapat tinggal di Wonokromo
karena ada sassus bahwa Robert ingin membunuhnya. Nyai pun menyuruh Robert
mencari Minke, tetapi ia justru pergi ke tempat pelacuran Tionghoa. Di sini,
Pramoedya menggambarkan bagaimana nasib
kaum perempuan di masa penjajahan. Salah seorang pelacur, Maiko, berasal dari
Jepang ia telah dijual berulang kali, hingga akhirnya tinggal di plesiran Babah
Ah Tjong.
‘Majikanku, orang Jepang itu, kemudian terlalu benci
padaku. Aku sering dipukulinya. Malah pernah aku disiksanya dengan sundutan api
rokok. Soalnya karena langgananku semakin berkurang juga.’
(Toer, 2010:252)
Begitu pula yang terjadi pada Herman Mellema beberapa
tahun sebelumnya saat anaknya, Maurits datang dari Belanda untuk meminta
pertanggungjawaban Herman terhadap keluarganya. Ia justru berplesir di plesiran
Babah Ah Tjong. Sekembalinya, ia menjadi linglung dan diusir Nyai. Pramoedya
menunjukkan bagaimana nafsu berahi dan seksualitas dapat mengubah sifat dan
perilaku seseorang.
Akhirnya, Minke kembali ke Wonokromo. Sekolah dan publik
akhirnya mengetahui bahwa Minke tinggal di rumah seorang nyai. Aktualisasi
idealisme Minke diuji. Namun, Minke tetap teguh pada pandangannya sendiri
tentang moral dan etika yang sesungguhnya.
“Karena tempat tinggal tidak berarti sesuatu. Lagipula
apa yang disebut nyai-nyai pada luarnya, Juffrow, tak lain dari orang
terpelajar, malahan termasuk guruku.”
(Toer 2010:336)
Akhirnya, hanya hinaan, cacian, dan makian yang ia
terima. Tuan Herman Mellema ditemukan tewas karena diracuni di Plesiran Babah
Ah Tjong. Nama Minke ikut terseret dalam masalah ini.
Dan benar saja:
berita mulai tersiar di harian-harian: matinya salah seorang hartawan terkaya
Surabaya, pemilik Boerderij Buitenzorg, Tuan Mellema; mati di rumah plesiran
Babah Ah Tjong di Wonokromo; mati dalam muntahan minuman keras beracun! Dan
nama kami disebutkan berulang kali.
(Toer, 2010:408)
Ia pun dikeluarkan dari sekolah. Minke digambarkan tetap
berteguh pada idealismenya karena baginya pandangan umum belum tentu benar. Pramoedya
menampilkan tokoh Minke sebagai seorang yang nasionalis, dan bebas, tak peduli
pendapat orang. Sidang di Pengadilan Putih akhirnya dilaksanakan, tentunya
tanpa hukum yang berimbang antara kaum Eropa (kulit putih) dan pribumi.
‘Tak bisa mereka melihat pribumi tidak penyek
terinjak-injak kakinya. Bagi mereka pribumi mesti salah, orang Eropa harus
bersih, jadi pribumipun sudah salah. Dilahirkan sebagai pribumi lebih salah
lagi.’
(Toer, 2010:413)
Atas pertimbangan Magda Peters, Minke tidak jadi
dikeluarkan. Minke terus melanjutkan studinya hingga lulus. Setelah lulus
H.B.S., ia segera menikahi Annelies.
Pramoedya memasukkan unsur kebudayaan Jawa dalam pernikahan Minke
melalui wejangan bundanya.
‘Husy, Kau yang
terlalu percaya pada segala yang serba Belanda. Lima syarat yang ada
pada satria Jawa : wisma, wanita, turangga, kukila, dan curiga. Bisa mengingat?’
(Toer 2010:463)
Akhirnya, Pramoedya menggambarkan klimaks dengan
sempurna. Digambarkan, tokoh Minke menghadapi masalah politik dan percintaan. Saat
Annelies jatuh sakit, Maurits Mellema mengajukan permohonan ke Pengadilan untuk
mengambil semua harta mendiang ayahnya di Wonokromo.
