APLIKASI TEORI TES KOMPETENSI KEBAHASAAN




I. PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah

Sebagai suatu pembelajaran, pembelajaran bahasa dilaksanakan untuk mencapai sejumlah tujuan pembelajaran yang telah diidentifikasi dan dirumuskan berdasarkan telaah mendalam terhadap kebutuhan yang perlu dipenuhi. Hal ini diupayakan tercapai melalui serangkaian kegiatan pembelajaran yang secara matang dirancang dan diselenggarakan secara sungguh-sunguh. Proses pembelajaran dilansanakan dengan menggunakan bahan ajar dan pelatihan yang terpilih dan disusun secara teliti demi pencapaian tujuan. Upaya memastikan ketercapaian tujuan yang telah dirumuskan dilakukan dengan melaksanakan ragkaian evaluasi sebagaimana telah dirancang. Faktor inilah yang mendudukkan evaluasi sebagai bagian dari desain pembelajaran memiliki fungsi amat penting.
Bermula dari tujuan yang harus dicapai untuk memenuhi sejumlah kebutuhan, serangkaian kegiatan dirancang dan diselenggarakan. Tujuan pembelajaran, proses kegiatan pembeljaran, dan evaluasi hasil kegiatan saling terkait dalam satu pola hubungan yang erat. Suatu kompnen penyelenggaraan pembelajaran terdahulu memengaruhi bahkan menentukan penyenggaraan komponen berikutnya. Dalam pembelajaran bahasa, kemampuan bahasa reseptif, menyimak dan membaca merupakan komponen dasar yang amat berpengaruh terhadap ketercapaian komponen kemampouan bahasa produktif berikutnya, dalam hal ini berbicara dan menulis.
Evaluasi bahasa pada umumnya lebih dikaitkan secara terbatas dengan tingkat keberhasilan pembelajaran yang telah diselengarakan. Evaluai tingkat keberhasilan berbahasa seringkali dikaitkan dengan tingkat keberhasilan pembelajara dalam bentuk nilai yang diperoleh dari guru pada masa tertentu, terutama di akhir satuan waktu belajar. Meskipun pemahaman tersebut tidak keliru, pencapaian tingkat keberhasilan pembelajar sebenarnya hanyalah meruakan sebagian dari tujuan sekaligus kegunaan dari hasil evaluasi.[1]
Bagi komponen penyelenggara pembelajaran nilai yang dicapai pembelajar merupakan tingkat keberhasilan pembelajaran yang dicapai oleh pembelajar. Bagi guru nilai merupakan unjuk kerjanya dalam mengelola kegiatan pembelajaran dan interakasi dengan pembelajar. Maka, akan bijaksana manakala guru memerhatikan tingkat pemahaman pembelajar tentang materi yang disampaikannya dalam proses layanan pembelajaran. Guru dapat melakukan telaah terhadap unjuk kerjanya untuk menganalisis tahap perencanaan, proses layanan pembelajaran,dan pengevaluasian yang dilakukannya. Hasil evaluasi digunakan sebagai umpan balik bagi komponen awal dan layanan proses pembelajarannya.
Sasaran penyelenggaraan evaluasi kemmapuan bahasa adalah kemampuan menggunakan bahasa secara produktif, dalam hal ini anah menymak, berbicara, membaca, dan menulis. Kemampuan menyimak mengacu pada kemampuan memahami informasi lisan yang disampaikan pihak lain, kemampuan berbicara merujuk pada kemampuan menguyngkapkan pikiran dan isi hati melalui rangkaian kata-kata yang dilisankan, kemampuan membaca menunjuk pada kemampuan memahami maksud dan pikiran orang lain yang diungkapkan melalui tulisan, dan kemampuan menulis mengacu pada kemampuan mengungkapkan pikiran dan isi hati secara tertulis. Kemampuan menyimak an membaca terklasifikasikan dalam kemamouan bahasa pasif-reseptif, sedangkan kemampuan berbicara dan menulis termasuk dalam klasifikasi kemampuan bahasa aktif-produktif.
Kemyataan yang sering terjadi di lapangan adalah kebelumtepatan media penilaian sebagaimana yang seharusnya. Hal ini antara lain disebabkan oleh tes kompetensi kebahasaan belum berjalan dengan baik dan benar, guru menguasai materi, namun belum menerapkan tes kompetensi kebahasaan dengan benar, guru kurang memahami tes kompetensi kebahasaan dengan baik dan benar, serta kurang mengembangkan diri ke arah yang dimaksud, tes kebahasaan hanyalah formalitas rangkaian langkah program administratif yang harus dipenuhi, tes kompeensi kebahasaan kurang mengenai sasaran yang tepat sesuai dengan konten yang dimaksud, kajian teoretis tentang tes kompetensi kebahasaan belum begitu banyak dikuasai guru dan belum dipraktikkan sehingga baru sebatas teoretis namun aplikatifnya masih belum banyak dimengerti.

1.2  Tujuan

Persoalan aplikasi teori tes kompetensi kebahasan dikaji dengan maksud:
1.2.1  Memahami konsep dasar tes kompetensi kebahasaan ranah menyimak.
1.2.2  Memahami konsep dasar tes kompetensi kebahasaan ranah berbicra
1.2.3  Memahami konsep dasar tes kompetensi kebahasaan ranah membaca
1.2.4  Memahami konsep dasar tes kompetensi kebahasaan ranah menulis
1.2.5  Mangaplikasikan teori tes kompetensi kebahasaan ranah menyimak.
1.2.6  Mangaplikasikan teori tes kompetensi kebahasaan ranah berbicara
1.2.7  Mangaplikasikan teori tes kompetensi kebahasaan ranah membaca
1.2.8  Mangaplikasikan teori dasar tes kompetensi kebahasaan ranah menulis

1.3  Rumusan Masalah
1.3.1  Bagaimanakah aplikasi tes kompetensi kebahasaan ranah menyimak?
1.3.2  Bagaimanakah aplikasi tes kompetensi kebahasaan ranah berbicara?
1.3.3  Bagaimanakah aplikasi tes kompetensi kebahasaan ranah membaca?
1.3.4  Bagaimanakah aplikasi tes kompetensi kebahasaan ranah menulis?

II. PEMBAHASAN

2.1  Kajian Konseptual
2.1.1  Pendekatan Tes Bahasa
                     Tes kompetensi bahasa memusatkan perhatian pada hasil pemikiran ilmu bahasa pada pengukuran tingkat penguasaan kemampuan berbahasa. Dalam kajian dikenal adanya beberapa cara pandang dan unsur yang dianggap penting sesuai dengan perkembangan ilmu. Tes bahasa mengenal 5 bentuk pendekatan: 1) pendekatan tradisional; 2) pendekatan diskret; 3) pendekatan integratif; 4) pendekatan pragmatik; dan 5) pendekatan komunikatif.[2]
1)      Pendekatan Tradisional
Pendekatan tes bahasa tradisional melakukan tes tidak berdasarkan patokan atau rambu-rambu baku tentang jenis kemampuan bahasa yang dijadikan sasran, cara mengetes, dan bagaimana cara menilainya. Semuanya diserahkan kepada penyelenggara tes. Biasanya pendekatan tradisonal lebih menguatamakan tes tata bahasa sebagaimana proses pembelajarannya.  Dalam oenerapannya tes bahasa pendekatan tradisional lebih banyak diwarnai dengan berbagai bentuk subjektivitas dalam pemilihan kemampuan berbahasa yang dijadikan sasaran, penetapan bahan dan isi tes, serta cara penilaiannya.
2)   Pendekatan Diskret
Discrete point test: tes yang hanya menekankan/ menyangkut satu aspek kebahasaan pada satu waktu. Tiap butir tes hanya untuk mengukur satu aspek kebahasaan: fonologi, morfologi, sintaksis, kosakata. Tes diskret juga dapat menyangkut tes keterampilan berbahasa. Dasar pemikiran tes diskret (juga dalam hal pengajaran) adalah teori strukturalisme (linguistik) dan behaviorisme (psikologi). Kedua teori itu beranggapan bahwa keseluruhan dapat dipecah-pecah ke dalam bagian-bagian atau, keseluruhan adalah jumlah dari bagian-bagian. Tiap bagian tersebut (kebahasaan dan keterampilan) dapat diajarkan dan diteskan secara terpisah. Pembelajaran dan pengujian kebahasaan dalam teori ini mengabaikan konteks.
Pandangan bahwa teori tes diskret dapat memecah-mecah unsur kebahasaan dan menghadirkannya dalam keadaan terisolasi, dianggap sebagai kelemahan tes diskret yang paling mencolok . Orang tidak mungkin belajar bahasa dalam situasi yang mutlak diskret dan terisolasi (tanpa konteks). Lagi pula dalam hal belajar bahasa, keseluruhan belum tentu sama jumlah dari bagian-bagian  Ada kompetensi yang harus dimiliki seseorang yang di luar kebahasaan (: pendekatan komunikatif).  Kompetensi komunikatif memprasyaratakan kompetensi-kompetensi lain selain unsur bahasa, misalnya kompetensi sosial (faktor sosio-kultural).  Faktor sosio-kultural memegang peran penting dalam menunjang kompetensi omunikatif seseorang. Tes diskret gagal untuk mengukur kompetensi komunikatif yang justru memprasyaratkan adanya keterlibatan banyak unsur kebahasaan dan faktor yang di luar bahasa.
Persoalan yang muncul adalah  apakah tes diskret tidak perlu lagi dipergunakan di sekolah untuk mengukur kadar keberhasilan belajar bahasa siswa?  Teori baru dibangun atau sebagai reaksi teori sebelumnya; yang baru tak dapat sama sekali meninggalkan yang lama. Pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa tak dapat sama sekali meninggalkan pandangan strukturalisme. Dalam tahap awal pembelajaran bahasa bagi orang dewasa, pengajaran unsur struktural bahasa masih amat dibutuhkan. Orang tidak akan bisa begitu saja diajak berbicara bahasa asing sebelum memiliki pengetahuan tentang sistem bahasa itu. Artinya, pengajaran unsur bahasa masih diperlukan. Jika pengajaran unsur struktur masih dilakukan, tes diskret mau tidak mau masih juga diperlukan atau minimal untuk tujuan remidial
3)      Pendekatan Integratif
Integrative test merupakan bentuk tes yang mengukur lebih dari unsur kebahasaan atau satu keterampilan berbahasa dalam satu waktu. Dalam tes integratif, ada beberapa unsur kebahasaan atau keterampilan berbahasa yang harus harus dilibatkan, dan itu dipadukan. Dalam satu kali tes minimal ada dua aspek/keterampilan yang diukur. Aspek-aspek kebahasaan tidak saling dipisahkan, melainkan dipadukan sehingga ada keterkaitan antarunsur/antarketerampilan. Bahasa yang alamiah bukanlah kumpulan dari unsur-unsur bahasa semata. Dalam tes keterampilan bahasa, bahkan akan lebih baik jika juga mempertimbangkan aspek konteks. Tes integratif memang sudah memadukan beberapa unsur kebahasaan, tetapi belum tentu kontekstual. Tes yang kontekstual lazimnya bersifat pragmatik/komunikatif. Tes pragmatik/komunikatif pasti integratif, tetapi tes integratif belum tentu pragmatik
Tes integratif yang tidak kontekstual masih terisolasi, mirip-mirip dengan tes diskret, belum mencerminkan penggunaan bahasa yang alamiah. Berbagai tes unsur kebahasaan yang diteskan minimal berada dalam konteks kalimat, atau konteks yang lebih besar. Dilihat dari sudut pembelajaran bahasa dewasa ini, tes integratif terlihat lebih menjanjikan daripada tes diskret. Walau demikian, pemilihan tes haruslah disesuaikan dengan pendekatan, metode, dan teknik, bahkan juga bahan pembelajaran, yang dipergunakan dalam pembelajaran bahasa di kelas
4)      Tes Pragmatik
Tes pragmatik berangkat dari pandangan bahwa bahasa adalah alat berkomunikasi, maka seseorang dinyatakan memiliki kompetensi berbahasa adalah jika mampu mempergunakan bahasa itu dalam konteks yang sesungguhnya. Tes pragmatik merupakan pendekatan dalam tes keterampilan berbahasa untuk mengukur seberapa baik pembelajar mampu mempergunakan elemen bahasa sesuai dengan konteks berbahasa yang sesungguhnya
Tes pragmatik adalah prosedur/tugas yang menuntut pembelajar menghasilkan urutan unsur bahasa sesuai dengan pemakaian bahasa secara nyata, dan sekaligus menuntut pembelajar menghubungkannya dengan konteks ekstralinguistik. Dalam tes pragmatik tak ada lagi tes struktur/kosakata secara tersendiri, tetapi semua unsur kebahasaan terlibat dan langsung dikaitkan dengan unsur ekstralinguistik sekaligus. Dalam kehidupan berbahasa ada dua hal yang terlibat: konteks linguistik dan ekstralinguisik. Konteks linguistik: bahasa sebagai lambang verbal dengan segala unsurnya
Konteks ekstralinguistik merupakan dunia atau sesuatu yang di luar bahasa, sesuatu yang disampaikan lewat media bahasa. Dalam kehidupan berbahasa terdapat hubungan sistematis dan timbal-balik antara kedua konteks tersebut. Ada berbagai hal di luar bahasa yang berpengaruh terhadap pemilihan wujud bahasa dalam berkomunikasi, dan itulah yang disebut sebagai faktor penentu atau pragmatik. Faktor pragmatik/faktor penentu ada banyak jenisnya, misalnya siapa yang berkomunikasi, apa tujuan komunikasi, masalah yang dikomunikasikan, tingkat formalitas ketika komunikasi terjadi, dan lain-lain.
Tes pragmatik mengukur kemampuan berbahasa pembelajar dalam konteks yang sesungguhnya. Namun, itu harus ada kesesuaian dengan metode pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa haruslah menekankan pada kemampuan berbahasa, bukan sistem bahasa. Dengan begitu ada keselarasan antara model pembelajaran dan model penilaian. Namun, pada praktiknya tidak mudah mengreaikan pembelajaran bahasa yang benar-benar kontekstual dan komunikatif. Artinya, pembelajaran “penggunaan bahasa”, kemampuan berbahasa, masih saja artifisial, namun itu sudah lebih baik daripada yang benar-benar diskret dan terisolasi. Tes pragmatik yang masih berwujud penggunaan dalam konteks artifisial juga sudah lebih baik daripada yang benar-benar diskret yang hanya bertujuan mengukur pengetahuan tentang sistem bahasa.
Ada banyak model dan contoh, dan salah satunya adalah tes tes cloze (cloze test). Tes jenis ini baik dipakai untuk pemahaman bacaan; tes pemahaman wacana dengan tes objektif berkorelasi secara positif dengan hasil tes cloze. Tes cloze adalah tes yang berupa pengisian kembali kata-kata ke-n yang sengaja dihilangkan dalam sebuah wacana. Kata-kata yang dihilangkan biasanya kata yang ke-5, ke-6, ke-7. Untuk dapat mengisi tempat-tempat kosong, pembelajar harus memahami makna wacana. Teknik penyekoran: teknik kata eksak (jawaban siswa harus sama dengan kata asli yang dihilangkan) dan teknik kelayakan konteks (jawaban siswa tidak harus persis dengan kata asli sepanjang dimungkin secara konteks)
Teknik kelayakan konteks lebih menguntungkan; semua kata yang mempunyai peluang sebagai jawaban benar diperingkat (diskala; 1-4).  Tes cloze juga baik untuk menilai tingkat kesulitan wacana bagi pembelajar level tertentu: jika jawaban benar siswa ≥75%, wacana itu tergolong mudah; jika ≤20% wacana tersebut tergolong sulit. Jika yang diteskan itu sampel dari wacana yang panjang, hasil tes itu mencerminkan tingkat kesulitan wacana secara keseluruhan.
5)      Tes Komunikatif
Sebenarnya ada tumpang-tindih antara tes pragmatik dan tes komunikatif; bahkan tak jarang keduanya disamakan. Keduanya sama-sama berpandangan bahwa pembelajaran dan tes bahasa haruslah berangkat dari penggunaan bahasa yang sesungguhnya, bukan tes tentang sistem bahasa dan dalam keadaan terisolasi. Kedua jenis tes ini sama-sama menekankan pentingnya tes kemampuan berbahasa (kinerja bahasa, performansi bahasa), dan bukan tes terhadap unsur-unsur bahasa (diskret). Tampaknya, adanya perbedaan itu lebih disebabkan oleh penamaan yang diberikan oleh orang yang berbeda. Tes komunikatif atau tes kompetensi komunikatif terlihat lebih ketat memprasyaratkan adanya konteks pemakaian bahasa.
Tes komunikatif dilakukan sejalan dengan penggunaan pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa. Pendekatan ini menekankan pada pembelajaran bahasa sesuai dengan fungsi-fungsi bahasa untuk keperluan berkomunikasi. Penggunaan bahasa (atau komunikasi dengan bahasa) dapat bersifat aktif-reseptif (menyimak, membaca) dan aktif-produktif (berbicara, menulis). Dalam sebuah tes komunikatif terlibatkan semua aspek bahasa (whole language) sebagaimana halnya orang berkomunikasi yang juga melibatkan seluruh unsur kebahasaan. Penggunaan bahasa yang otentik (authentic language) menjadisemacam keniscayaan, dan itu juga terlihat dalam tes bahasa. Bahasa otentik adalah bahasa yang dijumpai dalam penggunaan bahasa yang sesungguhnya dalam berkomunikasi sehari-hari. Hal yang demikian sebenarnya juga menjadi tuntutan tes pragmatik.  
Wujud tes komunikatif adalah tes pemahaman dan penggunaan bahasa dalam konteks yang jelas; jadi ia berupa tes kemampuan berbahasa (skills). Konteks haruslah dikreasikan sedemikian rupa dengan melibat berbagai faktor penentu sehingga pembelajar tahu apa wujud bahasa yang mesti dipergunakan sesuai dengan konteks itu. Misalnya, tes pemahaman terhadap sebuah dialog (menyimak), maka harus dapat dikenali siapa yang berbicara, bagaimana situasi, topik pembicaraan, dan lain-lain. Tes terhadap komponen bahasa, misalnya kosakata atau struktur, jika diperlukan, boleh dilakukan tetapi tetap harus berdasarkan konteks; hal ini misalnya terkait dengan tujuan remidial . Artinya, kosakata dan struktur itu diambil dari konteks tertentu. Dalam tes prakomunikatif, terutama dalam tes pembelajaran bahasa asing, tes komponen kebahasan tentu masih diperlukan.
6)      Tes Otentik
Sebagaimana halnya portofolio, sejak era KBK/KTSP, penilaian otentik (authetic assessment) kini sedang naik daun. Dalam arti disarankan dan banyak digunakan untuk mengukur hasil pembelajaran khususnya pembelajaran bahasa. Portofolio juga merupakan salah bentuk penilaian otentik. Penilaian otentik mementingkan penilaian proses dan hasil sekaligus. Dengan demikian, seluruh tampilan siswa dalam rangkaian KBM dapat dinilai secara objektif, apa adanya, dan tidak semata-mata hanya berdasarkan hasil akhir (produk) saja.
Lagi pula amat banyak kinerja siswa yang ditampilkan selama KBM sehingga penilaiannya haruslah dilakukan selama dan sejalan dengan berlangsungnya kegiatan pembelajaran. Sejalan dengan teori Bloom, penilaian haruslah mencakup ranah kognitif,afektif, dan psikomotorik. Cara penilaian juga bermacam-macam, nontes dan tes dan kapan saja Misalnya dengan cara: tes (ulangan), penugasan, wawancara, pengamatan, angket, catatan lapangan/harian, portofolio, dan lain-lain. Penilaian yang dilakukan lewat berbagai cara (model), menyangkut berbagai ranah, serta meliputi proses dan produk inilah yang kemudian disebut sebagai penilaian otentik. Otentik dapat berarti dan sekaligus menjamin objektivitas,  bersifat nyata dan konkret, benar-benar hasil tampilan siswa, serta akurat dan bermakna.
Tes otentik dapat dimaknakan bermaca-macam, tergantung oleh siapa dan untuk lingkup apa, namun umumnya bersifat saling melengkapi. Penilaian otentik menunjuk pada pemberian tugas kepada pembelajar untuk menampilkan kemampuannya mempergunakan bahasa target secara bermakna dan kemudian dinilai. Authentic assessment: a form of assessment in which students are asked to perform real-world tasks that demonstrate meaningful application of essential knowledge and skills (John Mueller, 2008).  Authentic assessment: performance assessment call upon the examinee to demonstrate specific skills and competencies, that is, to aplly the skills and knowledge they have mastered (Richard J. Stiggins, 1987).[3]

Bagaimana Tes Tradisional dengan Tes Otentik?
Penilaian tes tradisional  lebih banyak menanyakan penguasaan pengetahuan lewat bentuk-bentuk tes objektif. Karakteristik tes tradisional menurut Mueller (2008): misi sekolah adalah mengembangkan warga negara yang produktif. Untuk menjadi warga negara produktif, seseorang harus menguasai disiplin keilmuan dan keterampilan tertentu. Maka, sekolah mesti mengajarkan siswa disiplin keilmuan dan keterampilan tersebut. Untuk mengukur keberhasilan pembelajaran, guru harus mengetes siswa untuk mengetahui tingkat penguasaan keilmuan dan keterampilan itu. The curriculum drives assessment; the body of knowledge is determined first.
Karakteristik tes otentik: misi sekolah adalah mengembangkan warga negara yang produktif . Untuk menjadi warga negara produktif, seseorang harus mampu menunjukkan penguasaan melakukan sesuatu secara bermakna dalam dunia nyata. Maka, sekolah mesti mengembangkan siswa untuk dapat mendemonstrasikan kemampuan/keterampilan melakukan sesuatu. Untuk mengukur keberhasilan pembelajaran, guru harus meminta siswa melakukan aktivitas tertentu secara bemakna yang mencerminkan aktivitas di dunia nyata. Assessment drives the curriculum; the teachers first determine the tasks that student will perform to demonstrate their mastery.

Traditional Test
Authentic Assessment
Selecting a Response
Performing a Task
Contrived
Real-life
Recall/Recognition
Construction/Application
Teacher-structured
Student-structured
Indirect Evidence
Direct Evidence



Lantas Mana yang Lebih Baik Digunakan?

John Mueller (2008) dalam Nurgiantoro (2009) menyebutkan sedikitnya ada empat alasan mengapa kita perlu menggunakan penilaian otentik: 1) Authentic Assessments are Direct Measures; 2) Authentic Assessments Capture Constructive Nature of Learning; 3) Authentic Assessments Integrate Teaching, Learning and Assessment; dan 4) Authentic Assessments Provide Multiple Paths to Demonstration.[4]
Authentic Assessment: Students are asked to perform real-world tasks that demonstrate meaningful application of essential knowledge and skills
Langkah-langkah pertimbangan pengembangan penilaian otentik dapat dilakukan dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut.

Tes Otentik Kebahasaan
            Penilaian otentik hasil pembelajaran bahasa tentulah juga terkait dengan fungsi bahasa yang sebagai sarana berkomunikasi. Jadi, ia lebih terkait penilaian kompetensi komunikatif daripada kompetensi linguistik. Dalam penilaian model ini, siswa dituntut untuk benar-benar menghasilkan bahasa sebagaimana halnya dalam komunikasi sehari-hari dengan mempertimbangkan berbagai faktor pragmatik. Faktor pragmatik itu bermacama-macam: situasi (tingkat keformalan penuturan, tujuan, lawan tutur, substansi tuturan, saluran komunikasi, dll.). Dalam situasi nyata, orang berbahasa tidak sekadar demi bahasa itu sendiri, melainkan karena ada sesuatu yang ingin dikomunikasika.
            Jadi, faktor gagasan (substansi penuturan) yang terkandung dalam penuturan mesti ada dan harus dipertimbangkan dalam penilaian. Selain itu, tingkat keformalan (formal—nonformal) juga amat menentukan. Dari sinilah kemudian muncul istilah: berbahasa Indonesia  secara baik dan benar. Baik berarti sesuai dengan faktor pragmatik, benar sesuai dengan kaidah. Namun, yang lebih disarankan untuk diujikan di sekolah dalam bentuk tugas-tugas yang harus dilakukan siswa/mhs adalah produksi bahasa yang benar. Lewat cara itu pengetahuan kebahasaan (kompetensi linguistik) siswa/mhs sekaligus dapat diketahui. Penggunaan bahasa Indonesia secara baik umumnya sudah teruji di luar kelas.
            Dengan demikian, penilaian ketepatan penggunaan bahasa, sekaligus juga berarti ketepatan gagasan atau kebermaknaan. Tanpa keduanya, itu hanya berati belajar berbahasa dalam situasi terisolasi, dan itu belum tentu dengan realitas kehidupan berbahasa di masyarakat atau, minimum belum teruji. Pengungkapan hasil belajar bahasa tersebut sebenarnya dapat dilakukan dalam semua mata kuliah. Bahkan juga lewat mata-mata kuliah nonkebahasaan dan kesastraan, misalnya lewat berbagai tugas menulis. (Sebetulnya tugas-tugas menulis untuk mata-mata kuliah umum dapat juga dipakai sebagai salah satu sumber data penilaian kemampuan berbahasa mahasiswa. . Namun, yang paling praktis dan terlihat lebih konkret adalah lewat mata-mata kuliah keterampilan berbahasa. Jadi, dapat secara lisan atau tertulis.
            Bagaimana perbandingan bobot penyekoran antara unsur bahasa dan gagasan? Secara sederhana penilaian berbahasa secara otentik dapat dibedakan secara dikhotomis ke dalam unsur bentuk (bahasa) dan isi (gagasan). Jawabannya adalah tergantung level pembelajar yang akan dinilai dan jenis karya yang dinilai. Semakin tinggi level mereka, misalnya mahasiswa tingkat tinggi, semakin tinggi pula skor bobot unsur gagasan. Jenis karya seperti skripsi dan laporan penelitian, bobot unsur gagasan mestinya, lebih tinggi. Tugas mengarang yang bertujuan melatih kemampuan menulis siswa/mhs, bobot unsur bahasa yang lebih tinggi, atau minimun sama
Perbandingan unsur bahasa dan gagasan itu misalnya: 75: 25; 70:30; 65:35; 60:40; 55: 45; 50:50; 45:55; 40:60; 35:65; 30:70; 25:75; 20:80.
            Unsur substansi (isi, gagasan) dan bentuk (aspek kebahasaan dan ejaan) tersebut haruslah dirinci ke dalam sub-subunsur. Sub-subunsur ini merupakan kriteria dan atau indikator yang secara nyata akan dinilai tingkat capaiannya. Tiap kriteria diikuti skor yang menunjukkan tingkat capaian, misalnya 1-5. Untuk memudahkan penilaian biasanya digunakan rubrik. Rubrik adalah sebuah skala penyekoran (scoring scale) yang dipergunakan untuk menilai kinerja subjek didik untuk tiap kriteria terhadap tugas-tugas tertentu. Rubrik dapat digunakan untuk menilai berbagai tampilan kinerja berbahasa siswa, termasuk kinerja bersastra. Ada bermacam model rubrik, dan di bawah dicontohkan  rubrik untuk untuk menilai kemampuan berbicara.
Masalah yang Sering Muncul
Tes bahasa seperti apa atau yang bagaimana yang mesti kita kembangkan? Jika telah muncul teori atau cara baru, teori/cara sebelumnya sering terlihat tidak cocok atau ketinggalan. Pada prinsipnya, semua jenis tes di atas dapat dipergunakan tergantung pada tujuan (kompetensi!) yang akan diukur capaiannya. Dalam kasus jenis bahasa, penamaan itu sebenarnya mengandung unsur tumpang tindih, tergantung siapa yang mempergunakannya mula-mula. Bukankah sebenarnya tes pragmatik, tes komunikatif, dan tes otentik mempunyai banyak kesamaan
Tes tradisional pun dapat digunakan secara berdampingan dengan tes otentik. Di fakultas bahasa dan sastra, mahasiswa tidak hanya dibelajarkan mempergunakan bahasa, tetapi juga pengetahuan tentang bahasa (mhs harus menguasai sistem bahasa target). Sistem bahasa target (kompetensi linguistik) = disiplin keilmuan = tepat dites dengan cara tradisional. Kemampuan mempergunakan bahasa target secara meaningful (kompetensi komunikatif) = proficient at performing meaningful the tasks = tepat dites dengan cara otentik. Jadi, tergantung mata kuliah yang diampu masing-masing dosen: MK keilmuan atau MK keterampilan.
Tes yang dipergunakan di sekolah atau PT mestinya tidak lepas dari kurikulum yang sedang berlaku. Dewasa ini di dunia pendidikan Indonesia, orang baru bersibuk-sibuk ria dengan KBK/KTSP. Kurikulum tersebut menekankan pentingnya capaian kompetensi untuk melakukan sesuatu sesuai dengan mata pelajaran . Jadi, tekanannya adalah proficient at doing something, dan itu berarti (=) penggunaan tes otentik ditekankan. Jadi, mata-mata kuliah yang lebih bernuansa teori, di samping mempergunakan tes-tes tradisional, ada baiknya juga memberikan tugas-tugas tertentu yang bernuansa tes otentik. Mata-mata kuliah keterampilan tentu harus mempergunakan tes otentik, tetapi untuk keperluan diagnosis & perbaikan kesalahan, tes kompetensi linguistik (teoretis) dapat juga dimanfaatkan.

Tes Sastra
Walau bermediakan bahasa, teks kesastraan tidak semata-mata berurusan dengan bahasa, karena ada unsur-unsur lain, misalnya keindahan, yang mesti juga diapresiasi. Unsur-unsur lain itu hanya dapat diperoleh, dirasakan, atau dinikmati jika kita/mhs/siswa membaca secara langsung teks kesastraan . Maka, tugas dan penilaian yang berkaitan dengan pembacaan langsung teks-teks itu harus menjadi prioritas utama. Tugas dan tes harus ditekankan pada hal-hal yang menuntut siswa untuk benar-benar “memperlakukan” teks-teks kesastraan. Istilah memperlakukan dapat dioperasionalkan menjadi: membaca, memahami, memparafrase, menganalisis, menuliskan kembali, membuat, menulis resensi, dll tergantung indikator yang dibuat. Ada baiknya setiap mata kuliah mewajibkan mhs harus membaca dan membuat laporan sekian puluh teks kesastraan. Selain itu, penilaian lewat karya nyata mhs, misalnya lewat publikasi di media massa, harus sudah diketengahkan.
Untuk kegiatan pembelajaran & penilaian di kelas, kita dihadapkan pada kenyataan teks-teks kesastraan lazimnya panjang shg tidak mudah “memperlakukan”-nya di sekolah, kecuali puisi. Untuk itu, tugas-tugas yang “memperlakukan” novel, cerpen, cer1ta klasik, drama yang relatif panjang sebaiknya dilakukan di luar jam pelajaran sebagai tugas rumah. Tugas yang diberikan harus jelas, harus mengapakan teks kesastraan itu dan sedapat mungkin melibatkan berbagai genre (fiksi, puisi, cerita lama, teks drama). Misalnya: meringkas cerita/membuat sinopsis, menganalisis unsur karakter/moral, membuat parafrase, menulis dengan sudut pandang lain, menulis resensi, dll termasuk menghadiri pementasan drama atau baca puisi di tempat tertentu. Hasil kerja siswa sebagian harus dibaca dan diberi tanggapan. Tanggapan tidak menyalahkan siswa karena akan mematikan motivasi, tetapi lebih mempertanyakan argumentasi. Penilaian kesastraan haruslah diusahakan yang berkadar apresiatif tinggi atau paling tidak sedang walau dengan bentuk ujian objektif (PG).