Berdasarkan permohonan dari Ir. Maurits Mellema, dan
ibunya, Mevrouw Amelia Mellema Hammers, anak dan janda mendiang Tuan Herman
Mellema, melalui advokatnya Tuan Mr Hans Graeg, berkedudukan di Amsterdam,
Pengadilan Amsterdam, berdasarkan surat-surat resmi dari Surabaya yang tidak
dapat diragukan kebenarannya, memutuskan menguasai seluruh harta-benda mendiang
Tuan Herman Mellema untuk kemudian karena tidak ada tali perkawinan syah antara
Tuan Herman Mellema dengan Sanikem.
(Toer, 2010:486)
Keberanian,
ketangguhan, dan kepercayaan digambarkan Praamoedya dalam usaha Minke dan Nyai
dalam melawan Maurits dalam sidang. Meski mereka tahu bahwa mereka akan kalah,
mereka tetap melawan. Permasalahan ini
mengungkit nasionalisme Minke untuk melawan permohonan tersebut di
Pengadilan.
‘Ya, Nak, Nyo, memang kita harus melawan. Betapapun
baiknya orang Eropa itu pada kita, toh mereka takut mengambil risiko berhadapan
dengan keputusan hukum Eropa, hukumnya sendiri, apalagi kalau hanya untuk
kepentingan pribumi. Kita takkan malu bila kalah. Kita harus tahu mengapa.’
Toer (2010:499)
Pramoedya memperlihatkan betapa mudahnya hukum
dipermainkan. Hukum seakan-akan tidak mengakui hak-hak pribumi. Bahkan Minke pun
tak diakui sebagai suami Annelies, walaupun telah menikah sah secara Islam.
‘Kami tidak punya urusan dengan siapapun yang mengaku
atau tidak mengaku sebagai suaminya. Juffrouw Annelies Mellema masih gadis, tidak
bersuami.’
Toer (2010:510)
Akhirnya, sesuai dengan keputusan Pengadilan, Annelies
pergi ke Nederland untuk menyelesaikan perkara tanpa Minke dan Nyai.
Sayup-sayup terdengar roda kereta menggiling
kerikil,makin lama, makin jauh, akhirnya
tak terdengar lagi. Annelies dalam pelayaran ke negeri di mana Sri Ratu
Wilhelmina bertahta. Kami menundukkan kepala di belakang pintu.
(Toer,
2010:534)
Demikianlah Pramoedya Ananta Toer mengekspresikan idenya
ke dalam novel Bumi Manusia. Sesuai
dengan judulnya, di dalam novelnya ini, ia mengisahkan kehidupan manusia yang
kompleks dari segi sosial-budaya dan politik yang erat kaitannya satu sama
lain.
Cerita,…,selamanya
tentang manusia, kehidupannya, bukan kematiannya. Ya biarpun yang
ditampilkannya itu hewan, raksasa atau dewa ataupun hantu. Dan tak ada yang
lebih sulit dipahami daripada sang manusia… jangan anggap remeh si manusia,
yang kelihatannya begitu sederhana; biarpun penglihatanmu setajam mata elang;
pikiranmu setajam pisau cukur, perabaanmu lebih peka daripada dewa,
pendengaranmu dapat menangkap musik dan ratap tangis kehidupan; pengetahuanmu
tentang manusia takkan bakal bisa kemput.
(Toer, 2010:7)
3.2.3
Simpulan
Pramoedya Ananta Toer
menggambarkan tokoh Minke sebagai pemuda terpelajar dari kaum priyayi yang
memiliki idealisme tinggi terhadap nilai-nilai moral dan kehidupan yang mengacu
pada nasionalisme. Minke merupakan pelajar H.B.S. yang tergila-gila pada
pengetahuan dan peradaban, sehingga seakan-akan ingin keluar dari kejawaannya
menuju kebebasan di luar dari feodalisme Jawa yang terkesan merendahkan atau
meninggikan kaum tertentu. Minke
memang digambarkan sebagai tokoh yang ingin menjadi manusia yang bebas dan
merdeka, tidak ingin diperintah ataupun memerintah.