2.1.2  Bentuk-bentuk tes kebahasaan
      Sesuai dengan ranah keterampilan berbahasa, bentuk tes kebahasaan diterapkan dalam keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.
2.1.2.1  Tes Menyimak
2.1.2.1.1  Konsep Menyimak
Dalam kegiatan sehari-hari, menyimak adalah salah satu kegiatan yang sangat penting selain keterampilan yang lainnya. Kegiatan menyimak juga dapat menambah ilmu atau wawasan yang belum dimiliki di antaranya melalui radio, tv, atau langsung dari nara sumbernya. Jadi menyimak memegang peranan penting setelah itu barulah keterampilan berbicara, membaca, dan menulis. Dalam proses belajar mengajar, menyimak sering diabaikan karena tanpa diajarkan pun keterampilan ini dilakukan. Sebenarnya apabila kita memahami konsep menyimak, apapun yang dilakukan tampaknya selalu ada proses menyimaknya. Kenyataan ini terjadi di segala sektor kehidupan. Melalui proses menyimaklah seseorang mengenal konsep segala informasi baik berupa ilmu pengetahuan maupun hal-hal lain yang belum kita kenal.
Dalam kegiatan belajar-mengajar, kita ketahui bahwa kompetensi yang dimiliki guru Sekolah Menengah Pertama sudah ada karena guru SMP adalah mata pelajaran, artinya setiap guru hanya bertanggung jawab pada satu mata pelajaran atau bidang studi saja. Berangkat dari dasar pemikiran ini seharusnya guru pada jenjang ini dapat menghasilkan anak didik yang lebih baik sesuai dengan harapan masyarakat. Tetapi apa yang kita lihat di lapangan sekarang? Kemampuan anak didik kita jauh dari harapan yang diharapkan, khususnya dalam kemampuan menyimak. Apakah penyebabnya?
Apakah karena kompetensi guru yang terbatas mengakibatkan pada proses belajar-mengajar kurang baik sebab guru tidak dapat menentukan mana yang betul dan yang salah, atau siswa kurang meminati pelajaran Bahasa Indonesia karena tanpa belajar pun siswa sudah mengetahuinya. Sebaiknya guru dalam melakukan proses belajar-mengajar harus mempunyai kompetensi dan menguasai metode, pendekatan, atau teknik sebab apabila guru tidak memiliki kemampuan tersebut di atas maka proses pembelajaran yang dilaksanakan akan gagal. Artinya konsep yang akan disampaikan atau yang harus dikuasai siswa tidak jelas. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis mencoba memaparkan teori menyimak yang harus dikuasai oleh seorang guru Bahasa Indonesia agar saat melakukan proses pengajaran dapat berhasil dengan baik.


2.1.2.1.2                    Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan utama dari makalah ini adalah untuk memberikan atau gambaran dasar-dasar untuk memperoleh keterampilan menyimak yang bersifat reseptif agar siswa guru yang diajak menyimak dengan mudah daopat memahami apa yang dimaksudkan oleh pembicaranya. Oleh sebab itu dalam menyimak hal yang pertama yang harus diperhatikan adalah konsentrasi, pengalaman, dan pengetahuan.
Latihan menyimak dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan dalam memehami ilmu yang lainnya karena dengan menyimaklah seseorang mendapatkan informasi baik dari TV, radio, maupun langsung dari nara sumber. Keuntungan lain yang dapat diperoleh dari keterampilan menyimak adalah lancar berbicara sebab seseorang lancar berbicara apabila ia mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang luas.
Dengan demikian, keterampilan menyimak akan mendatangkan keuntungan bagi masyarakat pada umumnya dan siswa pada khususnya. Sebab dengan keterampilan menyimak akan mengembangkan kesanggupan kita untuk dapat mempengaruhi orang lain dalam mengembangkan kontrol sosial yang diinginkan.
2.1.2.1.3  Pengertian Menyimak
Menyimak menurut Tarigan, adalah suatu proses kegiatan mendengarkan lambang-lambang lisan dengan penuh perhatian, pemahaman, apresiasi, serta interpretasi untuk memperoleh informasi, menangkap isi serta memahami makna komunikasi yang disampaikan oleh si pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan. Underwood mendefinisikan menyimak adalah kegiatan mendengarkan atau memperhatikan baik-baik apa yang diucapkan orang, menangkap dan memahami makna dari apa yang didengar. Jadi dengan demikian menyimak adalah keterampilan dalam mencari makna dari bunyi-bunyi dan pola-pola kalimat yang sampai ke telinga.
Bauer mengemukakan menyimak adalah kemampuan seseorang untuk menyimpulkan makna suatu wacana lisan yang didengar tanpa harus menerjemahkan kata demi kata. Selanjutnya Urbana mengatakan menyimak adalah suatu proses penulisan bahasa yang dimaknai ke dalam pikiran (Listening the process by which spoken language is converted to meaning in the mind). Jika demikian, maka menyimak adalah proses bahasa yang terdiri dari bunyi-bunyi yang dimaknai atau dipahami yang diproses lewat pikiran atau syaraf pendengaran seseorang.
2.1.2.1.4  Tahap–Tahap Menyimak
Secara garis besar terdapat sembilan tahap menyimak, mulai dari yang tidak berketentuan sampai kepada yang bersungguh-sungguh. Adapun tahap-tahapnya adalah sebagai berikut.
1)   Menyimak secara sadar
Menyimak ini bersifat berkala, hanya terjadi saat siswa merasakan terlibat langsung dalam pembicaraan.
2)   Menyimak berseling atau ada gangguan
Menyimak ini terjadi saat siswa mendengarkan secara intensif tetapi bersifat sementara atau dangkal.
3)   Setengah mendengarkan
Saat mendengarkan, siswa menunggu kesempatan untuk mengekspresikan isi hatinya, mengutarakan apa yang terpendam dalam hatinya.
4)   Menyimak bersungguh-sungguh
Menyimak secara asyik dan nyata selama pemahaman pasif yang sesungguhnya.


5)   Menyimak sekali-kali
Pada saat menyimak, perhatian penyimak bergantian dengan keasyikan dengan gagasan yang dikandung oleh kata-kata sang pembicara ke dalam hati dan pikiran penyimak.
6)   Menyimak sosiatif
Pada saat menyimak, penyimak mengingat pengalaman pribadi sehingga sang penyimak benar-benar tidak memberikan reaksi terhadap pesan yang disampaikan oleh pembicara.
7)   Menyimak secara berkala
Saat menyimak reaksi penyimak terhadap pembicara secara berkala dengan membuat komentar atau membuat pertanyaan.
8)   Menyimak secara saksama
Menyimak secara saksama dan sungguh-sungguh mengikuti jalan pikiran sang pembicara.
9)   Menyimak secara aktif
Menyimak untuk mendapatkan serta menemukan pikiran dan pendapat sang pembicara (Tarigan, 1989, 4 ).
2.1.2.1.5  Sasaran Menyimak
Maksud utama menyimak menurut Logan adalah untuk menangkap, memahami atau menghayati pesan ide gagasan yang tersirat pada bahan simakan. Tujuan yang bersifat umum tersebut dapat dipecah-pecah menjadi beberapa bagian sesuai dengan aspek tertentu yang ditekankan. Adapun tujuan menyimak menurut klasifikasinya adalah sebagai berikut.
1)   Mendapatkan fakta
Mendapatkan fakta dapat dilakukan melaui penelitian, riset, eksperimen, dan membaca. Cara lain yang dapat dilakukan adalah menyimak melalui radio, tv, dan percakapan.
2)   Menganalisis fakta
Fakta atau informasi yang telah terkumpul dianalisis. Kaitannya harus jelas pada unsur-unsur yang ada, sebab akibat yang terkandung di dalamnya. Apa yang disampaikan penyimak harus dikaitkan dengan pengetahuan dan pengalaman penyimak dalam bidang yang sesuai.
3)   Mendapatkan inspirasi
Dapat dilakukan dalam pertemuan ilmiah atau jamuan makan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan ilham. Penyimak tidak memerlukan fakta baru. Mereka yang datang diharapkan untuk dapat memberikan masukan atau jalan keluar berkaitan dengan masalah yang dihadapi.
4)   Menghibur diri
Para penyimak yang datang untuk menghadiri pertunjukkan sandiwara, musik untuk menghibur diri. Mereka itu umumnya adalah orang yang sudah jenuh atau lelah sehingga perlu menyegarkan fisik, mental agar kondisinya pulih kembali.
2.1.2.1.6                    Jenis-jenis Menyimak
Menurut Dawson dalam Tarigan (2004)  jenis menyimak dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu:1)  menyimak ekstensif; dan  2) menyimak intensif.
1)   Menyimak ekstensif
Menyimak ekstensif merupakan kegiatan menyimak yang berhubungan dengan hal-hal yang umum dan bebas terhadap suatu bahasa. Dalam prosesnya di sekolah tidak perlu langsung di bawah bimbingan guru. Pelaksanaannya tidak terlalu dituntut untuk memahami isi bahan simakan. Bahan simakan perlu dipahami secara sepintas, umum, garis besarnya saja atau butir-butir yang penting saja.
Jenis menyimak ekstensif dapat dibagi empat: a) menyimak sekunder, yaitu menyimak sejenis mendengar secara kebetulan, maksudnya menyimak dilakukan sambil mengerjakan sesuatu; b) menyimak estetik, yaitu kegiatan menymak yang memosisikan penyimak duduk terpaku menikmati suatu pertunjukkan misalnya, lakon drama, cerita, puisi, baik secara langsung maupun melalui radio. Secara imajinatif penyimak ikut mengalami, merasakan karakter dari setiap pelaku; c) menyimak pasif, yaitu penyerapan suatu bahasa tanpa upaya sadar yang biasanya menandai upaya penyimak pada saat belajar dengan teliti; dan d) menyimak sosial, yaitu kegiatan menyimak yang berlangsung dalam situasi sosial, misalnya orang mengobrol, bercengkrama mengenai hal-hal menarik perhatian semua orang dan saling menyimak satu dengan yang lainnya, untuk merespon yang pantas, mengikuti bagian-bagian yang menarik dan memperlihatkan perhatian yang wajar terhadap apa yang dikemukakan atau dikatakan orang.
2)   Menyimak intensif
Menyimak untuk jenis ini bahan-bahan yang disimak harus dipahami serta dirinci, diteliti dan lebih mendalam. Oleh karena itu perlu adanya pengawasan, bimbingan dari guru. Adapun yang tergolong menyimak intensif ada lima yaitu a) menyimak kritis, yaitu menyimak dengan cara ini bertujuan untuk memperoleh fakta yang diperlukan. Penyimak menilai gagasan, ide, informasi dari pembicara; b) menyimak konsentratif, yaitu kegiatan untuk menelaah pembicaraan/hal yang disimaknya. Hal ini diperlukan konsentrasi penuh dari penyimak agar ide dari pembicara dapat diterima dengan baik; c) menyimak kreatif, yaitu kegiatan menyimak yang mempunyai hubungan erat dengan imajinasi seseorang. Penyimak dapat menangkap makna yang terkandung dalam puisi dengan baik karena ia berimajinasi dan berapresiasi terhadap puisi itu; d) menyimak interogatif, yaitu kegiatan menyimak yang menuntut konsentrasi dan selektivitas, pemusatan perhatian karena penyimak akan mengajukan pertanyaan setelah selesai menyimak; dan e) menyimak eksploratori, yaitu menyimak penyelidikan,  sejenis menyimak dengan tujuan menemukan hal-hal baru yang menarik,  informasi tambahan mengenai suatu topik, dan  isu, pergunjingan atau buah bibir yang menarik.
2.1.2.1.7     Faktor-faktor Penentu Keberhasilan Menyimak
Menurut Tarigan (2006) ada empat faktor untuk menentukan keberhasilan menyimak yaitu:
1)      Faktor Pembicara
Ada enam tuntutan yang harus dipenuhi pembicara yaitu a) penguasaan materi, dalam arti pembicara harus menguasai materi yang akan disampaikan. Pembicara dalam menyampaikan materi harus menguasai, memahami, menghayati apa yang disampaikan pada penyimak; b) berbahasa baik dan benar, dalam oengertian pembicara dalam menyampaikan isi pembicaraan harus menggunakan ucapan yang jelas, intonasi yang tepat, kalimat yang sederhana dan istilah yang tepat. Selain itu isi pembicaraan harus sesuai dengan tarap penyimaknya; c) percaya diri, maksudnya pembicara harus percaya diri, tampil dengan mantap serta menyakinkan penyimak; d). berbicara sistematis, dalam arti pembicaraan yang disampaikan harus sistematis dan bahan yang disampaikan mudah dipahami; e) gaya menarik, dengan maksud pembicara harus tampil menarik dan simpatik, tidak bertingkah laku berlebihan karena akan membuat penyimak beralih dari isi pesan ke tingkah laku yang dianggap aneh; dan f) kontak dengan penyimak, maksudnya dalam berbicara, pembicara harus kontak dengan penyimak dan menghargai, menghormati serta menguasai para penyimak.
3)      Faktor Pembicaraan, maksudnya topik yang dikemukakan harus aktual sehingga pembicaraan yang disampaikan terasa baru atau hangat, karena ini akan menarik dan diminati oleh penyimaknya, Di sisi lain materi yang dibicarakan bermakna dan berguna bagi penyimaknya Dalam hal ini setiap materi yang disampaikan tidaklah semua bermakna bagi penyimaknya, ini tergantung dari kebutuhan penyimaknya. Slain itu gagasan disampaikan secara sistematis sehingga mudah dipahami oleh penyimaknya.Faktr berikutnya adalah  seimbang, dalam arti taraf kesukaran pembicaraan harus seimbang dengan taraf kemampuan
4)      Situasi, maksudnya berhubungan dengan aspek ruangan atau tempat, waktu, suasana, dan peralatan. Dalam menyimak, ruangan perlu diperhatikan yaitu ruangan yang memenuhi persyaratan. Misalnya penerangan, tempat duduk, tempat pembicara, luas ruangan dan alat-alatnya. Waktu sangat penting dalam menyimak karena ini akan mempengaruhi si penyimak. Pilihlah waktu yang tepat misalnya; pada pagi hari saat menyimak masih segar dan rileks.   Suasana dan lingkungan yang tenang serta nyaman sangat mempengaruhi proses menyimak. Apabila suasana kurang tenang, maka proses penyimakan pun kurang berhasil dengan baik. Peralatan yang digunakan dalam menyimak harus mudah dioperasikan karena kalau tidak dapat digunakan dan tidak baik akan mengganggu penyimak.
5)      Penyimak, maksudnya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan menyangkut diri si penyimak, yaitu  kondisi, konsentrasi, tujuan, dan minat. Dalam menyimak, kondisi dan mental penyimak harus baik karena ini sangat menunjang dalam menyimak. Penyimak harus memusatkan perhatian terhadap bahan simakan. Hindari hal-hal yang mengganggu konsentrasi penyimak. Dalam menyimak, penyimak harus mempunyai tujuan agar dalam merumuskan tujuan secara tegas mempunyai arah dan keinginan dalam menyimak. Penyimak dalam menyimak harus berminat atau berusaha meminati. Bahan yang disimak dikembangkan melalui bimbingan dan latihan yang intensif.
2.1.2.1.8     Ciri-ciri Penyimak yang Baik
Setiap manusia yang lahir dalam keadaan yang normal tentu sudah mempunyai potensi yang baik untuk menyimak. Potensi ini perlu dipupuk dan dikembangkan melalui bimbingan dan latihan yang intensif. Tetapi kebiasaan menyimak yang baik hendaknya dipahami oleh seorang penyimak, sehingga dapat menghilangkan kebiasaan-kebiasaan tidak baik yang mereka lakukan dalam proses menyimak. Menurut Anderson berikut ini ciri-ciri penyimak yang baik adalah siap secara fisik dan mental, konsentrasi, bermotivasi tinggi, objektif, menyimak secara uutuh, selektif, tidak mudah terganggu, tidak emosional, cepat menyesuaikan diri dengan pembicara, bisa merangkum inti pembicaraan, mampu memberikan penilaian, dan bersedia mendengarkan tanggapan.
Penyimak yang baik ialah penyimak yang betul-betul mempersiapkan diri untuk menyimak. Ia memiliki kesiapan fisik dan mental misalnya, dalam kondisi yang sehat, tidak lelah, mental stabil, dan pikiran jernih. Penyimak yang baik dapat memusatkan perhatian dan pikirannya terhadap apa yang disimak. Bahkan ia dapat menghubungkan bahan yang disimak dengan apa yang sudah diketahui.
Penyimak yang baik mempunyai motivasi atau mempunyai tujuan tertentu. Misalnya; ingin menambah pengetahuan, ingin mempelajari sesuatu. Ada tujuan atau motivasi ini tentunya untuk memotivasi penyimak untuk sungguh-sungguh menyimak.
Penyimak yang baik adalah penyimak yang selalu tahu tentang apa yang sedang dibicarakan dan sebaiknya penyimak selalu menghargai pembicara, walaupun pembicara kurang menarik penampilannya atau sudah dikenal oleh penyimak. Penyimak yang baik akan menyimak secara utuh atau keseluruhan. Si penyimak tidak hanya menyimak yang disukai tetapi menyimak secara keseluruhan. Penyimak yang baik dapat memilih bagian-bagian yang dianggap penting dari bahan simakan. Tidak semua bahan simakan diterima begitu saja, tetapi ia dapat menentukan bagian yang dianggap penting. Penyimak yang baik tidak mudah terganggu oleh suara-suara yang lain di luar bunyi yang disimaknya. Andaikata ada gangguan yang membedakan perhatiannya, dengan cepat ia kembali kepada bahan yang disimaknya. Penyimak yang baik adalah penyimak yang menghargai pembicara. Penyimak tidak boleh menganggap remeh terhadap pembicara. Penyimak yang baik dapat dengan cepat menduga ke arah mana pembicaraan bahkan mungkin ia dapat menduga garis besar isi pembicaraan. Penyimak yang baik dapat menyimak dengan baik terhadap pokok pembicaraan serta dapat mengendalikan emosinya dan tidak mencela pembicara.
Penyimak yang baik mencoba mengadakan kontak dengan pembicara. Misalnya dengan memperhatikan pembicara, memberikan dukungan kepada pembicara melalui mimik, gerak atau ucapan tertentu. Penyimak yang baik dapat menangkap isi pembicaraan atau bahan simakan. Misalnya dengan membuat rangkuman dan menyajikan atau menyampaikannya sesudah selesai menyimak. Namun perlu diingat, selama menyimak jangan hanya asyik membuat catatan-catatan. Apabila mencatat semua yang diucapkan atau semua yang disampaikan pembicara, sehingga pesan pembicara tidak lagi dapat dipahami. Penyimak yang baik ialah proses penilaian terhadap materi yang disampaikan. Pada saat ini penyimak mulai menimbang, memeriksa, membandingkan apakah pokok-pokok pikiran yang dikemukakan si pembicara dikaitkan atau dihubungkan dengan pengalaman atau pengetahuan si penyimak, sehingga ia dapat menilai kekuatan bahan simakan tersebut. Bagian terakhir dari proses menyimak ialah mengevaluasi bahan simakan. Penyimak mengemukakan tanggapan atau reaksi misalnya, dengan mengemukakan komentar. Reaksi akan terlihat dalam bentuk bahasa dan terpancar dari ucapan-ucapan yang pendek seperti; wah, menarik sekali, bagus, setuju, sependapat dan sebagainya.
2.1.2.1.9      Cara Meningkatkan Prilaku Menyimak
Menurut Mc. Cabe dan Bender dalam Tarigan, ada beberapa langkah untuk meningkatkan keterampilan menyimak, antara lain menerima keanehan sang pembicara. Penyimak rela atau mau menerima keanehan atau keganjilan yang terdapat pada penampilan pembicara. Penyimak juga  tidak berpura-pura menyimak pikirannya telah melayang ke mana-mana. Pilihlah tempat yang memungkinkan untuk menyimak lebih baik, jangan memilih tempat duduk dekat pintu tempat para partisipan keluar masuk. Dalam menyimak sebaiknya apa yang disimak harus dicatat inti-intinya saja. Catatan yang baik dan bermutu tidak tergantung pada panjangnya catatan, tetapi pada ketepatan memilih butir-butir gagasan yang penting dalam kalimat.
Menetapkan tujuan khusus dalam menyimak akan membantu kita memusatkan perhatian pada kegiatan menyimak. Andaikata kita menyimak mempunyai tujuan menangkap garis besar argumen utama sang pembicara, maka sebaiknya kita memusatkan perhatian ke arah yang dituju. Kecepatan dalam menyimak jauh lebih cepat daripada kecepatan berbicara. Oleh karena itu perlu direncanakan penggunaan waktu secara diferensial. Arahakanlah penyimakan kepada sang pembicara dan ramalkanlah ide-idenya yang baru. Gunakanlah waktu semaksimal mungkin untuk menyimak pembicaraan yang sedang berlangsung. Dalam menyimak harus disadari kadangkala kita mereaksi emosional, ini dapat mempengaruhi kegiatan menyimak. Oleh sebab itu kita harus menahan emosi dengan cara memusatkan perhatian pada pembicaraan yang sedang berlangsung. Dalam menyimak biasakanlah berlatih menyimak bahan atau materi sulit yang diutarakan pembicara. Perluaslah wawasan dengan menerima tantangan karena dengan tantangan maka pengetahuan akan bertambah.
Menyimak merupakan keterampilan berbahasa yang pertama kali dikuasai anak sebelum menguasaai keterampilan berbicara, membaca, dan menulis. Keterampilan menyimak pada hakikatnya lebih bersifat kognitif dengan aspek yang lebih tinggi. Kemampuan ini mencakup menerima, menganalisis, memahami, dan menyimpulkan informasi lisan yang disampaikan dalam bahasa target.
Teknik evaluasi yang dapat dilakukan dipaparkan berikut.
1)   Menyebutkan/menuliskan   kembali suatu informasi sederhana (fonem, nama sesuatu, jumlah, keadaan sesuatu, peristiwa, dan lain-lain)
2)   Menyebutkan/menuliskan   kembali  deskripsi  atau  uraian  suatu peristiwa, benda, keadaan, sebab akibat, dan lain-lain.
3)   Menyebutkan/menuliskan kembali suatu hal (kelahiran, pengalaman kawan-kawan, dan  lain-lain).
4)   Menyebutkan/menuliskan kembali suatu cerita.
5)   Menyimpulkan suatu percakapan.
6)   Menjawab suat pertanyaan dari suatu soal (objektif, esai berstuktural, atau esai bebas).
7)   Menyimpulkan tema dan unsur-unsur lainnya dari sebuah cerita.
8)   Memperbaiki ucapan-ucapan yang salah yang tidak sesuai dengan bahasa target.
Tes menyimak adalah tes yang tidak hanya untuk mengetahui apakah seseorang mendengarkan atau tidak, tetapi juga untuk mengukur kemampuan seseorang memahami bahasa lisan yang didengarnya. Sampel yang disimakkan dalam tes ini dapat berupa satu kalimat perintah, pertanyaan, atau pernyataan tentang fakta; juga berupa simulasi percakapan singkat atau uraian wacana ekspositori. Namun, apapun hakikat sampel itu, peserta tes (subjek) dituntut secara serentak (simultan) menanggapi ”sinyal” fonolofis, gramatikal, dan leksikal; dengan jawaban mereka menunjukkan sejauh mana mereka dapat menangkap makna dari unsur yang disinyalkan bila digunakan dalam komunikasi verbal (Harris,1969;35).
Tes menyimak dapat disesuaikan dengan tingkatannya, yaitu tes menyimak tingkat marjinal atau deskriptif, tes menyimak tingkat apresiatif, tes menyimak tingkat komprehensif, tes menyimak tingkat kritis, dan tes menyimak tingkat terapis. Tes menyimak tingkat marjinal bertujuan untuk mengetahui tingkat kepekaan pebelajar dalam membedakan suara dan untuk mengembangkan kepekaan pada komunikasi nonverbal. Tes menyimak apresiatif bertujuan untuk mengetahui gambaran kemampuan pebelajar dalam menangkap dan memehami bahan simakan yang berhubungan dengan perasaan dan emosi sehingga dalam pelaksanaannya, pebelajar diberi bahan simakan yang bersifat menyenangkan,misalnya: drama, puisi, lagu, cerita, dan sebagainya.
Tes menyimak komprehensif bertujuan untuk mengetahui tingkat pemahaman pebelajar terhadap pesan yang disimak. Tes menyimak kritis bertujuan untuk mengetahui pemahaman pebelajar terhadap bahan simakan yang dilanjutkan dengan memberi evaluasi, sedangkan tes menyimak terapis bertujuan untuk menyembuhkan seseorang, yang biasa dilakukan oleh seorang psikolog.

2.2  Tes Berbicara
2.2.1  Pengantar
Berbicara adalah salah satu aspek keterampilan berbahasa. Aspek-aspek keterampilan bahasa lainnya adalah menyimak, membaca, dan menulis. Keempat aspek tersebut berkaitan erat, antara berbicara dengan menyimak, berbicara dengan menulis, dan berbicara dengan membaca.
Keterampilan berbicara menunjang keterampilan bahasa lainnya. Pembicara yang baik mampu memberikan contoh agar dapat ditiru oleh penyimak yang baik. Pembicara yang baik mampu memudahkan penyimak untuk menangkap pembicaraan yang disampaikan. Berbicara dan menyimak merupakan kegiatan berbahasa lisan, dua-duanya berkaitan dengan bunyi bahasa. Dalam berbicara seseorang menyampaikan informasi melalui suara atau bunyi bahasa, sedangkan dalam menyimak seseorang mendapat informasi melalui ucapan atau suara. Berbicara dan menyimak merupakan dua kegiatan yang tidak dapat di-pisahkan, kegiatan berbicara selalu disertai kegiatan menyimak, demikian pula kegiatan menyimak akan didahului kegiatan berbicara. Keduanya sama-sama penting dalam komunikasi.
Manusia adalah mahluk sosial. Manusia baru akan menjadi manusia bila ia hidup dalam lingkungan manusia. Kesadaran betapa pentingnya berbicara dalam kehidupan manusia dalam bermasyarakat dapat mewujudkan bermacam aneka bentuk. Lingkungan terkecil adalah keluarga, dapat pula dalam bentuk lain seperti perkumpulan sosial, agama, kesenian, olah raga, dan sebagainya.
Setiap manusia dituntut terampil berkomunikasi, terampil menyatakan pikiran, gagasan, ide, dan perasaan. Terampil menangkap informasi-informasi yang didapat, dan terampil pula menyampaikan informasi-informasi yang diterimanya. Kehidupan manusia setiap hari dihadapkan dalam berbagai kegiatan yang menuntut keterampilan berbicara. Contohnya dalam lingkungan keluarga, dialog selalu terjadi, antara ayah dan ibu, orang tua dan anak, dan antara anak-anak itu sendiri. Di luar lingkungan keluarga juga terjadi pembicaraan antara tetangga dengan tetangga, antar teman sepermainan, rekan kerja, teman perkuliahan dan sebagainya. Terjadi pula pembicaraan di pasar, di swalayan, di pertemuan-pertemuan, bahkan terkadang terjadi adu argumentasi dalam suatu forum. Semua situasi tersebut menuntut agar kita mampu terampil berbicara.
Berbicara berperan penting dalam pendidikan keluarga. Tata krama dalam pergaulan diajarkan secara lisan. Adat kebiasaan, norma-norma yang berlaku juga seringkali diajarkan secara lisan. Hal ini berlaku dalam masyarakat tradisional maupun masyarakat modern. Berbicara merupakan keterampilan dalam menyampaikan pesan melalui bahasa lisan kepada orang lain. Penggunaan bahasa secara lisan dapat pula dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi berbicara secara langsung adalah sebagai berikut: (a) pelafalan; (b) intonasi; (c) pilihan kata; (d) struktur kata dan kalimat; (e) sistematika pembicaraan; (f) isi pembicaraan; (g) cara memulai dan mengakhiri pembicaraan; dan (h) penampilan.
Berbicara dan menyimak adalah dua kegiatan yang berbeda namun berkaitan erat dan tak terpisahkan. Kegiatan menyimak didahului oleh kegiatan berbicara. Kegiatan berbicara dan menyimak saling melengkapi dan berpadu menjadi komunikasi lisan, seperti dalam bercakap-cakap, diskusi, bertelepon, tanya-jawab, interview, dan sebagainya. Kegiatan berbicara dan menyimak saling melengkapi, tidak ada gunanya orang berbicara bila tidak ada orang yang menyimak. Tidak mungkin orang menyimak bila tidak ada orang yang berbicara. Melalui kegiatan menyimak siswa mengenal ucapan kata, struktur kata, dan struktur kalimat.
Berbicara dan membaca berbeda dalam sifat, sarana, dan fungsi. Berbicara bersifat produktif, ekspresif melalui sarana bahasa lisan dan berfungsi sebagai penyebar informasi. Membaca bersifat reseptif melalui sarana bahasa tulis dan berfungsi sebagai penerima informasi. Bahan pembicaraan sebagian besar didapat melalui kegiatan membaca. Semakin sering orang membaca semakin banyak informasi yang diperolehnya. Hal ini merupakan pendorong bagi yang bersangkutan untuk mengekspresikan kembali informasi yang diperolehnya antara lain melalui berbicara.
Kegiatan berbicara maupun kegiatan menulis bersifat produktif-ekspresif. Kedua kegiatan itu berfungsi sebagai penyampai informasi. Penyampaian informasi melalui kegiatan berbicara disalurkan melalui bahasa lisan, sedangkan penyampaian informasi dalam kegiatan menulis disalurkan melalui bahasa tulis. Informasi yang digunakan dalam berbicara dan menulis diperoleh melalui kegiatan menyimak ataupun membaca. Keterampilan menggunakan kaidah kebahasaan dalam kegiatan berbicara menunjang keterampilan menulis. Keterampilan menggunakan kaidah kebahasaan menunjang keterampilan berbicara.

2.2.2  Bentuk Keterampilan Berbicara
Berdasarkan kegiatan komunikasi lisan, cakupan kegiatan berbicara sangat luas. Daerah cakupan itu membentang dari komunikasi lisan yang bersifat informal sampai kegiatan komunikasi lisan yang bersifat formal. Semua kegiatan komunikasi lisan yang melibatkan pembicara dan pendengar termasuk daerah cakupan berbicara.
Daerah cakupan berbicara meliputi kegiatan komunikasi lisan sebagai berikut: (1) berceramah, (2) berdebat, (3)     bercakap-cakap, (4) berkhotbah, (5) bertelepon, (6) bercerita, (7) berpidato, (8)     bertukar pikiran, (9) bertanya, (10) bermain peran, (11) berwawancara, (12) berdiskusi, (13) berkampanye, (14) menyampaikan sambutan, selamat, pesan, (15) melaporkan, (16) menanggapi, (17) menyanggah pendapat, (18) menolak permintaan, tawaran, ajakan, (19) menjawab pertanyan, (20) menyatakan sikap, (21) menginformasikan, (22) membahas, (23) melisankan (isi drama, cerpen, puisi, bacaan), (24) menguraikan cara membuat sesuatu, (25) menawarkan sesuatu, (26) meminta maaf, (27) memberi petunjuk, (28) memperkenalkan diri, (29) menyapa, (30) mengajak, (31) mengundang, (32) memperingatkan, (33) mengoreksi, (34) tanya-jawab.[5]

2.2.3        Bentuk Tes Kemampuan Berbicara
Tes berbicara merupakan tes berbahasa untuk mengukur kemampuan testi dalam berkomunikasi dengan bahasa lisan.
Tes yang dapat digunakan untuk mengukur kemampuan berbicara  adalah sebagai berikut:
1)      Tes kemampuan berbicara berdasarkan gambar
Bentuk tes ini di sajikan dengan memberikan rangsangan berupa perangkat gambar yang merupakan satu rangakaian cerita, dan testi diminta untuk menjawab pertanyaan sehubungan dengan rangkaian gambar atau menceritakan rangakaian gambar.
2)      Wawancara
Dipakai untuk mengukur kemampuan testi menggunakan bahasa dalam berkomunikasi. tes ini bisa dipakai apabila testi memiliki kemampuan berbahasa yang cukup mewadahi.
3)      Bercerita
Kemampuan berbicara yang berbentuk berbicara dapat dilakukan dengan cara meminta testi untuk mengungkapkan sesuatu (pengalamannya atau topik tertentu).
4)      Diskusi
Tes ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan testi menyampaikan pendapat, mempertahankan pendapat, serta menanggapi ide atau pikiran yang disampaikan oleh peserta diskusi yang lain secara kritis.
5)      Ujian terstruktur
Dapat dilakukan dengan cara membaca kutipan, mengubah kalimat, dan membuat kalimat. Dengan tujuan untuk menguji kemampuan testi dalam menggunakan bahasa lisan.