Awal mula tumbuhnya
semangat idealisme ini dimulai saat ia mengalami gejolak sosial. Dengan
berbekal pemikiran yang adil, Minke berani menantang pendapat umum masyarakat
dengan tinggal di rumah Nyai Ontosoroh. Ia belajar banyak hal dari “guru
spiritualnya” ini. Meski ia dilimpahi hinaan, ejekan, dan cacian dari orang
banyak termasuk keluarganya sendiri, ia tetap berpegang pada idealismenya.
Sampai pada akhirnya, keluarga Nyai Ontosoroh menghadapi masalah hukum, jiwa
nasionalisme Minke muncul untuk memperjuangkan hak-hak kaum pribumi yang selalu
diinjak-injak oleh kaum penjajah. Tokoh Minke berani menjadi revolusioner bagi
kebangkitan pemikirannya dan spiritualitasnya sendiri.
IV.
Penutup
4.1 Kelebihan
Pramoedya Ananta Toer yang menulis novel ini saat dalam
masa tahanan, mampu mengemas sejarah kolonialisme Belanda di Hindia (Indonesia)
dengan sangat apik dari sudut pandang yang berbeda. Novel ini memberikan banyak
nilai spiritualitas yang masih dapat direnungkan di abad 21 ini. Peristiwa demi
peristiwa ditampilkan secara tak terduga dan menimbulkan kesan bagi pembaca.
Pramoedya sangat cerdik dalam menyusun rangkaian
kata-kata yang ekspresif, sehingga pembaca pun ikut “masuk” ke dalam cerita. Ia
mendeskripsikan cerita dengan sangat detail dan kronologis sehingga pembaca
dapat dengan mudah memahami jalan cerita. Dari segi tata bahasa, memang
terdapat banyak istilah dalam bahasa Belanda, dan istilah-istilah kuno. Namun,
justru inilah salah satu poin menarik/keunikan dari novel ini yang memang
seharusnya dipertahankan.
Terlepas dari kecerdasan Pramoedya dalam mengolah
kata-kata, kelebihan yang terutama adalah kayanya novel ini akan nilai-nilai
kehidupan. Melalui novel ini, tokoh Minke seakan-akan mengajarkan kita untuk
berani terlepas dari pandangan umum masyarakat yang belum tentu benar dan mampu
menjadi revolusioner bagi diri kita sendiri. Pram mengajak kita untuk selalu
adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.
4.2 Kelemahan
Kelemahan dari novel sastra ini adalah masih terdapat
kesalahan pengetikan tanda baca, seperti tanda petik (“ “) yang biasa digunakan
untuk mengawali dan mengakhiri perkataan tokoh. Selain itu, harga novel ini
cukup mahal dibandingkan dengan novel sastra lain. Memang, novel seperti ini
layak diapresiasi dengan harga yang cukup mahal, tetapi imbasnya tidak banyak
orang mau membeli novel ini, kecuali mereka yang berpengetahuan sastra cukup
dan berkemampuan ekonomi cukup.
DAFTAR PUSTAKA
“Aktual” dalam http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php, diakses pada 1
November 2011 pukul 15.32 WIB
“Idealisme”
dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Idealisme, diakses tanggal 1
November 2011, pukul 15.22 WIB
“Idealisme” dalam http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php, diakses pada 1
November 2011 pukul 15.32 WIB
“Pramoedya Ananta Toer” dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Pramoedya_Ananta_Toer, diakes tanggal 28
Oktober 2011, pukul 13.05 WIB
Toer, Pramoedya Ananta. 2010. Bumi Manusia. Jakarta :
Lentera Dipantara.
[4] http://id.wikipedia.org/wiki/Pramoedya_Ananta_Toer,
diakes tanggal 28 Oktober 2011, pukul 13.05 WIB
[6] http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php, diakses
tanggal 1 November 2011, pukul 15.32 WIB
Komentar
Posting Komentar
Gunakan nama dan email masing-masing! Harap ditulis nama, kelas, dan nomor absen.