2.2.4        Penilaian Kemampuan Berbicara

Penilaian kemampuan berbicara dapat dilakukan secara aspektual yaitu penilaian kemampuan oleh aspek-aspek tertentu yang bersifat diskrit. penilaian komperhensif merupakan penilaian yang difokuskan pada keseluruhan kemampuan berbicara secara menyeluruh, tidak dipotong-potong.
Keterampilan berbicara sangat komplek karena tidak hanya menuntut pemahaman terhadap masalah yang akan diinformasikan, tetapi juga menuntut kemampuan menggunakan perangkat kebahasaan dan nonkebahasaan. Evaluasi keterampilan berbicara dilaksanakan untuk mengetahui kemampuan pebelajar dalam menggunakan bahasa target secara lisan untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan keberadaannya.
Teknik evaluasi yang dapat digunakan dipaparkan berikut.
1. Mengucapkan huruf, nama, keadaan dalam bahasa target.
2. Menceritakan kembali dialog, cerita, peristiwa yang didengar atau yang dibaca.
3. Menceritakan gambar.
4. Melakukan wawancara.
5. Menyampaikan pengalaman, peristiwa, ilmu pengetahuan seecara lisan.
6. Menjawab pertanyaan sederhana dan komplek.
7. Bermain peran.

Tes berbicara umumnya dianggap tes yang paling sukar. Salah satu sebabnya adalah bahwa hakikat keterampilan berbicara itu sendiri sukar didefinisikan. Pengalaman dalam kenyataan menunjukkan bahwa ada orang yang disebut pendiam, ada juga yang banyak bicara, tetapi kalau berbicara, kualitasnya ditinjau dari segi pilihan kata, tata bahasa, dan penalarannya, orang yang termasuk banyak bicara tadi belum tentu lebih baik. Orang yang pandai atau berpendidikan tinggi juga belum tentu pembicara-annya lancar dan mudah dipahami.
Tes berbicara dapat dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya tes jawaban terbatas, teknik terbimbing, dan wawancara tentu saja semua itu dilaksanakan secara lisan dan individual. Dapat juga tes berbicara dilaksanakan secara tertulis dengan bentuk objektif yang dapat menunjukkan bukti-bukti tidak langsung mengenai kemampuan bebicara seseorang. Hanya saja, tes bentuk ini kurang valid.
            Nurgiyantoro (2009) membagi tes berbicara berdasarkan kriteria, yaitu (1) kriteria penyelenggaraannya, dan (2) kriteria tingkatan yang dites. Berdasarkan kriteria penyelenggaraannya, tes berbicara dibedakan menjadi dua, yakni: (a) tes berbicara secara terkendali, dan (b) tes berbicara bebas. Berdasarkan kriteria tingkatan yang dites, tes berbicara dibedakan menjadi tiga, yakni: (a) tes berbicara tingkat ingatan, (b) tes berbicara tingkat pemahaman, dan (c) tes berbicara tingkat penerapan.

2.3     Tes Kompetensi Kebahasaan Membaca
2.3.1  Pendahuluan
Tes biasanya diartikan sebagai alat yang dipergunakan untuk mendapatkan data terhadap seseorang yang dinilai. Tes digunakan untuk memperoleh informasi tentang seseorang yang juga dipergunakan untuk maksud pendidikan. Kegiatan membaca ada bermacam-macan di antaranya membaca cepat, membaca sekilas, membaca keras, dan membaca pemahaman. Pembedaan jenis membaca itu dapat didasarkan atas tujuannya atau teknisnya. Dalam tulisan ini, membaca yang dimaksud adalah membaca pemahaman, atau membaca untuk memahami isi bacaan.
Bentuk tes membaca pemahaman meliputi; (1) tes membaca pemahaman literal, (2) tes membaca pemahaman interpretatif, dan (3) tes pemahaman membaca kritis.
Tes kemampuan berbahasa yang bersifat aktif reseptif pada hakikatnya merupakan kemampuan atau proses decoding, kemampuan untuk memahami bahasa yang dituturkan oleh pihak lain. Pemahaman terhadap bahasa yang dituturkan oleh pihak lain tersebut dapat melalui sarana bunyi atau sarana tulisan. Yang pertama merupakan kegiatan menyimak, sedangkan yang kedua adalah kegiatan membaca.
Tes kemampuan membaca dimaksudkan untuk mengukur kemampuan siswa memahami isi atau informasi yang terdapat dalam bacaan. Sebagaimana tujuan membaca yang telah dikemukakan Anderson dalam Tarigan (2004) bahwa ada tujuh tujuan membaca yaitu: (1) membaca untuk memperoleh perincian-perincian atau fakta-fakta (reading for facts), (2) membaca untuk memperoleh ide-ide utama (reading for main ideas), (3) membaca untuk mengetahui urutan atau susunan, organisasi cerita (reading for sequence or organization), (4) membaca untuk menyimpulkan, membaca inferensi (reading for inference), (5) membaca untuk mengelompokkan, membaca untuk mengklasifikasikan (reading for classify), (6) membaca menilai, membaca mengevaluasi (reading for evaluate), dan (7) membaca untuk membandingkan atau mempertentangkan (reading to compare or contrast).
Dengan demikian, maka bacaan atau wacana yang diujikan hendaklah yang mengandung informasi yang menuntut untuk dipahami. Oleh karena itu, seorang guru sebagai evaluator dalam menguji kemampuan membaca harus benar-benar mampu memilih bacaan yang layak untuk diujikan.

2.2.2        Aspek Tes Kemampuan Membaca
Secara umum wacana yang layak diambil sebagai bahan tes kemampuan membaca tidak berbeda halnya dengan tes kompetensi kebahasaan yang lain, dan secara khusus juga tidak berbeda dengan kemampuan menyimak. Dalam tes kemampuan membaca kita harus mempertimbangkan bahan dan tingkatan tes kemampuan membaca.
2.2.2.1  Bahan Tes Kemampuan Membaca
Pemilihan wacana hendaknya dipertimbangkan dari segi tingkat kesulitan, panjang pendek, isi, dan jenis atau bentuk wacana.
1)   Tingkat kesulitan wacana
Tingkat kesulitan wacana terutama ditentukan oleh kekompleksan kosa kata dan struktur. Semakin sulit dan kompleks kedua aspek tersebut akan semakin sulit wacana yang bersangkutan. Demikian pula sebaliknya. Secara umum orang mengatakan bahwa wacana yang baik untuk bahan tes kemampuan membaca adalah wacana yang tingkat kesulitannya sedang, atau yang sesuai dengan tingkat kemampuan siswa.
2)   Isi wacana
Isi wacana yang baik adalah yang sesuai dengan tingkat perkembangan jiwa, minat, kebutuhan atau menarik perhatian siswa. Isi wacana dapat mengembangkan sikap dan nilai-nilai pada diri siswa, misalnya dengan menyediakan bacaan yang berkaitan dengan sejarah perjuangan bangsa, pendidikan moral pancasila, kehidupan beragama, berbagai karya seni, berbagai ilmu pengetahuan popular, dan sebagainya. Di pihak lain kita juga perlu selektif, menghindari bacaan-bacaan yang bersifat kontra atau masih bersifat controversial. Misalnya, bacaan yang bersifat menentang (kontra) pemerintah, kehidupan beragama dan bermasyarakat secara pancasilais, nilai-nilai yang kita yakini betul kebenarannya, atau secara umum bacaan yang tidak sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia.
3)   Panjang pendek wacana
Wacana yang diteskan sebaiknya tidak terlalu panjang. Beberapa wacana yang pendek lebih baik daripada sebuah wacana yang panjang, sepuluh butir tes dari tiga atau empat wacana lebih baik daripada hanya dari sebuah wacana panjang. Dengan wacana yang pendek, kita dapat membuat soal tentang berbagai hal, jadinya lebih komprehensif. Di samping itu, secara psikologis siswa pun lebih senang pada wacana yang pendek, karena tidak membutuhkan waktu banyak untuk membacanya dan wacana pendek tampaknya lebih mudah.
4)   Bentuk-bentuk wacana
Wacana yang dipergunakan sebagai bahan tes kemampuan membaca, bisa berupa wacana yang berbentuk prosa (narasi), dialog (drama), ataupun puisi. Wacana bentuk prosa yang diambil bisa berupa karya fiksi atau nonfiksi, dapat dikutip dari buku-buku karya sastra, buku literatur, buku pelajaran, majalah, jurnal, surat kabar, dan sebagainya. Jika kita bermaksud mengukur kemampuan siswa memahami bacaan secara kritis, sebaiknya kita memilih bacaan-bacaan yang memungkinkan untuk maksud tersebut. Wacana bentuk dialog, bisa berupa kutipan dari suatu naskah drama, baik juga dipergunakan sebagai bahan bacaan tes kemampuan membaca. Bahkan wacana bentuk dialog inilah sebenarnya paling dekat dengan bahasa lisan seperti yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Puisi sebagai salah satu bentuk karya seni yang mengandung pesan atau informasi juga baik sebagai bahan tes kemampuan membaca. Dibanding dengan prosa, pada umumnya orang memandang bahwa puisi lebih sulit dipahami, dan sebagai bahan tes pemahaman bacaan tidak lebih banyak digunakan. Penuturan dalam puisi tidak bersifat langsung, lebih banyak mempergunakan bentuk metafora.

2.2.2.2  Tingkatan Tes Kemampuan Membaca
Penekanan tes kemampuan membaca adalah kemampuan untuk memahami informasi yang terkandung dalam wacana. Kegiatan ini memahami informasi itu sendiri sebagai suatu aktivitas kognitif dapat dilakukan atau dibuat secara berjenjang, sebagaimana ranah kognitif yang dikembangkan Benjamin S. Bloom adalah: 1. Tingkat ingatan (C1); 2. Tingkat pemahaman (C2); 3. Tingkat penerapan (C3); 4. Tingkat analisis (C4); 5. Tingkat sintesis (C5); dan 6. Tingkat evaluasi (C6). Berikut akan dibicarakan dan dicontohkan tingkatan-tingkatan tes kognitif yang dimaksud dalam tes kemampuan membaca.
1)                  Tes Kemampuan Membaca Tingkat Ingatan
Tes kemampuan membaca pada tingkat ingatan (C1) sekedar menghendaki siswa untuk menyebutkan kembali fakta, definisi, atau konsep yang terdapat di dalam wacana yang diujikan. Oleh karena fakta, definisi, atau konsep yang terdapat di dalam wacana itu dapat ditemukan dan dibaca berkali-kali. Pada hakikatnya tes tingkat ingatan tersebut hanya sekedar mengenali, menemukan, dan memindahkan fakta yang ada pada wacana ke lembar jawaban yang dituntut.
Contoh:
Pemindahan unsur-unsur kebahasaan dari satu bahasa ke bahasa yang lain dapat menimbulkan pengaruh positif, negatif, dan netral. Pemindahan secara positif terjadi jika unsur bahasa yang diterima mempunyai kesamaan dengan bahasa penerima dan menghasilkan penampilan yang benar serta membantu kelancaran komunikasi. Pemindahan yang bersifat menguntungkan inilah yang disebut pemungutan. Pemindahan yang bersifat negatif terjadi jika unsur-unsur kebahasaan yang diterima tidak mempunyai kesamaan dengan bahasa penerima dan menghasilkan tindak berbahasa yang tidak benar karena terjadi dislokasi struktural, dan menyebabkan terjadinya gangguan komunikasi yang disampaikan. Pemindahan yang bersifat negatif inilah yang disebut interferensi. Pemindahan yang bersifat netral terjadi jika pemindahan unsur-unsur kebahasaan itu tidak memengaruhi kelancaran atau hambatan komunikasi dalam bahasa penerima.

Contoh butir-butir tes ingatan
1)   Sebutkan tiga macam dampak pemindahan unsur-unsur kebahasaan antarbahasa!
2)   Pemindahan secara positif terjadi jika ….
3)   Pemindahan bersifat menguntungkan disebut ….
4)   Pemindahan yang bersifat negatif disebut ….
5)   Pemindahan yang bagaimanakah yang disebut netral?

Contoh butir tes ingatan bentuk pilihan ganda
Pemindahan unsur-unsur kebahasaan dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain yang menyebabkan terjadinya dislokasi struktur disebut ….
a.  pemungutan
b.  interferensi
c.  netral
d.  hambatan
e. disfungsional
2)                  Tes Kemampuan Membaca Tingkat Pemahaman
Tes kemampuan membaca pada tingkat pemahaman (C2) menuntut siswa untuk dapat memahami wacana yang dibacanya. Pemahaman yang dilakukan pun dimaksudkan untuk memahami isi bacaan, mencari hubungan antarhal, dan sebagainya.
Butir tes kemampuan membaca untuk tingkat pemahaman ini belum tergolong sulit, masih dalam aktivitas kognitif tingkat sederhana walau sudah lebih tinggi dari sekedar kemampuan ingatan. Penyusunan tes hendaknya tidak dilakukan sekedar mengutip kalimat dalam konteks secara verbatim, melainkan dibuat parafrasenya. Dengan demikian, siswa tidak sekedar mengenali dan mencocokkan jawaban dengan teks saja, melainkan dituntut untuk dapat memahaminya. Kemampuan siswa memahami dan memilih parafrase secara tepat merupakan bukti bahwa siswa mampu memahami bacaan yang diujikan.
Contoh tes tingkat pemahaman dari wacana bentuk dialog
Tin       : Ton, selamat ya! Saya ikut berbangga atas keberhasilan ujianmu.
Ton : Terima kasih, Tin! Semua ini terjadi karena adanya dorongan dari berbagai pihak. Dan kau,   terlebih lagi.
Tin  : Ah kau ini, ada-ada saja. Apa rencanamu kini? Mau mendaftar kuliah di mana?
Ton : Itulah masalahnya, Tin! Sebetulnya aku sangat berminat. Tapi, aku sadar keadaan orang tuaku. Lagi pula, apakah hanya dari bangku perkuliahan saja yang menjamin masa depan kita?
Tin  : Tentu saja tidak, Ton! Tetapi, sayang kalau kau tak berkuliah. Bukankah NEM-mu tertinggi di sekolahmu?
Ton : Apa gunanya NEM tinggi, Tin, jika kita tak mampu mengatasi masalah sendiri? Bukankah ada seribu jalan untuk sampai di Mekah?
Contoh butir-butir tes pemahaman bentuk jawaban singkat.
1) Kapankah kira-kira dialog antara Ton dan Tin di atas dilakukan?
2) Mengapa Ton tidak dapat memenuhi keinginannya untuk berkuliah?
3) Jalan hidup apakah kira-kira yang akan ditempuh Ton?

Contoh butir-butir tes pemahaman bentuk pilihan ganda.
1) Ton tidak dapat memenuhi keinginannya berkuliah disebabkan ….
a)  Menyadari keadaan orang tuanya yang miskin.*
b) Banyak cara hidup yang dapat ditempuh selain berkuliah.
c)  Perkuliahan bukan satu-satunya yang menjamin kehidupan masa depan.
d) Ingin menunjukkan bahwa ia dapat menyelesaikan persoalannya sendiri.
e) Keingintahuan bisa mengalahkan segalanya.

Bagaimana sikap Ton terhadap NEM-nya yang tertinggi?
a.    Tidak meyakini bahwa perkuliahan merupakan satu-satunya jalan yang menjamin kehidupan masa depan.
b.   Menunjukkan bahwa dia dapat menyelesaikan masalah sendiri dengan tidak perlu selalu mendambakan berkuliah.
c.    NEM yang tinggi sudah tentu menjamin bahwa yang bersangkutan dapat mengatasi permasalahan sendiri.
d.   Menyadari betul bahwa cara dan jalan untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
e.    Tak begitu pedjuli dengan Nem tertinggi.

3)   Tes Kemampuan Membaca Tingkat Penerapan
Tes tingkat penerapan (C3) menghendaki siswa untuk mampu menerapkan pemahamannya pada situasi atau hal yang lain yang ada kaitannya. Demikian pula halnya dengan tes kemampuan membaca. Siswa dituntut untuk mampu menerapkan atau memberikan contoh baru, misalnya tentang suatu konsep, pengertian, atau pandangan yang ditunjuk dalam wacana. Kemampuan siswa memberikan contoh, demonstrasi, atau hal-hal lain yang sejenis merupakan bukti bahwa siswa telah memahami isi wacana yang bersangkutan.
Contoh:
Wacana yang diujikan, misalnya, adalah wacana yang dikutip pada tes tingkat ingatan di atas.
Untuk mengukur apakah siswa benar-benar memahami perbedaan konsep pemungutan, interferensi, dan pemindahan yang bersifat netral, kita dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan aplikatif, misalnya dengan meminta siswa mencari atau mengenali contoh-contoh konkret bentuk kebahasaan yang dimaksud.

Contoh butir-butir soal yang dimaksud misalnya sebagai berikut:
1. Berikan contoh masing-masing tiga buah adanya struktur dan kosa kata bahasa asing yang telah dipungut (diserap) ke dalam bacaan Indonesia!
2. Tunjukkan tiga kalimat bahasa Indonesia yang mengalami proses interferensi struktur bahasa asing!
3. Buatlah contoh tiga buah kalimat bahasa Indonesia yang mengalami proses interferensi struktur bahasa Jawa!

Contoh butir soal tes penerapan bentuk pilihan ganda
Kalimat berikut yang tidak mengandung unsur interferensi struktur dari bahasa asing adalah …
A.     Kantor di mana ayah bekerja terletak di kota lain.
B.      Daerah lereng Merapi dari mana sayur-sayuran didatangkan berudara sejuk.
C.     Terima kasih kepada Saudara pengacara yang mana telah memberikan waktu kepada saya.
D.    Minat para tamatan SLTA untuk menjadi mahasiswa dari tahun ke tahun meningkat.
E. Mengapa kamu belum melegalisir ijazahmu?

4)                  Tes Kemampuan Membaca Tingkat Analisis
Tes kemampuan membaca pada tingkat analisis (C4) menuntut siswa untuk mampu menganalisis informasi tertentu dalam wacana, mengenali, mengidentifikasi, atau membedakan pesan dan atau informasi, dan sebagainya yang sejenis. Aktivitas kognitif yang dituntut dalam tugas ini lebih dari sekedar memahami isi wacana. Pemahaman yang dituntut adalah pemahaman secara lebih kritis dan terinci sampai bagian-bagian yang lebih khusus.
Kemampuan memahami wacana untuk tingkat analisis antara lain berupa kemampuan menentukan pikiran utama dan pikiran-pikiran penjelas dalam sebuah alinea, menentukan kalimat yang berisi pikiran utama, jenis alinea berdasarkan letak kalimat utama, menunjukkan tanda penghubung antaralinea, dan sebaginya. Berikut contoh beberapa tes tingkat analisis yang dimaksud.
Contoh:
Shahab yang meneliti masyarakat Betawi melihat bahwa wanita mempunyai kesempatan amat terbatas dalam peningkatan pendidikan. Hal itu disebabkan keterbatasan fasilitas pendidikan di Jakarta dan kondisi ekonomi mereka. Walau ada peningkatan sikap terhadap arti pendidikan, perubahan itu belumlah memadai. Situasi ini menjadi lebih buruk karena kawin usia muda dianggap lebih penting dari pendidikan.
Ia mengatakan bahwa pendidikan jelas meningkatkan posisi wanita. Sebab, pendidikan membekali pengetahuan dan pengalaman yang dibutuhkan dalam kehidupan modern yang memungkinkan mereka bisa bersaing dengan pria. Tetapi hanya segelintir wanita Betawi yang mengenyam pendidikan tinggi. Kebanyakan mereka pergi ke sekolah-sekolah agama, namun tak dapat mengubah posisi mereka karena tidak mendapatkan bekal yang dibutuhkan untuk memainkan peran dalam kehidupan modern.

Contoh butir-butir tes pemahaman bacaan tingkat analisis
1.   Apa pikiran utama alinea pertama wacana di atas?
2.   Tunjukkan kalimat yang memuat pikiran utama pada linea kedua!
3.   Dilihat dari segi penempatan pikiran utama, sama atau berbedakah jenis kedua alinea di atas?
4.   Tunjukkan kata (-kata) tertentu yang menandai hubungan antaralinea pertama dan kedua!

Contoh butir-butir tes pemahaman bacaan tingkat analisis dalam bentuk pilihan ganda
Ide pokok alinea pertama terletak pada kalimat ….
a.  Wanita mempunyai kesempatan amat terbatas dalam peningkatan pendidikan.*
b.  Keterbatasan fasilitas pendidikan di Jakarta dan kondisi ekonomi mereka.
c.  Ada peningkatan sikap terhadap arti pendidikan.
d.  Kawin usia muda dianggap lebih penting dari pendidikan.
e. Usia perkawinan  mempengaruhi kebahagiaan keluarga.

Dilihat dari segi penempatan ide pokok, alinea kedua di atas termasuk alinea yang bersifat ….
a.  induktif
b.  deduktif
c.  deduktif-induktif
d.  menyebar
e. campuran

5)      Tes Kemampuan Membaca Tingkat Sintesis
Tes kemampuan membaca pada tingkat sintesis (C5) menuntut siswa untuk mampu menghubungkan dan atau menggeneralisasikan antara hal-hal, konsep, masalah, atau pendapat yang terdapat di dalam wacana. Aktivitas tingkat sisntesis ini berupa kegiatan untuk menghasilkan komunikasi yang baru, meramalkan dan menyelesaikan masalah. Aktivitas kognitif tingkat sintesis merupakan aktivitas tingkat tinggi dan kompleks. Tes yang diberikan pun menuntut kerja kognitif yang tidak sederhana, maka tidak setiap siswa mampu berpikir atau mengerjakan dengan baik.
Hasil kerja kognitif tingkat sintesis menunjukkan cara dan proses berpikir siswa. Oleh karena itu, berbeda halnya dengan tes-tes kognitif tingkatan sebelumnya, dalam tes tingkat sintesis dimungkinkan sekali adanya berbagai jawaban siswa yang berbeda antara yang satu dengan lainnya. Tes ini dalam rangka melatih dan mengukur kemampuan siswa untuk memikirkan secara kritis dan mencari penyelesaian masalah secara logis.

Contoh:
Wacana yang diujikan, misalnya adalah wacana pertama yang dikutip untuk tes tingkat analisis di atas.

Contoh butir-butir tes yang diujikan kepada siswa misalnya sebagai berikut;
1) Apa yang mungkin terjadi seandainya masyarakat Betawi, khususnya kaum wanita, mau menunda usia perkawinannya?
2) Bagaiman kita dapat memanfaatkan tenaga segelintir wanita Betawi yang sempat mengenyam pendidikan tinggi itu untukmemajukan tingkat pendidikan kaumnya?
3) Jika tingkat pendidikan kaum wanita Betawi relatif lebih tinggi, benarkah hal itu akan mengangkat posisi mereka?
4) Bagaimanakah kita dapat memanfaatkan sekolah-sekolah agama untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan tertentu seperti yang diberikan di sekolah-sekolah umum?

Oleh karena itu, tes tingkat sintesis juga dimaksudkan untuk menilai cara dan proses berpikir siswa, tes esai lebih tepat daripada tes objektif. Tes esai memungkinkan siswa untuk menunjukkan kemampuan berpikirnya yang kreatif, kemampuan penalaran, kemampuan menghubungkan berbagai fakta dan konsep, menggeneralisasikan, dan sebagainya.

6)   Tes Kemampuan Membaca Tingkat Evaluasi
Tes kemampuan membaca pada tingkat evaluasi (C6) menuntut siswa untuk mampu memberikan penilaian yang berkaitan dengan wacana yang dibacanya, baik yang menyangkut isi atau permasalahan yang dikemukakan maupun cara penuturan wacana itu sendiri. Penilaian terhadap isi wacana misalnya berupa penilaian terhadap gagasan, konsep, cara pemecahan masalah, dan bahkan menemukan dan menilai bagaimana pemecahan masalah yang sebaiknya.
Tes tingkat ini sangat baik untuk melatih dan mengukur cara dan proses berpikir siswa. Oleh karena itu, tes bentuk esai yang memungkinkan siswa berpikir dan bernalar secara kreatif lebih tepat daripada tes bentuk objektif. Berikut dicontohkan butir-butir tes tingkat evaluasi.

Contoh:
Wacana yang diujikan, misalnya, adalah wacana yang dikutip pada tes tingkat ingatan di atas.
Contoh butir-butir tes yang diujikan sebagai berikut:
1)   Menurut pendapat Anda dapatkah kita menekan pemindahan unsur-unsur kebahasaan yang bersifat negatif, dan sebaliknya mengusahakan pemindahan yang bersifat positif?
2)   Usaha-usaha apakah yang kiranya baik ditempuh untuk menghindari adanya sifat interferensi kebahasaan?
3)   Menurut pendapat Anda apakah bahasa yang dipergunakan dalam wacana di atas memenuhi kriteria bahasa Indonesia baku?
Tes esai tingkat evaluasi memungkinkan siswa menunjukkan kemampuan berpikir dan bernalar secara kreatif, dan dimungkinkan sekali adanya perbedaan jawaban di antara siswa. Hal itu berarti tidak hanya ada satu jawaban tertentu yang betul, melainkan bisa saja beberapa jawaban yang berbeda sama-sama betul karena sama-sama dapat dipertanggungjawabkan. Kriteria “betul” ditentukan berdasarkan ketepatan isi, pengorganisasian (pengungkapan) isi, penyimpulan, kelogisan, alasan, dan ketepatan bahasa. Oleh karena itu, penilaian terhadap tes esai ini bersifat sangat kompleks, dan ada kalanya sulit dihindarkan adanya unsure subjektivitas penilai.
Dalam melaksanakan tes kemampuan membaca kita harus mempertimbangkan bahan dan tingkatan tes kemampuan membaca. Pemilihan wacana hendaknya dipertimbangkan dari segi tingkat kesulitan, panjang pendek, isi, dan jenis atau bentuk wacana. Tingkatan tes kognitif kemampuan membaca, meliputi: 1. Tingkat ingatan (C1); 2. Tingkat pemahaman (C2); 3. Tingkat penerapan (C3); 4. Tingkat analisis (C4); 5. Tingkat sintesis (C5); dan 6. Tingkat evaluasi (C6).

2.4  Tes Menulis
Manulis diartikan sebagai aktivitas pengekspresian ide, gagasan, pikiran atau perasaan ke dalam lambang-lambang kebahasaan  Kemampuan menulis yang merupakan keterampilan berbahasa produktif lisan melibatkan kemampuan : penggunaan ejaan, penggunaan kosa kata, penggunaan kalimat, penggunaan jenis komposisi, penentuan ide, pengolahan ide, pengorganisasian ide. Kesemua inilah yang diukur dalam kemampuan menulis.
2.4.1     Bentuk Tes Menulis
Secara umum, bentuk tes yang digunakan dalam tes menulis dapat berupa tes objektif dengan berbagai variasinya (untuk tingkat ingatan dan pemahaman) dan tes sujektif dengan berbagai variasinya (untuk tingkat penerapan ke atas).
Ragam bentuk tes subjektif yang digunakan dalam tes menulis dapat dipaparkan sebagai berikut.
1)   Tes menulis berdasarkan rangsangan visual
Bentuk tes menulis berdasarkan rangsangan visual dilakukan dengan cara disajikan gambar atau film yang membentuk rangkaian cerita, dan testi diminta untuk membuat karangan berdasarkan gambar atau film yang telah diberikan.
2)   Tes menulis berdasarkan rangsangan suara
Bentuk tes ini dilaksanakan dengan cara disajikan suara yang dapat berbentuk ceramah, diskusi atau tanya jawab, baik yang berupa rekaman suara maupan langsung.
3)   Tes menulis dengan rangsangan buku
Bentuk tes ini dilakukan dengan cara menyajikan teks bacaan, dan testi diminta untuk membuat karangan berdasarkan teks yang telah dibacanya. Bentuk tugas yang harus dikerjakan testi dapat berupa membuat ringkasan/rangkuman, membentuk resensi, atau membuat kritik.
4)   Tes menulis laporan
Bentuk tes ini dilakukan dengan cara meminta testi untuk membuat laporan kegiatan yang pernah dilakukan (mengikuti khotbah jum’ah, mengikuti seminar/diskusi, mengikuti Darmawisata, atau kegiatan perkemahan) atau kegiatan penelitian sederhana yang telah dilakukan.
5)   Tes menulis surat
Bentuk tes ini dilakukan dengan cara : testi diminta untuk menulis sebuah surat.
6)   Tes menulis berdasarkan tema tertentu
Bentuk tes ini dilakukan dengan cara : disajikan sebuah atau beberapa topik dan testi diminta untuk membuat suatu karangan berdasarkan topik yang telah ditentukan.
7)   Tes menulis karangan bebas
Tes ini dilaksanakan dengan cara meminta testi untuk membuat karangan dengan tema dan sifat karangan yang ditentukan sendiri oleh testi (peserta tes).
Menulis merupakan kegiatan berbahasa yang melibatkan berbagai kemampuan dan keterampilan secara terpadu. Tujuan pembelajaran menulis dapat dibedakan menjadi dua, yakni: (1) siswa mampu mengungkapkan unsur-unsur kebahasaan, seperti ejaan, kosakata, struktur kalimat, dan pemakaian paragraph, dan (2) siswa mampu mengungkapkan gagasannya dalam bentuk tulisan yang sesuai dengan konteks (pragmatik).
Tes kemampuan menulis juga ada beberapa macam. Hal ini disamping disebabkan oleh adanya tahapan dalam pengajaran menulis, juga karena ada banyak faktor yang dapat dinilai, seperti mekanis, kosakata, tata bahasa, ketetapan isi, diksi, retorika, logika, dan gaya (Madsen, 1983:101). Tompkins (dalam Ramli, 1998) mengatakan bahwa tes menulis dapat disikapi dalam dua aspek, yakni sebagai tes proses (tes menulis sebagai proses) dan tes produk (tes menulis sebagai produk). Oleh karena itu disarankan agar tes menggunakan postofolio, yaitu koleksi segala dokumentasi dan aktivitas siswa yang menunjukkan usaha, kemajuan, dan pencapaian siswa dalam satu atau beberapa bidang tertentu yang dapat digunakan sebagai alternatif atau pelengkap kegiatan tes.
Cara langsung untuk mengukur kemampuan menulis seseorang adalah dengan menyuruh seseorang itu menulis. Akan tetepi, tes bentuk esai ini banyak kelemahannya. Di samping itu, kemampuan menulis juga dapat diukur dengan tes objektif. Baik tes bentuk esai maupun bentuk objektif mempunyai kelebihan dan kekurangan. Apalagi jumlah peserta tes besar jumlahnya, tes objektif akan lebih baik.Kemampuan menulis merupakan suatu keterampilan berbahasa yang melibatkan aspek penggunaan bahasa dan pengolahan isi. Masalah yang berkembang sehubungan dengan kegiatan menulis adalah pengetahuan dasar terhadap performansi atau kemampuan menulis.
  Keterampilan menulis merupakan kiat menggunakan pola-pola lisan dalam menyampaikan suatu informasi. Dalam menulis, orang tidak hanya dituntut menguasai materi yang akan ditulis, tetapi juga mempu menggunakan perangkat kebahasaan secara tertulis. Penggunaan perangkat kebahasaan secara tertulis menjadi inti kegiatan menulis sebab penggunaan perangkat bahasa tulis berbeda dengan penggunaan perangkat kebahasaan secara lisan.
Evaluasi keterampilan menulis bertujuan mengetahui kemampuan pebelajar dalam menyampikan ide, perasaan, dan pikirannya, serta menggunakan perangkat bahasa target secara tulis.
Teknik evaluasi yang dapat digunakan dipaparkan berikut.
1. Menulis huruf,  nama, peristiwa, dan keadaan yang diperdengarkan, diperlihatkan, dan     bicara.
2. Menyampaikan kembali secara tertulis suatu cerita, dialog, peristiwa yang didengar atau     dibaca.
3. Menuliskan cerita berdasarkan gambar atau rangkaian gambar.
4. Melaporkan pengalaman, peristiwa, pekerjaan, atau perjalanan secara tulis.
5. Menjawab pertanyaan sederhana atau komplek secara tulis.
6. Membuat karangan berdasarkan tema tertentu.
7. Menggunakan ejaan dan tanda baca secara tetap.
Menulis merupakan kegiatan berbahasa yang melibatkan berbagai kemampuan dan keterampilan secara terpadu. Tujuan pembelajaran menulis dapat dibedakan menjadi dua, yakni: (1) siswa mampu mengungkapkan unsur-unsur kebahasaan, seperti ejaan, kosakata, struktur kalimat, dan pemakaian paragraph, dan (2) siswa mampu mengungkapkan gagasannya dalam bentuk tulisan yang sesuai dengan konteks (pragmatik).
Tes kemampuan menulis juga ada beberapa macam. Hal ini di samping disebabkan oleh adanya tahapan dalam pengajaran menulis, juga karena ada banyak faktor yang dapat dinilai, seperti mekanis, kosakata, tata bahasa, ketetapan isi, diksi, retorika, logika, dan gaya (Madsen, 1983:101). Tompkins (dalam Ramli, 1998) mengatakan bahwa tes menulis dapat disikapi dalam dua aspek, yakni sebagai tes proses (tes menulis sebagai proses) dan tes produk (tes menulis sebagai produk). Oleh karena itu disarankan agar tes menggunakan postofolio, yaitu koleksi segala dokumentasi dan aktivitas siswa yang menunjukkan usaha, kemajuan, dan pencapaian siswa dalam satu atau beberapa bidang tertentu yang dapat digunakan sebagai alternatif atau pelengkap kegiatan tes.
Cara langsung untuk mengukur kemampuan menulis seseorang adalah dengan menyuruh seseorang itu menulis. Akan tetepi, tes bentuk esai ini banyak kelemahannya. Di samping itu, kemampuan menulis juga dapat diukur dengan tes objektif. Baik tes bentuk esai maupun bentuk objektif mempunyai kelebihan dan kekurangan. Apalagi jumlah peserta tes besar jumlahnya, tes objektif akan lebih baik.
2.4.2  Menulis Sebagai Proses
Menulis merupakan aktivitas pengekspresian ide, gagasan, pikiran atau perasaan dalam lambang kebahasaan. Kegiatan ini melibatkan aspek penggunaan tanda baca dan ejaan, penggunaan diksi dan kosakata, penataan kalimat, pengembangan paragraph, pengolahan gagasan serta pengembangan model karangan. Murray (1978) mendeskripsikan menulis Sebagai proses penemuan dan penggalian ide-ide untuk dikespresikan, dan proses ini dipengaruhi oleh pengetahuan dasar yang dimilikinya.

1)   Tes Kosa Kata
Istilah kosa kata dapat diartikan sebagai semua kata yang terdapat dalam suatu bahasa, kekayaan kata yang dimiliki seseorang dalam suatu bahasa, kata-kata yang dipakai dalam suatu bidang tertentu, daftar kata yang disusun dalam kamus beserta penjelasannya
a)   Bahan Tes Kosa Kata
Persoalan yang banyak dihadapi guru dalam menyusun tes kosa kata terletak pada pemilihan bahan atau pemilihan kosa kata mana yang akan diteskan. Secara umum dapat dinyatakan bahwa bahan tes kosa kata adalah semua kosa kata yang terdapat dalam suatu bahasa, baik yang digunakan dalam keterampilan reseptif maupun produktif. Secara khusus pemilihan bahan tes kosa kata perlu mempertimbangkan faktor tingkat dan jenis sekolah tingkat kesulitan kosa kata aktif dan pasif, serta kosa kata umum / khusus / ungkapan.
Faktor-faktor pemilihan bahan tes kosa kata akan dapat memenuhi harapan, dalam arti sesuai dengan keperluan. Faktor pertama yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan bahan tes kosa kata adalah untuk siapa tes kosa kata itu disusun. Dengan diketahuinya untuk siapa tes kosa kata disusun, akan diketahui dengan pasti kosa kata yang akan diteskan. Jika pemilihan dan penentuan kosa kata disarkan pada buku pelajaran yang digunakan, ada berapa faktor yang perlu dipertimbangakan antara lain :
a.    Belum tentu semua jenis sekolah memiliki buku pelajaran yang secara khusus disusun untuk sekolah yang bersangkutan.
b.   Mendasarkan diri pada buku pelajaran semata berarti membatasi pengetahuan siswa pada buku tersebut, padahal kosa kata yang digunakan jauh lebih banyak dibandingakan yang terdapat dalam buku pelajaran.
c.    Penilaian kosa kata dalam buku-buku pelajaran belum tentu sesuai dengan tingkat kognitif siswa yang didasarkan pada penelitian yang mantap.
 Penilaian kosa kata yang akan diteskan hendaknya juga mempertimbgangakn tingkat kesulitannya, dalam arti terlalu mudah atau terlalu sulit. Salah satu pertimbangan yang dapat dipakai adalah tingkat kekerapan/keseringan pemakaian kosa kata, semakin sering dipakai suatu kosa kata dapat dipandang mudah dan sebaliknya semakin jarang dipakai suatu kosa kata dianggap sulit.
 Kosa kata aktif dimaksud adalah kosa kata yang dipakai dalam keterampilan produktif (untuk berbicara dan menulis), sedangkan untuk kosa kata pasif merupakan kosa kata yang digunakan dalam keterampilan reseptif ( menyimak dan membaca ).
 Kosa kata umum adalah kosa kata yang dipakai dalam semua bidang, kosa kata khusus merupakan kosa kata yang hanya dipakai dalam bidang-bidang tertentu, dan ungkapan atau istilah merupakan kosa kata yang memiliki makna tertentu dalam bidang tertentu.
b)   Ragam Tes Kosa Kata
Tes kosa kata tingkat ingatan menuntut testi untuk mengingat kembali makna kata, sinonim/antonym/hiponim/polisemi suatu kata. Tes kosa kata tingkat pemahaman menuntut testi untuk dapat memahami makan, pengertian, serta masud suatu kata/istilah/ungkapan. Tes kosa kata tingakat penerapan menuntut testi untuk dapat memilih dan menerapkan kata-kata, istilah atau ungkapan tertentu dalam suatu wacana secara tepat atau mempergunakannya dalam wacana. Tes kosa kata tingkat analisis menutut testi untuk menganalisis, baik terhadap kosa kata yang diujikan maupun terhadap wacana yang menjadi konteksnya.
2) Tes Struktur
Tes struktur dapat diartikan sebagai tes kebahasaan yang difungsikan untuk mengukur kemampuan testi dalam memahami dan menggunakan kalimat. Secara umum bentuk tes yang digunakan dalam tes struktur tatabahasa berupa tes bentuk subjektif dan bentuk objektif. Secara teprinci tes yang digunakan dalam tes struktur tatabahasa dapat dikemukakan seperti berikut :
a.    Melengkapi kalimat dengan kata atau kelompok kata yang tersedia. Misalnya ada sebuah pernyataan yang belum lengkap karena sepatah kata atau lebih dihilangkan, selanjutnya pernyataan itu diikuti dengan beberapa kata atau kelompok kata Sebagai pilihan. Tugas testi memilih kata atau kelompok kata yang tepat, sehingga pernyataan tersebut menjadi lengkap.
b.   Memilih kalimat dalam bentuk ini disajikan beberapa kalimat, dan testi diminta untuk memilih satu di antaranya ( yang benar atau yang salah ).
c.    Menyusun kembali kalimat yang kacau susunannya. Jenis ini biasanya dipakai untuk menguji hal-hal yang berkaitan dengan urutan kata dalam kalimat. Penyusunan soal dilakukan dengan cara kata-kata ditempatkan pada urutan yang tidak sebenarnya, dan testi diminta untuk memilih beberapa kemungkinan jawaban yang benar.

III.    APLIKASI TES KOMPETENSI BERBICARA DALAM BERPIDATO

3.1              Pengantar
Pembelajaran keterampilan berbicara bentuk berpidato merupakan materi yang amat penting dan fundamental untuk diberikan kepada pembelajar dalam proses pembelajarannya. Bentuk keterampilan berpidato secara kurikuler menjadi materi pokok keterampilan berbahasa aktif-produktif.
Pidato adalah suatu ucapan dengan susunan yang baik untuk disampaikan kepada orang banyak. Contoh pidato yaitu seperti pidato kenegaraan, pidato menyambut hari besar, pidato pembangkit semangat, pidato sambutan acara atau event, dan lain sebagainya. Pidato yang baik dapat memberikan suatu kesan positif bagi orang-orang yang mendengar pidato tersebut. Kemampuan berpidato atau berbicara yang baik di depan publik / umum dapat membantu untuk mencapai jenjang karir yang baik.
Pidato umumnya melakukan pidato dengan tujuan 1) mempengaruhi orang lain agar mau mengikuti kemauan kita dengan suka rela; 2) memberi suatu pemahaman atau informasi pada orang lain; dan 3)  Membuat orang lain senang dengan pidato yang menghibur sehingga orang lain senang dan puas dengan ucapan yang kita sampaikan.
Berdasarkan pada sifat dari isi pidato, pidato dapat dibedakan menjadi 1) pidato pembukaan, adalah pidato singkat yang dibawakan oleh pembaca acara atau MC, 2) pidato pengarahan adalah pdato untuk mengarahkan pada suatu pertemuan; 3) pidato sambutan, yaitu merupakan pidato yang disampaikan pada suatu acara kegiatan atau peristiwa tertentu yang dapat dilakukan oleh beberapa orang dengan waktu yang terbatas secara bergantian; 4) pidato peresmian, adalah pidato yang dilakukan oleh orang yang berpengaruh untuk meresmikan sesuatu; 5) pidato Laporan, yakni pidato yang isinya adalah melaporkan suatu tugas atau kegiatan; dan 6)  pidato pertanggungjawaban, adalah pidato yang berisi suatu laporan pertanggungjawaban.
Teknik atau metode dalam membawakan suatu pidatu di depan umum, 1) metode menghafal, yaitu membuat suatu rencana pidato lalu menghapalkannya kata per kata; 2) metode sertamerta, yakni membawakan pidato tanpa persiapan dan hanya mengandalkan pengalaman dan wawasan. Biasanya dalam keadaan darurat tak terduga banyak menggunakan tehnik serta merta; 3) metode naskah, yaitu berpidato dengan menggunakan naskah yang telah dibuat sebelumnya dan umumnya dipakai pada pidato-pidato resmi.
Sebelum memberikan pidato di depan umum, ada baiknya untuk melakukan persiapan, antara lain 1)  wawasan pendengar pidato secara umum; 2) mengetahui lama waktu atau durasi pidato yang akan dibawakan; 4) menyusun kata-kata yang mudah dipahami dan dimengerti; 5) mengetahui jenis pidato dan tema acara; dan 6) menyiapkan bahan-bahan dan perlengkapan pidato, dan lain-lain.
Skema susunan suatu pidato yang baik secara berurutan adalah 1) pembukaan dengan salam pembuka; 2) pendahuluan yang sedikit menggambarkan isi; 3) isi atau materi pidato secara sistematis : maksud, tujuan, sasaran, rencana, langkah, solusi, dan lain-lai; 4) penutup (kesimpulan, harapan, pesan, salam penutup).
Aplikasi teori penilaian terhadap keterampilan berpidato berkaitan dengan proses pembelajaranya. Berikut ini contoh RPP dengan materi keterampilan berpidato.

3.2 Aplikasi dalam Layanan Pembelajaran

3.2.1 Contoh RPP

UNIT  5  IPTEK
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
Nomor  13
1. IDENTITAS SEKOLAH,  SK, KD, INDIKATOR, ALOKASI WAKTU
NAMA SEKOLAH
SMA XAVERIUS 1 PALEMBANG
MATA PELAJARAN
Bahasa Indonesia
KELAS /SEMESTER
XII (dua belas) / 1 (satu)
PROGRAM
IPA/IPS
ASPEK PEMBELAJARAN
Membaca
STANDAR KOMPETENSI
Menyampaikan gagasan secara lisan  dalam bentuk berpidato
KOMPETENSI DASAR
Menyampaikan gagasan secara lisan dalam bentuk berpidato dengan isi, bahasa, dan penyampaian yang baik dan benar.
INDIKATOR
1.      Menyampaikan gagasan yang berbobot dalam
2.      Menyampaikan gagasan yang berbobot secara lisan secara sistematis
3.      Menyampaikan gagasan yang aktual dan objektif
4.      Menyampaikan gagasan secara lisan dengan intonasi yang sesuai
5.      Menyampaikan gagasan secara lisan dengan artikulasi yang benar
6.      Menyampaikan gagasan secara lisan dengan aksentuasi yang tepat
7.      Menyampaikan gagasan secara lisan dengan jeda yang tepat
8.      Menyampaikan gagasan secara lisan dengan sikap dan santun yang sesuai
9.      Menyampaikan gagasan secara lisan dengan pandangan yang baik
10.  Menyampaikan gagasan secara lisan dengan ekspresi yang tepat
ALOKASI WAKTU
8  x  45 menit ( 4 pertemuan)

2. TUJUAN PEMBELAJARAN

TUJUAN


Siswa mampu berpidato tanpa teks dengan isi, bahasa, dan penampilan yang baik dan benar.


MATERI POKOK PEMBELAJARAN

1.   Konsep kegiatan berpidato (pengertain, metode, hal-hal teknis penampilan berpidato)
2.   Contoh naskah pidato
3.   Cara membacakan naskah pidato
4.   Menyusun naskah pidato sesuai dengan tujuan
5.   Cara menguasai bahan pidato
6.   Praktik berpidato


3. METODE PEMBELAJARAN

Presentasi


Diskusi Kelompok
Mendiskusikan sputar konsep berpidato dengan teman sebangku

Inquiri

v
Tanya Jawab
Mengajukan pertanyaan kepada guru tentang hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan berpdato
v
Penugasan
1.   Menyusun naskah pidato
2.   Melakukan pengamatan dan memberikan penilaian siswa lain berpidato
v
Demontrasi /Pemeragaan Model
1.    Audio visual contoh berpidato yang baik, dibuka dari youtube lewat hotspot sekolah.
2.    Pengurus OSIS/PPSK di kelas masing-masing.

4. KEGIATAN PEMBELAJARAN
TAHAP
KEGIATAN PEMBELAJARAN
PEMBUKA
(Apersepsi)
Pertemuan ke-1 (30 menit)
1.   Guru menayangkan cuplikan rekaman pidato dokumentasi dari youtube, misalnya pidato Presiden dalam suatu acara kenegaraan  dan mengajak siswa untuk mencermatinya.
2.   Siswa diberi kesempatan untuk mengungkapkan tanggapannya atas unjuk kemampuan pidato tersebut. Dengan panduan pertanyaan,  tanggapan diarahkan pada intonasi, artikulasi, aksentuasi, jeda, dan ekspresi.
3.   Guru menyatakan bahwa keterampilan berpidato sangat penting dan siapa pun suatu saat akan melakukannya sehingga perlu bagi siswa untuk belajar cara berpidato yang menarik.






INTI
Pertemuan ke-1 ( 60 menit) 
1.   Siswa mendiksuikan  macam-macam teknik atau metode berpidato.
2.   Guru atau  siswa (model) yang ditunjuk membacakan teks pidato yang terpilih sementara siswa yang lain mencermatinya.
3.   Siswa berdiskusi menjawab sejumlah pertanyaan untuk  menanggapi  kemampuan berpidato yang telah ditampilkan. Kemudian wakil kelompok  mempresentasikan tanggapannya di depan kelas.
4.   Siswa  menyumbang pendapat untuk merumuskan hal-hal  penting yang perlu diperhatikan saat berpidato.
5.   Guru memberikan tabel penilaian keterampilan berpidato di depan kelas untuk semua siswa.
6.   Siswa  menyiapkan teks pidato, dibuat di rumah, menandai bagian-bagian penting yang perlu mendapat penekanan, dan berlatih membacakannya dalam kelompok. Naskah pidato diarahkan ke pola persuasif, disiapkan secara tekstual dan dikumpulkan dalam print out sebelum tampil dalam durasi waktu 3 menit.

Pertemuan ke-2  ( 90 menit)
Praktik pidato di depan kelas.
1.   Guru membimbing siswa membuat tabel penilaian bagi siswa yang tampil berpidato
2.   Secara bergantian  berdasar  undian, semua siswa berpidato di depan kelas tanpa teks.
3.   Dengan menggunakan pedoman penilaian yang dibagikan guru, semua siswa di kelas ikut  memberikan penilaian setiap penampil di Buku Latihan-nya.
4.   Guru menyampaikan ulasan, menyebutkan siswa yang sudah bagus unjuk kemampuannya  dengan menunjukkan kelebihan-kelebihannya.
5.   Guru memberikan masukan atau saran kepada siswa yang penampilannya belum bagus.

Pertemuan ke-3-4 (165 menit)
1.   Siswa berpidato di depan kelas tanpa teks secara bergiliran sesuai dengan undian.
2.   Siswa melakukan pengamatan teman yang berpidato serta memberikan penilaian sesuai dengan pedoman.
3.   Siswa secara bergantian memberikan tanggapan atas teman yang berpidato di depan kelas.
4.   Siswa bersama guru menyimpulkan hal-hal yang perlu dilakukan dan dihindari dalam penampilan berpidato pada setiap kali pertemuan berakhir.

PENUTUP
(Internalisasi dan  refleksi)

Pertemuan ke-3-4 ( 15 menit)          
1.   Siswa menjawab 10 soal Kuis Uji Teori untuk me-review konsep-konsep penting   tentang berpidato yang telah dipelajari
2.   Siswa   merefleksikan nilai-nilai  serta kecakapan hidup (live skill) yang bisa dipetik dari pembelajaran dan ditulis di Buku Latihan masing-masing.
3.   Guru memberi semangat siswa untuk terus berlatih berpidato dan menerima peluang setiap kali diminta untuk berpidato


5.  SUMBER BELAJAR
V
Pustaka rujukan
§  Buku Kumpulan Naskah Lomba Pidato Pelajar 2006: Bangkitlah Pemuda! Ayo Lawan Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta: Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat (Dikyanmas)-KPK.
§  Aktif dan Kreatif Berbahasa Indones-ia untuk kelas XII  SMA/MA program IPA dan IPS karya Adi Abdul Somad dkk. dalam Buku Sekolah Elektronik via Depdiknas.go.id
§  Komposisi karya Gorys Keraf terbitan Nusa Indah, Ende-Flores.
§  Argumentasi dan Narasi karya Gorys Keraf terbitan Nusa Indah Ende-Flores.

V
Material: VCD, kaset, poster
 kaset/cd/vcd rekaman pidato (dari dokumentasi sekolah)


Mediacetak dan elektronik
 Hotspot: http://smax-1­_plg.sch.id

Website internet
http://kasdiharyanta-kasdih.blogspot.com

Narasumber

V
Model peraga
Pengurus OSIS/PPSK di kelas siswa yang masih aktif

Lingkungan


6. PENILAIAN



TEKNIK DAN BENTUK
vV
Tes  Lisan
vV
Tes Tertulis  dalam bentuk kuis
vV
Observasi Kinerja/Demontrasi
vV
Tagihan Hasil Karya/Produk: tugas menyusun naskah pidato.
vV
Pengukuran Sikap
vV
Penilaian diri

INSTRUMEN /SOAL


1.     Tugas untuk membacakan teks pidato
2.     Tugas untuk menanggapi pembacaan teks pidato
3.     Daftar tabel pengisian hasil pengamatan
4.     Daftar pertanyaan kuis uji teori untuk mengukur pemahaman siswa atas konsep-konsep yang telah dipelajari.
5.     Praktik berpidato
RUBRIK/KRITERIA PENILAIAN/BLANGKO OBSERVASI
Lembar rubrik penilaian kinerja berpidato (Terlampir-Lampiran 1)


Mengetahui,                                                            Palembang, Juli 2011
Kepala Sekolah                                                        Guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia



          Dra. Lucia Chia                                                      Drs. Kasdi Haryanta 
­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­_____________________________________________________________________________
3.3     Proses Penilaian:
3.3.1 Bentuk tes  : Praktik berpidato tanpa teks
3.2.2 Sarana tes  : Materi topik berpidato yang disampaikan seminggu sebelum diteskan agar siswa menyusun naskah pidato. Dirasi waktu tes per siswa 3 menit.
3.3.3 Kriteria Penilaian: Rubrik Penilaian => terlampir-Lampiran 1
3.4     Hasil Penilaian => terlampir dalam Lampiran 2 (Daftar Nalai Kelas XII IPA 1 dan          Kelas XII IPA 2).
3.5     Sistem pengolahan skor ke dalam nilai: menggunakan PAP sehingga siswa jelas dan mengejar target masing-masing dengan KKM= 75. Klasifikasi nilai adalah
No.
Skor
Kualifikasi
1
86-95
Amat baik
2
75-85
Baik
3
65-74
Cukup
4
55-64
Kurang cukup
5
41-54
Amat kurang cukup
 




IV.    PENUTUP

Pembelajaran bahasa dilaksanakan untuk mencapai sejumlah tujuan pembelajaran yang telah diidentifikasi dan dirumuskan berdasarkan telaah mendalam terhadap kebutuhan yang perlu dipenuhi. Hal ini diupayakan tercapai melalui serangkaian kegiatan pembelajaran yang secara matang dirancang dan diselenggarakan secara sungguh-sunguh.
Tujuan pembelajaran, proses kegiatan pembelajaran, dan evaluasi hasil kegiatan saling terkait dalam satu pola hubungan yang erat. Suatu komponen penyelenggaraan pembelajaran terdahulu memengaruhi bahkan menentukan penyenggaraan komponen berikutnya. Dalam pembelajaran bahasa, kemampuan bahasa reseptif, menyimak dan membaca merupakan komponen dasar yang amat berpengaruh terhadap ketercapaian komponen kemampouan bahasa produktif berikutnya, dalam hal ini berbicara dan menulis.
Evaluai tingkat keberhasilan berbahasa seringkali dikaitkan dengan tingkat keberhasilan pembelajara dalam bentuk nilai yang diperoleh dari guru pada masa tertentu, terutama di akhir satuan waktu belajar. Bagi komponen penyelenggara pembelajaran nilai yang dicapai pembelajar merupakan tingkat keberhasilan pembelajaran yang dicapai oleh pembelajar. Bagi guru nilai merupakan unjuk kerjanya dalam mengelola kegiatan pembelajaran dan interakasi dengan pembelajar. Maka, akan bijaksana manakala guru memerhatikan tingkat pemahaman pembelajar tentang materi yang disampaikannya dalam proses layanan pembelajaran. Guru dapat melakukan telaah terhadap unjuk kerjanya untuk menganalisis tahap perencanaan, proses layanan pembelajaran,dan pengevaluasian yang dilakukannya. Hasil evaluasi digunakan sebagai umpan balik bagi pendidikan dan layanan proses pembelajarannya.


Daftar Pustaka

Ariani, Farida. 2006. Keterampilan Menyimak. Depdiknas Ditjen PMPTK PPPG Bahasa.

Djiwandono, M.S. 2008. Tes Bahasa, Pegangan bagi Pengajar Bahasa. Jakarta: Indeks.

Maidar, Arsyad G. 1994. Bahasa dan Proses Pengejaran Menyimak. Jakarta: Departemen P dan K Ditjen Dikdasmen. PPPG Bahasa.

Kamidjan dan Suyono. 2000. Menyimak. Jakarta: Depdiknas-Ditjen Dikdasmen Direktorat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama.

Keraf. Gorys. 2001. Komposisi. Ende-Flores: Nusa Indah Percetakan Arnoldus

Keraf. Gorys. 1998. Narasi dan Argumentasi.  Ende-Flores: Nusa Indah Percetakan Arnoldus.

Nurgiyantoro, Burhan. 2009. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: BPFE.
Ridwan. 2010. “Tes Kemampuan Membaca”. Dalam http://ikfaiz.wordpress.com/2010/10/07/tes-kemampuam-membaca/, Diakses 4 Desember 2011, pukul 23.35 WIB.

Safari. 2002. Pengujian dan Penilaian Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta: PT Kartanegara.
Tarigan, Henry Guntur. 1987. Membaca Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
___________________. 2004. Teknik Pengajaran Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

___________________. 2006. Menyimak sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.






























   
Lampiran 1

 YAYASAN XAVERIUS PALEMBANG

SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA) XAVERIUS 1

11                                                                      TERAKREDITASI A        

         Jalan Bangau No.60/1258 Palembang – 30113              
     ((0711)358005, Fax:(0711)373061,Email : smu_xav1@telkom.net
 

PEDOMAN PENIAIAN
PRAKTIK BERPIDATO BAHASA INDONESIA
No.
Aspek
Kualifikasi
Skor
1
ISI
1.1 Bobot
a. Kualitas aktualitas dan objektivitas materi amat baik
86-95
b. Kualitas aktualitas dan objektivitas materi  baik
76-85
c. Kualitas aktualitas dan objektivitas materi cukup baik
66-75
d. Kualitas aktualitas dan objektivitas materi kurang baik
56-65
1.2 Sistematika
a. Keteraturan, keruntutan, dan penalaran amat baik
86-95
b. Keteraturan, keruntutan, dan penalaran baik
76-85
c. Keteraturan, keruntutan, dan penalaran cukup baik
66-75
d. Keteraturan, keruntutan, dan penalaran kurang  baik
56-65
1.3 Akurasi
a. Kecermatan dan kebenaran materi amat baik 
86-95
b. Kecermatan dan kebenaran materi  baik 
76-85
c. Kecermatan dan kebenaran materi cukup  baik 
66-75
d. Kecermatan dan kebenaran materi kurang baik 
56-65
2
BAHASA
2.1 Intonasi
a. Keselarasan lagu kalimat dengan isi dan tujuan amat baik
86-95
b. Keselarasan lagu kalimat dengan isi dan tujuan  baik
76-85
c. Keselarasan lagu kalimat dengan isi dan tujuan cukup baik
66-75
d. Keselarasan lagu kalimat dengan isi dan tujuan  kurang  baik
56-65
2.2 Artikulasi
a. Kesesuaian ucapan dengan isi dan tujuan amat baik
86-95
b. Kesesuaian ucapan dengan isi dan tujuan baik
76-85
c. Kesesuaian ucapan dengan isi dan tujuan  cukup baik
66-75
d. Kesesuaian ucapan dengan isi dan tujuan kurang baik
56-65
2.3 Aksentuasi
a. Ketepatan tekanan ucapan dengan isi dan tujuan amat baik
86-95
b. Ketepatan tekanan ucapan dengan isi dan tujuan baik
76-85
c. Ketepatan tekanan ucapan dengan isi dan tujuan cukup baik
66-75
d. Ketepatan tekanan ucapan dengan isi dan tujuan kurang baik
56-65
2.4 Jeda
a. Kesesuaian sela ucapan dengan isi dan tujuan amat baik
86-95
b. Kesesuaian sela ucapan dengan isi dan tujuan baik
76-85
c. Kesesuaian sela ucapan dengan isi dan tujuan cukup baik
66-75
d. Kesesuaian sela ucapan dengan isi dan tujuan kurang baik
56-65
3
PENAMPILAN
3.1 Sikap
a. Santun dan etika bicara amat baik
86-95
b. Santun dan etika bicara baik
76-85
c. Santun dan etika bicara cukup baik
66-75
d. Santun dan etika bicara kurang baik
56-65
3.2 Pandangan
a. Keselarasan pandangan dengan isi dan tujuan pidato ke audiens amat baik
86-95
b. Keselarasan pandangan dengan isi dan tujuan pidato ke audiens baik
76-85
c.  Keselarasan pandangan dengan isi dan tujuan pidato ke audiens cukup baik
66-75
d. Keselarasan pandangan dengan isi dan tujuan pidato ke audiens kurang baik
56-65
3.3  Ekspresi
a.  Kesesuaian ekpresi mimik-pantomimik dengan isi dan tujuan amat baik
86-95
b.  Kesesuaian ekpresi mimik-pantomiki dengan isi dan tujuan baik
76-85
c.  Kesesuaian ekpresi mimik-pantomimik dengan isi dan tujuan cukup baik
66-75
d.  Kesesuaian ekpresi mimik-pantomimik dengan isi dan tujuan kurang baik
56-65

Palembang, 7 Oktober  2011
Guru Bidang Studi Bahasa Indomesia



Drs. Kasdi Haryanta




[1] Tes Bahasa Pegangan bagi Pengajar bahasa karya M. Soenardi Djiwandono, terbitan Indeks, Jakarta.
[2] Jenis Tes Bahasa karya Burhan Nurgiyantoro dari FBS/PPs Universitas Negeri Yogyakarta, makalah disampaikan di IAIN Gorontalo, 6 Juni 2009, diakses 12 Oktober 2011, pukul 23.30 WIB dalam  http://101.203.168.85/sites/default/files/tmp/Jenis%20Tes%20Bahasa%20IAIN%20Gorontalo%2009.ppt.

[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Susilo Firi Yatmoko, Tes Kebahasaan,  dalam http://susilofy.wordpress.com/2011/01/11/tes-keterampilan-berbahasa, diakses 23 Oktober 2011, pukul 14.30 WIB.


Komentar

Posting Komentar

Gunakan nama dan email masing-masing! Harap ditulis nama, kelas, dan nomor absen.

Postingan populer dari blog ini

CERITA PENDEK ON-LINE KARYA SISWA-SISWI KELAS XII IPA 3 TAHUN 2014/2015

CERITA PENDEK ON-LINE KARYA SISWA-SISWI KELAS XII IPA 2 TAHUN 2014/2015

LKS MEMBERIKAN TANGGAPAN-SANGGAHAN-PENOLAKAN PENDAPAT KELAS XII MIPA 6 TAHUN 2015/2016